Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B.
"Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana. "Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya. "Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal. "Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup." "Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua. "Kamu di sini dulu, Aini. Jangan keluar ke mana-mana. Kalau mau ke kamar mandi, ada di ujung sana!" Aku menunjuk pintu yang ada di sebelah kanan dari posisi ranjang. "Mas, maaf ya, k-karena saya jadi Mas nya kena masalah." "Udah terlambat. Nasi udah jadi bubur!" Aku bergegas keluar dari kamar dan langsung menuju kamar mama. Tok! Tok! "Ma, ini Dhuha." "Masuk." Aku menelan ludah dan siap mendapatkan karma atas apa yang sudah aku lakukan semalam. Mama rupanya baru selesai mandi dan tengah menggunakan spray di wajahnya. "Sekarang jelaskan, bagaimana bisa kamu menikahi janda anak dua? Kamu gak pernah cerita apapun tentang wanita itu sama Mama. Apa kamu gak perlu ridho Mama untuk menjalani rumah tangga? Anak dua? Mama gak masalah kamu menikahi wanita biasa, tapi bukan janda. Bukan pula ditambah paket hemat dengan punya anak dua. Apa kata teman-teman dan sodara nanti? Relasi bisnis opa, papa kamu juga pasti menyayangkan keputusan kamu ini, Dhuha!" "Sebutkan hal istimewa apa yang bikin kamu menikahi wanita itu?" baru saja akan menjelaskan, mama sudah kembali menyela. "Dia sekolah di mana? Dia rumahnya di mana? Siapa orang tuanya? Ceritakan semua sama Mama!" "Ma, maafkan Dhuha, tapi Dhuha gak bisa cerita sekarang. Nanti Dhuha pasti cerita. Intinya Dhuha sudah punya istri dan dua anak sambung. Mama tolong memahami kondisi Dhuha." Suaraku yang memelas, malah membuat mama berlinang air mata. "Luna, Niken, dan satu lagi pacar kamu itu, kenapa gak seperti mereka yang kamu nikahi? Atau paling nggak, jangan begitu jauh bedanya. Mama lahirkan kamu, merawat, sekolahin, dan mengurus semua keperluan dan kebutuhan kamu, tapi kamu malah nikah sama wanita gak jelas! Mama kecewa sama kamu! Jadi jangan harap Mama bisa menerima istri kamu begitu saja!" Mama mengusirku keluar kamar. Dengan langkah gontai, aku berjalan kembali ke kamarku. Namun, aku begitu terkejut saat melihat Aini dan dua anaknya malah tidur di lantai. Ya, mereka bertiga tidur di lantai beralaskan karpet. "Aini, bangun! Kenapa tidur di sini?" tanyaku setengah berbisik. Wanita itu begitu lelap. Ia tidak bergerak sama sekali. Hanya suara embusan napasnya yang terdengar begitu teratur. Tidak ingin mengganggu mereka yang sudah tidur, maka aku pun memutuskan mandi. Setelah mandi, aku menyelimuti ketiganya, sedangkan aku kembali tidur di ranjangku. Sepertinya aku harus menambahkan kasur lagi di kamar untuk Izzam dan adiknya. Suara berisik membuat mataku terbuka. Rupanya adik Izzam yang merengek dan sedang digendong oleh Aini. "Ada apa?" aku menoleh ke arah jam dinding. Masih jam tiga pagi, tapi tidurku sudah diganggu. "Intan lapar sepertinya, Mas. Waktu kita makan tadi siang, Intan tidur." Aku pun langsung bangun duduk. "Oh, iya, belum makan ya." "Saya gak berani keluar kamar karena kata Mas jangan ke mana-mana," katanya lagi sambil menimang Intan yang terus saja merengek. "Ayo, kita ke bawah." Aku mengantar Aini turun ke dapur. Ada bubur instan yang biasa aku panaskan menggunakan microwave. "Air putih ambil di dispenser itu!" "Mm.. caranya, Mas? Maaf, saya gak pernah punya dispenser." Aku menghela napas dan segera mengambilkan segelas air putih hangat. Intan sudah lebih tenang sekarang karena ia tengah mengunyah pisang. "Ini dapur, kamu gak boleh ke sini sembarangan. Gak perlu kerjakan pekerjaan rumah ini jika tidak diminta mamaku. Paham!" Aini mengangguk. Penurut sekali wanita ini, batinku. "Mas tidur lagi saja. Maaf saya dan Intan sudah ganggu," katanya tidak enak hati. Aku meletakkan kembali kepala ini di atas bantal empuk. "Kalian kenapa tidur di bawah? Emang gak masuk angin?" "Nggak, Mas, emang biasa begini. Makasih ya, kamar ini nyaman sekali. Lagian mamti seprei Mas bau dan kotor karena pakaian anak-anak." "Oh, gitu, padahal kalau kotor dan bau, nanti juga ada bibi yang cuci. Coba kamu ke sini, Mbak!" Aku menepuk kasur di sampingku. Wajahnya mendadak kaku. Apa dia takut aku kenapa-napain dia? Ya ampun, seperti anak perawan saja! "Sini!" akhirnya ia menurut. Berjalan bagaikan siput sambil menggendong Intan yang sepertinya sudah kembali mengantuk. "Ini malam pertama kita sebagai suami istri dan saya rasa, ada yang harus kita berdua lakukan." Bersambung"Buka baju, Mas?" tanyanya dengan wajah polos. Aku terbahak sambil mengibaskan tangan. "Bukan, mana mungkin kita tidur seperti suami istri. Mbak, ini tuh seperti pernikahan kontrak. Imbalannya anak-anak dapat tempat tinggal nyaman, bukan di sini. Saya ada rumah sendiri. Mbak punya suami yang menafkahi. Punya mertua dan keluarga. Saya akan kasih uang juga, meski gak banyak, tapi saya akan tetap tanggung jawab. Gimana?""Baik, Mas. Terima kasih banyak atas kebaikannya. Saya gak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas dan juga keluarga Mas.""Kamu cukup lakukan apa yang aku perintahkan. Oke! Oh, iya, satu lagi, kamu gak boleh ikut campur urusan pribadi aku. Paham kan maksudnya?""Baik, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum. Anggap saja aku tengah beramal dengan janda miskin dan juga anak yatim. Pasti Tuhan akan balas kebaikanku dengan kebaikan pula. Aku mematikan lampu kamar, kemudian ikut terlelap. Aini dan dua anaknya masih tetap tidur di bawah. Aku tidak mau merayu meminta mereka pinda
Aku seperti bermimpi bisa bicara lagi dengan Luna. Sudah lama sekali tidak pernah WA apalagi telepon. Hanya sesekali saja aku mengomentari jika ia update status di akun media sosial instagramnya. Itu pun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia posting. Terlihat ia sangat sibuk dan aktif sehari-harinya dan setahuku, ia tidak pernah posting foto lelaki yang sedang dekatnya. Jika pun ada foto lelaki, aku rasa itu temannya karena fotonya beramai-ramai. "Dhuha, kamu mau bengong sampai kapan?" teguran dari mamaku membuatku tersentak. "Eh, nggak bengong, Ma. Cuma lagi mikirin mungkin akan ajak Aini pindah ke rumah Dhuha," jawabku salah tingkah. Mama membuang wajahnya dan terlihat jengah dengan kehadiran Aini dan juga dua anaknya. "Lekas kalian makan, lalu bawa saja mereka ke rumah kamu. Maaf, Mama masih merasa kalian bukan seperti pasangan lainnya. Ini terlalu aneh! Seperti tidak ada wanita lain saja di luaran sana. Kenapa harus.... ""Ma, ada anak-anak!" Potongku cepat. Aini sudah menu
"Kamu gak papa, Mas? Kayaknya gak senang ketemu aku?" tanya Luna dengan wajah cemberut. "Gak papa. Aku cuma kaget aja kamu tiba-tiba ada di kantorku. Dari mana kamu tahu? Oh, iya, aku buru-buru banget, ada meeting dan aku udah telat satu jam. Kamu tunggu di sini saja kalau gak bosan. Atau kamu bisa main ke mana dulu, nanti baru balik lagi sore. Aku beneran repot banget hari ini. Oke, Luna!" aku langsung berjalan cepat meninggalkan Luna yang tak sempat menjawab ucapanku. Jujur aku kaget dan senang, hanya saja timing-nya tidak pas. Aku benar-benar ditunggu untuk briefing. Jika aku terlambat lebih parah dari kemarin, bisa-bisa Om Aldo malah melaporkanku pada opa. Meeting baru selesai malam hari. Aku mendapatkan pesan WA Luna yang mengisyaratkan bahwa wanita itu sedikit kecewa karena aku abaikan. Tentu saja aku langsung membalas pesan itu dengan mengatakan bahwa besok malam, aku yang akan mengunjunginya. "Balik, Pak," sapa Erwin ; staf keuangan perusahaan yang kebetulan satu lift deng
"Maaf, Mas, saya sudah lancang menggunakan alat masaknya. S-soalnya saya beneran mau ngebantu bikin sarapan. Ini---" aku begitu senang melihat ada nasi goreng di atas meja, lengkap dengan telur mata sapi. Semalam aku memesan belanjaan dapur secara online dan aku memesan telur juga. "Wah, gak papa, Mbak. Bagus malah. Pantesan wangi banget aromanya sampai kamarku." "Syukurlah." Aku menarik kursi makan, sedangkan Mbak Aini menuangkan teh ke dalam gelasku. "Pagi ini kita belanja pakaian anak-anak, setelah kita dari rumah sakit. Opa ingin ketemu Mbak lagi." Wanita itu terdiam sejenak. "Saya agak khawatir. Takut kalau... ""Jangan khawatir, lebih galak aku daripada opa. Seperti yang pernah aku ajarkan, jangan bicara apapun saat ditanya, biar aku yang jawab nanti." "Baik, Mas, saya paham!""Anak-anak mana?" tanyaku saat tak melihat Intan maupun Izzam. Suaranya pun tidak kedengeran. "Masih tidur, Mas." "Oh, ya sudah, jangan dibangunkan. Kita sarapan saja dulu." Ia mengangguk, lalu meng
Anak-anak terlihat happy, terutama Izzam. Kalau Intan karena masih terlalu kecil, sehingga belum keliatan antusiasnya. Hanya saja, bayi kecil sebelas bulan itu terus tersenyum sambil tepuk tangan. Jelas sekali kalau mereka belum pernah diajak ngemall. "Seriusan gak pernah masuk mall?" tanyaku pada Aini. Wanita itu menggeleng. "Pernah dulu sekali. Udah lupa juga dan mall nya gak sebesar ini," jawab Aini yang langkahnya masih tertinggal di belakangku. Wanita itu pasti tidak percaya diri karena penampilannya. Meski sudah memakai baju yang sempat tempo hari kami beli, ia tetap tidak percaya diri berjalan santai di dalam mall yang isinya kaum menengah ke atas. "Oh, gitu, pantesan Izzam keliatan senang dan agak norak he he he.... ""Jangankan ke mall, Mas, bisa mendapatkan botol plastik bekas, wadah air mineral gelas bekas untuk ditukar dengan yang saja rasanya udah bersyukur. Paling gak anak-anak gak sampe kelaparan." Aku mengangguk penuh simpati. Hidup yang dijalani mbak Aini pasti sa
Aku tiba di rumah jam sebelas malam. Terlalu asik bercakap-cakap dengan orang tua Luna, membuatku lupa waktu. Sudah lama memang kami tak bertemu. Terakhir saat aku dan papanya tidak sengaja bertemu di acara pernikahan salah satu guru SMA kami. Tumben, lampu depan masih menyala, tapi rumah sepi. Aku membuka pintu dengan mudah karena tidak terkunci. "Assalamu'alaikum, Mbak Aini," panggilku. Namun, tak ada sahutan. Aku mengunci pintu kembali, kemudian memadamkan lampu ruang tamu. Aku terkejut saat melewati ruang makan dan melihat mbak Aini tengah tertidur. Ada aneka makanan terhidang di atas meja. Ya, ampun, aku lupa! Lupa kalau tadi pagi, aku minta mbak Aini untuk memasak. "Mbak, bangun!" Panggilku sambil menyentuh pundaknya dengan jari telunjuk. Wanita itu tersentak. "Eh, ya, ampun, saya ketiduran. Maaf, Mas. Mau makan ya, saya ---""Mbak, saya udah makan tadi. Maaf saya gak ngabarin Mbak Aini." Aku menahan tangan wanita itu saat hendak beranjak dari kursinya. "Oh, udah makan. Te
PoV Aini"Tadi malam ada apa, Ai? Kamu pulang diantar siapa?" tanya bu Santi; ibu dari Eko. Tetangga yang sama-sama memulung barang bekas plastik. "Oh, itu, mm... orang itu gak sengaja menyerempet saya di jalan, Bu, tapi tanggung jawab. Makanya saya diantar sampai atas. Oh, iya, Bu. Ini saya bayar utang beli beras kemarin." Aku menyerahkan uang seratus ribu dari dalam saku dasterku yang sudah lusuh. "Masih licin banget lembaran merahnya. Apa ini dari lelaki semalam?" tanya bu Santi penasaran. Aku pun mengangguk. Memang dari mas Dhuha. Mahar yang dia berikan untukku. "Uang ganti rugi?" aku tersenyum. Bu Santi benar-benar penasaran. "Ya sudah, saya terima. Tapi kamu gak papa, gak luka'kan?""Nggak, Bu, udah saya kasih minyak. Nanti juga sembuh. Saya mau keliling dulu. Mumpung Intan masih tidur.""Ya sudah sana jalan. Biar saya yang temenin Intan sama Izzam! Makannya udah kamu siapin kan?" aku mengangguk. Sudah masak semur telur dan tahu tadi dengan bumbu seadanya dan peralatan dapur
"Jadi nama kamu Aini?" tanya seorang wanita yang dipanggil mama oleh mas Dhuha. Itu berarti ini ibu mertuaku. Tatapannya tak bersahabat. Jelas saja, anaknya yang tampan dan kaya menikahi janda anak dua. "Iya, Bu. Eh, Ma," jawabku terbata. "Siapa suruh kamu panggil Saya mama? Saya belum menerima kamu jadi menantu di rumah ini!" Aku menelan ludah. Tenang Aini, kata suamimu, kamu hanya perlu jawab seperlunya saja. "Baik, Bu." "Suami kamu ke mana? Meninggal atau kabur?" "Suami saya.... ""Ibu, Intan nangis!" Seru Izzam dari dalam kamar. "Bu, maaf, saya ke kamar dulu." Aku pun bergegas berlari masuk ke kamar. Untunglah Intan menangis dengan suara kencang, sehingga alasannya tepat sekali aku untuk meninggalkan sejenak ibu mertuaku. Aku terkejut saat beliau tiba di rumah karena mas Dhuha tidak pesan apapun perihal kedatangan ibunya. Bisa jadi memang beliau ingin tiba-tiba saja berkunjung untuk mencari informasi tentangku dan anak-anakku."Ibu, itu nenek kan?" tanya Izzam yang duduk di
Pagi pertama setelah pernikahan, Aini bangun dengan mata yang masih sembab akibat tangis semalam. Kamar itu terasa sunyi, dan ia mendapati tempat tidur di sampingnya kosong. Erwin sudah bangun lebih dulu, atau mungkin ia memang tak pernah tidur di sana.Aini menatap cermin di depan meja rias. Wajahnya tampak lelah, namun ia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, hidupnya kini sudah berubah, meski tak sesuai dengan harapannya.Di ruang makan, Nara sudah menunggu dengan senyum hangat. Wanita tua itu tampak lebih bersemangat daripada biasanya, mungkin karena merasa salah satu keinginannya telah terpenuhi."Aini, bagaimana malam pertamamu?" tanya Nara dengan nada bercanda, membuat Aini tersipu."Baik, Bu," jawab Aini sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan luka di hatinya. Tidak ada apapun yang terjadi semalam. Jangankan menyentuh, melihat dirinya saja, Erwin enggan. Tak lama kemudian, Erwin muncul dari arah pintu belakang. Ia mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku, rambutn
Flash backPanti Asuhan Cahaya Kasih berdiri di tengah-tengah sebuah desa kecil yang asri. Bangunannya sederhana, dengan dinding kayu yang dicat putih dan halaman luas yang selalu dipenuhi tawa riang anak-anak. Hari itu, aroma kue yang baru dipanggang menguar dari dapur, menambah kehangatan suasana. Hujan rintik-rintik yang membasahi rumput di halaman panti, beraroma khas yang sangat menenangkan. Kue di dalam oven pun sebentar lagi akan siap disantap. "Kak Aini, ini adonannya udah bener, belum?" tanya Nia, seorang bocah berusia delapan tahun sambil mengangkat mangkuk adonan ke arah Aini.Aini tersenyum lembut, memperhatikan adonan cokelat yang agak berantakan itu. "Hmm, bagus, tapi coba tambah sedikit gula bubuk, ya. Supaya manisnya pas."Nia mengangguk semangat, lalu kembali ke meja kerjanya bersama anak-anak lainnya. "Pastikan kamu gak salah mengatur waktu bakaran kuenya Isna!""Baik, Teh Aini." "Jika sudah selesai, jangan langsung dimasukan dalam toples. Biarkan dingin dengan s
Setelah melalui pencarian panjang, akhirnya Aini mendapatkan informasi yang selama ini ia cari. Alamat sekolah baru Intan dan Izzam kini ada di tangannya, dan sebuah fakta mengejutkan terungkap—anak-anaknya kini tinggal di Jakarta, bukan lagi di Bandung."Kamu yakin tidak salah kan, Fahmi? Anak-anakku ada di Jakarta?""Iya, betul, mereka semua pindah ke Jakarta."“Kenapa Alex memutuskan membawa mereka sejauh ini?” gumam Aini saat membaca kembali alamat itu. Hatinya campur aduk antara lega dan gelisah.Pagi itu juga, Aini bersiap untuk perjalanan ke Jakarta. Ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi rapi, dan memasukkan dokumen penting ke dalam tas kecilnya. Saat ia selesai bersiap, Dhuha muncul di ruang tamu dengan wajah penuh penyesalan.“Aini,” panggil Dhuha lembut. “Aku minta maaf banget, tapi aku nggak bisa nganter kamu hari ini. Ada rapat penting di kantor yang nggak bisa aku tinggalin.”Aini tersenyum tipis, meskipun hatinya sedikit kecewa. “Nggak apa-apa, Dhuha. Aku bisa pergi se
Malam itu, setelah tangisannya reda, Aini duduk termenung di balkon apartemen. Dhuha sudah memintanya untuk beristirahat, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Intan dan Izzam. Ia memandangi layar ponselnya, mencoba menghubungi kembali nomor telepon dari papan rumah dijual, tetapi hasilnya tetap sama—tidak aktif.Pagi harinya, Aini memutuskan untuk melanjutkan pencariannya. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengunjungi tempat-tempat yang mungkin bisa memberinya petunjuk tentang keberadaan anak-anaknya. Satu hal yang sangat ia sayangkan, bahwa ia tidak tahu kantor Alex dimana. Nomor telepon bu Asma pun tidak bisa ia hubungi. Semakin sedih dan kecewa saja Aini karena benar-benar dipisahkan dengan anak-anak yang sudah ia anggap anaknya sendiri. Namun, di sisi lain kota, berita tentang kedatangannya ke sekolah mulai sampai ke telinga seseorang yang tak ia duga—Alex.Di sebuah kantor kecil yang berlokasi di kawasan bisnis Jakarta, Alex tengah sibuk dengan pekerjaannya ketika seor
Satu bulan telah berlalu sejak Aini memutuskan untuk menjauh sementara dari segala hiruk-pikuk hidupnya yang penuh konflik. Namun, kerinduan akan kedua anaknya, Intan dan Izzam, menjadi beban yang tak bisa ia abaikan. Setelah berhari-hari berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini semua demi kebaikan bersama, akhirnya ia memberanikan diri kembali mengunjungi sekolah anak-anaknya, berharap bisa melihat wajah mereka meskipun dari kejauhan."Kamu gak mau aku temani?" tanya Dhuha saat Aini menemaninya sarapan. "Nggak, Dhu. Aku bisa naik taksi online. Kamu fokus kerja ya. Aku cuma main ke sekolah anak-anak aja hari ini. Udah sebulan, aku udah kangen. Semoga aja Alex udah gak marah lagi." Aini meyakinkan Dhuha. Pria itu pun tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Aku ijinnya saat kamu sidang terakhir saja. Lusa kan?" Aini mengangguk. "Makasih ya, Dhuha, aku udah benar-benar ngerepotin kamu.""Gak repot, Mbak Sayang. Aku beneran ikhlas. Udah, ah, pagi-pagi jangan melow. Ayo, habiskan sarapannya."Pa
Malam itu, suasana rumah keluarga Budi cukup tenang. Viona sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sementara Budi duduk di ruang tamu, membaca artikel tentang dipecatnya pelatih sepak bola Indonesia Sin Tae Hyong. "Kenapa harus dipecat ya, Ma?" kata Budi bergumam. "Mungkin memang sudah waktunya pensiun pelatih dari Korea itu, Pa. Papa ini, sejak kemarin, yang dibaca itu terus. Masih ada berita lain, Pa. Papa tahu gak, kalau Lolly anak Nikita Keren, bertengkar lagi dengan ibunya.""Itu berita gosip yang Mama sukai, jelas beda sama lelaki." Viona mencebik. "Maria tadi telepon, dia curhat kalau Dhuha kembali membangkang dan memilih Aini." Budi menaruh ponselnya. "Bagus, sejak awal, Aini itu memang anak baik. Statusnya memang pernah menikah, tapi ternyata masih gadis. Heran, Papa, kenapa Maria tetap tidak setuju?""Karena Aini tadinya pemulung, Pa. Jadi Maria gak mau. Malu katanya.""Ah, sudahlah, gak usah pikirin anak orang, anak kita aja susah diatur dua-duanya. Kayak gak ada
Malam terasa dingin ketika Amel memutuskan untuk meninggalkan rumah Anton. Ia berjalan cepat ke mobilnya, tanpa menoleh ke belakang. Emosi yang bercampur aduk membuat tangannya gemetar saat membuka pintu mobil. Ketika akhirnya duduk di kursi pengemudi, air mata yang sejak tadi ia tahan mengalir deras."Aku bodoh," gumamnya pelan. "Kenapa aku percaya dia? Jelas-jelas mereka akan kembali rujuk!"Amel menatap kosong ke arah dashboard. Bayangan Anton yang memapah Luna masuk ke rumah tadi terus membayangi pikirannya. Meski ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Anton mencintainya, pemandangan itu terlalu menyakitkan.Butuh beberapa menit sebelum Amel akhirnya memutuskan langkah selanjutnya. Ia menyalakan mesin mobil, mengarahkan kendaraannya ke rumah orang tuanya. Selama perjalanan, pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. Apakah ia salah memilih Anton? Apakah semua pengorbanannya sia-sia? Ia sudah terlalu baik untuk duda beranak satu itu. Bahkan disaat pria itu amnesia. Ket
Hakim menyandarkan tubuhnya di kursi ruang keluarga dengan raut wajah lelah. Di hadapannya, Viona duduk sambil memainkan ujung kerudungnya, gelisah. Budi, ayahnya, diam di sudut ruangan, memandang ke luar jendela dengan ekspresi tegang. Suasana ruangan dipenuhi kecemasan yang belum terungkap sepenuhnya."Hakim," suara Viona akhirnya memecah keheningan, terdengar pelan namun penuh tekanan. "Kamu sudah dengar kan tentang Amel dan Anton?"Hakim mengangguk perlahan. "Iya, Ma. Amel sudah cerita. Tapi aku pikir ini cuma hubungan biasa, enggak sampai serius." Padahal ia tahu kalau adiknya serius. Viona mendesah panjang, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Hakim, ini bukan sekadar hubungan biasa. Amel sudah tinggal di rumah Anton. Kamu tahu itu? Dia tinggal di rumah pria yang masih dalam proses cerai, Hakim!"Hakim tidak terlalu terkejut. Ia sudah tahu hal itu dan pernah menasihati Amel perihal ini, tapi adiknya tetap saja keras kepala. "Iya, Ma, Hakim sudah pernah bilang kalau itu gak b
Sore hari, sepulang dari mengunjungi beberapa sekolah di pagi harinya, Alex langsung menuju kamar Intan. Ia menemukan gadis kecil itu sedang asyik menggambar di atas meja kecilnya. Intan tampak fokus, menggambar sesuatu dengan pensil warna.“Cantik Papa,” panggil Alex lembut, lalu duduk di kursi di samping putrinya.Intan menoleh, wajahnya cerah. “Iya, Pa? Lihat, ini gambar Intan sama Ibu,” katanya sambil menunjukkan hasil gambarnya. Di atas kertas putih itu, ada dua orang digambar dengan sederhana. Seorang wanita dengan rambut panjang sedang memegang tangan seorang anak kecil. Itu jelas Aini dan Intan.Alex terdiam sejenak, menatap gambar itu dengan perasaan campur aduk. “Gambarmu bagus sekali, Cantik,” ujarnya, berusaha tersenyum. “Tapi Papa mau ngomong sesuatu sama Intan.”Intan hanya menatap Alex dengan wajah bingung. Alex menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Papa mau pindahkan Intan dan Kak Izzam ke sekolah yang baru. Sekolahnya lebih bagus, lebih besar, dan Intan pasti suk