Share

5. Malam Pertama

Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B.

"Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana.

"Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya.

"Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal.

"Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup."

"Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua.

"Kamu di sini dulu, Aini. Jangan keluar ke mana-mana. Kalau mau ke kamar mandi, ada di ujung sana!" Aku menunjuk pintu yang ada di sebelah kanan dari posisi ranjang.

"Mas, maaf ya, k-karena saya jadi Mas nya kena masalah."

"Udah terlambat. Nasi udah jadi bubur!" Aku bergegas keluar dari kamar dan langsung menuju kamar mama.

Tok! Tok!

"Ma, ini Dhuha."

"Masuk." Aku menelan ludah dan siap mendapatkan karma atas apa yang sudah aku lakukan semalam. Mama rupanya baru selesai mandi dan tengah menggunakan spray di wajahnya.

"Sekarang jelaskan, bagaimana bisa kamu menikahi janda anak dua? Kamu gak pernah cerita apapun tentang wanita itu sama Mama. Apa kamu gak perlu ridho Mama untuk menjalani rumah tangga? Anak dua? Mama gak masalah kamu menikahi wanita biasa, tapi bukan janda. Bukan pula ditambah paket hemat dengan punya anak dua. Apa kata teman-teman dan sodara nanti? Relasi bisnis opa, papa kamu juga pasti menyayangkan keputusan kamu ini, Dhuha!"

"Sebutkan hal istimewa apa yang bikin kamu menikahi wanita itu?" baru saja akan menjelaskan, mama sudah kembali menyela.

"Dia sekolah di mana? Dia rumahnya di mana? Siapa orang tuanya? Ceritakan semua sama Mama!"

"Ma, maafkan Dhuha, tapi Dhuha gak bisa cerita sekarang. Nanti Dhuha pasti cerita. Intinya Dhuha sudah punya istri dan dua anak sambung. Mama tolong memahami kondisi Dhuha." Suaraku yang memelas, malah membuat mama berlinang air mata.

"Luna, Niken, dan satu lagi pacar kamu itu, kenapa gak seperti mereka yang kamu nikahi? Atau paling nggak, jangan begitu jauh bedanya. Mama lahirkan kamu, merawat, sekolahin, dan mengurus semua keperluan dan kebutuhan kamu, tapi kamu malah nikah sama wanita gak jelas! Mama kecewa sama kamu! Jadi jangan harap Mama bisa menerima istri kamu begitu saja!" Mama mengusirku keluar kamar. Dengan langkah gontai, aku berjalan kembali ke kamarku.

Namun, aku begitu terkejut saat melihat Aini dan dua anaknya malah tidur di lantai. Ya, mereka bertiga tidur di lantai beralaskan karpet.

"Aini, bangun! Kenapa tidur di sini?" tanyaku setengah berbisik. Wanita itu begitu lelap. Ia tidak bergerak sama sekali. Hanya suara embusan napasnya yang terdengar begitu teratur.

Tidak ingin mengganggu mereka yang sudah tidur, maka aku pun memutuskan mandi. Setelah mandi, aku menyelimuti ketiganya, sedangkan aku kembali tidur di ranjangku. Sepertinya aku harus menambahkan kasur lagi di kamar untuk Izzam dan adiknya.

Suara berisik membuat mataku terbuka. Rupanya adik Izzam yang merengek dan sedang digendong oleh Aini.

"Ada apa?" aku menoleh ke arah jam dinding. Masih jam tiga pagi, tapi tidurku sudah diganggu.

"Intan lapar sepertinya, Mas. Waktu kita makan tadi siang, Intan tidur." Aku pun langsung bangun duduk.

"Oh, iya, belum makan ya."

"Saya gak berani keluar kamar karena kata Mas jangan ke mana-mana," katanya lagi sambil menimang Intan yang terus saja merengek.

"Ayo, kita ke bawah." Aku mengantar Aini turun ke dapur. Ada bubur instan yang biasa aku panaskan menggunakan microwave.

"Air putih ambil di dispenser itu!"

"Mm.. caranya, Mas? Maaf, saya gak pernah punya dispenser." Aku menghela napas dan segera mengambilkan segelas air putih hangat. Intan sudah lebih tenang sekarang karena ia tengah mengunyah pisang.

"Ini dapur, kamu gak boleh ke sini sembarangan. Gak perlu kerjakan pekerjaan rumah ini jika tidak diminta mamaku. Paham!" Aini mengangguk. Penurut sekali wanita ini, batinku.

"Mas tidur lagi saja. Maaf saya dan Intan sudah ganggu," katanya tidak enak hati. Aku meletakkan kembali kepala ini di atas bantal empuk.

"Kalian kenapa tidur di bawah? Emang gak masuk angin?"

"Nggak, Mas, emang biasa begini. Makasih ya, kamar ini nyaman sekali. Lagian mamti seprei Mas bau dan kotor karena pakaian anak-anak."

"Oh, gitu, padahal kalau kotor dan bau, nanti juga ada bibi yang cuci. Coba kamu ke sini, Mbak!" Aku menepuk kasur di sampingku. Wajahnya mendadak kaku. Apa dia takut aku kenapa-napain dia? Ya ampun, seperti anak perawan saja!

"Sini!" akhirnya ia menurut. Berjalan bagaikan siput sambil menggendong Intan yang sepertinya sudah kembali mengantuk.

"Ini malam pertama kita sebagai suami istri dan saya rasa, ada yang harus kita berdua lakukan."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status