Share

3. Acie... Dhuha

"Lu kenapa gak belain gue tadi?" tanyaku kesal pada Hakim yang sejak kami keluar dari kamar perawatan opa, terus saja tertawa cekikan.

"Gue gak mau kena omel opa. Mana berani gue ikut campur." Aku menghela napas kesal mendengar alasannya.

"Gue aja berasa kayak mimpi kalau lu udah nikah beneran."

"Itu bukan nikah beneran namanya. Buset, gue gak tahu kayak apa nanti opa, mama, dan yang lainnya kalau tahu wanita itu gelandangan dan janda! Anaknya dua pula. Duh, nasibku.... " Hakim menyalakan mesin mobil.

"Pikirkan nanti saja yang penting sekarang, kita jemput dulu istri lu ha ha ha.... " aku meninju lengan Hakim yang sudah siap memutar stir. Sepanjang jalan, aku gak tahu mau bicara apa karena aku pun bingung. Alasan apa nanti yang aku ucapkan pada mama, opa, dan yang lainnya. Keluargaku adalah keluarga terpandang. Bahkan opa sudah menyiapkan simpanan warisan yang bisa digunakan sampai anak dan cucu tujuh turunan. Asalkan, semua anak cucunya bisa mengelola usaha dengan baik.

"Bilang aja kalau mbak Aini itu istri temen lu. Terus lu yang gantiin suaminya untuk nikahin dia. Opa kan agak-agak religius. Kalau alasannya menikahi janda yang ditinggal meninggal suami dan lu ngurusin anak yatim, gue yakin opa sih akan memaklumi keputusan lu."

"Opa itu kayaknya temenan deket banget sama Malaikat lo tahu gak, sampe temen-temen gue aja dia tahu. Kalau gue bilang cewek itu janda temen gue, nanti opa cari tahu siapa nama temen gue itu dan bener apa nggak. Udahlah, gue mau kasih alasan kalau gue cinta sama mbak Aini. Gitu aja. Jatuh cinta pada pandangan pertama di kamar mandi masjid ha ha ha ha.... "

"Jauh juga ya. Gue baru sadar."

"Jauh dan macet. Cuma kalau siang begini, bisa gak parkir mobil di flyover. Kayaknya gak bisa," kataku pada Hakim.

"Kita parkir di ruko-ruko itu aja deh!" Hakim pun menepikan mobil di parkiran ruko kosong. Kami. Harus berjalan kurang lebih tiga ratus meter karena memang gak mungkin mobil berhenti di flyover gitu.

"Lo yakin di sini?" tanyaku pada Hakim saat menyusuri bawah flyover. Aku sampai harus memencet hidung dengan tanganku karena aromanya sangat busuk. Perutku mual dan berada ingin muntah.

"Kuat banget bini lu tinggal di sini," komentar Hakim sambil terus menuntun langkah kami menuju tempat tinggal mbak Aini yang berada di bawah kolong flyover.

"Itu kali ya!" Aku menunjuk gubuk yang terbuat dari bambu dan juga terpal. Sungguh memprihatinkan. Kasihan sekali.

"Permisi, mbak Aini! Permisi!" Bukannya mbak Aini yang keluar, tetapi anak kecil mungkin berusia empat tahun. Rumahnya seperti bilik dari kardus, terpal, serta beberapa buah bambu panjang.

"Halo, adek, ibunya ada?"

"Om siapa?" tanyanya tanpa berkedip.

"Saya Om Dhuha. Ini Om Hakim."

"Bukan, ini ayah Dhuha dan saya Om Hakim." Hakim menginterupsi. Aku menoleh dengan kesal. Bisa-bisanya ambil kesempatan dalam keadaan terdesak seperti ini.

"Ayah?" anak kecil itu menggaruk kepalanya.

"Ayah aku udah pergi."

"Ya udah, gak papa. Ibunya ada, Dek? Ibu Aini."

Anak kecil itu menggelengkan kepala.

"Ibu kerja mulung. Tapi nanti pulang bawain makan aku dan adek Intan."

"Lu mau nunggu di sini apa di mobil?" tanya Hakim.

"Di mobil aja. Gue rasanya begitu dekat dengan maut kalau tetap di sini lebih dari lima belas menit."

"Ya udah, Om nanti balik lagi. Bilang sama ibu ya. Suaminya yang baru lagi nunggu di ruko depan indongaret." Anak kecil itu mengangguk, lalu bergegas masuk karena mendengar suara tangisan adiknya. Kami pun kembali menunggu di mobil.

"Jangan lama-lama. Opa udah gak sabar mau lihat istri kamu. Ish, Mama tadi harusnya ikut."

Aku membaca pesan dari mama dengan hati nelangsa. Wanita yang melahirkanku itu pasti sangat kecewa karena aku menikah dengan gelandangan.

Tok! Tok!

Aku dan Hakim terlonjak kaget saat kaca mobil diketuk oleh seseorang. Ya, wanita itu ternyata yang ada di luar sana. Aku segera membuka pintu mobil.

"Masnya nyari saya? Mas yang semalam kan? S-suami saya," tanyanya dengan gugup. Aku menelan ludah melihat penampilan dan aromanya yang sangat tak sedap. Wajahnya belepotan dan kotor lah pokoknya.

"Saya mau jelasin di sini agak ribet. Kita pergi ke tempat lain. Ada yang mau saya katakan. Bawa aja anak-anaknya. Kasihan kalau ditinggal."

"Ada apa, Mas?" tanyanya bingung.

"Udah, ikut aja! Cepat!"

"Oh, i-iya, saya jemput anak-anak dulu." Wanita itu berlari meninggalkan aku dan Hakim. Aku membuka bagasi mobil lalu mengeluarkan sarung jok terbuat dari bahan waterproof. Aku gak mau nanti, jok mobil mewahku bau dan kotor.

"Segitunya ampe dialasin!"

"Dari pada gue pingsan kebauan dan mobil gue bau dan kotor, mending gue alasin. Udah, lu jangan komen mulu, Kim. Pikirin nasib gue dong nih!" Hakim terbahak. Aku terus menggerutu sampai akhirnya wanita itu menyusul dengan dua buah hatinya.

"Naik di belakang!" Kataku tegas.

"I-iya, Mas." Aini dan putra-putrinya masuk ke dalam mobilku. Sudah bisa aku tebak, aromanya bikin aku mau muntah.

"Kim, kita mampir ke mall yang deket sini aja. Beli pakaian untuk mereka."

"Oh, oke, Bos."

"Ibu, kita mau ke mana? Naik mobil seru ya, Bu. Makasih ayah." aku sontak menoleh kebelakang.

"Acie... ayah Dhuha!" Hakim tertawa terpingkal-pingkal.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cut Zanah
sedihh......... ya lucu juga ............ keren thor ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status