Aku baru saja beranjak sembuh dari sakitku, sudah hampir seminggu lebih aku terbaring diatas tempat tidur. Namaku Bimo, Ade Bimo Wijil. Menurut diagnosis dokter, ginjal sebelah kiriku gagal berfungsi dan harus segera di operasi. Tetapi karena kondisi keuangan keluargaku yang tak memungkinkan, aku hanya bisa beristirahat dirumah saja.
Keluarga kami bangkrut setelah bisnis ayahku mengalami kemunduran, juga karena hampir semua harta ayahku habis ditipu rekan kerjanya. Yang tersisa hanyalah sebuah rumah tua, rumah yang sudah kami tinggali selama hampir dua puluh tahun lebih juga berserta isinya, hanya itu, yang lainnya sudah dibagikan kepada bank-bank dimana ayahku berhutang.
Aku sendiri, terpaksa harus mengakhiri kuliahku dengan tanpa selembar pengesahan oleh fakultas ekonomi dari universitas dimana aku berkuliah. Sudah setahun lamanya semenjak kejadian itu, keadaan keluargaku makin terpuruk saja, ketiga kakakku yang lain masih tidak menyadari apa yang terjadi, yang mereka tahu hanyalah ayahku telah membuat kesalahan besar hingga menyeret keluarga kami kedalam lubang hitam yang tak berdasar ini. Beruntungnya mereka, karena mereka sempat menyelesaikan studinya dengan baik tanpa halangan sedikitpun.
Di sore hari bulan Maret itu, aku duduk di sebuah bangunan kecil atau biasa disebut gazebo, yang terdapat di pekarangan rumah. Memperhatikan hijaunya dedaunan dan rimbunnya pepohonan yang ada disana. Mengingatkan aku pada ibuku yang gemar bercocok tanam, ia adalah sosok wanita paling lembut yang pernah kutemui, nada bicara dan sikapnya yang penuh dengan kelembutan, lebih cocok disebut sebagai dewi daripada seorang manusia biasa.
Malang, ia harus mengalami semua ini, tetapi ia melalui semua dengan tegar, dan tentu saja dengan segenap kelembutannya, seakan tak pernah ada hantaman besar dalam hidupnya, yang sebenarnya menghantam sangat keras. Terlihat jelas sekali di raut wajahnya menyimpan beban yang sangat berat, bahkan mungkin terlalu sangat berat untuk orang selembut ibuku, aku mengira ia takkan sanggup mengalami semua ini. Nyatanya, ia jauh lebih tabah dari kami semua, ia pandai menyimpan masalahnya rapat-rapat, ia tak ingin menunjukkan betapa hancur hatinya, yang aku tahu pasti, tak akan kuat ia pikul beban seberat ini sendirian.
Sudah setahun belakangan, aku menjadikan apa yang keluarga kami sebut sebagai ‘Bilik Kepenatan’ ini sebagai tempat favorit ku dirumah. Aku banyak menghabiskan waktuku disini, melamun, merenung, bahkan menghayal. Hanya inilah yang tersisa dalam hidupku, karena teman, bahkan sahabat-sahabatku satu persatu mundur dan perlahan menghilang dari kehidupanku, seakan aku ini mengidap suatu penyakit yang sangat akut dan menular.
Tetapi akhirnya aku mendapat suatu makna dari semua ini, bahwa tidak ada sesuatu yang kekal dan abadi. Bahkan arti kata persahabatan, belum tentu mereka mau mengalami apa yang kita alami. Bagiku tak ada itu yang namanya sahabat sejati, yang mau menemani kita dalam kondisi apapun, dalam susah maupun senang. Mereka sudah kukenal sejak aku lulus dari Sekolah Menengah Pertama, sekitar lima tahun lalu, awalnya mereka bersimpati atas apa yang terjadi padaku, lalu satu persatu merekapun mulai meninggalkanku. Disaat aku sangat membutuhkan mereka, sekedar hanya untuk mengisi kekosongan hatiku, dan sedikit menghibur hatiku.
Sering aku berpikir, apa salahku hingga aku terkena kutukan ini. Dan rasanya aku tak pernah melakukan sesuatu yang melukai perasaan orang lain, bahkan bila salah seorang sahabatku mengalami kesusahan, aku selalu berusaha untuk datang dan membantu, tak pernah aku mempertanyakan keuntungan, atau apa yang bisa aku dapat dari membantu teman. Sumpah tak pernah sekalipun dalam hidupku aku berpikir demikian. Aku tulus membantu, semua kulakukan demi teman demi sahabat karena kalau menurutku itulah gunanya sahabat atau teman.
Maaf bukannya egois, tapi menurutku arti persahabatan adalah dimana kita saling membutuhkan satu sama lain kita selalu siap membantu atau sekedar hadir disisi yang membutuhkan bukan? Tapi apa yang kualami sungguhlah berbeda, saat mereka membutuhkan aku saat itu juga aku harus bergegas datang, bahkan aku terkadang harus memilih antara sahabat atau kekasihku, sungguh suatu posisi yang sulit jika kita sedang berada diantara dua pilihan itu bukan? Tapi dengan naif aku selalu memilih pilihan pertama, sahabatku. Tak jarang hal itu memicu pertengkaran dengan kekasihku, kita harus berkorban bukan?
Dan apakah pengorbanan ku ada hasilnya? Jawabannya adalah nol besar, tidak sama sekali. Buktinya kemana mereka sekarang? Aku bukannya tak mencoba menghubungi mereka, tetapi ada saja alasannya, entah sibuk kuliah, skripsi, atau bahkan teleponku tak diangkat sama sekali. Kalau sudah begini menurut kalian siapakah yang paling dirugikan? Tentu saja aku pihak yang paling rugi.
Terkadang aku merasa nasibku sama seperti kondom, akuilah sebagian dari pria dewasa yang melajang dan menganut gaya hidup modern, di dalam dompetnya atau dilaci mobilnya pasti terselip satu, dua atau bahkan selusin alat kontrasepsi untuk pria itu.
Katanya sih untuk sekedar berjaga-jaga, apa bila ada keadaan darurat yang mendesak, tak perlu repot-repot lagi untuk berhenti di apotik atau mini market untuk membelinya. Dan jika sudah dipakai tak mungkin lagi untuk digunakan untuk yang kedua kalinya maka harus dibuang. Buat apa menyimpan hal yang tak berguna lagi menjijikan. Padahal bila saat mereka membutuhkan ‘barang’ itu dan sadar bahwa stock nya habis maka kita seperti kebakaran jenggot, lari terbirit-birit ke apotik terdekat
Sama halnya seperti aku, setelah puas menumpahkan masalahnya padaku, atau sekedar curhat masalah wanita, atau mungkin hanya sedang kesal dengan seseorang. Maka selesai sudah tugasku. Bedanya aku ini bukan kondom sekali pakai, ibaratnya aku dapat digunakan berkali-kali, selama belum rusak, mungkin hanya direndam air panas agar steril kembali lalu disimpan untuk digunakan di lain kesempatan.
Bahkan kekasihku, Aprilia Dita, gadis berdarah italia - jawa itu. Walaupun ia sesekali datang menemuiku, sekedar memberi dukungan dan semangat. Aku sebenarnya tahu apa yang sedang terjadi pada hubungan kami, yang sudah berjalan sekitar tiga tahun lebih. Sepupuku pernah datang dan mengatakan bahwa ia memergoki Pril, panggilan akrabnya, sedang bermesraan dengan seorang lelaki di sebuah kafe di Jakarta, yang ternyata adalah salah seorang sahabatku sendiri…Ryan.
Lalu apa aku mesti cemburu, marah? Mungkin tidak, aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan Pril, itu bukan salah nya, aku tak bisa menuntut lebih darinya, ia punya hak untuk itu. Ia berhak mempunyai kehidupan yang lebih layak, ketimbang mengharapkan aku yang tak jelas dan tak tentu arah ini. Toh Pril masih sering datang untuk sekedar berbincang dan mengisi kesendirianku, atau bahkan sesekali bercinta. Aku siap bila suatu saat nanti, Pril memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, aku rela dan sudah sepantasnya, bahkan aku sangat menunggu hal itu terjadi. Rasanya sudah cukup apa yang Pril berikan untukku selama ini.
Aku tak ingin terkesan egois dan memaksakan kehendak, bila memang Pril sudah tak mencintaiku lagi apa mau dikata, ia bebas memilih. Lagi pula aku sendiri merasa aku sudah tak pantas untuknya, saat ini aku lebih memikirkan diriku sendiri, aku terlalu dalam tenggelam dalam masalahku, sehingga aku tak terlalu memperdulikan Pril.
Aku selalu menuntut agar ia harus selalu ada untukku, sedangkan aku sendiri tak bisa berperan sebagai kekasih yang baik, aku terlalu egois dan ingin menang sendiri. Dalam hal ini Pril lah korbannya, maka wajar bila ia meninggalkanku, tapi yang pasti aku ingin Pril bahagia. Jika satu-satunya jalan adalah putus denganku, aku rela, amat sangat rela.
Mungkin bagi kalian, pria-pria diluar sana, aku ini terkesan lemah, tak berdaya atau mungkin bodoh. Mana ada, orang yang dikhianati bisa dengan lapang dada menerima begitu saja diperlakukan seperti itu. Tetapi mari kita telaah sedikit tentang masalah ini.
Pertama, kita harus sadar apakah yang kita lakukan sudah cukup, dalam hal ini tentang hubungan anda dengan sang kekasih, apakah selama anda berhubungan, anda sudah memberikan yang terbaik untuk kekasih anda? Bila sudah, dan anda merasa cukup, maka tak ada salahnya anda memperjuangkan apa yang menjadi hak anda.
Yang kedua adalah, bagaimana bila yang terjadi adalah sebaliknya, selama ini anda hanya banyak meminta tetapi hanya sedikit memberi, maka relakanlah. Disini, kita membutuhkan tingkat kesadaran yang sangat tinggi untuk bisa mengetahui hal ini.
Anda termasuk kriteria yang mana, pemberi atau peminta?
Kalau aku, aku adalah tipe peminta, maka wajar sudah jika dia meninggalkanku. Pril adalah manusia biasa, yang juga ingin diperhatikan, disayangi sepenuhnya, dan tak ingin hanya dijadikan pengasuh bagi diriku. Selama ini ia sudah banyak membantuku, memberi dorongan semangat, berusaha tegar dan berlaku sabar.
Sedangkan aku, aku sendiri terbuai dalam tidurku yang berkepanjangan, tak segera bangkit dan berjuang untuk diriku sendiri. Padahal aku beruntung sekali mempunyai seseorang seperti Pril, yang selama setahun belakangan ini rela membantuku melewati semuanya, dan berharap aku segera bangun, segala cara ia coba, mulai dari mencarikan pekerjaan untukku, hadir dipagi hari hanya untuk membangunkan ku, dan selalu mencoba membujukku untuk sesekali keluar dari rumah, sekedar mencari hiburan dan sejenak melupakan masalah. Satu-satunya hal terbodoh yang kulakukan, aku tak menyadari ada Pril disampingku.
Lama aku terduduk diatas kursi kayu buatan tangan ini, tak sadar hari sudah beranjak gelap dan matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Malas rasanya mengangkat tubuh dari kursi kesayanganku ini. Memang biasanya aku bisa menghabiskan waktu seharian disini, selain tempatnya yang nyaman, udaranya yang sejuk dan yang terpenting tempat ini tak dapat dilihat dari luar, karena letaknya yang jauh berada ditengah taman.Luas keseluruhan rumahku, sekitar hampir dua ribu meter persegi, cukup luas. Apalagi dipenuhi dengan tanaman bunga, buah-buahan dan juga tanaman lain milik ibuku, yang aku sendiri tak tahu apa nama-namanya, hanya ia yang dapat menghapal dan menyebutkannya satu persatu.Mungkin terdengar gila dengan apa yang aku lakukan disini, mengharap ada yang datang untuk mengisi kekosongan hidupku, bahkan aku sering berkata dalam hati “Tuhan, tolonglah hadirkan seseorang untukku, siapapun dan apapun itu, aku butuh sesuatu dalam hidupku Tuhan, tolonglah.”
Ada suara lagi, kali ini diiringi dengan munculnya sosok yang tak begitu jelas, hanya ‘SEPASANG BOLA MATA MERAH’ yang terlihat. Aku pun terperanjat kaget dibuatnya, tapi aku tak dapat bergerak, seakan kedua kaki ku terkunci di tanah. Sepasang mata merah itu menatapku, akupun menatapnya, seperti jika kita sedang mengalami cinta pada pandangan pertama, bedanya aku tak tahu mahluk apa yang ada di depanku ini.Terpikir olehku, “ya Tuhanku, jika aku harus mati malam ini, mohon ampuni dosa-dosaku Tuhan, entah apa yang kau kirim kehadapanku ini, jika aku harus mati malam ini Tuhan, terimalah aku disisimu.” Sosok itu bergerak maju, gerakannya aneh sekali, kedua kaki belakangnya diayunkan bersamaan, seperti lompatan kodok atau kelinci, ia pun mendekat.Sambil memejamkan mata, “Tuhan aku tarik kembali ucapanku, aku tak mau mati malam ini, berilah aku kesempatan sekali lagi Tuhan.”Saat aku membuka mataku, sosok itu sudah ada persis dide
Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.“Rupanya kamu punya teman baru ya?”“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”
Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhati
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah