Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini.
“kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.
Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat misteri ilahi dalam setiap mahluk. Begitu melihatnya, kau akan mulai memahaminya lebih baik setiap hari. Dan kau akhirnya akan bisa mencintai seluruh dunia dengan kasih yang merengkuh segalanya.
Begitu kira-kira bunyi tulisan yang tertulis diatas kertas usang tak jelas berwarna putih atau kuning.
“Tok-tok…Bim…Bimo” ada suara ketukan pintu. Aku segera membalikan badan untuk mencari asal suara itu. Tak ada siapapun di pintu.
Kali ini agak lebih keras. “Bimo…bangun sudah siang!” aku…masih dikamarku. Ternyata aku hanya mimpi.
Dengan nada ngantuk, “masuk aja Pril gak di kunci kok pintunya.” Aku kembali menutup mata sambil memeluk guling.
“Hei ayo bangun…kamu ini tidur terus…nanti kasurnya tipis kamu tiduri terus.”
Suaranya…ini …aku menoleh kearah suara itu, “oh hai mam…aku kira Pril”
“Iya ya biasanya kan Pril yang bangunin kamu, kemana yah si Pril”
aku tak menjawab“Eeee iye budak…bangun atuh Bim…udah siang” dengan logat sundanya mami menepis pipiku.
“itu sudah mami siapkan sarapan buat kamu, gera (cepat) atuh bisi (keburu) dingin.”
“Thanks ya mam” sambil mencoba berdiri. “nanti aku menyusul”
Aku masih duduk diatas tempat tidurku, mengumpulkan sembilan nyawa yang aku punya. Kulihat jam didinding, jam sembilan lewat lima belas. Dengan melakukan sedikit stratching dan memastikan nyawaku terkumpul semua, aku putuskan untuk mandi dulu sebelum turun dari kamar ku.
Rasanya ada yang ganjal hari ini, entah apa tapi yang pasti hari ini seperti ada yang kurang. Apa karena mimpi itu. Ah rasanya tidak. Bicara soal mimpi, mimpi yang aneh. Aku tak mengerti sama sekali tentang mimpi itu, apa maksud tulisan itu? Pastinya mimpi itu telah membuatku penasaran setengah mati, rasanya sama seperti saat aku mimpi basah untuk pertama kalinya. Benar-benar mimpi yang aneh!!
Sarapan terbaik, dipersembahkan oleh mami.
“Hallo mamiku yang paling cantik sedunia” kukecup pipi kiri, pipi kanan, bibir serta keningnya. Aku lalu mengambil piring dan langsung menyendok nasi goreng sebanyak banyaknya. Seperti gembel yang sudah tiga hari tidak makan saja. Tanpa banyak basa-basi kulahap dengan buas apa yang ada di piring itu. Aku lapar sekali.
“Heemm uenak sekali ini bi…tumben bibi bikin nasi goreng seenak ini” aku berkata kepada bi Tina yang kebetulan melintas didepanku sambil membawa bakul nasi yang sudah kukuras habis isinya tadi.
“Yee si aden ngejek ya…”
“Lho kok ngejek bener kok bi Tina enak banget nih”
“Tapi yang bikin bukan si bibi den tapi nyonyah…misi den” ujar bi Tina yang langsung masuk kedapur untuk mencuci piring.
Aku hanya terpaku menatap ibuku yang juga menatapku dengan pandangan hangatnya. Di rumah ini mami jarang sekali turun langsung kedapur, kecuali pada event-event tertentu. Ini hanya sarapan, ia rela masuk dapur.
Tanpa menunggu lama lagi aku segera berdiri dan memeluk ibuku dari belakang, menyandarkan daguku kebahunya. Kupeluk sangat erat, seakan ingin meremas tubuhnya saja. Kuciumi pipinya berulang kali sampai bedak dipipinya mulai luntur karena pindah kebibirku.
“Thanks mom, you are the best mom I ever have in the world, thanks for everything you gave to me…mmmuuuaaah” kuberikan kecupan besar yang terakhir. Dan aku kembali duduk menikmati nasi goreng buatannya. Walau hanya nasi goreng tapi aku rasanya ingin nangis dengan kuat ku tahan agar tak keluar setetespun dari mataku
“Bim tadi kamu mimpi apa sih?” ia menatapku dengan keheranan.
“Kenapa mam ada yang aneh denganku?” kok ia tahu aku tadi habis mimpi.
“Jelas ada …sudah lama kamu tidak semanis ini, ini hari pertama kamu cium pipi mami setelah hampir setahun lamanya kamu hanya bengong duduk ditaman depan, kamu juga peluk mami erat sekali sampai mam tidak bisa napas, aya naon kasep?”
“Ah te aya naon naon…mam” jawab ku sok berbahasa sunda.
“Are wrong if I’ kis and hug my own mom?”
“Nya enteu sih… aneh wee meni tumben pisan…kamu nteu sakit pan kasep, bageur?”
“Mam… what’s wrong with you I’m your son that really meant to you?”
“Nothing wrong handsome…it just…weird…not really you…who are you?? please bring back my lovely son” kira-kira begitulah terjemahan sunda-inggrisnya.
“Trus mam sendiri…tumben masakin aku nasi goreng…biasanya kan si bibi…ada apa nih hayo?”
Ibuku hanya tersenyum ”yah latihan Bim…siapa tahu suatu saat nanti si bibi harus pergi…” terdiam dan tak meneruskan pembicarannya.“Hah si bibi sakit apa? Separah apa? Umurnya tinggal berapa lama lagi?”
“Huss sembarangan…maksud mami teh kalau kita sudah tak bisa membayar gajinya lagi, masa dia kerja gratisan disini…mau tak mau bibi harus berhenti dong, bebel pisan maneh (bodo banget)“ jawabannya membuatku kaget setengah mampus…kembali mengingatkan akan kondisi keuangan keluarga yang sedang hancur berat.
Aku menatapnya dengan rasa penuh iba. Ia yang semula sedang merapikan rangkaian bunga kering diatas meja makan, berhenti hanya terdiam. Apa mamiku tercinta harus mengalami semua ini…? “sabar ya mam…”ucapku dalam hati. Dengan nada sedikit menghibur aku melontarkan sedikit canda…”Oooo…jadi aku ini kelinci percobaan…jadi kalau masakan mam gagal taruhannya nyawaku?”
“Ah kamu…tapi kalau tak sengaja bisa juga sih…”dengan senyum yang mulai melebar di bibirnya.
“Bisa apa mam?” tanya ku heran.
“Ya bisa…bisa…bisa…” ia tak meneruskan hanya tertawa lepas. Sudah lama aku tak melihat ibuku tertawa seperti itu, damai…, tanpa ada beban. Kami berdua asik di dapur pagi itu. Aku senang…sudah lama aku tak merasakan perasaan ini. Hingga “Krriiing…krriing…kring” berhenti setelah tiga kali berdering, diangkat oleh bi Tina.
“Haloh…ini siapa yah…oh non Pril…ada non lagi sarapan sama nyonya…sebentar yah non bibi panggilkan”
Mati aku…ngapain dia…“Den Bimo…ini non Pril telpon”
“Iya bi…makasih ya” sambil meraih gagang telepon yang diberikan oleh bi Tina.
”ya….”
“Kamu udah bangun Bim…udah sarapan lagi….tumben ada apa nih…” terdengar suara lembut yang sangat aku puja dari seberang sana. Yang langsung saja aku potong, karena jujur saja aku tak mau merusak hari ini hanya karena harus meratapi nasibku lagi.
“Em iya…tadi mami yang bangunin aku…eee ada apa yah Pril?”
“Ah enggak Cuma pengen denger suara kamu ajah…” kembali ku potong
“Oooo kukira ada apa…eemm Pril kalau tidak ada yang penting lagi aku mau siap-siap dulu nih, sorry lho…gak apa-apakan?”
“Oh kamu mau pergi…perlu dianter…aku jemput yah…aku gak ada kuliah kok hari ini…”ku potong lagi.
“nggak…gak usah Pril…aku mau naik sepeda saja sudah lama aku nggak olah raga juga.” Jawabku cepat seraya mencari alasan.
“Bim…aku…” kembali ku potong perkataannya
“Pril aku beneran udah telat nih…sorry ya…udah dulu oke, trims dah nelpon aku.” Padahal aku tak ada janji sama siapapun dan tak ingin keluar rumah.
“Oke deh…maaf udah ganggu…klik” terdengar sudah sepi di ujung sana.
Aku lantas bersandiwara. “Oke dah sayang…mmmuuuahh…love you”
Piiuuhh…nyaris saja. “Bim…bukannya satu-satunya sepeda di rumah ini sudah dijual ketukang loak?” tanya ibuku ”Wah gawat harus bilang apa aku sama mam…” pikirku dalam hati.
“Eh.. kan aku masih punya sepeda mam, inget…waktu aku terakhir ke jepang sama pap…pulangnya kan aku bawa dus gede tuh…” jawabku cepat. Dan untungnya memang masih tersimpan rapi di kamarku.
“Bukannya kamu Cuma alasan aja sama Pril?? kamu lagi ada masalah ya sama dia?”
“Enggak kok mih…bener kok sepedanya masih utuh…sama sekali belum aku rakit. Dan memang aku berencana untuk jalan-jalan hari ini” mampus…masa aku harus bohong sama mami sih…
“Awas kamu Bim…jangan sekali-kali kamu sakiti Pril…urusan kamu sama mami”
“gak kok mam…” mati aku.
“Ya sudah mam mau kekamar dulu…kamu perlu uang?”
“Oh nggak mam thanks…Muuahh” kukecup kening ibuku. Piiiuuuuhhh…untung percakapan kami tak diteruskan, bisa gawat. Aku tak ingin mam tahu aku dan Pril sudah putus, kalau kondisi nya lain, mungkin tak apa. Aku tak ingin mamiku jadi membenci Pril hanya karena kesalahanku sendiri.
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu
Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil
Nomor: Timmat/009/3/14/BIRt-2000Kepada Yth :Kepala operasi 1Ditempat.Perihal:laporan hasil pengamatan dan pengintaian kegiatan pendekatan basi oleh kedua pasangan muda.Dengan hormat,Dalam rangka pelaksanaan tugas pengintaian dengan no surat tugas Kaops/1/234/Timmat/47/ops1/BIRt-2000. Maka saya yang mana sebagai pelaksana harian sekaligus tim pengintai, dengan ini dapat melaporkan bahwa tugas pengintaian yang diberikan berjalan selama empat puluh lima menit, dengan pelaku 1, seorang pria gondrong tampang serabutan, bernama Rio. Pelaku 2, wanita cantik yang tampaknya agak terganggu penglihatannya, bernama Dewi. Dapat diselesaikan dengan cermat dan sukses. Berikut adalah hasil dari pengintaian yang berjalan dengan adanya sedikit gangguan di bawah cuaca buruk:Lima menit pertama :- Pengintai : mengambil posisi tempat pengintaian yang nyaman.- Rio & Dewi : memulai percakapan.- Pengintai : tak dapat mendengar d
Di perempatan jalan T. B. Simatupang, aku sedang berdiri menunggu datangnya metromini. Dengan mengenakan setelan hitam-hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi berwarna abu-abu. Rencananya hari ini aku ingin mencoba peruntunganku untuk mencari pekerjaan. Aku merasa tak enak, papi dan Rio rela bekerja menjadi supir mobil box dan tukang parkir liar yang tidak dilindungi undang-undang.Hanya agar keluarga kami bisa bertahan hidup. Masa sih sebagai laki-laki yang bertanggung jawab hatiku tidak tergugah, maka bulat sudah tekadku. Apa pun pekerjaan yang kudapat, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati dan berusaha keras. Itulah janjiku sebagai pria sejati yang bertanggung jawab.Sudah kira-kira 512 perusahaan yang ada di daerah Jakarta selatan ini aku datangi, tak ada satupun yang mau menerimaku. Mulai dari perusahaan perdagangan, perusahaan transportasi laut, darat dan udara, juga perusahaan advertising bahkan salon sudah kudatangi hasilnya,…Perusahaan perta
Nomor: Timmat/009/3/14/BIRt-2000Kepada Yth :Kepala operasi 1Ditempat.Perihal:laporan hasil pengamatan dan pengintaian kegiatan pendekatan basi oleh kedua pasangan muda.Dengan hormat,Dalam rangka pelaksanaan tugas pengintaian dengan no surat tugas Kaops/1/234/Timmat/47/ops1/BIRt-2000. Maka saya yang mana sebagai pelaksana harian sekaligus tim pengintai, dengan ini dapat melaporkan bahwa tugas pengintaian yang diberikan berjalan selama empat puluh lima menit, dengan pelaku 1, seorang pria gondrong tampang serabutan, bernama Rio. Pelaku 2, wanita cantik yang tampaknya agak terganggu penglihatannya, bernama Dewi. Dapat diselesaikan dengan cermat dan sukses. Berikut adalah hasil dari pengintaian yang berjalan dengan adanya sedikit gangguan di bawah cuaca buruk:Lima menit pertama :- Pengintai : mengambil posisi tempat pengintaian yang nyaman.- Rio & Dewi : memulai percakapan.- Pengintai : tak dapat mendengar d
Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm