Di perempatan jalan T. B. Simatupang, aku sedang berdiri menunggu datangnya metromini. Dengan mengenakan setelan hitam-hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi berwarna abu-abu. Rencananya hari ini aku ingin mencoba peruntunganku untuk mencari pekerjaan. Aku merasa tak enak, papi dan Rio rela bekerja menjadi supir mobil box dan tukang parkir liar yang tidak dilindungi undang-undang.
Hanya agar keluarga kami bisa bertahan hidup. Masa sih sebagai laki-laki yang bertanggung jawab hatiku tidak tergugah, maka bulat sudah tekadku. Apa pun pekerjaan yang kudapat, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati dan berusaha keras. Itulah janjiku sebagai pria sejati yang bertanggung jawab.
Sudah kira-kira 512 perusahaan yang ada di daerah Jakarta selatan ini aku datangi, tak ada satupun yang mau menerimaku. Mulai dari perusahaan perdagangan, perusahaan transportasi laut, darat dan udara, juga perusahaan advertising bahkan salon sudah kudatangi hasilnya,…
Perusahaan perta
Aku baru saja beranjak sembuh dari sakitku, sudah hampir seminggu lebih aku terbaring diatas tempat tidur. Namaku Bimo, Ade Bimo Wijil. Menurut diagnosis dokter, ginjal sebelah kiriku gagal berfungsi dan harus segera di operasi. Tetapi karena kondisi keuangan keluargaku yang tak memungkinkan, aku hanya bisa beristirahat dirumah saja.Keluarga kami bangkrut setelah bisnis ayahku mengalami kemunduran, juga karena hampir semua harta ayahku habis ditipu rekan kerjanya. Yang tersisa hanyalah sebuah rumah tua, rumah yang sudah kami tinggali selama hampir dua puluh tahun lebih juga berserta isinya, hanya itu, yang lainnya sudah dibagikan kepada bank-bank dimana ayahku berhutang.Aku sendiri, terpaksa harus mengakhiri kuliahku dengan tanpa selembar pengesahan oleh fakultas ekonomi dari universitas dimana aku berkuliah. Sudah setahun lamanya semenjak kejadian itu, keadaan keluargaku makin terpuruk saja, ketiga kakakku yang lain masih tidak menyadari apa yang terjadi, yang merek
Lama aku terduduk diatas kursi kayu buatan tangan ini, tak sadar hari sudah beranjak gelap dan matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Malas rasanya mengangkat tubuh dari kursi kesayanganku ini. Memang biasanya aku bisa menghabiskan waktu seharian disini, selain tempatnya yang nyaman, udaranya yang sejuk dan yang terpenting tempat ini tak dapat dilihat dari luar, karena letaknya yang jauh berada ditengah taman.Luas keseluruhan rumahku, sekitar hampir dua ribu meter persegi, cukup luas. Apalagi dipenuhi dengan tanaman bunga, buah-buahan dan juga tanaman lain milik ibuku, yang aku sendiri tak tahu apa nama-namanya, hanya ia yang dapat menghapal dan menyebutkannya satu persatu.Mungkin terdengar gila dengan apa yang aku lakukan disini, mengharap ada yang datang untuk mengisi kekosongan hidupku, bahkan aku sering berkata dalam hati “Tuhan, tolonglah hadirkan seseorang untukku, siapapun dan apapun itu, aku butuh sesuatu dalam hidupku Tuhan, tolonglah.”
Ada suara lagi, kali ini diiringi dengan munculnya sosok yang tak begitu jelas, hanya ‘SEPASANG BOLA MATA MERAH’ yang terlihat. Aku pun terperanjat kaget dibuatnya, tapi aku tak dapat bergerak, seakan kedua kaki ku terkunci di tanah. Sepasang mata merah itu menatapku, akupun menatapnya, seperti jika kita sedang mengalami cinta pada pandangan pertama, bedanya aku tak tahu mahluk apa yang ada di depanku ini.Terpikir olehku, “ya Tuhanku, jika aku harus mati malam ini, mohon ampuni dosa-dosaku Tuhan, entah apa yang kau kirim kehadapanku ini, jika aku harus mati malam ini Tuhan, terimalah aku disisimu.” Sosok itu bergerak maju, gerakannya aneh sekali, kedua kaki belakangnya diayunkan bersamaan, seperti lompatan kodok atau kelinci, ia pun mendekat.Sambil memejamkan mata, “Tuhan aku tarik kembali ucapanku, aku tak mau mati malam ini, berilah aku kesempatan sekali lagi Tuhan.”Saat aku membuka mataku, sosok itu sudah ada persis dide
Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.“Rupanya kamu punya teman baru ya?”“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”
Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhati
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r