Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.
“Rupanya kamu punya teman baru ya?”“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”
“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”
“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”
“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”
“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”
“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”
Sebenarnya sempat terbesit dalam benakku untuk memeliharanya. Tapi rasanya sangat bertentangan dengan diriku selama ini. Kelinci itukan mahluk nggak berguna. Lagi pula aku tak suka dengan bau pesing kencingnya. Bisa mual aku di buatnya.
“Dari mana kamu Pril?”
“Dari kampus, macet sekali dijalanan dua jam aku terjebak macet, badanku jadi pegal semua”
“Lho supir kamu kemana?”
“Sedang antar papa ke luar kota”
“Kamu sudah makan Pril?”
“Sudah tadi, dijalan aku berhenti di McDonald makan nasi sama ayam, kamu?
“Belum sih, aku lagi nggak lapar”
Aku menatap wajahnya yang terkena sinar cahaya bulan. Cantik sekali, matanya yang biru, rambutnya yang berkilau agak sedikit pirang terurai panjang. Beruntungnya aku memiliki dia disampingku.
“Bimo…boleh aku bicara sebentar?”
“Silakan Pril, disini tak ada larangan untuk bicara, memangnya ada apa sih kok serius banget”
“Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, aku sudah mengecewakan kamu, selama ini aku sudah menghianati kamu, aku sebenarnya…”
Ini dia, inilah saat yang sudah kukira akan terjadi, dan aku tak bisa menghindarinya. “Pril aku sudah tau apa yang ingin kamu bicarakan, aku gak keberatan kok, malahan aku senang, mestinya aku yang minta maaf ke kamu, aku yang salah, aku terlalu dalam terlarut, terlalu jauh terseret oleh masalahku sendiri, aku gak memikirkan kamu, aku egois, aku hanya memikirkan diriku sendiri, tanpa sadar disampingku ada kamu, maaf ya sayang.”
“Tapi Bim…”
“Sssst… kamu kenal jimmy kan?”
”Sepupu kamu itu?”
“Iya…ia pernah datang kesini, Jim juga bilang kalo dia lihat kamu di Umbrella kafe sekitar dua minggu lalu, sama Ryan…betul?”
“Jadi…kamu sudah tau…maafin aku ya sayang”
“Kamu gak salah sayang…”
“Tapi aku yang menghianati kamu Bim…”
Tanpa banyak bicara lagi aku segera mencium kening Pril, “sayang…, aku cuma bisa mendoakan semoga kamu bahagia, karena buatku kebahagian kamu adalah kebahagian aku juga, kamu sudah berbuat banyak untuk aku, tanpa aku bisa membalasnya, satu-satunya penyesalanku adalah bukan aku yang membahagiakan kamu” kulihat Pril menunduk menahan tangis, lalu segera ia bangkit, meninggalkan aku.
“Maafkan aku sayang…” aku hanya bisa melihat Pril dari belakang, mungkin ini terakhir kali aku bisa melihatnya untuk yang terakhir. Tak lama sosok itu pun menghilang di kejauahan, dan aku tak dapat melihatnya lagi.
Ada yang menjilati kaki ku, kelinci itu. Ia menatapku, dalam, seakan ia mengerti akan penderitaanku. Malam itu aku meneteskan air mata, tak banyak hanya sedikit membasahi pipiku. Padahal, selama ini aku bisa di bilang hampir tak pernah meneteskan air mata. Hanya sekali waktu nenekku, oma Wilma meninggal dunia. Apakah keputusanku salah, merelakan Pril begitu saja? Mudah-mudahan tidak.
“Maaf kawan, tapi malam ini kamu harus tidur dalam kandang, aku tak tahu kebiasaanmu di tempat asalmu, tapi yang pasti disini, aku tak bisa membiarkanmu berkeliaran dan buang air sembarangan”.
Setelah meletakkan kelinci itu dalam kandang, dan memastikan pintu kandangnya tertutup rapat. Aku berjalan masuk kedalam rumah. Aku sudah ditunggu oleh keluargaku, membahas hal yang tak penting. Dari jendela dapur, kulihat kelinci itu hanya duduk terdiam dibalik pintu kandang berjeruji besi itu. Sambil mengusap air mataku, aku melangkah ke meja makan.
Disana sudah ada seluruh anggota keluargaku, Rio, Hilda, Putri, Ibuku dan juga tentunya ayahku yang sedang tertunduk layaknya seorang terdakwa yang siap menerima vonis dari majelis hakim.
Di meja makan, tanpa bisa menikmati makanan yang sudah susah payah bi Tina menyiapkannya untuk kami, aku di paksa untuk mendengarkan hal yang setiap hari harus aku dengar. Aku hanya mengaduk-aduk makananku, aku berusaha untuk tak mendengar. Dan berharap aku punya kekuatan supra natural yang bisa menutup kupingku dari dalam.
“Jadi bagaimana menurut kamu Bim?”
“Hei Bim…dengar tidak sih?” tegur kakakku Rio menepuk pundakku.
Sejak lima menit yang lalu aku tak sadar apa yang mereka bicarakan, mungkin sengaja berusaha tak mendengar, kepalaku blank. “Aduh maaf tapi malam ini aku sedang tak ingin terlibat dalam perkumpulan bodoh ini. Aku sudah bosan dengan semua ini. Apa tidak ada hal lain yang bisa kita bicarakan? bagaimana kita menghadapi dan mengatasi masalah yang sedang menimpa kita misalnya.
Aku rasa masih ada masa depan, kalian hanya terjebak di masa yang sudah lalu dan tak bisa diperbaiki. Tanpa sadar ada masa depan yang masih bisa kita raih. Malam ini aku sadar, tetapi sudah terlambat. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupanku. Sayangnya aku sadar setelah ia pergi. Maaf tapi rasanya aku sudah tak ingin terlibat, kalian boleh panggil aku lagi jika kalian sudah siap memikirkan masa depan.”
Bukan bermaksud kasar, aku pergi meninggalkan mereka menuju kamarku. Di lantai dua. Disini aku seperti orang kebingungan dan linglung. Aku hanya mondar mandir mengelilingi kamarku. Maka kuputuskan untuk segera tidur saja, setelah berganti pakaian tidur dan menggosok gigi. Aku pun membaringkan tubuhku diatas tempat tidur. Tanpa bisa menutup mataku barang sebentar saja.
Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhati
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu