“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.
“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”
“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”
“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.
Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimmy, siapa tahu ia mau menambah koleksinya yang tak penting.
Ada Putri dihalaman belakang, sedang duduk mengamati tingkah laku kelinci putih itu. Aku tak langsung mendekat, aku hanya mengamati dari jarak dua meteran dibelakangnya. Kulihat seperti pertunjukan sirkus saja, kelinci itu melompat, berlari, melompat dan lalu berdiri diatas kedua kakinya.
Putri tertawa dan kelinci itu mendekat minta di belai kepalanya, seperti pengamen yang sedang meminta bayarannya saja (bukan berarti pengamen minta bayaran dengan di belai oleh kakakku, bisa terjadi pertumpahan darah).
“Hai cantik selamat pagi…Muuuahh” aku mengampiri kakaku Putri dari belakang, memeluk dan mencium pipinya.
“Eit-eit apa nih…” kakakku menghindar saat aku ingin memberi kecupan kedua.
“Kena angin apa lu…kesambet setan mana…o-ooh pasti jin jengkol di perempatan jalan yah…. gue kan udah bilang, kalau lewat situ…lu mesti bawa sesajen biar nggak kesambet” Putri terheran-heran menerima serangan manis dariku, menyeka pipinya lalu berkata, “Aduh…kira-kira gwe bisa tertular nggak ya?”
“Maksud lu…”aku tak mengerti arti kata tertular disini.
“Iya…lu kan belum disuntik rabies…entar gwe ketularan lagi, gara-gara lu nyium pipi gwe” menyadari arti kata tertular, dengan embel-embel rabies akhirnya aku paham. Dan itu adalah sebuah pelecehan.
“Pllaakk….” Ada sendal butut terbang, mendarat tepat dimuka Putri.
“Buukkk…” ada kepalan tinju mirip pukulan uppercut milik Criss John mendarat mulus diperutku.
“Put mau ikut nggak?” ia menoleh menatapku heran seakan ada sesuatu yang aneh tumbuh di mukaku.
“Kemana…sama Pril?” kenapa sih semua orang di rumah ini tak bisa berhenti menyebutkan nama itu.
“Nggak…sendirian ajah, aku mau naik sepeda, udah lama nggak jalan-jalan naik sepeda nih” jawab ku yakin.
“Hah…apa jalan-jalan…nggak salah tuh?”
“Bim…coba kamu duduk dulu…ambil napas dalam-dalam.” Sarannya.
“Hhhuummp….piuuuhhh” lho kok aku malah mengikuti saran gilanya.
“Sial kamu Put…emang aku kenapa disuruh ambil napas segala”
Ia hanya diam memperhatikan wajahku. “who are you,…what happen with my brother…Bim…Bimo…kamu ada di dalam sana…ayo cepet keluar Bim…aku takut nih nanti aku dimakan juga.” Ucap Putri sambil mengetuk-ngetuk kepalaku. Sial aku dikira gila.
“Eh Put…loe kira kepala gue ini pintu apa, gue serius nih, mau ikut nggak?”
“Emang si Pril kemana? Tumben kamu ajak aku” tanyanya, ingin tahu.
“Ah stress lah Put…aku semalam baru putus sama dia.” Ups aku keceplosan.
“Tuh benerkan…loe pasti mau bunuh diri…dasar nggak beradab, bunuh diri ngajak orang, mas…mas kalau mau mati jangan ajak-ajak orang dong, mati, mati aja sendiri”
“Eemm Put, please don’t tell about this to mom oke please!” ucapku memohon.
“Boleh…tapi nanti malam lu harus pijitin gua sebelum tidur…deal?”
“Dasar pemeras tak beradab, preman pasar!” ucapku menggerutu.
“Mau nggak?” ancamnya.
“Iya iya…” aku tak menoleh ke arahnya. Aku mengamati tingkah laku kelinci yang semakin tolol itu. Ia sedang menggigiti sendal Putri, saking asiknya sampai sandal berwarna pink itu penuh dengan sidik gigi kelinci. ”Hihihi…kena kamu Put…makanya jangan usil…hihihi” tawaku dalam hati.
“Eh Put aku kan mau kerumah Jimmy, kamu ada titipan atau apa gitu?” aku coba mengalihkan perhatiannya berharap sandal itu habis dimakan kelinci.
“Eem apa ya…nggak ada tuh” jawabnya. Ia masih tak sadar sandalnya sudah bolong-bolong.
“Emang mau ngapain kamu kesana?” tanyanya lagi. Masih tak sadar.
“Iya nih…aku mau nawarin kelinci itu ke Jimmy, tak mungkin aku pelihara. Aku tak suka kelinci.”
“Yah…jangan dong Bim…kita pelihara saja disini…yah…yah Bim please” ia memohon-mohon dengan raut wajah yang paling ku benci karena aku selalu tak dapat menolaknya. “yah gimana entar…” ia masih tak sadar juga dasar bodoh. Aku langsung berdiri, bergegas meninggalkanya karena sudah tak tahan menahan tawa yang sudah mau meledak.
“Bim…” Putri memanggil, aku pun menoleh.
“Nanti kalau mau bunuh diri…cari yang kira-kira bisa cepet lewat tapi nggak kerasa sakit yah” ucapnya mengejek. Kulempar dia dengan sandal jepit butut ku yang sebelah lagi, dan ia melemparnya kembali. Tapi bukan kearahku, ia melemparnya keluar, ke balik tembok, ke tetangga belakang rumah.
Dasar perempuan gila. Kira-kira sudah agak jauh, menghindari perang saudara, aku membalik badan dan berkata kepadanya. “Eh Put take a look at that bunny…and see what his doing to…” ucapku geli.
“Biiimooo…. dasar kadal buntung…awas kamu” aku hanya bisa tertawa geli tanpa bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada kelinci malang itu. Ia berhadapan dengan orang yang salah. Ia menghadapi algojo terkejam di asia tenggara.
“Ada apa den Bimo…ada kebakaran…perampokan?” tanya bi Tina yang keheranan mendengar suara jeritan aneh yang berasal dari halaman belakang rumah kami. Aku tak bisa menjawab, aku tak bisa menghentikan tawa.
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu
Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil
Nomor: Timmat/009/3/14/BIRt-2000Kepada Yth :Kepala operasi 1Ditempat.Perihal:laporan hasil pengamatan dan pengintaian kegiatan pendekatan basi oleh kedua pasangan muda.Dengan hormat,Dalam rangka pelaksanaan tugas pengintaian dengan no surat tugas Kaops/1/234/Timmat/47/ops1/BIRt-2000. Maka saya yang mana sebagai pelaksana harian sekaligus tim pengintai, dengan ini dapat melaporkan bahwa tugas pengintaian yang diberikan berjalan selama empat puluh lima menit, dengan pelaku 1, seorang pria gondrong tampang serabutan, bernama Rio. Pelaku 2, wanita cantik yang tampaknya agak terganggu penglihatannya, bernama Dewi. Dapat diselesaikan dengan cermat dan sukses. Berikut adalah hasil dari pengintaian yang berjalan dengan adanya sedikit gangguan di bawah cuaca buruk:Lima menit pertama :- Pengintai : mengambil posisi tempat pengintaian yang nyaman.- Rio & Dewi : memulai percakapan.- Pengintai : tak dapat mendengar d
Di perempatan jalan T. B. Simatupang, aku sedang berdiri menunggu datangnya metromini. Dengan mengenakan setelan hitam-hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi berwarna abu-abu. Rencananya hari ini aku ingin mencoba peruntunganku untuk mencari pekerjaan. Aku merasa tak enak, papi dan Rio rela bekerja menjadi supir mobil box dan tukang parkir liar yang tidak dilindungi undang-undang.Hanya agar keluarga kami bisa bertahan hidup. Masa sih sebagai laki-laki yang bertanggung jawab hatiku tidak tergugah, maka bulat sudah tekadku. Apa pun pekerjaan yang kudapat, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati dan berusaha keras. Itulah janjiku sebagai pria sejati yang bertanggung jawab.Sudah kira-kira 512 perusahaan yang ada di daerah Jakarta selatan ini aku datangi, tak ada satupun yang mau menerimaku. Mulai dari perusahaan perdagangan, perusahaan transportasi laut, darat dan udara, juga perusahaan advertising bahkan salon sudah kudatangi hasilnya,…Perusahaan perta