Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.
Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.
Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhatikan cahaya bulan yang malam itu sedang bersinar penuh.
Tanpa kusadari ada sosok wanita duduk tak seberapa jauh disampingku, rupanya malam itu bukan cuma aku yang sedang ingin sendiri. Awalnya aku tak begitu memperdulikannya, tetapi lama kelamaan ingin rasanya menegur wanita yang sedari tadi melempar-lemparkan batu ke air, sehingga lamunanku terganggu.
“Lagi kesel ya mbak…” ia tak menjawabku bahkan tidak menoleh kearahku.
“Memangnya salah apa batu nya kok dibuang-buang gitu?”
“Emang batu-batu ini punya kamu ya?” jawabnya dengan nada ketus.
“Ya bukan sih…tapi kan kasihan, siapa tahu mereka nggak bisa berenang, atau nanti kalo batunya kena kepala ikan, ikannya pingsang gimana? kamu mau nolongin, trus kamu mau ngasih napas buatan?, kalo aku sih sudah barang tentu nggak mau, dari pada mencium ikan lebih baik aku mencium gadis cantik… seperti kamu misalnya…hehe becanda non…jangan marah ya.” Bukannya bermaksud cabul, aku hanya ingin mencairkan suasana.
Ia hanya menatap ku dengan wajah kesal, aku tak berani mengeluarkan sepatah kata pun melihat mukanya yang memerah walupun sebenarnya ingin sekali tertawa. Ternyata gadis ini cantik juga, kulitnya putih bersinar terkena pantulan cahaya bulan, rambutnya yang terurai panjang hingga menyentuh punggungnya.
Pandangan matanya yang tajam, SHE IS A’ SMART GIRL. “Pril… ayo…acaranya sudah mau mulai” terdengar suara dari arah belakangku, rupanya teman-teman dari gadis ini. Wanita itu pun pergi mengikuti arah suara itu berasal. Jadi namanya Pril…
“Aku kira kamu hilang ditelan ikan paus…ternyata ada disini, sedang apa sih?” ada yang menepuk bahuku, ternyata sepupuku Adi, “ayo Bim… kita gabung sama yang lain acara puncaknya sudah mau mulai.” Malam itu banyak artis-artis dan band-band ternama bertaburan disana.
Pukul dua belas tepat, bunyi terompet bersautan, lontaran kembang api yang terlihat begitu indah di gagahnya langit malam, wajah-wajah ceria yang diiringi gelak tawa menandakan tahun telah berganti. “Happy new years Bim” seru sepupuku Ando, aku segera mengajak mereka untuk duduk di bar karena aku sudah tak tahan dengan hingar bingar suara yang membuat suara ku sendiri sampai tak terdengar.
Seperti biasanya bila sedang berada di bar manapun di dunia ini, aku selalu memesan minuman kegemaranku ‘white russian’. Kami bertiga (Aku, Adi dan Ando) larut dalam obrolan sesama lelaki, mulai dari masalah wanita, olah raga bahkan tentang otomotif. “Mas minta screwdriver nya satu dong” suara yang sepertinya pernah kudengar di pinggir pantai tadi, ya…benar Pril gadis jutek nan cantik wajahnya itu berada tepat disampingku.
“Hai Pril…”
“Masih marah sama batu?”
“Kamu lagi…kayaknya kamu dilahirkan didunia ini hanya untuk menggangu orang ya?” dengan nada juteknya.
“Lho kok marah-marah sih…aku kan bercanda”
“Iya tapi candaan kamu itu gak lucu tau!”
“Iya deh aku minta maaf…tapi boleh kenalan kan?”
“Untungnya buat aku apa?”
“Emm apa ya? gini deh misalnya kamu mau lempar-lempar batu lagi, dan batunya minta tolong karena nggak bisa berenang, aku deh yang terjun ke air untuk menolongnya, trus kalau misalnya batunya kena kepala ikan, ikannya pingsan aku juga bersedia memberi nafas buatan, gimana?”
Kali ini ia nampak melemparkan senyum kecilnya, “tetap gak lucu…tapi boleh”
“Boleh apa nih, nolongin batu, apa ngasih napas buatan buat ikan?”
“Lho tadi kamu minta apa? kenalan kan?, oke kita kenalan”
“Ooo…trus nama kamu siapa?”
“Bukannya kamu sudah tau?”
“Pril…siapa, masa cuma segitu doang sih, maksudku nama lengkap kamu”
Kulihat ia meneguk minuman yang tadi ia pesan dengan perlahan, terlihat begitu elegan dan sangat feminis, membuatku ingin minum juga. “Aprilia Dita…panggil Pril aja”
“Cantik”
Dengan segera menoleh, ia bertanya “maksud kamu??”
“Iya…nama kamu cantik, tapi agak aneh kamu bukan asli indonesia ya?”
“Ibuku berkebangsaan italia dan ayah ku jawa tulen, trus nama kamu siapa?
“Aku Bimo… Ade Bimo Wijil, kalau aku Japan”
“Oh kamu orang jepang, tapi kok nggak kaya orang jepang?”
“Bukan, maksud aku Japan…Jawa Pantura”
Aku tak tahu kedua sepupuku pergi kemana, mungkin aku terlalu asyik berbicara dengan Pril, kami saling bertukar cerita, dan ternyata ia berasal dari jakarta juga, malam itu adalah malam yang berkesan untukku, selain cantik sumpah Pril adalah gadis pintar, dari nada dan cara bicaranya yang teratur mencerminkan bahwa, ‘she have brain don’t be mess with her’.
Semenjak malam itu kami terus berhubungan lewat telepon dan tak jarang kami bertemu di suatu tempat, kami pun resmi berpacaran sekitar beberapa bulan setelahnya.
Ah kenapa aku jadi memikirkan Pril terus menerus. Apa aku tak rela melepaskan Pril. Tapi ini demi kebaikannya. “Sudah lah Bimo…apa yang kamu lakukan sudah benar dan tepat, jangan disesali lagi.” Aku berkata pada diriku sendiri dalam hati.
Aku segera bangkit dan berdiri. Duduk di pingir jendela kamarku. Kutatap langit yang malam itu sedang terang-terangnya karena bulan sedang bersinar penuh. Kulihat kearah kandang di bawah, kelinci itu masih pada posisi semula saat kutinggalkan. Duduk menatap keluar kandang dari balik pintu kandang berjeruji besi itu. Hati ku terdorong untuk membukakan pintu kandang, dan membawa masuk kelinci itu kedalam rumah. Tapi…tidak pasti ibuku akan marah besar. Bagaimana bila nanti ia kencing atau pup sembarangan.
Tapi bagaimana bila ia ketakutan, atau mungkin kedinginan, mungkin aku bawa masuk saja kedalam rumah. Kuat sekali pergolakan dalam hatiku ini, antara ingin membawa masuk atau membiarkannya tetap diluar. Tidak sekali tidak tetap tidak. Heran kenapa sih tiba-tiba aku memperdulikan seekor kelinci. Ini sungguh bukan diriku. Kututup jendela kamarku. Dan sekali lagi mencoba untuk tidur.
Akhirnya kalian semua akan mengerti bahwa cinta menyembuhkan segalanya, dan cintalah yang terpenting.
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu
Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil
Di perempatan jalan T. B. Simatupang, aku sedang berdiri menunggu datangnya metromini. Dengan mengenakan setelan hitam-hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi berwarna abu-abu. Rencananya hari ini aku ingin mencoba peruntunganku untuk mencari pekerjaan. Aku merasa tak enak, papi dan Rio rela bekerja menjadi supir mobil box dan tukang parkir liar yang tidak dilindungi undang-undang.Hanya agar keluarga kami bisa bertahan hidup. Masa sih sebagai laki-laki yang bertanggung jawab hatiku tidak tergugah, maka bulat sudah tekadku. Apa pun pekerjaan yang kudapat, aku akan melakukannya dengan sepenuh hati dan berusaha keras. Itulah janjiku sebagai pria sejati yang bertanggung jawab.Sudah kira-kira 512 perusahaan yang ada di daerah Jakarta selatan ini aku datangi, tak ada satupun yang mau menerimaku. Mulai dari perusahaan perdagangan, perusahaan transportasi laut, darat dan udara, juga perusahaan advertising bahkan salon sudah kudatangi hasilnya,…Perusahaan perta
Nomor: Timmat/009/3/14/BIRt-2000Kepada Yth :Kepala operasi 1Ditempat.Perihal:laporan hasil pengamatan dan pengintaian kegiatan pendekatan basi oleh kedua pasangan muda.Dengan hormat,Dalam rangka pelaksanaan tugas pengintaian dengan no surat tugas Kaops/1/234/Timmat/47/ops1/BIRt-2000. Maka saya yang mana sebagai pelaksana harian sekaligus tim pengintai, dengan ini dapat melaporkan bahwa tugas pengintaian yang diberikan berjalan selama empat puluh lima menit, dengan pelaku 1, seorang pria gondrong tampang serabutan, bernama Rio. Pelaku 2, wanita cantik yang tampaknya agak terganggu penglihatannya, bernama Dewi. Dapat diselesaikan dengan cermat dan sukses. Berikut adalah hasil dari pengintaian yang berjalan dengan adanya sedikit gangguan di bawah cuaca buruk:Lima menit pertama :- Pengintai : mengambil posisi tempat pengintaian yang nyaman.- Rio & Dewi : memulai percakapan.- Pengintai : tak dapat mendengar d
Malamnya. Aku sedang asik bermain gitar. Tentunya di Gazebo. Ketika ada sebuah mobil sedan biru memasuki pekarangan rumah kami. Aku belum pernah melihat mobil ini sebelumnya. Jadi aku menyimpulkan, ORANG TAK DIKENAL. Terlihat dari sisi pintu supir, keluar seorang wanita. Cantik. Dan sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana yah.Aku pun berdiri lalu menghampirinya. Dengan harapan dia bukan seorang penagih hutang. Wanita itu mengenakan long dress warna hitam…dan kayaknya…benar ia adalah wanita yang sudah menabrakku tempo lalu. Tapi darimana dia tahu alamatku.“Misi mbak…cari saya yah…?” tanyaku, kepada wanita yang aku lupa namanya itu.“Oh nggak…ini mas…saya mau anter Rio…tadi…” belum sempat gadis itu meneruskan. Tiba-tiba keluar dari sisi kanan mobil.“Eh Bim…bantuin gw dong…gw gak bisa turun nih…”Rio sedang berusaha keluar dari mobil
Minggu siang di bulan April. Seperti biasanya, aku masih diatas tempat tidur. Mengerjakan proyek penipisan springbed dan proyek pembuatan bendungan baru. Setelah memenangkan tender yang diadakan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Yang notabene akan diresmikan oleh pejabat Gubernur setempat.Ketika terdengar suara bising dari arah halaman belakang. Salahku juga saat aku kecil aku memilih kamar yang tepat menghadap kolam renang. Halaman belakang. Hal itu juga yang membuat selama aku hidup dirumah ini, tidak dapat tidur dengan tenang jika sedang terjadi kerusuhan di belakang sana.Kuperkuat benteng pertahananku. Kututupi telingaku dengan bantal, guling bahkan benda-benda luar angkasa. Tetapi tetap tidak bisa menghalau suara-suara mengerikan itu. Dengan sebelah mata terpejam, aku berusaha keluar dari lubang pertahananku.Setelah tersandung beberapa benda seperti, sepatu butut, sandal bolong, radio rusak, kitab dasar ekonomi yang tebalnya cukup untuk menambal tanggu
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm