Ada suara lagi, kali ini diiringi dengan munculnya sosok yang tak begitu jelas, hanya ‘SEPASANG BOLA MATA MERAH’ yang terlihat. Aku pun terperanjat kaget dibuatnya, tapi aku tak dapat bergerak, seakan kedua kaki ku terkunci di tanah. Sepasang mata merah itu menatapku, akupun menatapnya, seperti jika kita sedang mengalami cinta pada pandangan pertama, bedanya aku tak tahu mahluk apa yang ada di depanku ini.
Terpikir olehku, “ya Tuhanku, jika aku harus mati malam ini, mohon ampuni dosa-dosaku Tuhan, entah apa yang kau kirim kehadapanku ini, jika aku harus mati malam ini Tuhan, terimalah aku disisimu.” Sosok itu bergerak maju, gerakannya aneh sekali, kedua kaki belakangnya diayunkan bersamaan, seperti lompatan kodok atau kelinci, ia pun mendekat.
Sambil memejamkan mata, “Tuhan aku tarik kembali ucapanku, aku tak mau mati malam ini, berilah aku kesempatan sekali lagi Tuhan.”
Saat aku membuka mataku, sosok itu sudah ada persis didepanku, dibantu dengan cahaya redup lampu taman, aku coba memastikan apa sih itu? Ternyata… kelinci… ya seekor kelinci. Berwarna putih polos, dan rupanya, matanya memang berwarna merah. Hampir saja jantungku copot dibuatnya, ia hanya duduk menatapku, seakan ia sudah mengenalku sekian lama, tak ada rasa takut terpancar dari raut wajahnya, hanya keluguan yang dicerminkan oleh muka bulat itu.
Walaupun aku tak tahu pasti bagaimana raut wajah kelinci, tapi aku tahu pasti ia mau menunjukkan bahwa ia bersahabat. Dari posturnya, ia tak seperti kelinci yang biasa aku lihat di pet shop atau di pasar, untuk ukuran seekor kelinci, badannya jauh lebih besar, bisa dibilang ia bertubuh sangat gemuk sekali.
Sebenarnya aku tak begitu menyukai kelinci. Aku suka anjing, terima kasih banyak. Menurutku kelinci hanyalah hewan biasa, tak punya kepintaran, dan selalu buang air sembarangan. Sejak kecil aku terbiasa hidup berteman dengan anjing, kakakku Rio memelihara seekor golden retriver, yang kini sudah tiada, mati karena umur.
Aku punya sepupu, yang memelihara kelinci di rumahnya. Dan kalau tak salah aku pernah digigit oleh kelincinya saat aku sedang berkunjung kerumahnya. Kelincinya dibiarkan bebas berkeliaran dalam rumah dan tak dikurung di kandang. Aku bertanya-tanya apakah penghuni rumah itu mengabaikan bau pesing yang menyerbak di seluruh sudut ruangan. Yang jelas, seumur hidupku aku tak pernah tertarik pada seekor kelinci.
Tapi saat aku berlutut, dan melihat kelinci itu menatapku, aku melihat ketulusan dari dalam matanya. Sebenarnya ingin aku mengusirnya dari halaman rumahku, akan tetapi sepertinya ada sebab mengapa ia sampai ada disini. Mungkin ia dikejar si Bruno anjing tetangga sebelah rumah, yang sering berkeliaran di jalanan depan rumah ku. Hingga ia tersasar masuk kedalam pekaranganku. Mungkin ia milik salah satu tetanggaku. Yang secara tak sengaja terlepas.
“Hai…siapa namamu…rumah kamu dimana?” aku coba menyapanya, walau ku tau ia tak akan menjawab pertanyaanku, dengan agak menggerakkan kepalanya dan menegakkan kedua telinganya yang sangat panjang ia menunjukkan reaksi seakan ia mengerti akan ucapanku. Aku memberanikan diri untuk menjulurkan tanganku, tak disangka ia menyambutnya dengan menjilati telapak tanganku. Tak salah lagi, pasti kelinci ini piaraan seseorang, ia jinak sekali seperti sudah terbiasa berada diantara manusia, dan pasti pemiliknya merasa sangat kehilangan.
Ada sesuatu dalam diriku memaksa untuk coba meraih dan membelai kepalanya. Ia langsung lari menjauh. Kupikir, “baiklah, yah paling tidak aku sudah mencoba” tapi ketika aku berjalan menjauh, ia berlari menghampiriku, aku menghentikan langkahku, ia pun hanya berdiri menatapku. Begitu aku menghampirinya, ia berlari. Aku berjalan, ia menghampiriku, aku mendekat ia berlari. Hal ini berulang kali terjadi. Hingga membuatku kesal.
Aku berlutut dan coba menjentikkan jariku, berharap ia mau mendekat. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya ia mau mendekat, langsung saja ku raih dan kudekap. Ketika aku menggendongnya, ia terasa sangat berat dan besar. Hingga membutuhkan dua tangan untuk memegangnya. Harus kuakui ia sangat manis. Dan ia tak berhenti menjilati tanganku.Apa yang kulakukan benar-benar bertentangan dengan hatiku, tapi aku membawa masuk kelinci itu kedalam rumah. Dalam dekapanku, ia ku bawa masuk kedalam rumah. sampai di tengah rumah, keluarga ku kebetulan sedang berkumpul diruang keluarga, mungkin sedang membahas sesuatu, karena terasa tegang sekali disini, begitu melihat apa yang sedang kupeluk, mereka terlihat kaget dan bertanya-tanya apa yang sedang aku bawa ini.
“Halo semua…”
“Bim…binatang apa itu?” tanya Hilda kakak ku yang ketiga.
“Kelinci lah Hil…memangnya?
“Wah besar sekali yah…”
“Milik siapa itu Bim…” ibuku bertanya.
“Tak tahu mam…aku menemukannya di taman tadi”
Apapun yang sedang terjadi sebelumnya, tetapi yang pasti hewan ini berhasil memecah kebekuan dan ketegangan yang sedang terjadi. Aku melanjutkan langkah ku ke arah dapur, menemui bi Tina, pembantu rumah tangga kami yang sudah bersama kami hampir lebih dari sebelas tahun lamanya. Sampai di dapur, kulihat si bibi sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk keluarga kami.“Wah apa itu den…anak anjing ya?”
“iya…
“Sana…sana jangan dekat-dekat saya takut den Bimo
“Tenang ini bukan anak anjing tapi kelinci…”
“Wah besar banget kelincinya den”
“Iya-ya bi aku juga baru lihat ada kelinci sebesar ini…aneh” aneh memang kelinci ini besar sekali, badan nya benar-benar super besar, seperti kelinci mutan saja. “kira-kira makannya apa ya bi?”
“Biasanya sih kangkung atau wortel den”
“Kalau tidak salah di kulkas masih ada wortel tuh den Bimo, biar besok nanti bibi belikan kangkung di pasar” sambil membuka pintu kulkas dan mengambil sebatang wortel.
“Beli dimana kelincinya den?”
“Beli…aku nemu kok bi di taman, aku juga heran kenapa ada tiba-tiba kelinci, jangan-jangan punya tetangga, makanya tugas bibi besok cari tahu siapa yang punya”
“Masa sih den? setau saya, disekitar sini tidak ada yang punya kelinci deh”
Aku pun menuju halaman belakang rumah. Di halaman belakang rumah, sebelah kolam renang, terdapat kandang anjing permanen, ku masukan kelinci itu kedalam kandang, dan kuberikan sebatang wortel yang tadi diberi oleh bi Tina.
Aku sedikit berharap keesokan harinya ada pemiliknya datang untuk mengambilnya, “malam ini kamu tidur disini ya, besok kalau pemilik kamu datang, kamu pasti bisa pulang.”
Ku perhatikan kelinci itu yang sedang menikmati wortel pemberian bi Tina, akan tetapi nampaknya ia tak senang berada di dalam kandang, ia sedikit gelisah, dan terlihat dari pandangan matanya, ia seperti kecewa dengan diriku.
Mungkin ia lebih suka bebas ketimbang di kurung di kandang. Setelah ku buka pintu kandang itu, ia pun berlari keluar, seperti tahanan yang sudah lama tak menghirup udara segar. Tapi anehnya ia tak berusaha untuk kabur, ia hanya duduk disampingku. Sepertinya ia sudah menemukan rumah baru baginya.
“Jadi…kelinci itu mau kamu pelihara Bim…?” tanya kakak keduaku Putri yang datang tiba-tiba dari arah belakang. “Tak tahulah, apa yang harus kulakukan bila pemiliknya tak datang untuk mengambilnya, mungkin akan kuberikan pada Jimmy.”
“Gigit nggak…sepertinya mukanya galak”
“Enggak kok…ia jinak sekali…pasti ia memang binatang piaraan seseorang”
Putri mencoba menjulurkan tangannya untuk membelainya, kelinci itu pun seakan membiarkan tangan kakakku membelai kepalanya.“Ih iya ya jinak banget…” ia tak bergeming sedikitpun, seakan ia menikmati belaian kakakku Putri, mungkin karena ia kelinci jantan, kakakku itukan cantik sekali, persis seperti ibuku.
Memang wanita dikeluargaku di anugerahi kecantikan yang luar biasa cantiknya. Mungkin karena ibuku adalah wanita keturunan, ia berdarah campuran. Ibunya (nenekku) berasal dari negri Belanda sedangkan kakekku asli dari jawa barat, Bandung.
Ketiganya, ibuku, Hilda dan Putri, adalah ratu, dan dua putri kerajaan kecil di rumah. “Ayo Bim…kita makan malam dulu, ada yang harus kita bicarakan.”
“Kamu duluan saja Put nanti aku menyusul.” Aku tahu pasti apa yang mau di bahas didalam, setiap malam tak ada hal lain yang aku dengarkan selain ocehan tentang bangkrutnya keluargaku dan saling tuding siapa yang salah dalam hal ini. Ini membuatku semakin terseret dalam lorong hitam. Yang sebenarnya aku sudah bersusah payah dan berusaha keras untuk keluar dari sana.
Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.“Rupanya kamu punya teman baru ya?”“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”
Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhati
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali
Kukayuh kembali sepedaku. Pulang. Ini benar-benar hari yang hebat. Benar-benar seratus delapan puluh derajat lain sekali. Sampai di depan pintu rumah. Dengan menenteng sepedaku masuk. Seperti tak ada kehidupan dalam rumah ini. “Kemana semua penghuninya” tanya ku dalam hati.Aku melanjutkan ke halaman belakang untuk meletakkan sepedaku disana. Ternyata semua berkumpul disana disamping kolam renang. Sedang memperhatikan tingkah laku konyol kelinci putih itu. “Ada apa sih dengan semua orang? Apa hebatnya dengan kelinci itu?” pikirku sambil melihat kelinci itu yang rupanya menerima penangguhan eksekusi mati dari Putri setelah mengunyah sendal kesayangannya.“ Oh hay son…how was your day handsome?” tegur mami yang sedang asik tertawa.“Just great mom…excellent” jawabku puas.Disana ada Hilda, Putri, dan mami. Tapi tak kulihat ayahku. Aku tahu ada dimana Rio tapi ayahku…dengan senyum jahil, Pu