Lama aku terduduk diatas kursi kayu buatan tangan ini, tak sadar hari sudah beranjak gelap dan matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Malas rasanya mengangkat tubuh dari kursi kesayanganku ini. Memang biasanya aku bisa menghabiskan waktu seharian disini, selain tempatnya yang nyaman, udaranya yang sejuk dan yang terpenting tempat ini tak dapat dilihat dari luar, karena letaknya yang jauh berada ditengah taman.
Luas keseluruhan rumahku, sekitar hampir dua ribu meter persegi, cukup luas. Apalagi dipenuhi dengan tanaman bunga, buah-buahan dan juga tanaman lain milik ibuku, yang aku sendiri tak tahu apa nama-namanya, hanya ia yang dapat menghapal dan menyebutkannya satu persatu.Mungkin terdengar gila dengan apa yang aku lakukan disini, mengharap ada yang datang untuk mengisi kekosongan hidupku, bahkan aku sering berkata dalam hati “Tuhan, tolonglah hadirkan seseorang untukku, siapapun dan apapun itu, aku butuh sesuatu dalam hidupku Tuhan, tolonglah.”Apakah mungkin pikiranku sudah agak terganggu? Atau mungkin ini hanya sebab dari kerinduanku atas sosok sahabat yang sangat aku butuhkan saat ini. Sahabat yang takkan pernah meninggalkan ku dalam keadaan apapun? sahabat yang rela mendampingiku kapan saja aku butuhkan, sahabat yang tak hanya memperhitungkan untung rugi, atau sahabat yang benar-benar tulus padaku. Mungkin saja.Tiba-tiba dari arah sebelah kiriku, terdengar ada suara dedaunan atau ranting yang bergesek, aku pun menegakkan badan dan berusaha mencari asal suara itu. Lama aku mencari sumber suara itu, dan…rupanya suara-suara itu berasal dari semak belukar dibelakang gazebo ini.Dengan rasa penasaran, aku pun memberanikan diri untuk menghampiri asal suara itu.Perlahan aku melangkah mendekat, terbesit dibenakku “jangan-jangan ular, atau mungkin…” apapun itu, hal itu sudah membuatku merinding, apalagi malam ini malam jumat, yang untuk sebagian orang, diyakini sebagai malam angker, dan sangat menakutkan. Aku hanya berjarak sekitar satu setengah meter saja dari semak itu, aku tak berani melanjutkan langkahku.
Lalu suara itu tiba-tiba saja berhenti, seakan ia tahu aku sedang mengamati dan coba mendekatinya, aku hanya bisa terdiam terpaku disini, tak berani untuk lebih mendekat, apalagi memeriksa ada apa di balik semak itu, terlebih lampu penerangan taman yang tak begitu memadai, makin mengurungkan niatku untuk mencari tahu ada apa sebenarnya disana.
Ada suara lagi, kali ini diiringi dengan munculnya sosok yang tak begitu jelas, hanya ‘SEPASANG BOLA MATA MERAH’ yang terlihat. Aku pun terperanjat kaget dibuatnya, tapi aku tak dapat bergerak, seakan kedua kaki ku terkunci di tanah. Sepasang mata merah itu menatapku, akupun menatapnya, seperti jika kita sedang mengalami cinta pada pandangan pertama, bedanya aku tak tahu mahluk apa yang ada di depanku ini.Terpikir olehku, “ya Tuhanku, jika aku harus mati malam ini, mohon ampuni dosa-dosaku Tuhan, entah apa yang kau kirim kehadapanku ini, jika aku harus mati malam ini Tuhan, terimalah aku disisimu.” Sosok itu bergerak maju, gerakannya aneh sekali, kedua kaki belakangnya diayunkan bersamaan, seperti lompatan kodok atau kelinci, ia pun mendekat.Sambil memejamkan mata, “Tuhan aku tarik kembali ucapanku, aku tak mau mati malam ini, berilah aku kesempatan sekali lagi Tuhan.”Saat aku membuka mataku, sosok itu sudah ada persis dide
Terdengar suara langkah teratur mendekat, dari arah belakangku, “Bim…” aku sangat mengenal suara itu, Aprilia Dita. Ia selalu datang hampir setiap hari. Pada jam segini, ia tahu persis waktu yang tepat untuk muncul. Saat aku di paksa mendengar hal yang tak penting dan hanya menambah penderitaanku. Ia datang untuk menetralkan otak dan pikiranku.“Rupanya kamu punya teman baru ya?”“Iya Pril baru saja kutemukan ditaman dekat gazebo tadi, aku sendiri tak tahu dari mana asalnya”“Oh ya… trus kamu mau kasih nama siapa”“Wah aku sih belum tahu Pril, aku masih mencari tau siapa pemiliknya, kalau tak dapat ditemukan, mungkin akan kuberikan pada sepupuku Jimmy”“Kenapa tidak kamu pelihara saja…”“Pril…kamu kan tahu aku tidak suka kelinci”“Iya sih tapi kan kasihan, masa kamu tidak tertarik sama mahluk selucu ini”
Wajah Pril terus terbayang di benakku, mungkin karena aku masih belum bisa melupakannya. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun lebih, bukan hitungan waktu yang singkat, jadi wajar aku tak bisa melupakannya begitu saja, aku perlu waktu untuk bisa benar-benar melupakannya. Sebenarnya dihatiku yang paling dalam, aku masih sangat mencintainya, aku ingat saat-saat pertama kami bertemu, di Bali…tepatnya di kuta, saat itu aku sedang berlibur bersama sepupu-sepupuku, kalau tidak salah malam tahun baru.Malam itu aku ditinggalkan oleh mereka, entah kemana atau sedang apa mereka. Jadi kuputuskan untuk berjalan di pinggir pantai saja, ditengah keramaian lautan manusia yang sedang merayakan pergantian tahun.Sebenarnya aku sendiri tak suka keramaian, tapi aku tak tahu harus pergi kemana lagi. Aku mencoba menghindar dari kerumunan, aku berjalan kearah tumpukan batu karang, hanya ingin menikmati indahnya lautan di malam hari, mendengarkan suara desiran ombak, dan memperhati
Aku berada disebuah tempat, nampaknya aku belum pernah kesini sebelumnya. Tapi yang pasti tempat ini indah sekali. Di depanku terbentang luas lautan yang membiru tanpa batas. Dibelakangku berdiri tinggi gunung-gunung hijau membentang. Ada sebuah pondok kecil di sebelah kananku, aku masih bertanya-tanya dimanakah aku ini. Aku masuk kedalam gubuk kecil itu, untuk mencari tahu apakah ada orang didalamnya, agar aku bisa menanyakan ada dimana aku ini. “kreeek…” kubuka pintu reot yang terbuat dari bambu itu. Hanya ada meja persegi empat, dan satu kursi didepannya. Tak ada barang lain disana. “Tempat apa ini?” … ada selembar kertas diatas meja. “apakah ini untukku…” seolah ada yang mendengarkan.Cinta adalah ciptaan tuhan, semua dan setiap butir pasir di dalamnya. Cintailah setiap daun, setiap sinar terang Tuhan. Cintailah binatang, cintailah tanaman, cintailah semuanya. Jika mencintai semuanya, kau akan melihat mister
“Den…Bimo…itu kelincinya mau diapain? Bibi sudah tanya sana sini tapi nggak ada yang ngaku…malahan ada yang bilang suruh potong aja kelincinya trus disate, kejam yah” lapor bi Tina yang kemarin malam kuberi tugas untuk mencari pemilik kelinci nyasar itu.“Hehe…tapi kayanya enak juga tuh bi, sate kelinci. Memang siapa yang bilang begitu?”“Ih si aden …itu tuh tukang sayur di ujung jalan sana. Dasar gila tuh orang”“Tapi suka kan…” aku mengejek bi Tina yang sebenarnya naksir berat sama tukang sayur itu sejak dua tahun lalu, sayangnya si tukang sayur sudah beristri. Tak menjawab, dengan muka memerah siap meledak dan bisa menghanguskan satu desa, si bibi kembali kedapur.Aku tak sadar bahwa ada kelinci di halaman belakang. Apa yang harus aku lakukan dengan hewan itu sekarang. Tak mungkin aku memeliharanya, aku tak suka kelinci. Ya sudah nanti aku mampir saja kerumah Jimm
Setelah selesai merakit sepeda yang selama dua tahun ini hanya aku simpan dalam dusnya. Tak sulit untuku merakit sebuah sepeda, aku sudah terbiasa mungkin karena hobiku adalah bersepeda. Aku mengaduk-aduk isi lemariku. Mencari kostum bersepedaku. Hotpans selutut dan kaos putih bertuliskan ‘BIG IS IMPORTANT BUT SIZE IS NOT EVERYTHING’ kaos kegemaranku. Yang menurut sebagian orang terutama kaum wanita, berbau mesum.Akhirnya aku menemukan apa yang aku cari. Setelah mengenakan helm dan kit lainnya, aku segera menggotong sepedaku turun dari lantai dua rumah kami. Di bawah, aku bertemu Hilda kakak ketigaku. “Hai my beautiful sister…” belum sempat meneruskan kata-kataku. “Eh Bim jangan macam-macam…aku lagi kesal nih…” ucapnya sewot.Apa salahku, mungkin tadi dia lewat kuburan di perempatan jalan sana. Tak heran. Memang banyak kejadian, banyak yang kesurupan setelah melewati jalan itu. “Dasar perempuan yang aneh&r
Kembali kukayuh sepeda itu, kira-kira sekarang ini aku berada di daerah Jl Ampera. Berarti tak jauh lagi dari rumah Jimmy. Yah tinggal melewati beberapa perempatan. Rumah kami memang agak berdekatan, aku di daerah kemang selatan Jimmy di jalan Ampera. Ah akhirnya tiba juga aku.Didepan pagar kayu rumah Jimmy, kupencet bel. Tak lama keluar seorang pria setengah tua. Mang Endah “Eh den Bimo…saya kira siapa” sapanya seraya membukakan pintu besar yang sepertinya berat juga.”udah lama juga ya si aden nggak kesini”“Ya ni mang…kumaha kabarna damang?....Jimmy aya?” tanya ku.“Sae den….aya den…mangga atuh ke lebet…” jawabnya.“Oke deh…nuhun nya mang Endah…” kataku lagi.“Sami-sami den…sini sepedanya biar mamang yang bawa” ucapnya.“Oh iya hatur nuhun mang” ucapku lagi seraya memberikan sepeda itu.Setelah
Aku sedang menyusuri jalan ampera ke arah kemang. Hingga tiba di depan sebuah kafe, News kafe. Ada sosok yang sangat kukenal. Sosok yang selama dua puluh tahun lebih lamanya hadir di tiap hari-hariku. Sosok tinggi berkulit putih, rambut hitam legam acak-acakan, berbadan tegap, berparas ganteng (aku bukan gay) layaknya seorang model. Kakakku Rio. Sedang memandu sebuah sedan keluaran eropa terbaru yang berusaha parkir.Agak lama kuperhatikan ia dari jauh. Hingga akhirnya ia terduduk di sebuah trotoar pelataran parkir kafe.Ku hampiri dia. “misi mas…kalau mau parkir sepeda sebelah mana ya?” yang sedang sibuk menghitung lembaran uang seribuan lecek.“Wah sorry mas…disini sepeda nggak boleh parkir” jawabnya tanpa menoleh kearahku.“TAPI KALAU NGELEMPAR TUKANG PARKIR PAKE SEPEDA BOLEHKAN??” dengan nada tinggi.“Jadi lu ngajak…” ia berdiri, melihat mukaku yang ganteng ini lalu ia kembali