Jawaban tentang keadaan Pandu datang di suatu siang yang terik.
“Mbak Alisya ada tamu untuk mbak di lantai satu.” Suara resepsionis lantai bawah terdengar begitu Alisya mengangkat telepon di mejanya.“Tamu siapa?” tanya Alisya yang merasa tidak mempunyai janji dengan siapapun.“Beliau bilang mertua mbak.”Alisya langsung menggertakkan giginya, dia memang tak pergi jauh dari kota ini. dan tidak berniat bersembunyi juga karena dia yakin itu akan percuma saja. Akan tetapi bukan berarti keluarga Pandu bisa seenaknya merecokinya.“Bagaimana mbak?” tanya sang resepsionist lagi yang memecahkan balon lamunan Alisya.“Baiklah saya akan menemui beliau,” jawab Alisya yakin.Ruang tamu di lantai satu cukup tertutup, setidaknya tempat itu ada di lorong yang jarang dilewati orang, jadi Alisya tidak perlu khawatir kalau mertuanya itu kembali mencaci dan menghinanya, setidaknya hal itu tidak terdengar orang lain.“Mau“Kenapa kamu tidak memakai mobil hadiah dariku?” tanya Pram saat Alisya baru saja turun dari taksi. “Hadiah itu terlalu mahal, lagian kamu tahu sendiri aku tidak bisa menyetir.” “Kamu butuh sopir?.” Alisya langsung berkacak pinggang dengan mata melotot pada sahabatnya yang bukannya takut malah menatapnya dengan malas. Dengan perut buncit dan kaki yang belum sepenuhnya sembuh benar wanita itu terlihat lucu. Saat ini mereka memang bertemu di sebuah cafe, Alisya sengaja meminta Pram bertemu di sini saja, tak usah datang ke rumahnya, bukannya dia tidak tahu terima kasih, tapi Alisya tidak ingin mendengar kalimat macam-macam dari tetangganya. Hal yang membuat Pram langsung mebego-begokan Alisya karena menolak tinggal di apartemen atau perumahan mewah yang dia tawarkan. “Kamu tahu bukan aku sedang berhemat, jadi jangan ajari aku boros,” omel Alisya. “Memangnya naik taksi kemana-mana tidak boros.” “Kamu maunya aku jalan kaki!” Pram tahu perdebatan mereka tidak akan menemukan titik t
Pertemuan ini mengingatkan Alisya pada percakapan dengan ayah mertuanya kemarin. Dua kubu yang sama-sama kuat saling berhadapan. “Semuanya jauh lebih melelahkan dari yang saya kira,” komentar Alisya setelah mendengar cerita yang disampaikan ayah mertuanya. Alisya pikir dengan dia tidak akan buka mulut semuanya akan baik-baik saja. Pandu bisa melanjutkan hidupnya dengan bahagia bersama Sekar dan Alisya juga akan punya kehidupan sendiri. Mereka tak akan lagi bersinggungan, meski suatu hari bertemu Pandu, Alisya berharap perasaannya sudah tawar dan bisa menyapa laki-laki itu seperti pada teman, meski itu terdengar sangat mustahil karena ada ikatan yang sangat kuat yang masih tertinggal meski mereka sudah berpisah. Akan tetapi Alisya yakin itu bukan masalah besar, dia akan mencoba menjelaskan pada anak-anaknya kelak.“Uang dan kekuasan bisa membuat seseorang menjadi serakah dan menghalalkan segela cara, Nak.” Alisya ta
“Haruskah kamu melakukan itu di depan Sekar, dia sedang sangat sensitif karena kehamilannya.” Ada yang menggores hati Alisya saat mendengar teguran itu, tidak bisakah laki-laki ini memikirkan juga perasaanya, sekali saja. “Duduklah, Mas,” kata Alisya mengabaikan perkataan Pandu tadi. Wanita itu sudah duduk dengan tenang di sebuah ruang tunggu yang telah sepi. Sengaja dia memang melakukannya, karena pembicaraan ini akan sangat sensitif di dengar orang lain. Laki-laki itu menengok ke belakang sebentar, mungkin khawatir Sekar akan mencarinya, Alisya hanya tersenyum masam melihat semua itu. “Aku hanya butuh waktumu lima menit tidak lebih,” kata Alisya tegas menghentikan gerakan Pandu dan segera duduk di sampingnya tapi sengaja Alisya sedikit menjauh yang menimbulkan kernyitan tak suka di wajah Pandu tapi Alisya sama sekali tak peduli. “Ada apa, setelah pergi dengan laki-laki lain kamu-“ “Ini soal janji yang pernah aku katakan,” Alisya sama sekali tidak ingin mendengar semua omong k
“Aku lapar kita makan dulu,” kata Pram dengan jutek. Alisya hanya melongo saat mobil tiba-tiba berhenti di sebuah rumah makan dengan berbagai menu ikan bakar yang bahkan bau harumnya tercium sampai ke tempat parkir. “Dan kamu yang traktir,” kata Pram sambil membuka pintu mobil dan membantu Alisya turun. “Baiklah... baiklah... kasihan banget anak orang dari tadi sudah kelaparan,” ejek Alisya. Pram hanya menatap malas Alisya yang berjalan pelan masuk ke dalam rumah makan, dan...“Aduh!” Untung Pram yang ada di belakangnya langsung menangkap tubuh Alisya yang sekarang jauh lebih berisi karena kehamilannya.“Hati-hati, sepertinya tadi aku yang lapar malah kamu yang buru-buru,” kata Pram merangkul bahu Alisya yang oleng dan sedikit menariknya supaya seimbang.Ada kerikil kecil yang tiba-tiba mampir di sepatu yang Alisya gunakan, dan membuat keseimbangan tubuhnya terganggu. “Aku juga lapar ternyata,” k
Alisya yakin ini adalah jalan keluar yang dia tunggu-tunggu.“Ibu yakin masih menyimpannya?” tanya Alisya dengan antusias, wanita itu sampai tanpa sadar berpindah tempat duduk dengan cepat dan mengabaikan peringatan Pram untuk berhati-hati karena sedang mengandung. “Iya, ibu ingat sekali menyimpannya di gudang.” Wanita itu terdiam lalu menatap Alisya dengan seksama dan pandangannya jatuh ke perut Alisya yang sudah sedikit terlihat. “Jadi kalian akhirnya menikah dan sekarang kamu sedang hamil.” Senyum lebar menghiasi wajah keriput wanita di depannya itu. “Pram bukan suami saya kami masih berteman seperti dulu,” kata Alisya meluruskan. “Oh maaf ibu kira kalian...” “Tuhkan Lis, banyak orang yang ngira kita pasangan, bagaimana kalau kita menikah saja dan lupakan suamimu,” kata Pram dengan wajah polos seolah ucapannya hanya ajakan untuk makan pecel di pagi hari. Alisya menatap Pram dengan sengit. Andai tidak ada mantan ibu kosnya di depan mereka Alisya akan dengan senang hati menabok
“Kamu yakin punya bukti yang bisa membantu suamimu?” Ini seperti pedang bermata dua untuk Alisya. Tapi dia yakin akan melakukannya, dia hanya berharap ayah mertuanya dan Pandu cukup bijak untuk tidak memperpanjang masalah dokumen yang dia bawa pulang, karena Alisya tahu bagaimana pengaruh mereka apalagi untuk perusahaan kecil tempat dia bekerja sekarang. Alisya butuh pekerjaan ini. “Setidaknya saya pikir begitu,” kata Alisya pada seseorang di ujung sana. “Baikah aku akan memintanya menemuimu.” Alisya menggeleng tak setuju, dia tidak ingin bertemu Pandu lagi dan merasakan sakit hati oleh penolakan laki-laki itu, tapi dia harus punya alasan untuk tidak bertemu. “Saya... ingin bicara dengan papa dulu, apa bisa? Saya akan ke kantor papa,” kata Alisya setelah terdiam sejenak. “Apa ada masalah?” “Oh bukan saya hanya perlu melakukan konfirmasi tentang keadaan waktu itu, bagaimanapun itu sudah lama terjadi saya
“Kamu menghindariku?” Alisya menghentikan langkahnya dan mengerutkan kening, dia menahan pintu lift, tapi Pandu menariknya masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tiga, tempat kantin berada. “Aku mau ke lantai satu,” kata Alisya yang sudah menekan angka satu, tapi lift sudah naik ke atas, dia harus ikut naik sebelum nanti turun di lantai satu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tuntut Pandu. Alisya menghela napas, apa terlihat jelas kalau dia memang tidak ingin berdekatan dengan suaminya ini, tapi bukankah Pandu sendiri enggan untuk dekat dengannya. “Aku harus buru-buru kembali ke kantor, jam istirahatku terbatas.” Ini alasan paling masuk akal yang bisa Alisya pikirkan untuk saat ini. “Apa kamu harus bekerja sekeras ini?” tanya Pandu dengan nada lelah membuat Alisya yang tadinya mendongak menatap laki-laki itu. “Mas tahu aku tidak punya siapapun untuk diandalkan,” kata Alisya sambil tersenyum tipis “Jika aku tidak bekerja aku makan apa.” Dia sama sekali tidak b
“Alisya keluar kamu pelakor!” Berada di dekat orang yang dicintai, diperhatikan dan ditraktir makan gratis lagi ada nggak sih orang yang akan menolak hal seperti ini? Jawabnya tentu saja yaitu Alisya. Rasa takut selalu hadir dalam dirinya sejak dia tahu Pandu menghadirkan orang lain dalam pernikahan mereka dan tak tanggung-tanggung wanita itu kini menjadi ratu di hati dan istana suaminya. Rasa takut jika hatinya akan kembali terluka saat Sekar kembali hadir di antara mereka dan rasa itu terbukti benar. Alisya mengenal suara itu dengan baik dan andai bisa dia lebih memilih tetap di dalam rumahnya yang nyaman saja dari pada harus meladeni Sekar. Kucing cantik yang manja itu kini telah menunjukkan watak aslinya sebagai harimau yang siap menerkam mangsanya. Alisya memejamkan mata saat suara itu terdengar lagi, ini memang belum terlalu malam. Alisya bahkan baru saja menyelesaikan makan malamnya dan akan mencuci piring
Kadang mencintai itu begitu menyakitkan apalagi mencintai sendiri. Seberapapun dia menolak rasa cinta itu, dia tetap saja tak mampu. Rasa itu datang dengan semena-mena dan menggerus kewarasannya. Diantara besarnya cinta yang dia miliki terdapat cemburu yang membuatnya tak ingin berbagi, dia kira Pandu sudah menyadari semuanya, bahwa dia tidak ingin terluka lagi oleh cinta orang yang sama, tapi nyatanya semua hanya fatamorgana. "Mas tidak perlu bersusah payah aku tahu urusan mas sangat banyak, aku tidak ingin dianggap beban yang merepotkan." Alisya berkata tenang, dia tidak ingin mempermalukan dirinya, sudah cukup drama yang dia ciptakan tadi. "Kamu nggak apa-apa kan, Ran. Nunggu sebentar lagi." Rani yang dari tadi ada di samping Alisya sejak tadi hanya menunduk, dia tidak tahu hari pertama dia tinggal di kota ini malah jadi seperti ini. "Aku terserah mbak Alisya saja," kata Rani dengan pandangan bingung dan enak hati, gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi tahu-tahu Pandu
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan
Alisya memakan kripik yang diberikan bulek Par padanya sambil mengamati air hujan yang jatuh ke bumi. Begitu sampai di rumah ini, mereka disambut dengan hujan yang begitu lebat. Bibi dan Pak Maman yang menyambut mereka langsung sibuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Baik Pandu maupun Alisya tidak banyak membawa barang pribadi mereka kanrena mereka berencana akan sering pulang ke desa jika ada libur, lagi pula barang-barang mereka masih banyak di sini. Saat Alisya pergi dulu dia memang tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Pandu hanya barang-barang lamanya saja. "Memangnya kamu pikir aku harus pake baju perempuan," kata Pandu sebal saat Alisya mengatakan baju itu milik Pandu karena dibeli dengan uang laki-laki itu dulu. Sekarang dia kembali lagi ke rumah ini, kali ini bukan hanya berkunjung tapi juga kemungkinan akan menetap entah lama, masalah keluarga Pandu tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat, banyak rencana Pandu yang diceritakan pada Al
"Memang harusnya istri ikut suaminya, Nduk." Hari ini Alisya datang ke rumah bulek Par, sengaja dengan membawakan kolak pisang kesukaan bulek yang tadi dia buat. Rumah bulek Par memang tidak besar tapi asri dan bersih. Alisya duduk di balai-balai bambu di teras depan rumah bulek. "Iya, bulek sepertinya ini memang sudah saatnya kasihan mas Pandu kalau pulang malam jaraknya jauh." "Lah sudah pinter kamu, pernikahan itu memang harus keduanya berjuang, kalau salah satu saja ya pincang." Alisya mengangguk, itu juga salah satu alasannya mau kembali bersama Pandu, dia melihat kalau laki-laki itu sudah berubah dan mau untuk berjuang untuk pernikahan mereka. "Tapi bulek ada yang menganggu saya sebenarnya kalau harus pindah ke rumah mas Pandu-" "Rumah kalian," koreksi bulek Par. "Iya maksud, Lisya rumah kami. Apa bulek mau ikut kami ke kota?" tanya Alisya hati-hati. Suasana desa yang tentram dan masyarakatnya yang saling tolong menolong membuat banyak warga di sini yang enggan untu
"Mbak Alisya!" Alisya yang baru saja menyiram tanaman di depan rumahnya langsung membuang selangnya begitu Rani memeluknya erat sambil menangis. "Ada apa, Ran? ibumu baik-baik saja kan?" tanya Alisya panik, bulek Par yang pagi ini memang datang ke rumah Alisya ikut berdiri dan menatap Rani tak kalah panik.Beberapa hari yang lalu memang Alisya juga datang ke rumah Rani untuk menjenguk ibunya yang memang sudah lama mengidap penyakit darah tinggi dan sekarang saat tiba-tiba wanita itu datang dengan menangis tentu saja Alisya ikut khawatir. "Ran, ada apa?" tanya Alisya sambil merenggangkan pelukan mereka. Rani yang masih menangis langsung melongo apalagi beberapa tetangga juga sudah berkerumun ingin tahu apa yang terjadi. "Ran!" tegur Alisya lagi. "Kok banyak orang, mbak?" "Lah mereka penasaran kamu teriak tadi, ibumu kenapa?" "Hah! ibu baik-baik saja kok, aku teriak bukan karena ibu," kata Rani dan sekarang meringis salah tingkah apalagi semua mata sekarang menatapnya dengan
Pandu sudah ada di lobi begitu jam kantor Alisya bubar. Tumben. "Mas sejak tadi di sini?" tanya Alisya, resepsionis sama sekali tidak memberi tahunya, padahal setahunya Pandu sama sekali tak suka menunggu. Pandu mengangguk lalu berdiri memeluk anak dan istrinya, Bisma yang mungkin engap terjepit antara ayah dan ibunya langsung merengek. "Mas, ih peluk-peluk sembarangan." Pandu mengedikkan bahunya dengan acuh. "Kan istri sendiri." "Ye siapa bilang istri tetangga." Pandu hanya tersenyum, lalu membimbing sang istri untuk menuju mobilnya. "Bisma nggak rewel setelah imunisasi?" tanya Pandu begitu dia sudah ada di balik kemudi dengan Alisya yang sudah duduk di sampingnya. "Enggak cuma tadi tidur terus setelah minum obat." Pandu mengusap kepala Bisma dengan tangan kirinya dengan sayang, perjalanan menjadi sunyi karena Bisma yang terlihat masih ngantuk menempel erat di dada ibunya sedangkan Rani duduk di bangku belakang dengan terkantuk-kantuk, astaga padahal anak itu juga seharian
"Mbak aku mau beli cilok dulu," kata Rani dengan ceria saat melihat penjual cilok langganannya. "Mbak mau juga?" "Tidak, itu tidak higenis."Jawaban itu bukan dari Alisya tentu saja tapi dari Pandu yang sejak mereka berangkat tadi seperti terkena sariawan. "Ta...tapi abangnya bersih kok, tuan. Pancinya juga pakai tutup." Alisya tak bisa menahan tawanya dia melihat wajah Rani yang ingin menangis saat mengatakan itu, meski begitu gadis itu nekad banget mendebat Pandu.Dan Tuan? Alisya baru saja kalau Rani selama ini memanggil Pandu dengan sebutan tuan, sama dengan semua asisten rumah tangga di rumah laki-laki itu, padahal memanggilnya dengan sebutan mbak bukan nyonya. "Ciloknya enak dan bersih kok, mas," bela Alisya. Orang kaya sih memang seperti itu, dia bahkan tidak yakin Pandu pernah makan jajanan rakyat yang tersebar di pinggir-pinggir jalan. "Memangnya kamu tidak bisa buat itu, ma. Atau nanti aku minta salah satu chef rumah mama untuk membuatkan." "Ish... mas jangan keterla
"Lho mbak Alisya tidak ke kantor?" Orang bilang pertengkaran adalah bumbu dalam rumah tangga. Ayah dan ibu Alisya dulu bukannya tak pernah bertengkar, diam-diam saat malam hari ketika Alisya terbangun dia sering mendengar orang tuanya berdebat. Bukan jenis pertengkaran yang bar-bar memang karena ayah Alisya adalah tipe laki-laki lemah lembut dalam memperlakukan istrinya, hal itu jugalah yang menjadi alasan sang ibu tidak mau menikah lagi setelah sang ayah meninggal. Hidup Alisya memang penuh dengan hinaan dan cacian, tapi tentu saja itu dilakukan orang lain, bukan orang yang dia sayangi dan Alisya memilih masa bodoh. Akan tetapi hari ini mendapati kembali wajah marah Pandu membuat tubuh Alisya gemetar, dia jadi ingat masa-masa kelam pernikahan pertama mereka. "Mbak kok malah bengong, ini Bisma kenapa kok kayak habis nangis?" Bisma memang menangis keras karena kaget dengan bentakan sang papa, karena itu tanpa banyak kata Alisya mengambil alih Bisma dan menenangkannya di tanah la
"Selamat pagi, Al," sapa Pandu dengan wajah kuyu menahan kantuk.Pandu memang sangat tampan dan berkarisma Alisya akui itu. Hal itu jugalah salah satu hal yang membuatnya dulu jatuh hati. Bahkan celana pendek dan kaos oblong terbukti tidak melunturkan ketampanan itu. Akan tetapi wajahnya yang lelah tidak bisa berbohong, seperti sayur kangkung yang sudah dua hari di atas meja dapur, layu."Mas kalau masih ngantuk tidur saja," kata Alisya. "Kenapa kamu pikir mas masih ngantuk?" tanya Pandu sambil cemberut lalu menggeret kursi meja makan dan duduk di sana. "Karena aku bisa melihat," kata Alisya kesal. "Oh," jawab laki-laki itu tak fokus, dia malah duduk bengong menatap Alisya yang sedang memasak. "Atau mas mau mandi sekarang, biar aku siapkan dulu." "Masak mandi dulu baru menyapu?" "Aku bisa menyapu nanti atau aku bisa minta tolong bulek Par, mas mandi saja." "Mas masih ngantuk tapi," jawab Pandu tanpa dosa. Alisya langsung meletakkan spatulanya, melotot kesal pada sang suami ya