“Aku lapar kita makan dulu,” kata Pram dengan jutek. Alisya hanya melongo saat mobil tiba-tiba berhenti di sebuah rumah makan dengan berbagai menu ikan bakar yang bahkan bau harumnya tercium sampai ke tempat parkir. “Dan kamu yang traktir,” kata Pram sambil membuka pintu mobil dan membantu Alisya turun. “Baiklah... baiklah... kasihan banget anak orang dari tadi sudah kelaparan,” ejek Alisya. Pram hanya menatap malas Alisya yang berjalan pelan masuk ke dalam rumah makan, dan...“Aduh!” Untung Pram yang ada di belakangnya langsung menangkap tubuh Alisya yang sekarang jauh lebih berisi karena kehamilannya.“Hati-hati, sepertinya tadi aku yang lapar malah kamu yang buru-buru,” kata Pram merangkul bahu Alisya yang oleng dan sedikit menariknya supaya seimbang.Ada kerikil kecil yang tiba-tiba mampir di sepatu yang Alisya gunakan, dan membuat keseimbangan tubuhnya terganggu. “Aku juga lapar ternyata,” k
Alisya yakin ini adalah jalan keluar yang dia tunggu-tunggu.“Ibu yakin masih menyimpannya?” tanya Alisya dengan antusias, wanita itu sampai tanpa sadar berpindah tempat duduk dengan cepat dan mengabaikan peringatan Pram untuk berhati-hati karena sedang mengandung. “Iya, ibu ingat sekali menyimpannya di gudang.” Wanita itu terdiam lalu menatap Alisya dengan seksama dan pandangannya jatuh ke perut Alisya yang sudah sedikit terlihat. “Jadi kalian akhirnya menikah dan sekarang kamu sedang hamil.” Senyum lebar menghiasi wajah keriput wanita di depannya itu. “Pram bukan suami saya kami masih berteman seperti dulu,” kata Alisya meluruskan. “Oh maaf ibu kira kalian...” “Tuhkan Lis, banyak orang yang ngira kita pasangan, bagaimana kalau kita menikah saja dan lupakan suamimu,” kata Pram dengan wajah polos seolah ucapannya hanya ajakan untuk makan pecel di pagi hari. Alisya menatap Pram dengan sengit. Andai tidak ada mantan ibu kosnya di depan mereka Alisya akan dengan senang hati menabok
“Kamu yakin punya bukti yang bisa membantu suamimu?” Ini seperti pedang bermata dua untuk Alisya. Tapi dia yakin akan melakukannya, dia hanya berharap ayah mertuanya dan Pandu cukup bijak untuk tidak memperpanjang masalah dokumen yang dia bawa pulang, karena Alisya tahu bagaimana pengaruh mereka apalagi untuk perusahaan kecil tempat dia bekerja sekarang. Alisya butuh pekerjaan ini. “Setidaknya saya pikir begitu,” kata Alisya pada seseorang di ujung sana. “Baikah aku akan memintanya menemuimu.” Alisya menggeleng tak setuju, dia tidak ingin bertemu Pandu lagi dan merasakan sakit hati oleh penolakan laki-laki itu, tapi dia harus punya alasan untuk tidak bertemu. “Saya... ingin bicara dengan papa dulu, apa bisa? Saya akan ke kantor papa,” kata Alisya setelah terdiam sejenak. “Apa ada masalah?” “Oh bukan saya hanya perlu melakukan konfirmasi tentang keadaan waktu itu, bagaimanapun itu sudah lama terjadi saya
“Kamu menghindariku?” Alisya menghentikan langkahnya dan mengerutkan kening, dia menahan pintu lift, tapi Pandu menariknya masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tiga, tempat kantin berada. “Aku mau ke lantai satu,” kata Alisya yang sudah menekan angka satu, tapi lift sudah naik ke atas, dia harus ikut naik sebelum nanti turun di lantai satu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tuntut Pandu. Alisya menghela napas, apa terlihat jelas kalau dia memang tidak ingin berdekatan dengan suaminya ini, tapi bukankah Pandu sendiri enggan untuk dekat dengannya. “Aku harus buru-buru kembali ke kantor, jam istirahatku terbatas.” Ini alasan paling masuk akal yang bisa Alisya pikirkan untuk saat ini. “Apa kamu harus bekerja sekeras ini?” tanya Pandu dengan nada lelah membuat Alisya yang tadinya mendongak menatap laki-laki itu. “Mas tahu aku tidak punya siapapun untuk diandalkan,” kata Alisya sambil tersenyum tipis “Jika aku tidak bekerja aku makan apa.” Dia sama sekali tidak b
“Alisya keluar kamu pelakor!” Berada di dekat orang yang dicintai, diperhatikan dan ditraktir makan gratis lagi ada nggak sih orang yang akan menolak hal seperti ini? Jawabnya tentu saja yaitu Alisya. Rasa takut selalu hadir dalam dirinya sejak dia tahu Pandu menghadirkan orang lain dalam pernikahan mereka dan tak tanggung-tanggung wanita itu kini menjadi ratu di hati dan istana suaminya. Rasa takut jika hatinya akan kembali terluka saat Sekar kembali hadir di antara mereka dan rasa itu terbukti benar. Alisya mengenal suara itu dengan baik dan andai bisa dia lebih memilih tetap di dalam rumahnya yang nyaman saja dari pada harus meladeni Sekar. Kucing cantik yang manja itu kini telah menunjukkan watak aslinya sebagai harimau yang siap menerkam mangsanya. Alisya memejamkan mata saat suara itu terdengar lagi, ini memang belum terlalu malam. Alisya bahkan baru saja menyelesaikan makan malamnya dan akan mencuci piring
Bekerja di sini membuat Alisya tidak sempat merasa galau."Mbak Alisya jam sembilan diminta pak Firman ikut meeting di luar," kata Laras sekretaris Pak Firman. Meeting dadakan bukan hal yang baru untuk Alisya, sebagai pegawai bagian keuangan dia terbiasa ikut kemanapun jika atasannya meminta untuk melakukan perincian harga proyek yang akan mereka kerjakan. Devisi keuangan memang hanya memiliki tiga orang pegawai termasuk dirinya. Tak jarang mereka harus lembur untuk memenuhi tuntutan kerja. Seharusnya memang menambah pegawai di bagian ini. Akan tetapi sebagai pegawai baru tentu saja Alisya hanya bisa diam. Gaji yang mereka berikan memang besar sangat sesuai dengan apa yang mereka kerjakan, jika saja Alisya bukan wanita yang sedang mengandung bayi kembar tentu dia tidak akan keberatan dengan itu semua tapi lagi-lagi dia tak bisa berbuat banyak karena memang sangat membutuhkan pekerjaan ini. "Kamu sibuk banget, Al?" Alisya yang sedang bersiap dengan beberapa dokumen penunjang yan
Sekar seperti bensin yang berusaha mencari api, tanpa peduli nantinya dirinya dan juga sekitarnya terbakar. "Kamu tenangkan diri dulu, Al. Tidak usah ikut meeting. Ras, panggil Sigit menggantikan Alisya." Alisya dididik untuk menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab, melimpahkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya pada orang lain jelas tak akan dia lakukan. Akan tetapi suara pak Firman yang tegas membuat Alisya tak memiliki pilihan, dia memang belum melihat wajahnya di cermin tapi dari cara pandang teman-temannya dia tahu wajahnya berantakan, belum lagi pipinya yang terasa perih kena cakaran. "Ayo, Al. Aku bantu kembali ke ruangamu dan jelaskan pada Sigit tentang proyek ini." "Maafkan saya, Pak," kata wanita itu menunduk dalam sambil meremas tangannya merasa bersalah, jika pak Firman menganggap dia biang keributan dan dipecat dia tak akan mampu membela diri. "Pak Panji bilang dia akan datang kemari, aku tahu bagaimana kamu Al dan siapa wanita itu, yang aku heraan...
“Aku tidak akan terkejut kalau kamu membelanya lagi tapi aku penasaran apa yang kamu katakan kali ini?” Suara itu terdengar dingin, membuat ruangan itu seolah membeku. Tidak ada yang salah dengan AC ruangan itu, karena tentu saja akan diset normal seperti biasa. “Apa sekarang kamu jadi bisu!” suara itu kembali terdengar, ada kemarahan yang kental di sana, seperti lahar yang siap untuk dimuntahkan. Terdengar helaan napas dati laki-laki yang lebih muda, dia lalu mendongak menatap ayahnya. Penyesalan melumuri hatinya. Apa ini karma? Rasanya tidak juga, dia hanya ingin setia pada gadis yang dicintainya, takdirlah yang membuatnya menikah dengan wanita itu. Akan tetapi takdir tak mampu menghadirkan cinta di hatinya. Dia menyadari telah banyak menorehkan luka di hati wanita yang dengan terpaksa dia nikahi, tapi bukankah dia menebus semuanya dengan membiayai pengobatan ibu mertunya, meski akhirnya dia harus tutup usia. “Maaf,” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya setelah cukup lam
"Ups maaf, sepertinya papa menganggu."Alisya buru-buru menyelesaikan kunyahannya. Astaga. Seharusnya tadi dia menolak keras Pandu yang ingin menyuapinya, dia sudah sembuh hanya tinggal sedikit pusing dan lemas. "Ma...ma!" jerit Bisma tak terima saat sang kakek ingin membawa anak itu keluar. "Biar Bisma sama saya, Pa," kata Alisya meminta putranya."Asip yang kamu berikan habis jadi papa bawa dia kemari."Alisya mengangguk dia bisa menduganya."Terima kasih, Pa. Sudah menjaga Bisma.""Sama-sama, Nak. Papa dan mama senang bisa menjaga Bisma."Rengekan Bisma yang terlihat sangat kehausan membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum dan berpamitan menunggu di luar.Alisya menatap Pandu yang masih anteng duduk di tempatnya. "Apa mas sudah tanya pada dokter aku boleh menyusui Bisma apa tidak?" tanyanya. "Oh iya, aku lupa bilang, kamu boleh menyusui Bisma, obat yang kamu minum tidak berpengaruh padanya." Alisya mengangguk, menunggu sampai Pandu berdiri dan keluar api sepertinya laki-lak
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya
Bisma menangis kencang tapi Alisya malah tersenyum geli. “Tunggu ya, mama siapin Asip buat kamu dulu, anak mama yang ganteng tenang dulu ya,” kata Alisya kalem. Seperti mengerti ucapan sang mama, bayi mungil itu menatap Alisya yang membawa asi beku untuk dipanaskan sambil sesekali sesegukan. Lucu sekali. Setelah suhunya dirasa cukup, Alisya memberikannya pada Bisma dan anak itu menerimanya dengan tak sabar.“Makasih ya, nak sudah menyelamatkan mama dari papamu tadi malam,” kata Alisya sambil mengelus rambut Bisma yang begitu lembut. Secara keseluruhan wajah anaknya memang mengcopi wajah Pandu, bisa dibilang Bisma hanya numpang tumbuh di rahimnya saja. Tentu saja hal itu membuat Pandu ataupun keluarganya yang dulu sempat meragukan anak yang dia kandung tidak perlu melakukan test DNA. Ini hari libur untuk Alisya dan dia berencana mengajak Bisma untuk jalan-jalan bukan jalan yang jauh sih hanya ke alun-alun kota, tapi
Nyamuk jaman sekarang memang nekad, tidak bisa melihat daging mulus sedikit saja langsung digigit. Bahkan tidak jarang mereka juga memilih bagian-bagian yang sengaja disembunyikan. Padahal ini di teras rumah, bukan di kebun atau bahkan di jalanan. “Pakai ini.” ini agak menggelikan tahu, untuk dua orang yang sudah bercerai karena salah satu melakukan pengkhianatan dan merasa cinta mati pada wanita lain. Alisya jadi teringat dengan film yang dia tonton bersama Laras, film manis yang menurutnya yang telah mengalami pahitnya percintaan tentu saja tidak akan percaya hal itu akan ada di dunia nyata, begitu juga dengan Laras yang mengalami hal yang sama. Tapi...Astaga ini hanya jas... jangan baper Lis. “Terima kasih, mas. Tapi aku bisa masuk dan mengambil jaket dari dalam, aku malas kalau nanti harus mencuci bajumu,” kata Alisya dengan nada bercanda. “Padahal aku kangen kamu mengurusi baju yang aku p