Alisya tahu dia tidak akan dibiarkan bebas begitu saja, penjara memang akan menjadi rumahnya untuk sementara. Kekuasaan dan juga nama baik keluarga suaminya tidak akan membiarkan ada anggota keluarga mereka yang meringkuk di balik jeruji besi. Mereka punya cara tersendiri untuk menghukum orang yang mereka anggap bersalah. Seperti yang terjadi pada dirinya kini. Bahkan tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Setelah tangisnya mereda dan permohonannya berakhir sia-sia, kini otak Alisya kembali bekerja dengan baik, dia tidak bisa hanya terkurung di sini tanpa menemui ibunya. Dua kali dalam sebulan sudah cukup sulit baginya, apalagi jika dia tidak bisa keluar sama sekali, belum lagi dia juga harus mengunjungi dokter Adam. Alisya menggeleng, apa Pandu masih memberinya kesempatan untuk mendatangi dokter Anwar? Bukankah laki-laki itu tadi tidak mengatakan apapun soal itu. Itu bisa dimanfaatkan. Jadwal kontrolnya pada sang dokter tinggal beberapa hari lagi, sebenarnya dia mema
“Papa bisakah papa membantuku.” Itu kata pertama yang diucapkan Alisya begitu panggilan terhubung dengan ayah mertunya. Sesaat keheningan melingkupi mereka berdua, Alisya tak tahu ada di mana ayah mertuanya saat ini. “Apa yang kamu inginkan? Maaf dari Pandu? Itukah yang kamu inginkan?” terdengar nada suara dingin ayah mertuanya. Alisya menelan ludahnya dengan pahit. Selama ini ayah mertuanya adalah satu-satunya orang yang membelanya jika Pandu dan ibu mertunya menindasnya. Ayah mertuanya juga yang meminta Pandu untuk lebih adil pada kedua istrinya, meski Alisya juga sempat kecewa saat laki-laki itu juga menyetujui pernikahan suaminya dengan Sekar. Akan tetapi mendengar nada suara ayah mertuanya, Alisya tak yakin lagi untuk bisa meminta bantuan. Itu, tapi dia tidak akan kalah sebelum berperang bukan?“Maafkan saya papa, tapi saya tak bisa meminta maaf pada mas Pandu untuk kondisi Sekar sekarang, karena saya tidak be
Alisya tak sempat lagi mencopot sprei yang tergantung di pagar balkonSemua orang setelah ini pasti akan tahu kalau dia nekad turun dari balkon kamarnya. Perut Alisya terasa sakit tapi tak ada waktu untuk mengeluh. Tak ada kesempatan lagi, dengan langkah tertatih dia menaiki kursi rodanya, untunglah rodanya tidak macet meski di jalankan di jalan berumput. “Nyonya Alisya!” Dia ketahuan. Tukang kebun itu memang sudah tua, tapi dia tidak buta apalagi satu-satunya orang yang menggunakan kursi roda di rumah ini hanyalah Alisya.“Tunggu! Nyonya mau kemana!” Alisya tak menggubris teriakan itu, dia berjuang untuk mencapai pagar rumah. masih ada satpam tentu saja di sana, dia harus memikirkan cara untuk melalui mereka. Dan benar saja teriakan tukang kebun itu membuat semua orang di dalam rumah keluar. Alisya tak memiliki kesempatan lagi dia harus berpikir cepat. Sebuah mobil asing terlihat terparkir di halaman rumah, Alisya tak tahu itu mobil siapa tapi dia tentu tidak punya banyak pili
Uang di Atm Alisya tidak cukup untuk uang muka operasi ibunya. Uang bulanan dari Pandu memang besar tapi dia memilih menjadikannya perhiasan. Keputusan yang tidak tepat di saat seperti ini, karena dia butuh pergi ke toko emas dulu untuk menjadikannya uang lagi. Alisya memegang ponselnya berusaha menghubungi Pram, tapi dia membatalkannya, dia tak ingin merepotkan Pram. Dia yakin masih bisa mengatasi semua ini. Sahabatnya itu sudah banyak membantunya, dan Alisya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan laki-laki itu. “Saya akan pergi sebentar,” kata Alisya pada petugas administrasi. Wanita itu mengangguk. Alisya menggulir kursi rodanya keluar dari rumah sakit. pukul tiga sore, dia hanya berharap toko emas itu masih buka. “Toko emas terdekat,” kata Alisya begitu sopir taksi bertanya kemana mereka akan pergi. Alisya tersenyum lega saat uang sudah ada di tangannya. Dia harus segera kembali ke rumah sakit
“Apa yang terjadi?” Itu bukan Alisya yang bertanya tapi Pram. Laki-laki itu juga terlihat kebingungan, suster mendorong kursi roda Alisya lebih cepat dan diikuti Pram di belakangnya. “Ibu tunggu di sin dulu,” kata sang perawat. Wajah Alisya sudah memucat di tempatnya. Apa mereka memutuskan mengoperasi ibunya sekarang tanpa menunggu pembayaran uang muka? Atau tanpa sepengetahuan Alisya, Pandu sudah mengirim uang langsung ke rumah sakit. “Apa ibu akan dioperasi sekarang?” tanya Alisya. Sang suster menatapnya dengan pandangan yang tak dapat Alisya artikan, tapi satu yang pasti Alisya tak suka dengan pandangan itu. “Suster?” tanya Alisya lagi dengna tidak sabar. “Apa saya bisa bertemu ibu dulu sebelum operasi?” Remasan lembut di bahunya membuat Alisya menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya dengan senyum sedih. “Lis tenang dulu, dokter sedang berusaha sebaik mungkin. Kamu hanya perlu berdoa.” Alisya tak menjawab dia hanya menunduk dengan tangan gemetar. Sama dengan Pram yang
Tubuh Alisya luruh begitu jasad ibunya sedikit demi sedikit tertutup tanah. “Ikhlaskan, Nak.” Seorang wanita tua yang merupakan saudara jauh ayahnya mendekapnya dengan erat. Wanita tua itu juga yang telah berbaik hati mengizinkan rumahnya untuk tempat bersemayam jenazah sang ibu untuk sementara sebelum di kebumikan. Alisya tak sanggup melihat ini semua, kekuatan tubuhnya seolah hilang. Kakinya yang beberapa saat lalu mampu sedikit menompang tubuhnya kini seolah hilang entah kemana. Alisya memang meninggalkan kursi rodanya di mobil Pram. Jalan tanah di area pemakanam membuatnya kesulitan untuk menggunakan kursi roda. Wanita itu sedikit menyeret Alisya menjauh, saat Alisya terlihat seperti akan pingsan. Dalam ketidakberdayaan yang menderanya, Alisya masih ingin mengikuti semua proses pemakanan ibunya, tangannya mencengkeram tanah pekuburan dengan erat seolah itu lah satu-satunya pegangan yang dia punya saat ini.
“Apa kamu sama sekali tidak tahu sebelumnya?” tanya Pram dengan tatapan tajamnya. Pengajian meninggalnya sang ibu memang sudah usai untuk hari ini di rumah wanita tua itu, dan rencananya akan diadakan sampai tujuh hari ke depan. Dengan Alasan kesehatannya yang tidak memungkinkan Alisya meminta pengertian pada wanita tua itu untuk tidak hadir, tentu saja setelah memberikan sejumlah uang dan apa saja yang diperlukan nantinya. Bukan Alisya tidak ingin di sana, mendoakan ayah dan ibunya tapi dia punya kewajiban lain yang harus dia penuhi. Tugasnya sebagai seorang istri di rumah besar itu belum usai ada banyak misteri dan kesalah pahaman di sana. Sebenarnya Alisya ingin pergi saja dari sana, alasannya untuk ada di sana tak ada lagi. Kehidupannya di sana bukan memberikan kebahagiaan tapi hanya sakit hati dan duka yang berkepanjangan tapi apa yang baru saja dia ketahui membuatnya berubah pikiran. Dia tak boleh egois. Anak yang dia kandung berhak diketahui ayahnya, meski mereka melakuk
“Syukurlah, saya ikut lega,” jawab Alisya. Dia mengabaikan begitu saja kata-kata ‘sayang sekali’ yang tadi diucapkan oleh bibi. Entah wanita itu menyindirnya atau memang membenci Sekar, Alisya tak tahu. Akan tetapi dari sikap bibi saat dia dituduh mendorong Sekar, Alisya menyimpulkan, wanita ini bukan dipihaknya. Bibi baik padanya karena memang itu yang harus dia lakukan. Tidak seperti Alan yang terang-terangan membela dan membantunya. Alan? Bagaimana kabar laki-laki itu? Alisya sama sekali belum melihatnya sejak dia kembali ke rumah ini. “Jadi mereka minta bibi memasak untuk kepulangan Sekar?”Alisya melihat berbagai macam bahan makanan telah dikeluarkan wanita itu dari ruang penyimpanan. “Apa akan ada pesta?” tanya Alisya lagi. “Saya tidak tahu hanya diminta mempersiapkan makanan untuk merayakan kepulangan nyonya Sekar. Saya juga bingung mau masak apa.” Wanita paruh baya itu mengatak
Alisya tahu banyak orang jahat di dunia ini, tapi dia tak percaya ada orang tega mencelakai bayi yang bahkan belum lahir. "Itu tidak mungkin aku tidak punya musuh," bantah Alisya Wanita itu menarik napas panjang untuk melonggarkan sesak di dadanya. "Memang sih belum ada bukti nyata, tapi apa kamu tidak curiga dengan motor yang katamu tiba-tiba muncul dengan kecepatan tinggi," kata Laras begitu mereka hanya tinggal berdua. Alisya terdiam, dari tadi dia sibuk dengan dukanya dan menyalahkan dirinya sendiri, dia merasa menjadi ibu yang sangat buruk. "Kamu yakin, Ras?" Alisya menatap Laras sekali lagi dan gadis itu mengangguk meyakinkannya. "Sangat yakin, aku rasa Pram juga berpikir demikian." "Putraku!" kata Alisya yang membuat Laras terkejut. "Apa yang kamu lakukan kamu tidak boleh turun dulu," kata Laras panik. "Jika perkiraanmu benar, putraku dalam bahaya, aku tidak bisa membiarkannya sendirian," kata Alisya sambil meringis karena tak sengaja dia mengambil selang infu
Alisya mendekap bayinya erat di dadanya menimangnya dengan lembut dan mendendangkan sebuah lagu yang membuat empat orang dewasa di ruangan itu teriris hatinya. “Kamu tahu sayang, mama sudah menyiapkan semua untukmu, kamu akan mama dandani supaya cantik, yuk bangun sayang,” katanya sambil terus menimang bayi itu. Merasa bayi itu tak mau bangun, Alisya ganti menciumi wajah pucat bayinya. “Sayang bangun mama mohon,” kata wanita itu dengan memelas, tapi bayi itu tetap diam. “Sudah Al, bayi kita sudah tenang, aku mohon ikhlaskan dia,” kata Pandu tak sanggup lagi melihat Alisya seperti itu.Alisya langsung menoleh pada Pandu perlahan dia letakkan bayi dalam pelukannya itu, dia lalu menatap laki-laki itu dengan tajam. “Tolong putriku, Mas. aku akan melakukan apa saja asal putriku bisa kembali, mas pasti kenal dokter yang bisa melakukannya,” kata wanita itu sambil mengguncang tubuh Pandu dengan keras. “Lis jangan konyol kamu,” kata Pram.
Laki-laki terlihat begitu terpukul mendengar apa yang dikatakan Pram. Itu bukan kepura-puraan, Laras bisa melihat hal itu dengan jelas. Laras memang tidak menyukai Pandu karena laki-laki itu yang sama saja dengan ayahnya yang tega berkhianat dan menelantarkan anak dan istrinya demi wanita baru, tapi pemendangan yang dia saksikan tidak bisa dia tampik, Pandu menyesali semuanya, meski sudah terlambat. Apa suatu suatu saat nanti ayahnya juga akan menyesal? “Kamu bisa bertanya pada dokter jika tidak percaya,” kalimat Pram yang dikatakan lebih baik dari sebelumnya, mungkin dia juga melihat penyesalan Pandu yang terlihat jelas. “Benar, pak. Sebaiknya pak Pandu menemui dokter dulu dan menanyakan semuanya,” kata Laras membenarkan ucapan Pram. Meski Pram yang sejak tadi menandatangani semuanya tapi bagaimanapun laki-laki ini merupakan ayah kandung dari bayi yang dilahirkan Alisya. Sejahat apapun sikapnya dia berhak atas anaknya. “Tolong jaga Alisya sebentar,” kata laki-laki itu lalu be
“Aku sudah memeluknya dengan erat mereka pasti baik-baik saja kan,” kata Alisya dengan suara yang makin lama makin melemah.Disebelahnya Laras menangis terisak-isak merasa sangat bersalah andai saja dia tidak perlu ke kamar mandi dan membiarkan Alisya berjalan sendiri...Gadis itu menggeleng dengan putus asa, tangannya menggenggam erat tangan Alisya dan berusaha mencegah wanita itu pingsan, darah mengalir dari luka di pundaknya juga... jalan lahirnya.“Si kembar pasti baik-baik saja, Al. kamu harus kuat jangan menyerah,”kata Laras di sela tangisnya.Tadi saat baru berjalan beberapa langkah Laras terkejut mendengar suara benturan di belakangnya, dia sama sekali tak tahu bagaimana kejadiannya tahu-tahu Alisya sudah terkapar dengan tangan yang memeluk erat perutnya dan Pram yang berlari dengan panik menghampiri wanita itu.Lutut Laras
Alisya bangun dengan lebih bersemangat hari ini. Usia kandungannya sudah menginjak minggu ke tiga puluh enam dan dia juga sudah cuti dari tempat kerjanya. Sehari-hari dia hanya di rumah dan tak melakukan apapun, beberapa tetangga juga sudah tidak memesan kue dan makanan lagi padanya, bukannya dia butuh banget uang hasil penjualannya, bukan. Alisya hanya menyukai kesibukannya memasak dan repot di dapur. Tak adanya pekerjaan juga membuatnya mengingat saat masih tinggal di rumah Pandu. Akan tetapi hari ini berbeda baik Pram maupun Laras sama-sama berjanji mengantarnya membeli keperluan untuk anaknya, sedikit telat memang tapi bukan masalah juga selama bayinya belum lahir. “Mau aku jemput?” Alisya membenahi letak ponsel yang dia jepit dengan bahunya saat Pram mengatakan hal itu, tangannya sibuk membuat susu hamil yang biasa diminum. “Aku naik taksi saja kita ketemuan di sana,” kata Alisya yang tahu kalau Pram ada acara terlebih dahulu sebelum menemaninya belanja, sebenarnya bisa
Pandu menatap cermin sambil melihat penampilannya secara keseluruhan. “Kamu mau kemana lagi mas?” tanya Sekar terlihat sangat tak terima. Ini hari libur seharusnya mereka bisa menghabiskan waktu bersama seperti sebelumnya, tapi ini bahkan sudah lebih dari lima bulan, Pandu tetap bersikap dingin padanya. Sekar juga sudah memenuhi permintaan Pandu untuk memberikan bayi merepotkan itu pada ayah kandungnya saja. Andrew.Dia memang jadi lebih bebas dan tak perlu lagi mendengar tangis bayi setiap malamnya, tapi dia juga tak punya alasan lagi untuk membuat Pandu tetap menemaninya, rengekan bayi itu terbukti mampu menahan Pandu di rumah meski bukan untuk menemaninya.Sekar kira dengan anak itu tidak ada lagi bersama mereka, sikap Pandu akan jadi seperti dulu, selalu memprioritaskannya dalam hal apapun tapi angannya ternyata terlalu tinggi. “Aku ada urusan,” kata Pandu singkat. Bersama Sekar memang terasa menyebalkan untukny
Sekar menolak Andrew mengambil anaknya dengan alasan anak itu masih membutuhkan asinya. “Kamu yang membuat anakku jadi seperti itu, perempuan gila!” maki Andrew pada perempuan yang telah melahirkan anaknya itu. Setelah konferensi pers yang mereka lakukan, laki-laki itu memaksa Pandu untuk mempertemukannya dengan bayinya. Dan Pandu yang tidak punya alasan untuk menolak tentu saja menyetujuinya lagi pula dia punya tujuan lain dengan membawa Andrew melihat bayi itu. Mata laki-laki itu berkaca-kaca saat melihat bayinya untuk pertama kali, hal yang membuat Pandu tertegun sejenak. Laki-laki ini memang brengsek dan kejam pada orang-orang disekitarnya tapi dia sudah sering bertemu orang dan mata itu tak mungkin bohong. Pandu melihat ketulusan di sana, hal yang membuatnya sedikit lega paling tidak ada orang yang benar-benar menyayangi anak itu. Bahkan laki-laki itu secara serius memohon pada Pandu untuk memberikan bayi itu padanya. “Jangan salahkan aku kamu yang mengajakku ketempat itu!”
“Dimana bosmu!”Suara itu terdengar penuh kemarahan, membuat Pandu buru-buru berdiri dari duduknya. Kepalanya sedikit pusing karena semalaman tidak tidur dan menenggelamkan diri di ruangan ini tapi suara yang di dengarnya tak bisa dia abaikan begitu saja.Pekerjaan adalah caranya melarikan diri saat ini. supaya tidak lepas kendali dan melakukan hal-hal yang nantinya akan dia sesali.“Pa?”Pintu terjeblak dan sang ayah berdiri di sana dengan wajah merah dan sang sekretaris yang berdiri ketakutan di belakangnya.Ada apa lagi? tidakkah dia diberi kesempatan untuk bernapas barang sejenak saja?“Pergilah!” usir sang ayah pada sekeretarisnya, Pandu hanya mengangguk dan mempersilahkan ayahnya duduk, laki-laki paruh baya itu menghela napas dalam dan menatap putranya dengan putus asa.
“Bajingan sialan kamu! Pembunuh!” Pandu baru saja membuka pintu ruangan privat yang sudah dia pesan tapi bukannya sambutan hangat yang dia terima tapi makian dan juga bogeman mentah di wajahnya. Pandu yang tidak siap langsung terhuyung ke luar ruangan dan pegangannya pada gagang pintu terlepas untung saja seorang pelayan yang sedang membawa minuman sigap menghindar sehingga tidak tertabrak olehnya. Para pengunjung wanita yang kaget menjerit histeris. Andrew bahkan merangsek keluar menghampiri lawannya, wajahnya merah padam menahan amarah. Dia memang bukan laki-laki suci, dia bahkan memiliki kelainan yang tak banyak diketahui orang. Jiwanya gelap segelap malam yang sebentar lagi akan datang, tapi sebrengseknya dia dia tidak akan tega menyakiti bayi yang masih dalam kandungan ibunya. Dan laki-laki yang baru saja mendapat bogeman darinya tidak pantas sama sekali disebut manusia dia lebih rendah dari binatang. Membayangkan bayinya yang saat ini menderita karena lahir belum waktunya