“Aku tidak melakukannya! sungguh!” Alisya menatap sekelilingnya dengan tubuh gemetar, dia memang tidak menyukai Sekar, tapi dengan sengaja membunuh janin tak berdosa dalam kandungan wanita itu tentu saja tidak pernah ada dalam pikirannya sama sekali. Pandangan mencemooh dari para pelayan yang datang karena mendengar teriakan Sekar dan Pandu tadi membuat Alisya makin merasa bersalah. “Saya tidak mengira anda sekeji ini, kasihan sekali nyonya Sekar,” kata Bu Titin yang langsung diangguki oleh pelayan yang lain. Dia menatap bibi juru masak yang beberapa hari terakhir ini bersikap lebih baik padanya, tapi wanita itu hanya diam dengan pandangan kecewa. Apa sekali lagi dia akan jatuh dalam jebakan Sekar?Otak Alisya seakan buntu untuk menghadapi semua ini, bayangan Sekar yang berdarah membuatnya menggigil. Demi Tuhan dia tidak ingin terjadi hal yang buruk pada janin yang dikandung Sekar. “Sebaiknya nyonya menenangkan diri dulu, semua pasti baik-baik saja.” Kepala Alisya yang menundu
Alisya tahu dia tidak akan dibiarkan bebas begitu saja, penjara memang akan menjadi rumahnya untuk sementara. Kekuasaan dan juga nama baik keluarga suaminya tidak akan membiarkan ada anggota keluarga mereka yang meringkuk di balik jeruji besi. Mereka punya cara tersendiri untuk menghukum orang yang mereka anggap bersalah. Seperti yang terjadi pada dirinya kini. Bahkan tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Setelah tangisnya mereda dan permohonannya berakhir sia-sia, kini otak Alisya kembali bekerja dengan baik, dia tidak bisa hanya terkurung di sini tanpa menemui ibunya. Dua kali dalam sebulan sudah cukup sulit baginya, apalagi jika dia tidak bisa keluar sama sekali, belum lagi dia juga harus mengunjungi dokter Adam. Alisya menggeleng, apa Pandu masih memberinya kesempatan untuk mendatangi dokter Anwar? Bukankah laki-laki itu tadi tidak mengatakan apapun soal itu. Itu bisa dimanfaatkan. Jadwal kontrolnya pada sang dokter tinggal beberapa hari lagi, sebenarnya dia mema
“Papa bisakah papa membantuku.” Itu kata pertama yang diucapkan Alisya begitu panggilan terhubung dengan ayah mertunya. Sesaat keheningan melingkupi mereka berdua, Alisya tak tahu ada di mana ayah mertuanya saat ini. “Apa yang kamu inginkan? Maaf dari Pandu? Itukah yang kamu inginkan?” terdengar nada suara dingin ayah mertuanya. Alisya menelan ludahnya dengan pahit. Selama ini ayah mertuanya adalah satu-satunya orang yang membelanya jika Pandu dan ibu mertunya menindasnya. Ayah mertuanya juga yang meminta Pandu untuk lebih adil pada kedua istrinya, meski Alisya juga sempat kecewa saat laki-laki itu juga menyetujui pernikahan suaminya dengan Sekar. Akan tetapi mendengar nada suara ayah mertuanya, Alisya tak yakin lagi untuk bisa meminta bantuan. Itu, tapi dia tidak akan kalah sebelum berperang bukan?“Maafkan saya papa, tapi saya tak bisa meminta maaf pada mas Pandu untuk kondisi Sekar sekarang, karena saya tidak be
Alisya tak sempat lagi mencopot sprei yang tergantung di pagar balkonSemua orang setelah ini pasti akan tahu kalau dia nekad turun dari balkon kamarnya. Perut Alisya terasa sakit tapi tak ada waktu untuk mengeluh. Tak ada kesempatan lagi, dengan langkah tertatih dia menaiki kursi rodanya, untunglah rodanya tidak macet meski di jalankan di jalan berumput. “Nyonya Alisya!” Dia ketahuan. Tukang kebun itu memang sudah tua, tapi dia tidak buta apalagi satu-satunya orang yang menggunakan kursi roda di rumah ini hanyalah Alisya.“Tunggu! Nyonya mau kemana!” Alisya tak menggubris teriakan itu, dia berjuang untuk mencapai pagar rumah. masih ada satpam tentu saja di sana, dia harus memikirkan cara untuk melalui mereka. Dan benar saja teriakan tukang kebun itu membuat semua orang di dalam rumah keluar. Alisya tak memiliki kesempatan lagi dia harus berpikir cepat. Sebuah mobil asing terlihat terparkir di halaman rumah, Alisya tak tahu itu mobil siapa tapi dia tentu tidak punya banyak pili
Uang di Atm Alisya tidak cukup untuk uang muka operasi ibunya. Uang bulanan dari Pandu memang besar tapi dia memilih menjadikannya perhiasan. Keputusan yang tidak tepat di saat seperti ini, karena dia butuh pergi ke toko emas dulu untuk menjadikannya uang lagi. Alisya memegang ponselnya berusaha menghubungi Pram, tapi dia membatalkannya, dia tak ingin merepotkan Pram. Dia yakin masih bisa mengatasi semua ini. Sahabatnya itu sudah banyak membantunya, dan Alisya tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan laki-laki itu. “Saya akan pergi sebentar,” kata Alisya pada petugas administrasi. Wanita itu mengangguk. Alisya menggulir kursi rodanya keluar dari rumah sakit. pukul tiga sore, dia hanya berharap toko emas itu masih buka. “Toko emas terdekat,” kata Alisya begitu sopir taksi bertanya kemana mereka akan pergi. Alisya tersenyum lega saat uang sudah ada di tangannya. Dia harus segera kembali ke rumah sakit
“Apa yang terjadi?” Itu bukan Alisya yang bertanya tapi Pram. Laki-laki itu juga terlihat kebingungan, suster mendorong kursi roda Alisya lebih cepat dan diikuti Pram di belakangnya. “Ibu tunggu di sin dulu,” kata sang perawat. Wajah Alisya sudah memucat di tempatnya. Apa mereka memutuskan mengoperasi ibunya sekarang tanpa menunggu pembayaran uang muka? Atau tanpa sepengetahuan Alisya, Pandu sudah mengirim uang langsung ke rumah sakit. “Apa ibu akan dioperasi sekarang?” tanya Alisya. Sang suster menatapnya dengan pandangan yang tak dapat Alisya artikan, tapi satu yang pasti Alisya tak suka dengan pandangan itu. “Suster?” tanya Alisya lagi dengna tidak sabar. “Apa saya bisa bertemu ibu dulu sebelum operasi?” Remasan lembut di bahunya membuat Alisya menoleh dan mendapati Pram yang menatapnya dengan senyum sedih. “Lis tenang dulu, dokter sedang berusaha sebaik mungkin. Kamu hanya perlu berdoa.” Alisya tak menjawab dia hanya menunduk dengan tangan gemetar. Sama dengan Pram yang
Tubuh Alisya luruh begitu jasad ibunya sedikit demi sedikit tertutup tanah. “Ikhlaskan, Nak.” Seorang wanita tua yang merupakan saudara jauh ayahnya mendekapnya dengan erat. Wanita tua itu juga yang telah berbaik hati mengizinkan rumahnya untuk tempat bersemayam jenazah sang ibu untuk sementara sebelum di kebumikan. Alisya tak sanggup melihat ini semua, kekuatan tubuhnya seolah hilang. Kakinya yang beberapa saat lalu mampu sedikit menompang tubuhnya kini seolah hilang entah kemana. Alisya memang meninggalkan kursi rodanya di mobil Pram. Jalan tanah di area pemakanam membuatnya kesulitan untuk menggunakan kursi roda. Wanita itu sedikit menyeret Alisya menjauh, saat Alisya terlihat seperti akan pingsan. Dalam ketidakberdayaan yang menderanya, Alisya masih ingin mengikuti semua proses pemakanan ibunya, tangannya mencengkeram tanah pekuburan dengan erat seolah itu lah satu-satunya pegangan yang dia punya saat ini.
“Apa kamu sama sekali tidak tahu sebelumnya?” tanya Pram dengan tatapan tajamnya. Pengajian meninggalnya sang ibu memang sudah usai untuk hari ini di rumah wanita tua itu, dan rencananya akan diadakan sampai tujuh hari ke depan. Dengan Alasan kesehatannya yang tidak memungkinkan Alisya meminta pengertian pada wanita tua itu untuk tidak hadir, tentu saja setelah memberikan sejumlah uang dan apa saja yang diperlukan nantinya. Bukan Alisya tidak ingin di sana, mendoakan ayah dan ibunya tapi dia punya kewajiban lain yang harus dia penuhi. Tugasnya sebagai seorang istri di rumah besar itu belum usai ada banyak misteri dan kesalah pahaman di sana. Sebenarnya Alisya ingin pergi saja dari sana, alasannya untuk ada di sana tak ada lagi. Kehidupannya di sana bukan memberikan kebahagiaan tapi hanya sakit hati dan duka yang berkepanjangan tapi apa yang baru saja dia ketahui membuatnya berubah pikiran. Dia tak boleh egois. Anak yang dia kandung berhak diketahui ayahnya, meski mereka melakuk