“Syukurlah, saya ikut lega,” jawab Alisya. Dia mengabaikan begitu saja kata-kata ‘sayang sekali’ yang tadi diucapkan oleh bibi. Entah wanita itu menyindirnya atau memang membenci Sekar, Alisya tak tahu. Akan tetapi dari sikap bibi saat dia dituduh mendorong Sekar, Alisya menyimpulkan, wanita ini bukan dipihaknya. Bibi baik padanya karena memang itu yang harus dia lakukan. Tidak seperti Alan yang terang-terangan membela dan membantunya. Alan? Bagaimana kabar laki-laki itu? Alisya sama sekali belum melihatnya sejak dia kembali ke rumah ini. “Jadi mereka minta bibi memasak untuk kepulangan Sekar?”Alisya melihat berbagai macam bahan makanan telah dikeluarkan wanita itu dari ruang penyimpanan. “Apa akan ada pesta?” tanya Alisya lagi. “Saya tidak tahu hanya diminta mempersiapkan makanan untuk merayakan kepulangan nyonya Sekar. Saya juga bingung mau masak apa.” Wanita paruh baya itu mengatak
"Lihat kelakukan wanita ini makin membuatku muak saja!" Wanita paruh baya yang menjadi mama mertuanya itu, menatap Alisya dengan marah. Sangat berbeda perlakuannya saat menghadapi Sekar. "Seharusnya kamu dipenjara kelakuanmu seperti kriminal!" "Ma! cukup!" "Lihat inilah perempuan yang selalu papa bela, dia berniat membunuhnya." Wanita itu menatap putranya dengan tajam. "Ceraikan perempuan ini!" teriak wanita itu kalap. Di tempatnya Alisya hanya membeku menatap ibu mertunya lalu pada suaminya. "Ma, cukup! tidak ada perceraian di keluarga kita!" "Dia hampir saja membunuh cucu kita, kenapa papa-" "Siapa yang mama maksud dengan membunuh?" tanya Alisya gerah dengan perkataan ibu mertunya. "Alisya, diam lah dan kita akan makan!" Alisya hanya menatap datar Pandu yang baru saja membentaknya. Akan tetapi wanita itu memilih diam, dan mengambil tempat seperti biasa. Sejujurnya dia tidak lapar, karena sarapan paginya yang terlalu siang tadi, tapi akan sangat tidak sopan jika dia men
Alisya terbangun dengan mata sembab dan wajah kuyu. Rasa pusing hebat melanda. Hal itu di perparah dengan rasa mual yang membuatnya harus buru-buru ke kamar mandi, bahkan dengan meninggalkan kursi rodanya. Sejak mengetahui kehamilannya. Janin dalam perut Alisya seolah menuntut untuk selalu diperhatikan. Bukan dengan makanan atau permintaan aneh-aneh yang disebut ngidam seperti halnya Sekar, tapi rasa pusing dan mual yang selalu melandanya di pagi hari atau bahkan saat memasak. Hal yang dulu menjadi kegemarannya ini, sekarang menjadi hal yang sangat dia benci. Pembicaraannya dengan Pandu tadi malam mampu membuat wanita itu makin terpuruk. Menangis, hanya itu yang bisa dia lakukan. Dia bahkan belum mengatakan tentang kehamilanya ataupun kematian ibunya. Laki-laki yang menjadi suaminya itu mencerca dan menghinanya tanpa mau melihat faktanya. “Saya sudah menyiapkan bahan untuk membuat nasi bakar,” kata bibi begitu Alisya masuk ke dapur. “Nasi bakar?” tanya wanita itu bingung. “Nyon
“Bagaiman kabarmu dan si kecil?” Alisya tersenyum dan mengelus perutnya dengan sayang. Dia berusaha menjaga sebaik mungkin anugerah yang diberikan Tuhan padanya. Alisya merasa dengan adanya janin dalam perutnya kini dia tidak merasa sendirian lagi, paling tidak dia masih punya keinginan untuk berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Ayah dan ibunya telah pergi tak ada lagi orang-orang yang benar-benar menyayangi lagi di dunia ini, dan kehadiran mahluk di dalam rahimnya seperti keajaiban yang akan menemaninya nanti. “Kami baik-baik saja,” jawab Alisya sambil tersenyum penuh syukur. “Kamu sudah memeriksakan diri ke dokter?” Alisya tertegun, elusan di perutnya berhenti. “Ah pasti belum ya.” Meski saat ini mereka tidak berhadapan secara langsung hanya melalui ponsel jadul Alisya, tapi Pram seolah-olah bisa menebak rekasi Alisya. “Aku kemarin sudah periksa ke bidan, ingat saat kematian ibu dan ini belum sa
Bruk!Tiba-tiba kursi roda yang dinaiki Alisya hilang kendali dan membuat wanita itu jatuh terguling, dia berusaha keras untuk bangkit. “Apa yang nyonya lakukan?” “Bisa bantu saya untuk bangun.” Alisya mengulurkan tangannya dan wanita itu langsung membantunya untuk duduk di lantai lalu memperbaiki posisi kursi rodanya yang terguling. “Ponsel anda.” “Astaga tidak bisa menyala lagi,” gumam Alisya yang menatap sedih ponsel malangnya yang baru saja tertimpa kursi roda. “Biar saya bantu naik lagi ke kursi anda,” kata Wanita itu sambil mengulurkan tangan pada Alisya dan membantunya duduk kembali ke kursi rodanya. “Padahal saya ingin menghubungi dokter,” kata Alisya dengan wajah bingung. “Apa saya boleh meminjam ponsel bu Titin, ibu punya nomer dokter Anwar bukan?” tanya Alisya dengan tatapan memohon. “Tentu saja saya punya. Biar saya saja yang menghubunginya, apa yang nyonya inginkan?” tanya wanita itu terlihat sedikit bingung dan curiga. “Saya hanya ingin mengkonfirmasi kunjunga
Itu perintah bukan permintaan. Dan Alisya merasa dia tidak harus mematuhi perintah itu. Pandu telah melanggar janjinya dengan memberikan biaya pengobatan ibunya. Dan Alisya merasa sangat kecewa, dia tahu waktu itu Pandu sedang marah padanya, apalagi dia yang melanggar perintah laki-laki itu. Akan tetapi Alisya tidak bersalah. Sama dengan kecelakaan yang membuatnya lumpuh, dia juga tidak merencanakan ini semua. Tapi di mata Pandu dia hanya monster yang selalu menyusahkannya. Karena itu Alisya ingin sekali memberontak dan mengatakan keberatannya. Andai saja Sekar memintanya dengan manis dan sopan tentu Alisya akan membuatkannya meski harus menahan mual, tapi dia tahu Sekar meminta hal itu bukan karena dia ingin makan buatan Alisya tapi karena ingin merendahkannya. “Lihat aku saja makan makanan buatan bibi, jadi maaf aku tidak bisa memasak,” jawab Alisya sambil mengangkat tangannya yang masih memegang ayam goreng beraroma lezat buatan bibi. “Kamu bisa makan lagi nanti,” kata Pand
Malam itu juga Alisya mendapatkan ponsel keluaran terbaru yang dia yakin tak akan dia beli dengan uangnya sendiri. Ada satu bagian dari diri Alisya yang tidak bisa menerima hal itu. Apalagi saat kerinduan pada orang tuanya terasa mencekiknya. Dia menyesal tidak mencetak foto kedua orang tuanya dan hanya membiarkannya dalam bentuk softcopy, akan tetapi jika dia dalam keadaan normal Alisya selalu berpikir kalau meski tak bisa melihat foto mereka tapi kenangan akan mereka sudah melekat kuat dalam hati dan pikiran Alisya. Wanita itu sama sekali tak tahu alasan tak masuk akal Pandu untuk menahan ponselnya. Selain nomer-nomer teman-teman lamanya yang sudah tak pernah lagi Alisya hubungi hanya ada foto-foto lama bersama kedua orang tuanya. Orang kaya memang kadang sulit untuk dipahami dan itu membuat Alisya pusing sendiri. Alisya masih duduk menatap kegelapan malam saat ponsel jadulnya berbunyi nyaring, membuat wanita itu kelabakan dan takut ada yang mendengar. “Aku tahu kamu belum t
Alisya menatap bangunan megah di depannya itu dengan tatapan tak terbaca. Dulu sekali dia ditempatkan di kantor ini, selama hampir dua tahun, tapi di tahun ketiga tiba-tiba dia mendapat mutasi ke anak cabang yang membuatnya sedikit kesal karena letaknya lumayan jauh dengan rumah kontrakan tempat dia dan sang ibu tinggal. Bukan hanya Alisya satu-satunya karyawan yang dimutasi ke kantor cabang ini, karena Pandu juga dimutasi ke kantor yang sama. Dulu secara personal Alisya memang tidak mengenal Pandu dengan baik, dia hanya tahu laki-laki itu selama kesehariannya sebagai bosnya di kantor. Dan menurut Alisya dedikasi dan tanggung jawab Pandu pada pekerjaan sudah cukup menjadi tolak ukur seberapa bertanggung jawabnya seorang lelaki, apalagi secara tak sengaja Alisya melihat laki-laki itu beberapa kali membagikan makanan gratis pada orang-orang yang kurang beruntung. Alisya merasa Pandu adalah laki-laki sempurna untuk menjadi suami hingga dia lupa tidak ada sosok sempurna di dunia i