“Bagaiman kabarmu dan si kecil?”
Alisya tersenyum dan mengelus perutnya dengan sayang. Dia berusaha menjaga sebaik mungkin anugerah yang diberikan Tuhan padanya.Alisya merasa dengan adanya janin dalam perutnya kini dia tidak merasa sendirian lagi, paling tidak dia masih punya keinginan untuk berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.Ayah dan ibunya telah pergi tak ada lagi orang-orang yang benar-benar menyayangi lagi di dunia ini, dan kehadiran mahluk di dalam rahimnya seperti keajaiban yang akan menemaninya nanti.“Kami baik-baik saja,” jawab Alisya sambil tersenyum penuh syukur.“Kamu sudah memeriksakan diri ke dokter?”Alisya tertegun, elusan di perutnya berhenti. “Ah pasti belum ya.”Meski saat ini mereka tidak berhadapan secara langsung hanya melalui ponsel jadul Alisya, tapi Pram seolah-olah bisa menebak rekasi Alisya.“Aku kemarin sudah periksa ke bidan, ingat saat kematian ibu dan ini belum saBruk!Tiba-tiba kursi roda yang dinaiki Alisya hilang kendali dan membuat wanita itu jatuh terguling, dia berusaha keras untuk bangkit. “Apa yang nyonya lakukan?” “Bisa bantu saya untuk bangun.” Alisya mengulurkan tangannya dan wanita itu langsung membantunya untuk duduk di lantai lalu memperbaiki posisi kursi rodanya yang terguling. “Ponsel anda.” “Astaga tidak bisa menyala lagi,” gumam Alisya yang menatap sedih ponsel malangnya yang baru saja tertimpa kursi roda. “Biar saya bantu naik lagi ke kursi anda,” kata Wanita itu sambil mengulurkan tangan pada Alisya dan membantunya duduk kembali ke kursi rodanya. “Padahal saya ingin menghubungi dokter,” kata Alisya dengan wajah bingung. “Apa saya boleh meminjam ponsel bu Titin, ibu punya nomer dokter Anwar bukan?” tanya Alisya dengan tatapan memohon. “Tentu saja saya punya. Biar saya saja yang menghubunginya, apa yang nyonya inginkan?” tanya wanita itu terlihat sedikit bingung dan curiga. “Saya hanya ingin mengkonfirmasi kunjunga
Itu perintah bukan permintaan. Dan Alisya merasa dia tidak harus mematuhi perintah itu. Pandu telah melanggar janjinya dengan memberikan biaya pengobatan ibunya. Dan Alisya merasa sangat kecewa, dia tahu waktu itu Pandu sedang marah padanya, apalagi dia yang melanggar perintah laki-laki itu. Akan tetapi Alisya tidak bersalah. Sama dengan kecelakaan yang membuatnya lumpuh, dia juga tidak merencanakan ini semua. Tapi di mata Pandu dia hanya monster yang selalu menyusahkannya. Karena itu Alisya ingin sekali memberontak dan mengatakan keberatannya. Andai saja Sekar memintanya dengan manis dan sopan tentu Alisya akan membuatkannya meski harus menahan mual, tapi dia tahu Sekar meminta hal itu bukan karena dia ingin makan buatan Alisya tapi karena ingin merendahkannya. “Lihat aku saja makan makanan buatan bibi, jadi maaf aku tidak bisa memasak,” jawab Alisya sambil mengangkat tangannya yang masih memegang ayam goreng beraroma lezat buatan bibi. “Kamu bisa makan lagi nanti,” kata Pand
Malam itu juga Alisya mendapatkan ponsel keluaran terbaru yang dia yakin tak akan dia beli dengan uangnya sendiri. Ada satu bagian dari diri Alisya yang tidak bisa menerima hal itu. Apalagi saat kerinduan pada orang tuanya terasa mencekiknya. Dia menyesal tidak mencetak foto kedua orang tuanya dan hanya membiarkannya dalam bentuk softcopy, akan tetapi jika dia dalam keadaan normal Alisya selalu berpikir kalau meski tak bisa melihat foto mereka tapi kenangan akan mereka sudah melekat kuat dalam hati dan pikiran Alisya. Wanita itu sama sekali tak tahu alasan tak masuk akal Pandu untuk menahan ponselnya. Selain nomer-nomer teman-teman lamanya yang sudah tak pernah lagi Alisya hubungi hanya ada foto-foto lama bersama kedua orang tuanya. Orang kaya memang kadang sulit untuk dipahami dan itu membuat Alisya pusing sendiri. Alisya masih duduk menatap kegelapan malam saat ponsel jadulnya berbunyi nyaring, membuat wanita itu kelabakan dan takut ada yang mendengar. “Aku tahu kamu belum t
Alisya menatap bangunan megah di depannya itu dengan tatapan tak terbaca. Dulu sekali dia ditempatkan di kantor ini, selama hampir dua tahun, tapi di tahun ketiga tiba-tiba dia mendapat mutasi ke anak cabang yang membuatnya sedikit kesal karena letaknya lumayan jauh dengan rumah kontrakan tempat dia dan sang ibu tinggal. Bukan hanya Alisya satu-satunya karyawan yang dimutasi ke kantor cabang ini, karena Pandu juga dimutasi ke kantor yang sama. Dulu secara personal Alisya memang tidak mengenal Pandu dengan baik, dia hanya tahu laki-laki itu selama kesehariannya sebagai bosnya di kantor. Dan menurut Alisya dedikasi dan tanggung jawab Pandu pada pekerjaan sudah cukup menjadi tolak ukur seberapa bertanggung jawabnya seorang lelaki, apalagi secara tak sengaja Alisya melihat laki-laki itu beberapa kali membagikan makanan gratis pada orang-orang yang kurang beruntung. Alisya merasa Pandu adalah laki-laki sempurna untuk menjadi suami hingga dia lupa tidak ada sosok sempurna di dunia i
"Kenapa papa melakukan ini?" tanya Alisya dengan air mata kekcewaan yang mengalir deras di pipinya. Andai saja dia sedikit saja berpura-pura baru datang tentu ayah mertuanya tak akan tahu kalau rahasianya sudah tersingkap, tapi sayang.... "Kupikir Papa orang yang tulus membelaku, tapi kenapa pa?" tanya Alisya yang sama sekali tak menutupi kekecewaannya. Laki-laki paruh baya itu menghela napas berat, meraih pegangan kursi roda Alisya dan mendorongnya ke arah ruangannya. "Tolong cancel semua jadwalku hari ini," kata laki-laki itu pada sekretarisnya yang menatap bingung pada Alisya yang bercucuran air mata. "Tapi, Pak jam tiga nanti ada meetin penting dan tidak bisa dicancel." "Kalau begitu minta wakil direktur atau menager pemasaran mewakili saya." Tak memberi kesempatan sekretarisnya untuk protes lagi, laki-laki itu kembali mendorong kursi roda Alisya. "Kamu salah paham," kata sang ayah mertua begitu pintu ruangan telah ditutup dan laki-laki itu duduk tenang di ku
“Anda baik-baik saja nyonya?” tanya Alan sambil sesekali melirik pada kaca spion tengah. Majikannya itu memang tidak menangis atau apa, tapi hanya diam bengong dengan pandangan kosong, membuat Alan ingat pada orang yang pernah kesurupan di desanya. “Nyonya?” panggilnya lagi dengan lebih keras, kalau kali ini sang nyonya tidak menjawab Alan bertekad akan membawanya ke orang yang bisa mengusir mahluk halus dan semacamnya. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sambil memejamkan matanya. “Apa anda sakit? apa kita kembali ke rumah sakit saja?” tanya laki-laki itu. Alisya menggeleng dan berusaha dengan keras untuk menampilkan senyum tulus pada sopir yang telah banyak membantunya ini, tapi entah mengapa senyumnya bukannya dibalas oleh Alan tapi malah membuat laki-laki itu menatapnya keheranan, untung saja lampu lalu lintas menyala merah saat laki-laki itu melongokkan kepalanya ke belakang kursi yang dia duduki. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sekali lagi. Alan menatap wanita itu sejenak
Dia melakukannya bukan untuk Sekar atau Pandu tapi untuk bayi dalam kandungan wanita itu. “Apa mas masih ingin bicara padaku?” tanya Alisya pada Pandu yang belum juga memutus panggilan teleponnya. Sekar sudah pergi beberapa saat yang lalu setelah Alisya berjanji akan memasakkan makanan untuk wanita itu, entah apa yang membuat Sekar sama sekali tak suka makanan bibi. Seberapapun kesal Alisya pada wanita itu, tapi hati nuraninyalah yang akhirnya menang, dia tak tega melihat Sekar harus menahan lapar yang tentunya berimbas pada bayi yang ada dalam kandungan wanita itu. Niat awal Alisya hanya ingin Pandu mendengar pengakuan langsung dari mulut Sekar kalau dia sama sekali tidak bersalah dalam hal itu, tapi ternyata wanita itu sudah bertindak lebih jauh, bahkan bisa Alisya duga tidak peduli dengan bayinya. Sungguh miris bukan. Alisya menurunkan ponselnya memastikan sambungan masih terhubung dengan suaminya tapi tidak ada suara dari seberan
Alisya bertahan menatap hamparan langit yang mulai berwarna jingga. Sebenarnya dari kamar ini dia bisa menatap pemandangan yang sangat indah, rumah Pandu berdiri di kaki bukit yang akses untuk melihat pemandangan yang menakjubkan. Andai saja nasibnya lebih baik di rumah ini, dia akan betah sekali tinggal di sini, akan tetapi dengan keadaaan hati yang kacau balau seperti ini tentu pemandangan seindah apapun tak akan menarik minatnya. “Kamu harus mengembalikan uang yang ak gunakan untuk pengobatan ibumu selama ini jika ingin perpisahan,” kalimat Pandu masih teringat jelas dalam otak Alisya. Tidak ada ucapan duka cita atau empati yang ditunjukkan Pandu, membuat Alisya hanya bisa tersenyum masam. Alisya memang berkeinginan mengembalikan semua uang Pandu yang digunakan untuk pengobatan ibunya, tapi tentu saja dia harus bekerja dan bebas dari rumah yang serasa neraka ini. Akan tetapi Alisya tak menyangka Pandu akan mengatakan hal itu. Orang tuanya bukan orang kaya yang memiliki wari