“Anda baik-baik saja nyonya?” tanya Alan sambil sesekali melirik pada kaca spion tengah. Majikannya itu memang tidak menangis atau apa, tapi hanya diam bengong dengan pandangan kosong, membuat Alan ingat pada orang yang pernah kesurupan di desanya. “Nyonya?” panggilnya lagi dengan lebih keras, kalau kali ini sang nyonya tidak menjawab Alan bertekad akan membawanya ke orang yang bisa mengusir mahluk halus dan semacamnya. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sambil memejamkan matanya. “Apa anda sakit? apa kita kembali ke rumah sakit saja?” tanya laki-laki itu. Alisya menggeleng dan berusaha dengan keras untuk menampilkan senyum tulus pada sopir yang telah banyak membantunya ini, tapi entah mengapa senyumnya bukannya dibalas oleh Alan tapi malah membuat laki-laki itu menatapnya keheranan, untung saja lampu lalu lintas menyala merah saat laki-laki itu melongokkan kepalanya ke belakang kursi yang dia duduki. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sekali lagi. Alan menatap wanita itu sejenak
Dia melakukannya bukan untuk Sekar atau Pandu tapi untuk bayi dalam kandungan wanita itu. “Apa mas masih ingin bicara padaku?” tanya Alisya pada Pandu yang belum juga memutus panggilan teleponnya. Sekar sudah pergi beberapa saat yang lalu setelah Alisya berjanji akan memasakkan makanan untuk wanita itu, entah apa yang membuat Sekar sama sekali tak suka makanan bibi. Seberapapun kesal Alisya pada wanita itu, tapi hati nuraninyalah yang akhirnya menang, dia tak tega melihat Sekar harus menahan lapar yang tentunya berimbas pada bayi yang ada dalam kandungan wanita itu. Niat awal Alisya hanya ingin Pandu mendengar pengakuan langsung dari mulut Sekar kalau dia sama sekali tidak bersalah dalam hal itu, tapi ternyata wanita itu sudah bertindak lebih jauh, bahkan bisa Alisya duga tidak peduli dengan bayinya. Sungguh miris bukan. Alisya menurunkan ponselnya memastikan sambungan masih terhubung dengan suaminya tapi tidak ada suara dari seberan
Alisya bertahan menatap hamparan langit yang mulai berwarna jingga. Sebenarnya dari kamar ini dia bisa menatap pemandangan yang sangat indah, rumah Pandu berdiri di kaki bukit yang akses untuk melihat pemandangan yang menakjubkan. Andai saja nasibnya lebih baik di rumah ini, dia akan betah sekali tinggal di sini, akan tetapi dengan keadaaan hati yang kacau balau seperti ini tentu pemandangan seindah apapun tak akan menarik minatnya. “Kamu harus mengembalikan uang yang ak gunakan untuk pengobatan ibumu selama ini jika ingin perpisahan,” kalimat Pandu masih teringat jelas dalam otak Alisya. Tidak ada ucapan duka cita atau empati yang ditunjukkan Pandu, membuat Alisya hanya bisa tersenyum masam. Alisya memang berkeinginan mengembalikan semua uang Pandu yang digunakan untuk pengobatan ibunya, tapi tentu saja dia harus bekerja dan bebas dari rumah yang serasa neraka ini. Akan tetapi Alisya tak menyangka Pandu akan mengatakan hal itu. Orang tuanya bukan orang kaya yang memiliki wari
Alisya tetap bekerja. Dia tak peduli larangan Pandu yang tidak masuk akal itu. Ini suatu pembangkangan memang, Alisya yang sejak kecil mendapat didikan moral yang ketat dari kedua orang tuanya sedikit merasa bersalah pada Pandu, tapi jika mengingat ibunya terakhir kali yang sudah putus asa dan selalu menatapnya dengan rasa kasihan Alisya makin membulatkan tekadnya. Bahkan janin dalam kandungannya pun tak mampu untuk membuatnya untuk bertahan, dia akan membesarkan anaknya sendiri, Alisya sangat yakin dia mampu untuk menjadi ayah dan ibu untuk anaknya. Meski begitu dia akan tetap memberitahukan pada Pandu soal anak ini, keduanya berhak tahu jika mereka memiliki hubungan sebagai ayah dan anak. Alisya tidak ingin egois. “Kamu tetap akan pergi meski aku melarangmu,” kata Pandu setelah dia menyelesaikan sarapannya dan siap untuk berangkat kerja. Sekar yang seperti biasa mengantar suami mereka sampai ke mobil Pandu menatap Alisya dengan sinis. “Tentu aku perlu uang, aku tidak
Bukankan tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa. “PT Adi Karya yang ada di Jl bukit batu, perusahaan distributor kayu?” tanya Alisya. “Kamu tahu rupanya.” Alisya dulu sekilas mempelajari profil perusahaan itu, tidak ada yang aneh memang, mereka menyediakan kayu yang digunakan untuk bahan baku pembuatan berbagai peralatan kantor seperti meja kursi yang diproduksi kantor yang dipimpin ayah mertuanya. Dan kebetulan berita yang dia dengar Pandu kenal ownernya. “Saya pernah menangani kerja sama dengan perusahaan itu dulu.” Alisya terdiam sebentar, tunggu kenapa sekarang akan dibangun Villa? “Apa PT Adi Karya bangkrut?” tanyanya tak dapat menahan diri. Mobil sudah dipersilahkan masuk oleh satpam di depan dan sekarang mereka sedang melewati jalanan menuju rumah yang kanan kirinya ditumbuhi pohon buah-buahan yang terlihat lezat. Jika saja pikiran Alisya tidak sibuk dengan berbagai asumsinya, tent
Alisya tahu beberapa kali laki-laki berusia sekitar akhir empat puluhan itu beberapa kali mencuri pandang padanya. Tubuhnya tegap berisi dan wajahnya tampan bau duit. Beberapa kali bahkan laki-laki itu seperti menatap iba padanya, terutama kakinya yang tidak bisa dia gunakan dengan benar. Pak Firman memutuskan memberikan kelonggoran pada Alisya untuk ijin tidak masuk kerja esok harinya, hal itu tentunya bukan tanpa alasan. Amin Wibowo meminta, atau lebih tepatnya setengah memaksa bos Alisya itu untuk mengijinkannya menemani laki-laki itu ke makam orang tuanya. “Tenang saja jika Dek Firman memecatmu aku bisa memberimu pekerjaan yang bagus,” kata Pak Amin sambil tertawa lebar. Guyonan khas orang kaya, tapi tentu saja baik pak Firman maupun Alisya sendiri tahu laki-laki itu bisa melakukannya kalau dia mau. “Dia putraku, Hari Wibowo dan yang dia cucuku yang pernah diselamatan ayahmu, Sasti.” Alisya tersenyum dan bersalaman pada anak dan cucu pak Amin yang baru saja bergabung deng
“Aku kecewa kamu sudah tidak mempercayaiku lagi.” Alisya menghela napas dengan berat, rasa bersalah menggulung dalam dadanya. Dia tahu tidak seharusnya dia melakukan ini semua. Selain akan berbahaya untuk dirinya sendiri, juga pasti akan melukai orang-orang yang baik padanya. Tapi dia bisa apa yang hanya manusia dengan segala nafsu keingintahuan yang semakin hari semakin mencengkeram erat dirinya. “Maaf,” hanya itu yang bisa dia katakan untuk saat ini. “Ah sudahlah, kamu pasti punya pertimbangan tersendiri sampai melakukannya.” Alisya menatap laki-laki di depannya itu dengan rasa bersalah yang begitu pekat melumuri hatinya. Dia memang merasa bersalah tapi sejujurnya dia tidak menyesal. Dia yakin Pram bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Soal keselamatannya dia sangat yakin orang-orang itu tidak akan langsung membunuhnya paling tidak sekarang ini. “Mereka tidak akan membunuhku,” gumam Alisya pelan. “Dari mana kamu tahu!” kata laki-laki itu dengan berang. “Oh apa karena ra
Mereka bertengkar di sini soal pemandangan. Pemandangan apa? Lantai dua rumah ini memang bisa melihat pemandangan indah bahkan pada malam hari seperti ini. Semula Alisya hanya berpikir kalau Sekar ingin jalan-jalan ke suatu tempat tapi setelah menginjakkan kaki di sini apa wanita itu kembali menginginkan apa yang dia miliki sekarang?Alisya menatap sekeliling ruang santai di sini, tidak ada yang aneh seingatnya. Mungkin mereka hanya adu mulut saja tidak sampai saling melempar barang. Lantai dua ini bisa dibilang dihuni oleh Alisya sendiri, karena suaminya lebih sering bersama Sekar di lantai bawah atau lebih tepatnya hanya ke lantai atas jika ada keperluan dengannya saja. Sedangkan para pelayan memiliki tempat tinggal sendiri di paviliun belakang, mereka akan langsung kembali ke sana saat jam sembilan malam, tapi tentu saja Pandu bisa memanggil mereka sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Akan tetapi setahu Alisya laki-la