Bukankan tidak ada kebetulan di dunia ini.
Semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa.“PT Adi Karya yang ada di Jl bukit batu, perusahaan distributor kayu?” tanya Alisya.“Kamu tahu rupanya.” Alisya dulu sekilas mempelajari profil perusahaan itu, tidak ada yang aneh memang, mereka menyediakan kayu yang digunakan untuk bahan baku pembuatan berbagai peralatan kantor seperti meja kursi yang diproduksi kantor yang dipimpin ayah mertuanya. Dan kebetulan berita yang dia dengar Pandu kenal ownernya.“Saya pernah menangani kerja sama dengan perusahaan itu dulu.” Alisya terdiam sebentar, tunggu kenapa sekarang akan dibangun Villa? “Apa PT Adi Karya bangkrut?” tanyanya tak dapat menahan diri.Mobil sudah dipersilahkan masuk oleh satpam di depan dan sekarang mereka sedang melewati jalanan menuju rumah yang kanan kirinya ditumbuhi pohon buah-buahan yang terlihat lezat.Jika saja pikiran Alisya tidak sibuk dengan berbagai asumsinya, tentAlisya tahu beberapa kali laki-laki berusia sekitar akhir empat puluhan itu beberapa kali mencuri pandang padanya. Tubuhnya tegap berisi dan wajahnya tampan bau duit. Beberapa kali bahkan laki-laki itu seperti menatap iba padanya, terutama kakinya yang tidak bisa dia gunakan dengan benar. Pak Firman memutuskan memberikan kelonggoran pada Alisya untuk ijin tidak masuk kerja esok harinya, hal itu tentunya bukan tanpa alasan. Amin Wibowo meminta, atau lebih tepatnya setengah memaksa bos Alisya itu untuk mengijinkannya menemani laki-laki itu ke makam orang tuanya. “Tenang saja jika Dek Firman memecatmu aku bisa memberimu pekerjaan yang bagus,” kata Pak Amin sambil tertawa lebar. Guyonan khas orang kaya, tapi tentu saja baik pak Firman maupun Alisya sendiri tahu laki-laki itu bisa melakukannya kalau dia mau. “Dia putraku, Hari Wibowo dan yang dia cucuku yang pernah diselamatan ayahmu, Sasti.” Alisya tersenyum dan bersalaman pada anak dan cucu pak Amin yang baru saja bergabung deng
“Aku kecewa kamu sudah tidak mempercayaiku lagi.” Alisya menghela napas dengan berat, rasa bersalah menggulung dalam dadanya. Dia tahu tidak seharusnya dia melakukan ini semua. Selain akan berbahaya untuk dirinya sendiri, juga pasti akan melukai orang-orang yang baik padanya. Tapi dia bisa apa yang hanya manusia dengan segala nafsu keingintahuan yang semakin hari semakin mencengkeram erat dirinya. “Maaf,” hanya itu yang bisa dia katakan untuk saat ini. “Ah sudahlah, kamu pasti punya pertimbangan tersendiri sampai melakukannya.” Alisya menatap laki-laki di depannya itu dengan rasa bersalah yang begitu pekat melumuri hatinya. Dia memang merasa bersalah tapi sejujurnya dia tidak menyesal. Dia yakin Pram bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik. Soal keselamatannya dia sangat yakin orang-orang itu tidak akan langsung membunuhnya paling tidak sekarang ini. “Mereka tidak akan membunuhku,” gumam Alisya pelan. “Dari mana kamu tahu!” kata laki-laki itu dengan berang. “Oh apa karena ra
Mereka bertengkar di sini soal pemandangan. Pemandangan apa? Lantai dua rumah ini memang bisa melihat pemandangan indah bahkan pada malam hari seperti ini. Semula Alisya hanya berpikir kalau Sekar ingin jalan-jalan ke suatu tempat tapi setelah menginjakkan kaki di sini apa wanita itu kembali menginginkan apa yang dia miliki sekarang?Alisya menatap sekeliling ruang santai di sini, tidak ada yang aneh seingatnya. Mungkin mereka hanya adu mulut saja tidak sampai saling melempar barang. Lantai dua ini bisa dibilang dihuni oleh Alisya sendiri, karena suaminya lebih sering bersama Sekar di lantai bawah atau lebih tepatnya hanya ke lantai atas jika ada keperluan dengannya saja. Sedangkan para pelayan memiliki tempat tinggal sendiri di paviliun belakang, mereka akan langsung kembali ke sana saat jam sembilan malam, tapi tentu saja Pandu bisa memanggil mereka sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Akan tetapi setahu Alisya laki-la
Rasanya baru saja membaringkan tubuhnya yang lelah saat pintu kamarnya kembali diketuk."Ada tamu untuk anda nyonya."Tamu?Alisya belum beranjak dari ranjangnya. Selama tinggal di sini tidak pernah ada tamu untuknya, dia seperti dipisahkan dengan dunia luar. Apalagi teman-temannya yang dulu menatapnya dengan cara berbeda. Bukannnya dia tidak tahu banyak dari teman-temannya yang mengiranya menjebak Pandu supaya bisa hidup nyaman."Siapa, Bu?" tanya Alisya, setelah lama dia terdiam tapi tidak ada lagi sahutan dari luar dengan menghela napas dalam, Alisya bangun dari rebahannya dan segera bersiap menemui tamu yang dimaksud. Masih pukul delapan malam memang, belum terlalu larut bahkan para asisten belum kembali ke paviluan mereka, tapi tubuhnya yang begitu penat membuat Alisya ingin tidur lebih cepat. "Kamu teman kerjanya Alisya?" Alisya menghentikan laju kursi rodanya saat mendengar suara Sekar. "Iya." Alisya mengerutkan kening mendengar suara itu, bukankah baru saja mereka berte
"Hebat sekali apa dia yang akan mendukungmu untuk melawanku?" "Apa aku memang perlu melawanmu, Mas?" Pandu sedikit tersentak dengan pertanyaan Alisya, laki-laki itu sudah akan membuka mulutnya lagi saat muncul Sekar dan langsung menggelendot manja di lengannya. "Aku kangen banget," kata wanita itu. Alisya tahu sekali Sekar sengaja melakukan itu di depannya. "Sebentar aku mau bicara dengan Alisya dulu," kata Pandu sambil melepaskan tangannya dari belitan Sekar. "Bicara apa? ah soal kamar untukku, tentu." Alisya langsung memutar bola matanya, dia pikir masalah konyol itu sudah selesai tapi ternyata tidak demikian. "Bukan, ehm soal itu aku tetap tidak setuju kamu pindah ke kamar atas," kata Pandu pada Sekar. Wajah sumringah wanita itu langsung berubah masam. "Mas, kamu ingin anakmu ileran," katanya tak terima. "Aku bisa pergi dari sana kok, tenang saja," jawab Alisya dengan tenang tapi tatapan Pandu malah menajam sekarang padanya. "Tidak kamu tetap di sana," kata Pandu ta
Alisya mengerutkan kening melihat berita yang dia temukan melalui ponselnya. Perubahan sikap Pandu dan kalimat ambigunya membuat kantuk Alisya lenyap sudah, dan dia malah penasaran dengan apa yang menimpa laki-laki itu dulu dan tentu saja berkaitan dengannya. Seorang laki-laki tampan dengan baju orange di apit beberapa polisi terlihat di sana, dia mantan pemilik PT Adi Karya dan kasus yang membelitnya tak main-main korupsi dan narkoba. Tangan Alisya bergetar saat membaca berita itu, apa laki-laki ini yang katanya teman Pandu? Apa Pandu ada hubungannya dengan itu?Dari beberapa info yang dia kumpulkan memang pemesanan barang itu tak jadi dilakukan, tapi kenapa dia dan Pandu harus dipindah? Ketukan pintu membuat Alisya yang sedang berpikir keras langsung menghela napas kesal. “Siapa?” “Ini bibi nyonya.” Alisya mengerutkan kening, ini sudah jam sembilan lebih tidak biasanya para asisten rumah tangga itu masih ada di rumah utama. “Ada apa, Bi?” “Apa nyonya mau saya buatkan susu
“Kamu sudah diberitahu bukan kalau siang ini kita akan meeting dengan pak Amin.” “Sudah pak. Bersiaplah kamu sangat beruntung.” Pak Firman melangkah pergi diikuti oleh asistennya. “Beruntung?” tapi Alisya hanya bisa terdiam kebingungan sendiri karena pak Firman langsung melanjutkan langkahnya. Apa ini soal saham yang dibicarakan Sasti?Entahlah tapi Alisya tidak berharap hal itu, apalagi mereka baru bertemu. sangat konyol kalau memang hal itu benar-benar terjadi. Menjadi istri Pandu membuat Alisya banyak tahu bahwa orang-orang kaya itu tak sebaik kelihatannya. Sebelum jam makan siang Alisya menerima telepon dari resepsionis kalau ada sopir yang dikirim untuk menjemputnya. “Mbak kelihatan sibuk banget setiap hari ke lapangan,” kata salah satu rekan kerjanya. “iya kemarin pak Firman meminta bantuanku untuk menghandle kawan lamanya yang akan mendirikan vila dan taman bermain.” “Mbak beruntung, tidak bekerja
Alisya bangun pagi ini dengan mood yang sangat berantakan. Tubuhnya terasa sakit dan perutnya terasa mual, dia menyesal kemarin tidak menyempatkan diri memeriksakan diri ke dokter. Setelah keluar dari rumah ini Pandu bahkan belum pernah datang lagi ke sini. “Nyonya ini bibi, apa nyonya tidak bekerja hari ini?” Alisya berusaha menegakkan kepalanya yang terasa sangat berat dan menoleh pada jam di dinding. Jam delapan pagi. Banyak pikiran membuat jadwal tidurnya kacau. Alisya berusaha keras untuk mempertahankan otak warasnya, dia sedang hamil dan dia butuh makanan sehat juga istirahat yang cukup, tapi sekali lagi hal itu tak bisa mencegahnya untuk bekerja seperti biasa. Dia tidak ingin lagi tergantung pada Pandu. “Iya bi sebentar!” sahut Alisya dari atas ranjang. Terdengar suara langkah kaki yang menjauh dan Alisya kembali menjatuhkan kepalanya yang berat ke atas bantal. Sepertinya masuk kerja hal yang mustahil dia lakukan hari ini. Alisya mengambil ponsel dan menghub