Alisya menatap bangunan megah di depannya itu dengan tatapan tak terbaca. Dulu sekali dia ditempatkan di kantor ini, selama hampir dua tahun, tapi di tahun ketiga tiba-tiba dia mendapat mutasi ke anak cabang yang membuatnya sedikit kesal karena letaknya lumayan jauh dengan rumah kontrakan tempat dia dan sang ibu tinggal. Bukan hanya Alisya satu-satunya karyawan yang dimutasi ke kantor cabang ini, karena Pandu juga dimutasi ke kantor yang sama. Dulu secara personal Alisya memang tidak mengenal Pandu dengan baik, dia hanya tahu laki-laki itu selama kesehariannya sebagai bosnya di kantor. Dan menurut Alisya dedikasi dan tanggung jawab Pandu pada pekerjaan sudah cukup menjadi tolak ukur seberapa bertanggung jawabnya seorang lelaki, apalagi secara tak sengaja Alisya melihat laki-laki itu beberapa kali membagikan makanan gratis pada orang-orang yang kurang beruntung. Alisya merasa Pandu adalah laki-laki sempurna untuk menjadi suami hingga dia lupa tidak ada sosok sempurna di dunia i
"Kenapa papa melakukan ini?" tanya Alisya dengan air mata kekcewaan yang mengalir deras di pipinya. Andai saja dia sedikit saja berpura-pura baru datang tentu ayah mertuanya tak akan tahu kalau rahasianya sudah tersingkap, tapi sayang.... "Kupikir Papa orang yang tulus membelaku, tapi kenapa pa?" tanya Alisya yang sama sekali tak menutupi kekecewaannya. Laki-laki paruh baya itu menghela napas berat, meraih pegangan kursi roda Alisya dan mendorongnya ke arah ruangannya. "Tolong cancel semua jadwalku hari ini," kata laki-laki itu pada sekretarisnya yang menatap bingung pada Alisya yang bercucuran air mata. "Tapi, Pak jam tiga nanti ada meetin penting dan tidak bisa dicancel." "Kalau begitu minta wakil direktur atau menager pemasaran mewakili saya." Tak memberi kesempatan sekretarisnya untuk protes lagi, laki-laki itu kembali mendorong kursi roda Alisya. "Kamu salah paham," kata sang ayah mertua begitu pintu ruangan telah ditutup dan laki-laki itu duduk tenang di ku
“Anda baik-baik saja nyonya?” tanya Alan sambil sesekali melirik pada kaca spion tengah. Majikannya itu memang tidak menangis atau apa, tapi hanya diam bengong dengan pandangan kosong, membuat Alan ingat pada orang yang pernah kesurupan di desanya. “Nyonya?” panggilnya lagi dengan lebih keras, kalau kali ini sang nyonya tidak menjawab Alan bertekad akan membawanya ke orang yang bisa mengusir mahluk halus dan semacamnya. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sambil memejamkan matanya. “Apa anda sakit? apa kita kembali ke rumah sakit saja?” tanya laki-laki itu. Alisya menggeleng dan berusaha dengan keras untuk menampilkan senyum tulus pada sopir yang telah banyak membantunya ini, tapi entah mengapa senyumnya bukannya dibalas oleh Alan tapi malah membuat laki-laki itu menatapnya keheranan, untung saja lampu lalu lintas menyala merah saat laki-laki itu melongokkan kepalanya ke belakang kursi yang dia duduki. “Aku baik-baik saja,” kata Alisya sekali lagi. Alan menatap wanita itu sejenak
Dia melakukannya bukan untuk Sekar atau Pandu tapi untuk bayi dalam kandungan wanita itu. “Apa mas masih ingin bicara padaku?” tanya Alisya pada Pandu yang belum juga memutus panggilan teleponnya. Sekar sudah pergi beberapa saat yang lalu setelah Alisya berjanji akan memasakkan makanan untuk wanita itu, entah apa yang membuat Sekar sama sekali tak suka makanan bibi. Seberapapun kesal Alisya pada wanita itu, tapi hati nuraninyalah yang akhirnya menang, dia tak tega melihat Sekar harus menahan lapar yang tentunya berimbas pada bayi yang ada dalam kandungan wanita itu. Niat awal Alisya hanya ingin Pandu mendengar pengakuan langsung dari mulut Sekar kalau dia sama sekali tidak bersalah dalam hal itu, tapi ternyata wanita itu sudah bertindak lebih jauh, bahkan bisa Alisya duga tidak peduli dengan bayinya. Sungguh miris bukan. Alisya menurunkan ponselnya memastikan sambungan masih terhubung dengan suaminya tapi tidak ada suara dari seberan
Alisya bertahan menatap hamparan langit yang mulai berwarna jingga. Sebenarnya dari kamar ini dia bisa menatap pemandangan yang sangat indah, rumah Pandu berdiri di kaki bukit yang akses untuk melihat pemandangan yang menakjubkan. Andai saja nasibnya lebih baik di rumah ini, dia akan betah sekali tinggal di sini, akan tetapi dengan keadaaan hati yang kacau balau seperti ini tentu pemandangan seindah apapun tak akan menarik minatnya. “Kamu harus mengembalikan uang yang ak gunakan untuk pengobatan ibumu selama ini jika ingin perpisahan,” kalimat Pandu masih teringat jelas dalam otak Alisya. Tidak ada ucapan duka cita atau empati yang ditunjukkan Pandu, membuat Alisya hanya bisa tersenyum masam. Alisya memang berkeinginan mengembalikan semua uang Pandu yang digunakan untuk pengobatan ibunya, tapi tentu saja dia harus bekerja dan bebas dari rumah yang serasa neraka ini. Akan tetapi Alisya tak menyangka Pandu akan mengatakan hal itu. Orang tuanya bukan orang kaya yang memiliki wari
Alisya tetap bekerja. Dia tak peduli larangan Pandu yang tidak masuk akal itu. Ini suatu pembangkangan memang, Alisya yang sejak kecil mendapat didikan moral yang ketat dari kedua orang tuanya sedikit merasa bersalah pada Pandu, tapi jika mengingat ibunya terakhir kali yang sudah putus asa dan selalu menatapnya dengan rasa kasihan Alisya makin membulatkan tekadnya. Bahkan janin dalam kandungannya pun tak mampu untuk membuatnya untuk bertahan, dia akan membesarkan anaknya sendiri, Alisya sangat yakin dia mampu untuk menjadi ayah dan ibu untuk anaknya. Meski begitu dia akan tetap memberitahukan pada Pandu soal anak ini, keduanya berhak tahu jika mereka memiliki hubungan sebagai ayah dan anak. Alisya tidak ingin egois. “Kamu tetap akan pergi meski aku melarangmu,” kata Pandu setelah dia menyelesaikan sarapannya dan siap untuk berangkat kerja. Sekar yang seperti biasa mengantar suami mereka sampai ke mobil Pandu menatap Alisya dengan sinis. “Tentu aku perlu uang, aku tidak
Bukankan tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa. “PT Adi Karya yang ada di Jl bukit batu, perusahaan distributor kayu?” tanya Alisya. “Kamu tahu rupanya.” Alisya dulu sekilas mempelajari profil perusahaan itu, tidak ada yang aneh memang, mereka menyediakan kayu yang digunakan untuk bahan baku pembuatan berbagai peralatan kantor seperti meja kursi yang diproduksi kantor yang dipimpin ayah mertuanya. Dan kebetulan berita yang dia dengar Pandu kenal ownernya. “Saya pernah menangani kerja sama dengan perusahaan itu dulu.” Alisya terdiam sebentar, tunggu kenapa sekarang akan dibangun Villa? “Apa PT Adi Karya bangkrut?” tanyanya tak dapat menahan diri. Mobil sudah dipersilahkan masuk oleh satpam di depan dan sekarang mereka sedang melewati jalanan menuju rumah yang kanan kirinya ditumbuhi pohon buah-buahan yang terlihat lezat. Jika saja pikiran Alisya tidak sibuk dengan berbagai asumsinya, tent
Alisya tahu beberapa kali laki-laki berusia sekitar akhir empat puluhan itu beberapa kali mencuri pandang padanya. Tubuhnya tegap berisi dan wajahnya tampan bau duit. Beberapa kali bahkan laki-laki itu seperti menatap iba padanya, terutama kakinya yang tidak bisa dia gunakan dengan benar. Pak Firman memutuskan memberikan kelonggoran pada Alisya untuk ijin tidak masuk kerja esok harinya, hal itu tentunya bukan tanpa alasan. Amin Wibowo meminta, atau lebih tepatnya setengah memaksa bos Alisya itu untuk mengijinkannya menemani laki-laki itu ke makam orang tuanya. “Tenang saja jika Dek Firman memecatmu aku bisa memberimu pekerjaan yang bagus,” kata Pak Amin sambil tertawa lebar. Guyonan khas orang kaya, tapi tentu saja baik pak Firman maupun Alisya sendiri tahu laki-laki itu bisa melakukannya kalau dia mau. “Dia putraku, Hari Wibowo dan yang dia cucuku yang pernah diselamatan ayahmu, Sasti.” Alisya tersenyum dan bersalaman pada anak dan cucu pak Amin yang baru saja bergabung deng
"Ups maaf, sepertinya papa menganggu."Alisya buru-buru menyelesaikan kunyahannya. Astaga. Seharusnya tadi dia menolak keras Pandu yang ingin menyuapinya, dia sudah sembuh hanya tinggal sedikit pusing dan lemas. "Ma...ma!" jerit Bisma tak terima saat sang kakek ingin membawa anak itu keluar. "Biar Bisma sama saya, Pa," kata Alisya meminta putranya."Asip yang kamu berikan habis jadi papa bawa dia kemari."Alisya mengangguk dia bisa menduganya."Terima kasih, Pa. Sudah menjaga Bisma.""Sama-sama, Nak. Papa dan mama senang bisa menjaga Bisma."Rengekan Bisma yang terlihat sangat kehausan membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum dan berpamitan menunggu di luar.Alisya menatap Pandu yang masih anteng duduk di tempatnya. "Apa mas sudah tanya pada dokter aku boleh menyusui Bisma apa tidak?" tanyanya. "Oh iya, aku lupa bilang, kamu boleh menyusui Bisma, obat yang kamu minum tidak berpengaruh padanya." Alisya mengangguk, menunggu sampai Pandu berdiri dan keluar api sepertinya laki-lak
"Mas pulang saja, di sini pasi tidak nyaman," kata Alisya yang melihat Pandu masih duduk dengan tablet di tanganya, laki-laki itu memang tak banyak bicara setelah bulek Par meninggalkan mereka tadi. Pandu meletakkan tabletnya dan mendekati Alisya, dia lalu mengambil botol air mineral dan memberikannya pada Alisya. "Aku tidak ingin minum," kata wanita itu dengan nada protes. "Kata dokter kamu harus banyak minum kalau mau cepat sembuh." "Susah kalau bolak balik ke kamar mandi," bantah wanita itu. "Aku akan menggendongmu ke kamar mandi tenang saja," Alisya menghela napas lalu menerima air itu dan meminumnya sedikit. "Aku serius, mas. Aku tidak masalh di sini sendiri ada suster yang bisa aku panggil kalau butuh bantuan, lagi pula aku takut Bisma nangis dan kasihan papa dan mama." Pandu malah menarik kursi di samping ranjang Alisya dan duduk di sana. "Kenapa kamu hobi sekali mengusirku, ini bukan di rumahmu tidak akan ada tetangga yang usil, lagi pula seperti kata bulek aku akan be
Pandu sudah mendengar kasus itu tapi tentu saja dia sama sekali tidak bisa membantu sama sekali. Kekhawatiran menguasai hatinya sejak mendengar kasus itu, meski sekretarisnya bilang semuanya bisa teratasi dengan baik tapi tetap saja dia sangat khawatir pada ibu dari anaknya itu. Entah apa yang dilakukan Alisya, sehingga wanita itu terus saja bercokol dalam benak Pandu, sehari saja tak bertemu membuat lagi-lagi itu dilanda kegelisahan. Apa ini normal? Ayahnya bahkan mengatakan dia seperti ABG yang sedang jatuh cinta. Mungkin memang benar, saat ini dia bisa merasakan jantungnya berdebar saat berhadapan dengan Alisya bahkan ikut tersenyum saat wanita itu tersenyum. Dengan menenggelamkan diri pada pekerjaan sedikit mengalihkan pikiran Pandu dari keinginan untuk menemui Alisya juga putranya. “Pak ada telepon dari ibu Sasti, apa bapak mau menerimanya?” Suara sang sekretaris terdengar dari interkom di depannya
“Apa aku bisa mempercayai ucapanmu sekarang?” tanya Sasti dengan penuh intimidasi. Alisya yang ada di ruangan yang sama langsung membeku mendengar ledakan kemarahan Sasti, dia tahu Sasti wanita yang dingin dan bertangan besi, tapi tidak pernah melihat wanita itu semarah sekarang ini. “Aku awalnya juga tidak percaya tapi semakin aku menyangkalnya semakin banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan beliau,” kata Fahri dengan frustasi. Sasti terduduk di kursinya dia sama sekali tak menyangka hal ini akan terjadi. “Kenapa?” tanyanya dengan kekecewaan yang tidak dia tutup-tutupi. “Karena beliau merasa dialah yang pantas ada di posisi puncak.” “Lalu kenapa dia tidak mengambilnya, merebutnya dan bersaing sehat jika dia merasa punya kemampuan.” Fahri hanya menunduk diam tak sanggup menjawab cercaan Sasti karena dia sendiri memang tidak tahu alasannya. “Bagaimana dengan kamu sendiri? Apa kamu juga berpikir hal yang sama?” tanya Sasti tajam. Fahri langsung mengangkat wajahnya dan menatap
“Ma...ma,” rengek Bisma minta digendong saat Alisya sudah rapi. Rencana mengajukan cuti hari ini batal sudah saat telepon dari Dara membuatnya mau tak mau harus datang ke kantor. “Sayang, Bisma sama mbak Rani dan nenek dulu ya, Nak,” kata Alisya sambil memeluk anaknya yang gembul itu. Bahkan untuk menggendong Bisma pun Alisya tak punya tenaga, kepalanya begitu pusing dan wajahnya pucat, efek dari tidak tidur semalam. Tapi mau tak mau dia harus tetap ke kantor, tidak mungkin dia lepas tangan begitu saja karena sejak awal dia yang bertanggung jawab untuk hal itu. “Kamu yakin mau pergi ke kantor, Lis. Dengan wajah seperti itu, apa tidak bisa ijin saja,” tanya bulek dia terlihat sangat khawatir pada Alisya. “Ada sedikit masalah di kantor, saya harus ke sana.” “Oalah, Lis, memangnya tak ada orang lain yang bisa gantikan?” “Ini masalah tanggung jawab saya bulek jadi tak bisa diwakilkan,” kata Alisya berusaha m
Alisya menatap tak percaya setelah membaca dokumen yang diberikan Pandu padanya, dia sampai butuh membaca beberapa kali untuk meyakinkan dirinya. “Mas sudah memverifikasi laporan ini?” tanya Alisya pada Pandu. Setelah mereka piknik di alun-alun kota, Pram harus pulang terlebih dahulu karena ada panggilan dari ayahnya, dia hanya bilang pada Alisya kalau nanti malam akan menghubungi lagi, dan itu dikatakan tanpa sepengetahuan Pandu, artinya akan ada hal serius yang ingin dibicarakan laki-laki itu. “Aku tidak akan memberikan padamu kalau belum membuktikannya sendiri.” “Kenapa mas mencari tahu tentang hal ini? apa karena kerja sama dengan galeri mas waktu itu?” tanya Alisya yang masih belum percaya kalau Pandu memiliki minat pada barang-barang seni. Selama mereka hidup bersama hal itu tidak terlihat sama sekali, rumah tempat mereka tinggal dulu Alisyalah yang menatanya dan laki-laki itu sama sekali tidak protes. “Salah satunya.”
Tak mudah jalan bersama dua orang laki-laki dewasa yang siap saling tonjok satu sama lain setiap saat. “Ayo Al, sudah mulai panas,” kata Pandu sedikit kesal melihat interaksi Alisya dan Pram. Suasana alun-alun kota memang mulai ramai, banyak orang yang berdatangan dan menikmati kebersamaan dengan keluarga mereka, para pedagang kaki lima di pinggir alun-alun juga tak mau ketinggalan. Secara umum suasananya memang menyenangkan tapi tentu saja tidak untuk Pandu yang lebih memilih berhenti dan menunggu Alisya. “Kamu bawa tikar?” tanya Pram pada Alisya saat mereka memutuskan untuk memilih satu sudut yang lapang untuk duduk. “Ada dalam tas.” Pram membuka tas bekal yang dibawa Alisya dan mendapati tikar kecil di dalamnya. Duduk di atas tikar yang barusan dia gelar lalu tanpa permisi membuka tas bekal Alisya dan mencomot satu roti isi yang ada di sana. “Astaga Pram kamu bahkan tidak cuci tangan,” omel Alisya ya
Bisma menangis kencang tapi Alisya malah tersenyum geli. “Tunggu ya, mama siapin Asip buat kamu dulu, anak mama yang ganteng tenang dulu ya,” kata Alisya kalem. Seperti mengerti ucapan sang mama, bayi mungil itu menatap Alisya yang membawa asi beku untuk dipanaskan sambil sesekali sesegukan. Lucu sekali. Setelah suhunya dirasa cukup, Alisya memberikannya pada Bisma dan anak itu menerimanya dengan tak sabar.“Makasih ya, nak sudah menyelamatkan mama dari papamu tadi malam,” kata Alisya sambil mengelus rambut Bisma yang begitu lembut. Secara keseluruhan wajah anaknya memang mengcopi wajah Pandu, bisa dibilang Bisma hanya numpang tumbuh di rahimnya saja. Tentu saja hal itu membuat Pandu ataupun keluarganya yang dulu sempat meragukan anak yang dia kandung tidak perlu melakukan test DNA. Ini hari libur untuk Alisya dan dia berencana mengajak Bisma untuk jalan-jalan bukan jalan yang jauh sih hanya ke alun-alun kota, tapi
Nyamuk jaman sekarang memang nekad, tidak bisa melihat daging mulus sedikit saja langsung digigit. Bahkan tidak jarang mereka juga memilih bagian-bagian yang sengaja disembunyikan. Padahal ini di teras rumah, bukan di kebun atau bahkan di jalanan. “Pakai ini.” ini agak menggelikan tahu, untuk dua orang yang sudah bercerai karena salah satu melakukan pengkhianatan dan merasa cinta mati pada wanita lain. Alisya jadi teringat dengan film yang dia tonton bersama Laras, film manis yang menurutnya yang telah mengalami pahitnya percintaan tentu saja tidak akan percaya hal itu akan ada di dunia nyata, begitu juga dengan Laras yang mengalami hal yang sama. Tapi...Astaga ini hanya jas... jangan baper Lis. “Terima kasih, mas. Tapi aku bisa masuk dan mengambil jaket dari dalam, aku malas kalau nanti harus mencuci bajumu,” kata Alisya dengan nada bercanda. “Padahal aku kangen kamu mengurusi baju yang aku p