"Kalau kita berdua dalam bahaya, menurutmu siapa yang bakal Jovan selamatkan lebih dulu?" tanya Safira. "Apa?" Sebelum sempat memahami maksud pertanyaan itu, aku merasa punggungku didorong. Tubuhku tak ayal kehilangan keseimbangan dan tergelincir ke dasar tangga. … Arini, seorang koki berbakat dengan karier yang gemilang, telah memiliki segalanya. Pernikahannya dengan Jovan, seorang miliarder sukses, tampak sempurna di mata dunia. Namun, di balik senyumnya yang selalu merekah, Arini kerap merasa ada jarak di antara mereka. Sehari sebelum ulang tahun pernikahannya yang ketiga, Arini mengetahui bahwa dirinya hamil. Dipenuhi dengan kegembiraan, dia ingin segera berbagi kabar itu dengan Jovan. Arini berharap, kehamilannya ini akan membawa perubahan dalam rumah tangga mereka dan mencairkan sikap Jovan yang cenderung dingin. Namun, takdir punya rencana lain. Sebelum Arini sempat menceritakan soal kehamilannya, muncul sosok tak terduga dari masa lalu Jovan. Tanpa sepengetahuan Arini, kehadiran teman lama suaminya itu akan membuatnya mempertanyakan banyak hal, termasuk kesetiaan Jovan dan nasib pernikahan mereka.
View MoreSudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba
Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak
Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,
Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens
Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me
Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.
Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena
Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet
Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A
Sudut pandang Arini:Aroma hidangan yang menggugah selera menguar di ruangan, sementara perhatianku tertuju pada sosok Jovan. Rambutnya yang hitam membingkai garis rahang yang tegas dan hidungnya yang mancung. Setelan kasual yang dia kenakan tak mampu menyembunyikan pesona lekuk dadanya yang bidang dan bahunya yang tegap.Sosok suamiku memang bak model-model di majalah. Namun, tidak seperti model-model itu yang entah ada di mana, dia ada di sini, bersamaku. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Untuk merayakannya, aku mengusulkan sebuah makan malam romantis di rumah saja.Meskipun biasanya dingin dan terkesan cuek, Jovan masih sempat meluangkan waktu di tengah kesibukannya yang padat. Hal ini sudah aku anggap sebagai bentuk perhatiannya. Di depan pria ini, aku memang mudah luluh, apalagi ketika matanya itu menatapku lekat-lekat.Kali ini aku memilih untuk duduk berhadapan dengannya, bukan di sampingnya seperti biasa. Aku ingin melihat reaksi Jovan saat aku menyampaikan kaba...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments