Sudut pandang Arini:Ini benar-benar mengejutkan. Aku sampai harus berkedip beberapa kali untuk memastikan aku tidak salah lihat. Mataku terbelalak saking kagetnya, sementara otakku berusaha mencerna adegan yang ada di depanku. Suamiku, Jovan, berdiri di samping perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya di restoran tempatku bekerja.Kata-kata perempuan itu bahwa suaminya akan memecatku masih terngiang di telingaku. Jantungku seketika berdebar makin kencang dan napasku pun terasa berat.Dengan perasaan berkecamuk, aku berjalan mendekat. "Jovan?" tanyaku dengan suara serak yang hampir terdengar seperti bisikan.Jovan menatapku dengan ekspresinya yang tenang. "Hai, Arini," ujarnya dengan nada datar seolah-olah berada di restoran tempatku bekerja bersama perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya adalah hal yang biasa.Mataku menyipit, berharap dia akan memberi penjelasan. Namun, sebelum Jovan sempat berkata-kata, Safira buru-buru maju dengan ekspresi terkejut seolah-olah baru menya
Sudut Pandang Arini:"Maaf, Anita, aku harus buru-buru pulang. Terima kasih, ya. Nanti aku telepon kamu lagi," balasku cepat.Setelah mendengar kabar dari Anita barusan, aku berusaha sekuat tenaga mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Jovan adalah pria yang sopan dan penuh perhatian. Selama tiga tahun pernikahan kami, aku kira aku sudah mengenal siapa dirinya. Baru kali ini aku melihatnya begitu peduli pada perempuan lain dan bahkan sampai ingkar janji.Aku menghela napas saat turun dari mobil. Bayangkan saja keterkejutanku begitu membuka pintu. Di ruang tamu, Safira duduk dengan santai dan asyik mengobrol dengan ibu Jovan. Keduanya terlihat akrab dan sesekali tertawa saat bercakap-cakap. Di sisi lain, Jovan duduk sendirian di kursi di sebelah mereka."Wah, ada apa ini?" tanyaku, memaksakan suara keluar dari tenggorokanku yang tercekat.Saat aku mendekat, Jovan segera berdiri dan membantuku melepas mantel. "Aku mengajak Safira pulang karena Ibu mau ketemu sama dia," jelasnya, masih
Sudut pandang Arini:Saat Safira masih terdiam karena kaget dengan kemunculan Jovan yang tiba-tiba, aku perlahan berdiri dari kursi. Segala hal yang baru saja kudengar berkecamuk dalam benakku. Hatiku terasa makin perih karena aku harus mendengar hal ini dari Safira, bukan dari Jovan sendiri. Aku berjalan melewati suamiku itu dan mengabaikannya saat dia berusaha berbicara denganku. "Arini, dengarkan aku ...," ujarnya sambil berusaha meraih tanganku.Aku menepis tangannya dan berjalan menaiki tangga dengan mata yang berkaca-kaca. Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur. Lelah, kecewa, dan marah campur aduk menjadi satu.Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselku.[ Aku minta maaf. ]Aku menatap layar sebentar, lalu mematikan ponsel. Saat ini aku tidak ingin mendengar permintaan maaf Jovan dan hanya mencoba untuk tidur. Namun, kegelisahan membuatku sulit terlelap dan saat terbangun keesokan harinya, sisi ranjang yang biasa Jovan tempati kosong.Ini berarti dia tidak t
Sudut pandang Arini:Sebelum aku sempat meluapkan amarahku, ekspresi Jovan berubah serius. "Safira, bunga itu bukan buat kamu," ujarnya dengan tegas sambil merebut kembali bunga itu dari Safira dan memberikannya padaku."Bunga ini untuk istriku," lanjut Jovan sambil menatapku.Wajah Safira langsung merah karena malu, sementara aku tersenyum puas. Namun, aksi Safira ternyata tidak berhenti di situ.Dengan mata berkaca-kaca, dia menatap Jovan dan berkata, "Jojo, aku nggak berniat mengganggu kalian, tapi ... bunga itu buatku, 'kan? Ingat nggak, dulu waktu SMA, kamu sering memberi bunga lavender buatku?"Jovan terlihat bingung. Matanya bergantian menatapku dan Safira. Rasanya aku ingin mengumpat. Apa lagi yang perlu dia pikirkan? Bunga itu sudah diberikan padaku. Seharusnya dia tidak perlu lagi memedulikan rengekan Safira."Arini," kata Jovan dengan tenang. "Biar dia pegang dulu bunganya malam ini. Besok aku akan membelikanmu sesuatu yang lebih spesial, janji."Aku hampir tidak memercayai
Sudut pandang Arini:Aku naik ke kamar di lantai atas dengan kepala berdenyut. Benakku masih memikirkan kejadian barusan di ruang makan. Sikap Jovan yang tidak menegur Safira secara tidak langsung menyiratkan bahwa dia menganggap aku memang berniat meracuni Safira. Jovan seharusnya sudah tahu, aku bahkan tidak tega menyakiti seekor lalat, apalagi manusia.Memang, aku benci Safira. Namun, itu bukan berarti aku akan melakukan sesuatu untuk menyakitinya. Jangankan mencampur susu ke makanannya dengan niat untuk mencelakai, aku malah baru tahu bahwa dia alergi susu.Perempuan itu pasti tertawa puas sekarang. Rencananya untuk menyebabkan keretakan dalam rumah tanggaku berhasil. Aku dan Jovan bahkan tidak sempat menyelesaikan makan malam. Kehadirannya benar-benar mengganggu kedamaian pernikahan kami.Aku menghela napas dan merebahkan diri di kasur. Apa yang harus aku lakukan untuk mengusir Safira dari kehidupanku dan Jovan?Tak lama kemudian, mataku mulai terasa berat. Sehabis memasak tadi, b
Sudut pandang Arini:Bip .... Bip ....Aku perlahan membuka mata dan melihat sekeliling dengan pandangan kabur. Cahaya lampu yang terlalu terang di atas seakan-akan menusuk mata dan membuat kepalaku berdenyut. Aku mengerutkan kening dan mencoba duduk. Namun, rasa sakit yang hebat tiba-tiba menjalar dari pinggang sehingga aku pun mengerang dan terjatuh kembali ke bantal.Lamat-lamat, aku bisa melihat sosok Anita berlari ke sampingku. "Arini, ada apa? Syukurlah kamu sudah sadar," ujarnya."Anita?" ucapku, mencoba berbicara. Namun, rasa sakit tadi kembali mendera dan membuatku kehilangan tenaga."Sstt ... sudah, nggak apa-apa. Nggak usah ngomong dulu," kata Anita.Aku mengangguk dan menunggu rasa sakit itu mereda. Setelah beberapa saat, aku bertanya, "Di mana ini?""Kamu di rumah sakit," jawab Anita dengan lembut.Mendengar jawabannya, aku segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aroma disinfektan yang khas langsung tercium oleh hidungku. Ruangan ini cukup luas dengan dinding berwarna
Sudut pandang Arini:Setelah Anita pergi, Jovan melirik ke arah pintu untuk memastikan sahabatku itu tidak bisa mendengar kami lagi. "Arini, sebenarnya ada apa?" tanyanya kemudian padaku."Apa maksudmu?" jawabku."Kenapa kamu tiba-tiba bilang kalau aku lebih mementingkan Safira daripada kamu? Ada masalah apa? Aku kira semuanya sudah selesai," ujar Jovan dengan alis yang berkerut dalam. Dia sama sekali tidak terdengar frustrasi, hanya bingung.Aku menatapnya tajam. "Kamu tahu persis alasanku marah, Jovan. Aku jatuh di tangga dan itu gara-gara Safira. Tapi, bukannya membantuku, kamu malah menolong dia dulu. Setelah itu, kamu juga memilih untuk menemani dia dan membiarkan aku ditemani Anita. Jovan, kamu anggap apa aku ini?" cecarku.Jovan mengernyit seolah-olah tidak mampu memahami kekesalanku. "Arini, dengar dulu," katanya dengan suara yang tetap tenang. "Safira hamil. Aku takut bayinya kenapa-kenapa, jadi aku menolong dia dulu." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Setelah mengan
Sudut pandang Arini:"Arini, aku merasa ada banyak hal yang kamu sembunyikan dariku," kata Anita dengan ekspresi serius.Aku menghela napas dan menoleh ke arah lain. Perkataan sahabatku itu memang benar.Saat ini, hanya ada kami berdua di ruang rawat inapku. Setelah beristirahat, sarapan, dan minum obat, tubuhku terasa lebih segar. Suasana hatiku juga jauh lebih baik setelah mandi dan berganti pakaian dengan baju yang dibawakan Jovan."Kamu tahu, rasanya nggak adil kalau kamu menganggapku sahabat, tapi masih main rahasia-rahasiaan segala," protes Anita lagi."Iya, iya," ujarku mengalah. "Kamu mau tahu apa?"Anita tertawa puas. "Pertama, siapa sih Safira itu? Ternyata dia itu perempuan hamil yang dulu aku lihat sama Jovan. Kenapa dia bisa ada di rumahmu? Apa hubungan dia sama Jovan sampai-sampai suamimu itu peduli banget sama dia?" tanyanya.Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali menghela napas sebelum mulai bercerita tentang Safira dan bagaimana perempuan itu masuk ke hidupku d
Sudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba
Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak
Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,
Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens
Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me
Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.
Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena
Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet
Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A