Share

Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan
Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan
Penulis: Gabby Emmanuel

Bab 1 Awal dari Segalanya

Penulis: Gabby Emmanuel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 13:01:15
Sudut pandang Arini:

Aroma hidangan yang menggugah selera menguar di ruangan, sementara perhatianku tertuju pada sosok Jovan. Rambutnya yang hitam membingkai garis rahang yang tegas dan hidungnya yang mancung. Setelan kasual yang dia kenakan tak mampu menyembunyikan pesona lekuk dadanya yang bidang dan bahunya yang tegap.

Sosok suamiku memang bak model-model di majalah. Namun, tidak seperti model-model itu yang entah ada di mana, dia ada di sini, bersamaku. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Untuk merayakannya, aku mengusulkan sebuah makan malam romantis di rumah saja.

Meskipun biasanya dingin dan terkesan cuek, Jovan masih sempat meluangkan waktu di tengah kesibukannya yang padat. Hal ini sudah aku anggap sebagai bentuk perhatiannya. Di depan pria ini, aku memang mudah luluh, apalagi ketika matanya itu menatapku lekat-lekat.

Kali ini aku memilih untuk duduk berhadapan dengannya, bukan di sampingnya seperti biasa. Aku ingin melihat reaksi Jovan saat aku menyampaikan kabar gembira ini. Kemarin, dokter keluarga memberitahuku bahwa aku hamil. Aku sengaja menunda untuk mengatakan hal ini hingga perayaan ulang tahun pernikahan kami sekarang.

Aku ingin memberikan kejutan yang tak terlupakan. Apa yang lebih membahagiakan daripada memberi tahu Jovan bahwa kami akan segera memiliki buah hati?

"Makanan ini enak sekali, Arini," komentar Jovan, membuyarkan lamunanku. "Aku benar-benar nggak habis pikir. Sampai sekarang aku masih kagum sama kemampuan memasakmu, padahal sudah jelas kalau kamu koki yang hebat."

Aku mengulas senyum termanis yang bisa kuberikan, merasa sedikit malu mendengar pujiannya. "Terima kasih, Jovan. Aku senang kamu suka masakanku."

Jovan balas tersenyum, meski tak selebar dan secerah senyumanku. "Tapi, lain kali kamu nggak perlu masak sebanyak ini. Dua atau tiga piring saja sudah cukup. Cuma untuk kita berdua kok."

Aku memutar bola mataku dengan jengkel. Dia selalu seperti ini. Namun, saat hendak protes bahwa aku hanya ingin membuat hari spesial ini terasa lebih istimewa, ponsel Jovan tiba-tiba berdering.

Ekspresi Jovan berubah ketika melihat layar ponsel, menunjukkan  penyesalan. "Maaf, Arini. Ada telepon dari kantor. Kayaknya aku harus pergi," ujarnya sambil berdiri.

Aku mencoba menyembunyikan kekecewaanku dengan mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Urus saja dulu pekerjaanmu. Aku tunggu di rumah," sahutku dengan nada yang terdengar lebih datar dari yang kuinginkan.

"Sebagai gantinya, kamu mau hadiah apa? Nanti aku belikan perhiasan baru, ya," kata Jovan sambil terburu-buru keluar dari ruang makan.

Aku kembali terduduk di kursi, merasa frustrasi dan kecewa. Jam sudah menunjukkan pukul 9. Apa iya masih ada yang bekerja malam-malam begini, kecuali satpam? Malam ini seharusnya menjadi malam yang spesial bagi kami. Bagaimana bisa diganti dengan perhiasan?

Aku mengentakkan kaki dengan sedikit kesal. Laki-laki perlu belajar bahwa hadiah tidak akan selalu membuat seorang perempuan senang. Perhatian yang tulus jauh lebih penting.

Detik demi detik berlalu. Entah sudah berapa kali aku menghela napas. Seperti biasa Jovan tidak mengatakan kapan dia akan kembali. Setelah selesai bekerja nanti, apa dia masih ingat bahwa malam ini ulang tahun pernikahan kami? Makanan yang awalnya menggugah selera sekarang sudah dingin. Makan malam romantis yang kuidam-idamkan hancur gara-gara urusan pekerjaan.

Setelah menutup makanan di meja, aku memutuskan untuk menunggu Jovan di ruang tamu sambil menonton drama favoritku. Namun, begitu mendarat di sofa, kehamilan membuatku merasa sangat mengantuk. Tanpa kusadari, aku sudah tertidur dan terbangun beberapa jam kemudian.

Aku mengucek mata dan memandang sekeliling dengan bingung. Rumah terasa sangat sunyi, sementara aku masih berada di sofa sendirian. Kekecewaanku bertambah ketika aku melihat jam di dinding. Sudah lewat tengah malam.

Marah dan sedih datang silih berganti. Ulang tahun pernikahan kami berlalu begitu saja, sedangkan Jovan belum juga pulang. Kegembiraan yang sempat kurasakan saat ingin berbagi kabar soal kehamilanku pun lenyap tak berbekas.

Aku berjalan menuju ruang makan. Sisa-sisa makan malam kami masih tergeletak di meja. Mungkin ini karmaku sebagai seorang koki yang, alih-alih memasak untuk pelanggan, malah mengambil cuti dua hari dan memasak untuk suaminya. Setelah menghela napas, aku mulai membersihkan meja dan membuang makanan-makanan itu ke tempat sampah.

....

Pagi-pagi sekali, aku tiba di restoran. Hiruk pikuknya dapur yang sudah sangat familier dan ekspresi heran teman-temanku pun langsung menyambutku.

"Arini, kok kamu sudah masuk kerja? Kamu cuti dua hari, 'kan?" tanya mereka.

Aku hanya bisa memaksakan senyum. Kekecewaan karena gagalnya perayaan ulang tahun pernikahanku masih terasa.

Sementara itu, Pak Bagas, manajer restoran, tersenyum ramah dan berjalan mendekat saat aku sedang melihat daftar menu baru restoran. "Arini, ada waktu sebentar?" tanyanya.

"Ya, Pak," jawabku sambil mengalihkan pandangan dari menu.

"Ada tawaran untuk belajar selama tiga tahun di luar negeri. Ini kesempatan bagus buat meningkatkan keterampilan memasakmu. Kamu tertarik nggak?" ujar Pak Bagas.

Aku terdiam, larut dalam pemikiranku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, apalagi aku sedang hamil. Namun, sebagian diriku merasa tertarik dengan tawaran itu. Ini adalah kesempatanku untuk keluar dari bayang-bayang Jovan dan membuktikan diri sebagai seorang koki di jalan yang kupilih sendiri.

Selama ini, aku hanya mengandalkan dukungan Jovan. Meskipun merasa bersyukur dengan semua bantuan itu, aku ingin tahu bagaimana rasanya sukses karena usahaku sendiri.

Menyadari keraguanku, Pak Bagas meletakkan tangannya di pundakku. "Nggak perlu dijawab sekarang. Pikirkan saja dulu dan bicarakan sama suamimu. Ini keputusan besar, jadi kamu nggak boleh ragu," ujarnya sebelum berjalan pergi.

Aku menghela napas. Benakku kembali sibuk saat aku mencoba menimbang segala kemungkinan. Apa Jovan sanggup membesarkan anak kami sendirian kalau aku akhirnya melahirkan? Bagaimana dengan pernikahan kami? Apa dia mampu bertahan dengan jarak yang memisahkan?

Semua pertanyaan itu berputar di otakku saat aku kembali bekerja di dapur. Dengan cekatan, tanganku mengiris dan menumis bumbu untuk menyiapkan pesanan pelanggan.

Beberapa jam kemudian, seorang pelayan tergesa-gesa datang ke dapur dengan wajah cemas. "Arini, ada pelanggan yang ngotot mau ketemu kamu," ujarnya dengan nada mendesak.

"Ada apa?" tanyaku kaget.

"Nggak tahu, tapi yang jelas, cewek itu kasar banget," jawab pelayan itu. "Dia cuma bilang mau ketemu sama koki yang memasakkan pesanannya."

Aku segera melepas celemek dan mencuci tangan. Setelah itu, aku mengikuti pelayan itu ke luar dapur.

"Selamat siang. Saya Arini, koki Anda," ujarku setelah sampai di meja pelanggan yang dimaksud. "Maaf kalau ada yang kurang berkenan dengan pesanan Anda. Bisa tolong jelaskan apa masalahnya?"

Pelanggan itu, seorang perempuan hamil, menatapku tajam dengan matanya yang menyala penuh amarah. "Semuanya bermasalah! Masakanmu hambar, nggak ada rasanya," jawabnya dengan kasar. "Bisa-bisanya kamu mengaku sebagai koki."

Aku mendengarkan dengan sabar dan mencoba menjelaskan menu yang dia pesan dan bahan-bahan yang digunakan. Namun, hal itu ternyata tidak meredakan kekesalannya.

"Aku nggak peduli sama penjelasanmu," ujarnya dengan nada tinggi. "Sekarang aku cuma mau tunggu suamiku datang biar kamu bisa cepat-cepat dipecat."

Meski mulai merasa kesal, aku tetap bersikap profesional. "Saya bisa pastikan kalau menu kami disiapkan dengan teliti dan dengan bahan-bahan terbaik. Kalau Anda berkenan, saya bisa mengganti dengan menu tambahan sebagai permintaan maaf."

Dengan acuh, perempuan itu menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. "Nggak usah. Aku tetap mau kamu dipecat karena hampir meracuni aku dan anak dalam kandunganku. Tunggu saja suamiku datang, biar dia yang mengurusmu."

Aku menarik napas dalam-dalam dan mohon diri untuk kembali ke dapur. Kejadian barusan membuatku tak habis pikir. Aku sudah lama menjadi koki dan sudah sering mendapat keluhan yang tak masuk akal. Namun, baru kali ini aku sampai diancam akan dipecat. Siapa sebenarnya perempuan itu dan siapa suaminya yang terdengar seperti mampu membuatku kehilangan pekerjaan begitu saja?

Saat aku hendak kembali bekerja, terdengar ketukan di pintu dapur. "Arini, suami cewek tadi sudah datang," kata pelayan yang tadi memanggilku.

Aku menghela napas. Suasana hatiku sudah cukup buruk, jadi aku hanya berharap bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya. Setelah menenangkan diri, aku melangkah ke luar. Siapa pun suami perempuan itu, aku tidak boleh takut. Aku tahu betul kualitasku sebagai seorang koki.

Namun, saat aku hampir sampai di meja pelanggan, napasku tercekat ketika melihat sosok tinggi yang berbicara dengan perempuan itu. Perempuan itu melihatku terlebih dahulu dan memberi tahu suaminya dengan menunjuk ke arahku.

Sebelum suaminya menoleh untuk menatapku, aku sudah tahu siapa pria itu. Dadaku terasa sesak saat aku menatap wajah tampan yang hampir setiap malam menemani tidurku. Itu Jovan, suamiku!

Bab terkait

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 2 Perempuan Lain

    Sudut pandang Arini:Ini benar-benar mengejutkan. Aku sampai harus berkedip beberapa kali untuk memastikan aku tidak salah lihat. Mataku terbelalak saking kagetnya, sementara otakku berusaha mencerna adegan yang ada di depanku. Suamiku, Jovan, berdiri di samping perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya di restoran tempatku bekerja.Kata-kata perempuan itu bahwa suaminya akan memecatku masih terngiang di telingaku. Jantungku seketika berdebar makin kencang dan napasku pun terasa berat.Dengan perasaan berkecamuk, aku berjalan mendekat. "Jovan?" tanyaku dengan suara serak yang hampir terdengar seperti bisikan.Jovan menatapku dengan ekspresinya yang tenang. "Hai, Arini," ujarnya dengan nada datar seolah-olah berada di restoran tempatku bekerja bersama perempuan hamil yang mengaku sebagai istrinya adalah hal yang biasa.Mataku menyipit, berharap dia akan memberi penjelasan. Namun, sebelum Jovan sempat berkata-kata, Safira buru-buru maju dengan ekspresi terkejut seolah-olah baru menya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 3 Ketika Keraguan Muncul

    Sudut Pandang Arini:"Maaf, Anita, aku harus buru-buru pulang. Terima kasih, ya. Nanti aku telepon kamu lagi," balasku cepat.Setelah mendengar kabar dari Anita barusan, aku berusaha sekuat tenaga mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Jovan adalah pria yang sopan dan penuh perhatian. Selama tiga tahun pernikahan kami, aku kira aku sudah mengenal siapa dirinya. Baru kali ini aku melihatnya begitu peduli pada perempuan lain dan bahkan sampai ingkar janji.Aku menghela napas saat turun dari mobil. Bayangkan saja keterkejutanku begitu membuka pintu. Di ruang tamu, Safira duduk dengan santai dan asyik mengobrol dengan ibu Jovan. Keduanya terlihat akrab dan sesekali tertawa saat bercakap-cakap. Di sisi lain, Jovan duduk sendirian di kursi di sebelah mereka."Wah, ada apa ini?" tanyaku, memaksakan suara keluar dari tenggorokanku yang tercekat.Saat aku mendekat, Jovan segera berdiri dan membantuku melepas mantel. "Aku mengajak Safira pulang karena Ibu mau ketemu sama dia," jelasnya, masih

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 4 Awan Gelap Pernikahan

    Sudut pandang Arini:Saat Safira masih terdiam karena kaget dengan kemunculan Jovan yang tiba-tiba, aku perlahan berdiri dari kursi. Segala hal yang baru saja kudengar berkecamuk dalam benakku. Hatiku terasa makin perih karena aku harus mendengar hal ini dari Safira, bukan dari Jovan sendiri. Aku berjalan melewati suamiku itu dan mengabaikannya saat dia berusaha berbicara denganku. "Arini, dengarkan aku ...," ujarnya sambil berusaha meraih tanganku.Aku menepis tangannya dan berjalan menaiki tangga dengan mata yang berkaca-kaca. Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur. Lelah, kecewa, dan marah campur aduk menjadi satu.Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselku.[ Aku minta maaf. ]Aku menatap layar sebentar, lalu mematikan ponsel. Saat ini aku tidak ingin mendengar permintaan maaf Jovan dan hanya mencoba untuk tidur. Namun, kegelisahan membuatku sulit terlelap dan saat terbangun keesokan harinya, sisi ranjang yang biasa Jovan tempati kosong.Ini berarti dia tidak t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 5 Berurusan dengan Perempuan Jalang

    Sudut pandang Arini:Sebelum aku sempat meluapkan amarahku, ekspresi Jovan berubah serius. "Safira, bunga itu bukan buat kamu," ujarnya dengan tegas sambil merebut kembali bunga itu dari Safira dan memberikannya padaku."Bunga ini untuk istriku," lanjut Jovan sambil menatapku.Wajah Safira langsung merah karena malu, sementara aku tersenyum puas. Namun, aksi Safira ternyata tidak berhenti di situ.Dengan mata berkaca-kaca, dia menatap Jovan dan berkata, "Jojo, aku nggak berniat mengganggu kalian, tapi ... bunga itu buatku, 'kan? Ingat nggak, dulu waktu SMA, kamu sering memberi bunga lavender buatku?"Jovan terlihat bingung. Matanya bergantian menatapku dan Safira. Rasanya aku ingin mengumpat. Apa lagi yang perlu dia pikirkan? Bunga itu sudah diberikan padaku. Seharusnya dia tidak perlu lagi memedulikan rengekan Safira."Arini," kata Jovan dengan tenang. "Biar dia pegang dulu bunganya malam ini. Besok aku akan membelikanmu sesuatu yang lebih spesial, janji."Aku hampir tidak memercayai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 6 Dia Memilih untuk Menolong Perempuan Lain

    Sudut pandang Arini:Aku naik ke kamar di lantai atas dengan kepala berdenyut. Benakku masih memikirkan kejadian barusan di ruang makan. Sikap Jovan yang tidak menegur Safira secara tidak langsung menyiratkan bahwa dia menganggap aku memang berniat meracuni Safira. Jovan seharusnya sudah tahu, aku bahkan tidak tega menyakiti seekor lalat, apalagi manusia.Memang, aku benci Safira. Namun, itu bukan berarti aku akan melakukan sesuatu untuk menyakitinya. Jangankan mencampur susu ke makanannya dengan niat untuk mencelakai, aku malah baru tahu bahwa dia alergi susu.Perempuan itu pasti tertawa puas sekarang. Rencananya untuk menyebabkan keretakan dalam rumah tanggaku berhasil. Aku dan Jovan bahkan tidak sempat menyelesaikan makan malam. Kehadirannya benar-benar mengganggu kedamaian pernikahan kami.Aku menghela napas dan merebahkan diri di kasur. Apa yang harus aku lakukan untuk mengusir Safira dari kehidupanku dan Jovan?Tak lama kemudian, mataku mulai terasa berat. Sehabis memasak tadi, b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 7 Ketika Amarah Tak Tertahankan Lagi

    Sudut pandang Arini:Bip .... Bip ....Aku perlahan membuka mata dan melihat sekeliling dengan pandangan kabur. Cahaya lampu yang terlalu terang di atas seakan-akan menusuk mata dan membuat kepalaku berdenyut. Aku mengerutkan kening dan mencoba duduk. Namun, rasa sakit yang hebat tiba-tiba menjalar dari pinggang sehingga aku pun mengerang dan terjatuh kembali ke bantal.Lamat-lamat, aku bisa melihat sosok Anita berlari ke sampingku. "Arini, ada apa? Syukurlah kamu sudah sadar," ujarnya."Anita?" ucapku, mencoba berbicara. Namun, rasa sakit tadi kembali mendera dan membuatku kehilangan tenaga."Sstt ... sudah, nggak apa-apa. Nggak usah ngomong dulu," kata Anita.Aku mengangguk dan menunggu rasa sakit itu mereda. Setelah beberapa saat, aku bertanya, "Di mana ini?""Kamu di rumah sakit," jawab Anita dengan lembut.Mendengar jawabannya, aku segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aroma disinfektan yang khas langsung tercium oleh hidungku. Ruangan ini cukup luas dengan dinding berwarna

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 8 Terluka

    Sudut pandang Arini:Setelah Anita pergi, Jovan melirik ke arah pintu untuk memastikan sahabatku itu tidak bisa mendengar kami lagi. "Arini, sebenarnya ada apa?" tanyanya kemudian padaku."Apa maksudmu?" jawabku."Kenapa kamu tiba-tiba bilang kalau aku lebih mementingkan Safira daripada kamu? Ada masalah apa? Aku kira semuanya sudah selesai," ujar Jovan dengan alis yang berkerut dalam. Dia sama sekali tidak terdengar frustrasi, hanya bingung.Aku menatapnya tajam. "Kamu tahu persis alasanku marah, Jovan. Aku jatuh di tangga dan itu gara-gara Safira. Tapi, bukannya membantuku, kamu malah menolong dia dulu. Setelah itu, kamu juga memilih untuk menemani dia dan membiarkan aku ditemani Anita. Jovan, kamu anggap apa aku ini?" cecarku.Jovan mengernyit seolah-olah tidak mampu memahami kekesalanku. "Arini, dengar dulu," katanya dengan suara yang tetap tenang. "Safira hamil. Aku takut bayinya kenapa-kenapa, jadi aku menolong dia dulu." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Setelah mengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 9 Aku Mau Perempuan Itu Pergi

    Sudut pandang Arini:"Arini, aku merasa ada banyak hal yang kamu sembunyikan dariku," kata Anita dengan ekspresi serius.Aku menghela napas dan menoleh ke arah lain. Perkataan sahabatku itu memang benar.Saat ini, hanya ada kami berdua di ruang rawat inapku. Setelah beristirahat, sarapan, dan minum obat, tubuhku terasa lebih segar. Suasana hatiku juga jauh lebih baik setelah mandi dan berganti pakaian dengan baju yang dibawakan Jovan."Kamu tahu, rasanya nggak adil kalau kamu menganggapku sahabat, tapi masih main rahasia-rahasiaan segala," protes Anita lagi."Iya, iya," ujarku mengalah. "Kamu mau tahu apa?"Anita tertawa puas. "Pertama, siapa sih Safira itu? Ternyata dia itu perempuan hamil yang dulu aku lihat sama Jovan. Kenapa dia bisa ada di rumahmu? Apa hubungan dia sama Jovan sampai-sampai suamimu itu peduli banget sama dia?" tanyanya.Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali menghela napas sebelum mulai bercerita tentang Safira dan bagaimana perempuan itu masuk ke hidupku d

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 50 Mengubah Pikiranku

    Sudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 49 Duka Cita

    Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 48 Dia Hamil

    Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 47 Jawaban yang Kutunggu

    Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 46 Mencari Jawaban

    Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 45 Kesalahpahaman yang Disengaja

    Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 44 Aku Telah Mengecewakannya

    Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 43 Pelaku Sebenarnya

    Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 42 Kenyataan

    Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A

DMCA.com Protection Status