Home / Romansa / Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan / Bab 6 Dia Memilih untuk Menolong Perempuan Lain

Share

Bab 6 Dia Memilih untuk Menolong Perempuan Lain

Author: Gabby Emmanuel
last update Last Updated: 2024-12-10 13:01:15
Sudut pandang Arini:

Aku naik ke kamar di lantai atas dengan kepala berdenyut. Benakku masih memikirkan kejadian barusan di ruang makan. Sikap Jovan yang tidak menegur Safira secara tidak langsung menyiratkan bahwa dia menganggap aku memang berniat meracuni Safira. Jovan seharusnya sudah tahu, aku bahkan tidak tega menyakiti seekor lalat, apalagi manusia.

Memang, aku benci Safira. Namun, itu bukan berarti aku akan melakukan sesuatu untuk menyakitinya. Jangankan mencampur susu ke makanannya dengan niat untuk mencelakai, aku malah baru tahu bahwa dia alergi susu.

Perempuan itu pasti tertawa puas sekarang. Rencananya untuk menyebabkan keretakan dalam rumah tanggaku berhasil. Aku dan Jovan bahkan tidak sempat menyelesaikan makan malam. Kehadirannya benar-benar mengganggu kedamaian pernikahan kami.

Aku menghela napas dan merebahkan diri di kasur. Apa yang harus aku lakukan untuk mengusir Safira dari kehidupanku dan Jovan?

Tak lama kemudian, mataku mulai terasa berat. Sehabis memasak tadi, badanku berkeringat, jadi aku ingin mandi dahulu sebelum tidur. Setelah selesai, aku mengenakan piama yang nyaman dan kembali rebah di kasur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba aku terbangun karena haus. Aku segera bangkit dari kasur, mengenakan sandal jepit, dan turun ke bawah menuju dapur.

Saat baru saja menuruni tangga dan hendak menuju lorong yang mengarah ke dapur, aku mendengar suara orang bercakap-cakap. Setelah lebih dekat, barulah aku menyadari bahwa itu adalah suara Jovan dan Safira.

Keningku seketika berkerut menunjukkan ketidaksetujuan. Jam di ujung ruangan sudah menunjukkan waktu pukul 11 malam. Mengapa Jovan masih belum tidur dan malah mengobrol dengan Safira? Dia seharusnya sudah ada di kasur bersamaku.

Aku memutuskan untuk tidak ikut campur urusan mereka dan melanjutkan langkahku ke dapur. Namun, tepat saat itu, suara Safira terdengar di telingaku. Aku pun berhenti sejenak dan mendengarkan.

"Jovan, apa sih yang kamu cari dari perempuan kasar kayak Arini? Dia itu jahat dan nggak punya empati. Apa kamu tadi nggak lihat? Dia sama sekali nggak peduli kalau malam-malam begini aku harus cari hotel. Dia juga nggak tahu terima kasih. Masa kamu harus jemput dia segala di restoran? Seharusnya kamu istirahat setelah bekerja, bukan jadi sopir."

"Arini nggak menyuruhku menjemputnya, Safira. Memang aku yang ingin menjemput dia. Dia istriku, jadi tolong jaga kata-katamu," balas Jovan.

Aku mendengus ketika mendengar jawaban Jovan. Setidaknya kali ini dia membelaku.

"Jovan, kamu sudah berubah, ya. Dulu kamu nggak seperti ini. Diracuni apa kamu sama perempuan itu?" tanya Safira dengan suara yang melengking.

"Cukup, Safira. Kamu nggak perlu mengungkit-ungkit masa lalu lagi. Semua itu sudah lewat. Lagian, pernikahanmu sendiri gagal. Kamu nggak berhak memberi nasihat atau ikut campur urusan rumah tanggaku."

"Tapi, aku bercerai sama suamiku demi kamu, Jovan."

Mataku sontak terbelalak. Apa-apaan itu? Apa maksud Safira barusan?

"Nggak. Perceraian adalah pilihanmu sendiri. Jangan jadikan aku alasan perceraianmu!" bentak Jovan dengan penuh amarah. Bahkan aku yang berada di dapur bisa sampai merasakan api kemarahannya. Baru sekarang aku melihat Jovan semarah ini. Sayangnya, hal itu tidak sedikit pun mengurangi kekecewaan di hatiku.

Kemudian, aku mendengar Safira mulai terisak. Perempuan licik itu rupanya mencoba memainkan kartu andalannya lagi. Semoga saja Jovan tidak terpengaruh oleh akal busuk Safira.

Ketika isakan itu akhirnya berubah menjadi tangisan, aku pun mendekat karena penasaran. Dengan mata terbelalak, aku melihat Safira sudah berada di pelukan Jovan, menangis dan memeluk suamiku dengan erat. Seketika, aku merasa marah saat melihat Jovan mencoba menenangkan Safira dengan melingkarkan lengannya di tubuh perempuan itu.

Saking kesalnya, rasa hausku pun sementara terlupakan. Aku bergegas naik ke atas dan mulai mengemasi barang-barangku. Tingkah Jovan dan Safira yang sudah berlebihan itu membuatku muak. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini jika masih ingin tetap waras.

Setelah selesai memasukkan pakaian ke koper, aku mengganti piamaku dengan pakaian yang lebih layak dan meraih tas tanganku sebelum akhirnya berjalan ke luar. Namun, saat aku baru keluar kamar, aku melihat Safira berdiri di tangga. Perempuan itu jelas sedang menungguku. Ada senyum sinis di wajahnya dan kilatan jahat di matanya.

Aku memutuskan untuk tetap mengendalikan emosiku dan menjaga ketenangan. Sebisa mungkin, aku ingin menghindari pertengkaran yang tidak perlu dengan Safira. Yang penting bagiku sekarang adalah segera pergi dari apartemen.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai menuruni tangga. Seperti yang sudah aku duga, Safira menghalangi jalanku.

"Aku nggak punya waktu buatmu, Safira. Tolong minggir," kataku dengan suara yang tegas.

"Kalau aku nggak mau minggir, kamu mau apa? Jangan kira kamu bisa pergi begitu saja setelah mencoba meracuni aku," ujar Safira dengan tangan terlipat di pinggang.

"Nggak usah pura-pura lagi. Jovan nggak lihat. Aku sama sekali nggak menambahkan susu ke makananmu. Tingkahmu di ruang makan tadi cuma akal-akalan buat menarik perhatian Jovan, 'kan? Kamu nggak ada bedanya sama anak kecil yang haus perhatian. Minggir, aku nggak punya waktu buat meladeni kamu," balasku.

"Oke, kamu boleh lewat. Kamu sudah nggak sanggup melihat kenyataan, 'kan?" kata Safira sambil bergeser ke samping,  memberi jalan untukku.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku segera melanjutkan langkahku. Tak lupa, aku mencibir saat berjalan melewati Safira.

"Kalau kita berdua dalam bahaya, menurutmu siapa yang bakal Jovan selamatkan lebih dulu?" tanya Safira tiba-tiba.

"Apa?"

Sebelum sempat memahami maksud pertanyaan itu, aku merasa punggungku didorong. Tubuhku tak ayal kehilangan keseimbangan dan tergelincir ke dasar tangga.

Aku menjerit saat punggungku menghantam lantai. Di sisi lain, Safira buru-buru turun dan berbaring di sampingku sambil mengerang, membuatnya terlihat seolah-olah kami jatuh bersama. Dia pasti sudah mendengar langkah Jovan yang mendekat.

Astaga, perempuan ini benar-benar licik! Aku ingin berteriak untuk mengungkapkan kebusukannya, tetapi rasa sakit di perutku terlalu hebat. Ya ampun, bayiku!

Rasa panik akan keselamatan bayiku seketika menyelimuti sehingga aku kembali berteriak meminta tolong. Namun, Safira juga berteriak lebih keras, mencoba merebut perhatian Jovan.

Jovan bergegas ke tangga. Matanya bergantian menatapku dan Safira dengan bingung. Aku sudah tidak punya tenaga untuk berbicara dan hanya bisa menatapnya untuk memohon.

'Jovan, tolong aku .... Tolong bayi kita ...,' pintaku dalam hati.

Untuk sesaat, aku pikir Jovan mengerti karena dia langsung berlari ke arahku. Namun, saat aku mengira bahwa dia akan menggendongku, dia malah berhenti dan berbalik ke arah Safira.

Related chapters

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 7 Ketika Amarah Tak Tertahankan Lagi

    Sudut pandang Arini:Bip .... Bip ....Aku perlahan membuka mata dan melihat sekeliling dengan pandangan kabur. Cahaya lampu yang terlalu terang di atas seakan-akan menusuk mata dan membuat kepalaku berdenyut. Aku mengerutkan kening dan mencoba duduk. Namun, rasa sakit yang hebat tiba-tiba menjalar dari pinggang sehingga aku pun mengerang dan terjatuh kembali ke bantal.Lamat-lamat, aku bisa melihat sosok Anita berlari ke sampingku. "Arini, ada apa? Syukurlah kamu sudah sadar," ujarnya."Anita?" ucapku, mencoba berbicara. Namun, rasa sakit tadi kembali mendera dan membuatku kehilangan tenaga."Sstt ... sudah, nggak apa-apa. Nggak usah ngomong dulu," kata Anita.Aku mengangguk dan menunggu rasa sakit itu mereda. Setelah beberapa saat, aku bertanya, "Di mana ini?""Kamu di rumah sakit," jawab Anita dengan lembut.Mendengar jawabannya, aku segera mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aroma disinfektan yang khas langsung tercium oleh hidungku. Ruangan ini cukup luas dengan dinding berwarna

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 8 Terluka

    Sudut pandang Arini:Setelah Anita pergi, Jovan melirik ke arah pintu untuk memastikan sahabatku itu tidak bisa mendengar kami lagi. "Arini, sebenarnya ada apa?" tanyanya kemudian padaku."Apa maksudmu?" jawabku."Kenapa kamu tiba-tiba bilang kalau aku lebih mementingkan Safira daripada kamu? Ada masalah apa? Aku kira semuanya sudah selesai," ujar Jovan dengan alis yang berkerut dalam. Dia sama sekali tidak terdengar frustrasi, hanya bingung.Aku menatapnya tajam. "Kamu tahu persis alasanku marah, Jovan. Aku jatuh di tangga dan itu gara-gara Safira. Tapi, bukannya membantuku, kamu malah menolong dia dulu. Setelah itu, kamu juga memilih untuk menemani dia dan membiarkan aku ditemani Anita. Jovan, kamu anggap apa aku ini?" cecarku.Jovan mengernyit seolah-olah tidak mampu memahami kekesalanku. "Arini, dengar dulu," katanya dengan suara yang tetap tenang. "Safira hamil. Aku takut bayinya kenapa-kenapa, jadi aku menolong dia dulu." Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Setelah mengan

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 9 Aku Mau Perempuan Itu Pergi

    Sudut pandang Arini:"Arini, aku merasa ada banyak hal yang kamu sembunyikan dariku," kata Anita dengan ekspresi serius.Aku menghela napas dan menoleh ke arah lain. Perkataan sahabatku itu memang benar.Saat ini, hanya ada kami berdua di ruang rawat inapku. Setelah beristirahat, sarapan, dan minum obat, tubuhku terasa lebih segar. Suasana hatiku juga jauh lebih baik setelah mandi dan berganti pakaian dengan baju yang dibawakan Jovan."Kamu tahu, rasanya nggak adil kalau kamu menganggapku sahabat, tapi masih main rahasia-rahasiaan segala," protes Anita lagi."Iya, iya," ujarku mengalah. "Kamu mau tahu apa?"Anita tertawa puas. "Pertama, siapa sih Safira itu? Ternyata dia itu perempuan hamil yang dulu aku lihat sama Jovan. Kenapa dia bisa ada di rumahmu? Apa hubungan dia sama Jovan sampai-sampai suamimu itu peduli banget sama dia?" tanyanya.Entah untuk yang keberapa kalinya, aku kembali menghela napas sebelum mulai bercerita tentang Safira dan bagaimana perempuan itu masuk ke hidupku d

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 10 Kehamilan yang Terungkap

    Sudut pandang Arini:Aku menatap orang yang kutabrak. Ternyata dia adalah seorang pria yang sangat tampan. Selama beberapa detik setelah aku menabraknya, tatapanku terpaku pada matanya yang berwarna hijau zamrud.'Gawat!' ujarku dalam hati sambil buru-buru menggeleng. Semoga saja pria itu tidak tahu bahwa barusan aku terpesona padanya."Aduh, maaf ya," ujarku cepat-cepat.Saat menunduk, mataku tanpa sengaja melihat ponsel yang tergeletak di rerumputan. "Ini ponselmu?" tanyaku.Tanpa menunggu jawaban, aku segera mengambil ponsel itu dan memberikannya pada pria tadi. "Untung ponselmu nggak rusak. Sekali lagi maaf, ya."Pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Baru ketika aku selesai berbicara, dia akhirnya tersenyum. "Kamu nggak perlu minta maaf. Seharusnya aku yang minta maaf," jawabnya.Aku menggeleng. "Nggak, tadi aku yang nggak lihat jalan dan menabrakmu." Pria itu terkekeh pelan. Suaranya dalam dan hangat. "Kalau begitu, kita anggap seri saja. Aku tadi juga nggak lihat jalan."

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 11 Rasanya seperti Dia Menikah dengan Dua Wanita

    Sudut pandang Arini:Tiga hari kemudian ...."Selamat pagi, Bu Arini," kata Dokter Sarah dengan senyum hangat saat memasuki ruangan. "Kamu sudah sembuh dan bisa pulang. Suamimu cuma perlu mengurus administrasi nanti."Aku tersenyum. "Terima kasih, Dok."Dokter Sarah mengangguk dan berbalik untuk meninggalkan ruangan. "Jaga diri, Bu Arini. Semoga pemulihanmu lancar di rumah."Anita yang duduk di samping tempat tidur tersenyum dan menggenggam tanganku. "Syukurlah, akhirnya kamu boleh pulang, Arini."Aku membalas senyumannya. "Terima kasih, Anita."Tak lama kemudian, Jovan masuk sambil membawa beberapa bungkus makanan. "Selamat pagi, Sayang. Aku beli sarapan buat kamu.""Terima kasih," jawabku datar. Tiga hari terakhir benar-benar canggung. Kami lebih mirip seperti orang asing.Aku jarang bertemu Jovan, kecuali saat dia datang untuk menjengukku. Namun, kunjungannya itu juga tak pernah lebih dari beberapa menit. Dia selalu terburu-buru meninggalkanku untuk menemani Safira. Saat aku mengelu

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 12 Kesepakatan

    Sudut pandang Arini:Perjalanan pulang kali ini adalah salah satu pengalaman paling menyebalkan yang pernah aku alami. Safira melakukan berbagai macam hal yang menguji kesabaranku, mulai dari merajuk hingga terus-menerus menempel pada Jovan.Saat asyik mengobrol dengan Jovan, perempuan itu sesekali merangkulnya dengan ceria. Tak lupa, dia juga memberiku tatapan mengejek dari kaca spion tengah."Jovan, bisa putar lagu? Aku bosan," ujar Safira tiba-tiba memecah keheningan di dalam mobil."Kamu mau dengar lagu apa?""Lagu yang dulu biasa kita dengar waktu SMA, 'I Will Always Love You,' dari Whitney Houston," kata Safira."Aku nggak punya lagu itu lagi," sahut Jovan tanpa melepaskan tatapannya dari jalan."Kenapa kamu nggak menyimpan lagu yang dulu berarti banget buat kita?" rengek Safira yang tampak kecewa.Jovan hanya mengangkat pundak dan terkekeh. Namun, adegan itu sudah cukup untuk membuatku sakit hati. Dia selalu tampak begitu santai di dekat Safira. Padahal, jika bersamaku, dia jara

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 13 Menampung Perempuan Lain

    Sudut pandang Arini:Aku menatap Jovan, mengharapkan penjelasan. Namun, dia tampaknya ingin mengabaikanku.Amarahku seketika tersulut. Apa-apaan ini? Jangan bilang Jovan setuju menampung Safira di rumah ini tanpa memberi tahu dan membahasnya denganku."Jovan, kesepakatan apa?" ulangku lagi dengan nada yang lebih tegas dan meninggi. "Cepat ceritakan padaku.""Sayang, nggak perlu teriak-teriak," jawab Jovan sebelum melirik Safira. "Kami sudah membicarakannya tadi.""Membicarakan apa?" tanyaku dengan kesabaran yang makin menipis. "Kamu nggak bisa sembarangan mengundang orang untuk tinggal di sini tanpa berdiskusi denganku dulu. Aku ini istrimu!"Safira masih berdiri dan mengelus-elus perutnya untuk mengemis simpati. "Jovan, bilang saja ke Arini," katanya sambil menggenggam tangan Jovan. "Kita sudah sepakat kalau aku bisa tinggal di sini sampai aku bisa bangkit dan dapat tempat tinggal sendiri.""Bangkit?" ulangku dengan ekspresi tak percaya. "Kamu hamil, Safira, bukan cacat! Kamu harusnya

    Last Updated : 2024-12-10
  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 14 Haruskah Aku Memeriksa Ponselnya?

    Sudut pandang Arini:Aku terbangun karena merasakan tepukan pelan di pundakku. Ketika membuka mata, aku melihat Jovan sedang memandangiku dengan lembut."Makan malam sudah siap, Bu Arini," ujarnya dengan hangat sambil mengecup keningku."Makan malam?" seruku yang langsung duduk. "Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil menatap ke jendela dan menyadari bahwa di luar sudah gelap.Jovan terkekeh. "Kamu tidur hampir empat jam. Kayaknya baru kali ini kamu tidur siang selama itu. Kamu nggak sakit, 'kan?""Aku nggak apa-apa," jawabku cepat sambil turun dari tempat tidur. Aku yakin tubuhku yang terasa berat ini adalah karena kehamilanku. Namun, aku belum berniat memberi tahu Jovan sekarang."Ya sudah," kata Jovan sambil mengangguk. "Kamu mau makan?"Aku mengiakan dan kami pun berjalan ke luar kamar. Saat menuju ruang makan, aku bertanya, "Kita makan malam apa hari ini?""Kentang goreng, brokoli, dan ayam," jawab Jovan sambil tersenyum.Aku berhenti sejenak dan menatap Jovan dengan heran. "Kamu ma

    Last Updated : 2024-12-10

Latest chapter

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 50 Mengubah Pikiranku

    Sudut pandang Arini:Begitu Jovan keluar, emosiku sudah tidak terbendung lagi. Air mata mengalir deras di mataku dan seluruh tubuhku gemetar hebat. Semua itu terlalu berat untuk ditahan. Melihat Jovan rasanya seperti menabur garam di atas luka baru. Sungguh pedih dan menyakitkan."Hei, nggak apa-apa. Luapkan aja semuanya," bisik Anita sambil meremas tanganku. Dia hanya diam selama aku berbicara dengan Jovan. Sebenarnya, Anita ingin menimpali pembicaraan itu, tapi aku yang memberinya isyarat agar dia tetap diam.Begitu aku melepas pertahanan diriku, emosiku memuncak. Marah, sedih, dan penyesalan bercampur menjadi satu. Mengapa aku bertahan begitu lama di sisi Jovan? Mengapa aku mengabaikan sikapnya yang acuh tak acuh, dan menganggap itu adalah bagian dari kepribadian Jovan? Padahal, sebenarnya semua itu adalah pertanda yang begitu jelas.Tangisanku makin keras, tapi bukan karena pengkhianatan Jovan, melainkan karena menyesali kebodohanku. Namun saat aku menangis, ada sesuatu yang beruba

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 49 Duka Cita

    Sudut pandang Jovan:Semua yang aku dengar di ruangan itu terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.Aku terhuyung-huyung melewati lorong rumah sakit. Kakiku bergerak dengan sendirinya. Entah bagaimana, aku telah berada di dalam lift dan turun ke lantai dasar. Cermin di dinding memantulkan sebuah sosok yang asing bagiku. Seorang pria pucat, patah hati, dan terguncang mentalnya.Di luar, terik matahari sore menyengat kulit dan mataku, tetapi aku tidak peduli. Aku tenggelam dalam emosiku sehingga aku tidak peduli jika kulit terbakar ataupun menghitam.Aku pun sampai ke mobilku dan meraih gagang pintunya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku, sangat berlawanan dengan sensasi terbakar yang terasa di hatiku.Aku masuk ke kursi pengemudi, dan mengepalkan tanganku erat-erat di roda kemudi. "Kalianlah yang membunuh anakku!" Kata-kata Arini terngiang-ngiang di kepalaku. Tuduhan itu sangat menyakitkan, karena bayi itu juga anakku.Mataku memerah karena air mata yang tertahan dan rasa sak

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 48 Dia Hamil

    Sudut pandang Jovan:Setibanya di rumah sakit, aku bergegas ke ruang penerima tamu. Ada seorang wanita di balik meja resepsionis dan aku segera menyatakan tujuanku datang ke sana."Tunggu sebentar, saya periksa dulu catatannya," kata wanita itu sambil mengeluarkan sebuah buku besar dari laci.Aku mengangguk dan mengetuk-ngetukkan jari dengan tidak sabar di meja resepsionis yang dilapisi marmer sementara dia memeriksa buku itu."Ya, Arini Rahadian dibawa masuk kemarin. Kasus kecelakaan dan dia ada di kamar 95 di sayap C, lantai 2 ... "Hanya itu yang perlu aku dengar. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada wanita itu, lalu bergegas pergi. Aku masuk ke lift dan menekan tombol ke lantai 2, lalu liftnya mulai naik. Aku keluar saat lift mencapai lantai 2 dan memberi isyarat kepada seorang perawat untuk memberi petunjuk. Perawat itu menanggapi dengan cepat. Aku pun berjalan ke kamar 95 sesuai arahannya.Tak lama kemudian, aku sampai di depan pintu bernomor 95. Aku mengatupkan kedua tangan,

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 47 Jawaban yang Kutunggu

    Sudut pandang Jovan:Aku sampai di rumah dan bergegas masuk. Saat memasuki ruang tamu, aku melihat Safira berbaring di sofa sambil mengunyah camilan dengan suara TV yang terdengar keras. Pemandangan ini membuatku sangat kecewa."Safira, kamu ngapain di sini?" tanyaku seraya mengambil remote dan mematikan TV.Dia mengerutkan kening padaku. "Ada masalah apa, sih? Kenapa TV-nya kamu matikan?""Kita harus bicara," kataku tegas.Safira mendengus kesal dan duduk di sofa, lalu menyilangkan lengannya dengan defensif. "Mau bicara apa? Kamu meninggalkan rumah tanpa bilang ke mana kamu pergi, lalu sekarang kamu ingin bicara?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang dan tidak marah. "Safira, jangan mengamuk, kumohon. Aku harus tanya sesuatu padamu."Safira memelototiku, lalu mencibir. "Ya udah, tanya aja.""Kemarin, kamu lihat Arini waktu dia pulang, 'kan?""Kenapa kamu tanyakan hal ini lagi padaku? Sudah kubilang, dia memergoki kita berdua," jawab Safira, lagi-lagi dengan nada defens

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 46 Mencari Jawaban

    Sudut pandang Jovan:Aku menekan tombol bel pintu dan menunggu jawaban, tetapi setelah beberapa menit berlalu, tidak ada siapa pun yang menjawab. Aku membunyikan bel lagi, tetapi tetap tidak ada jawaban. Untuk memastikan, aku memegang gagang pintunya, dan benar saja, pintunya terkunci rapat.Diam-diam, aku menepuk dahiku sendiri. "Ya, jelas aja," gerutuku. Apa yang aku harapkan pada pukul 10 pagi di hari kerja? Anita, seperti kebanyakan pekerja profesional lainnya, pasti sedang bekerja.Tiba-tiba aku tersadar. Jika Anita sedang bekerja, dan Arini datang untuk berlindung di rumah Anita kemarin, mungkin saat ini Arini juga sedang berada di tempat kerjanya.Aku pun memutuskan untuk segera kembali ke mobil. Aku akan mencari Arini di restoran. Saat mengemudi, pikiranku melayang. Aku berharap Arini mau mendengarkan penjelasanku, karena aku tahu dia sangat keras kepala saat marah.Omong-omong soal permintaan maaf, seharusnya aku tidak datang untuk meminta maaf dengan tangan kosong. Aku pun me

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 45 Kesalahpahaman yang Disengaja

    Sudut pandang Safira:Aku melihat Jovan menghubungi nomor telepon Arini, membuatku merasa frustrasi. Aku benar-benar ingin merebut ponselnya. Mengapa Jovan masih saja memikirkan Arini? Apa Jovan tidak menyadari kalau aku telah membantunya menyingkirkan wanita itu? Bukankah seharusnya dia berterima kasih padaku?Aku mengingat kembali segala hal sebelum momen ini terjadi. Ketika Jovan berkata bahwa dia tidak punya alasan untuk menceraikan Arini, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mencari sebuah alasan. Aku tahu betul kalau Arini sangat mencurigai ikatan persahabatan antara aku dan Jovan. Jadi, aku membuat rencana untuk meyakinkan Arini bahwa Jovan bukanlah sekadar sahabat bagiku.Jadi, pada hari sebelumnya, aku mengeluarkan berkas yang kelihatannya cukup penting bagi Jovan dari tas kerjanya. Sesuai prediksiku, dia pulang ke rumah pada siang hari untuk mencari berkas itu. Kemudian, aku memasuki kamarnya dengan minuman yang sudah dicampuri obat dan menawarkannya kepada Jovan.

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 44 Aku Telah Mengecewakannya

    Sudut pandang Jovan:Aku perlahan membuka mataku, dan mendapati diriku berbaring telentang. Saat melihat sekeliling, aku menyadari bahwa aku sedang berbaring di ranjang kamarku sendiri. Namun, ada sesuatu yang aneh. Aku mencoba untuk duduk, tetapi kepalaku terasa nyeri hingga membuatku meringis kesakitan. Namun, aku berusaha menahan rasa sakit itu, lalu duduk sambil mengusap pelipisku.Di mana Arini? Sudah pukul berapa sekarang? Aku melirik jam dinding dan terkesiap. Ini sudah pukul 9 pagi. Mengapa aku masih di rumah dan tidak berangkat kerja? Mengapa Arini tidak membangunkanku untuk bekerja?Selain itu, aku merasa aneh. Mulutku terasa pahit, dan aku merasa lelah meskipun baru saja bangun. Aku mencoba untuk berpikir, tetapi itu malah membuat kepalaku makin terasa sakit.Apa yang terjadi?Saat itu juga, pintu kamarku terbuka. Safira masuk sambil membawa nampan. Dia tersenyum lebar padaku. "Pagi, tukang tidur."Aku memaksakan senyum karena kebingungan. "Pagi. Ada apa ini?" tanyaku. "Kena

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 43 Pelaku Sebenarnya

    Sudut pandang Arini:Anita tampak ragu. Dia menunduk sejenak sebelum menatapku lagi."Aku belum bertemu dengan Jovan," jawabku lembut. "Aku terus berusaha untuk menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Tadinya aku ingin mencarinya, tapi …," Dia diam sejenak dan meremas tanganku sebelum melanjutkan, "Kamu belum sadar, jadi aku nggak mau meninggalkanmu terlalu lama."Aku mengangguk. Hatiku terasa sakit. Aku sudah menduganya. 'Mana mungkin Jovan sudi meninggalkan kekasihnya untuk menemuiku. Padahal, gara-gara mereka aku kehilangan anakku dan terluka sampai seperti ini.'Aku hendak tertawa, tetapi tidak dapat melakukannya.Anita memecahkan lamunanku. "Aku akan coba meneleponnya lagi," katanya sambil meraih ponselnya. "Kalau dia tetap nggak bisa dikontak, aku akan mencarinya. Aneh. Dia kok belum mencarimu, ya?""Jangan," bisikku.Anita diam dan menatapku dengan bingung. Namun, aku menggelengkan kepalaku lagi."Sudahlah, Anita. Mungkin dia sibuk." Perkataanku ini memang menyakitkan, tet

  • Topeng Kesempurnaan Cinta Dambaan   Bab 42 Kenyataan

    Sudut pandang Arini:Aku mengerang dan mencoba untuk duduk. Kemudian aku melihat ke sekelilingku. Aku sedang berada di ruang perawatan rumah sakit, tetapi aku tidak ingat kenapa aku bisa berada di sini. Aku mencoba untuk mengingatnya tetapi tidak berhasil.Saat itulah aku melihat Anita. Dia sedang duduk di samping ranjangku dengan kepalanya bersandar di atas ranjang."Anita?" panggilku dengan suara serak.Dia mengangkat kepalanya dan langsung menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca. "Ya ampun, kamu sudah sadar. Bagaimana keadaanmu?"Aku mengangguk. "Apa yang terjadi? Aku di mana?""Kamu di rumah sakit. Aku panggilkan dokternya dulu," jawab Anita yang langsung berdiri."Rumah sakit?" Aku mencoba mengingat-ingat, tetapi ingatanku begitu kabur. Tiba-tiba aku tersentak. ‘Bayiku!’ Aku ingat kecelakaan itu. Saat itu, aku mengalami perdarahan. Tanganku serta-merta memegang perutku."Bayiku," bisikku dengan panik.Anita mengalihkan pandangannya, sedangkan aku yang kebingungan menatapnya. "A

DMCA.com Protection Status