"Masa sih, A?" tanya Nila merasa bingung. Pasalnya ia sama sekali tak menciumnya. Hanya saja mulutnya terasa tidak nyaman."Iya, Neng, baunya itu loh hilang timbul. Sebentar aku mau cari dulu sumber baunya. Barangkali ada bangkai tikus disini," jawab Wira.Wira mencari di setiap kolong. Mulai dari kolong meja, kursi, lemari, sampai kolong ranjang pun tak luput dari pencariannya."Tapi nggak ada apa-apa kok, Neng. Aneh, apa baunya dari luar?" imbuh Wira."Mungkin, A, aku mau istirahat dulu, A. Aku capek," sahut Nila.Nila pun masuk ke dalam kamar, lalu Wira mengikutinya dari belakang."Kamu tidur yang nyenyak, ya! Kasihan sekali kamu. Semoga anak kita tetap sehat di dalam sini." Wira mengusap perut Nila.Nila mengangguk, lalu berbaring. Sebelum keluar dari dalam kamar, Wira terlebih dahulu mengecup kening Nila."Neng!" Wira membuang muka."Kenapa, A?" tanya Nila, merasa aneh dengan sikap suaminya."Neng kamu habis memakan apa? Kenapa mulutmu bau bangkai? Apakah bau yang dari tadi aku c
Hari sudah beranjak malam, kini Wira dan Nila berpamitan untuk pulang."Ingat, jangan sampai kamu melepaskan cincin itu. Saya akan pantau dari sini. Semoga dengan ini, tujuan kita bisa terselesaikan," ujar Abah Kosmos, memperingatkan sebelum Wira dan Nila pergi."Baik, Abah, kalau begitu kami permisi," pamit Nila.Di sepanjang jalan, Nila tak banyak bicara. Ia hanya diam sambil memperhatikan jalan yang mereka lalui."Sudah, kamu jangan melamun. Ikhlaskan, jika Tuhan berkehendak, kita pasti akan dikaruniai anak lagi," imbuh Wira."Iya, A, hanya saja aku sangat menginginkan anak itu. Tapi ya sudahlah, namanya juga musibah," sahut Nila.Jalanan yang dilalui mereka tampak begitu sunyi sepi seperti biasa. Kampung mati, mungkin dua kata itu cocok untuk menggambarkan kampung itu jika malam tiba.Sampai di rumah, mereka langsung merebahkan diri di dalam kamar."Aku kangen sama Mama," ujar Nila menatap lurus ke arah langit-langit kamar."Kamu mau menemuinya?" tanya Wira.Nila menggeleng pelan,
Setelah keluar dari perkebunan, Nila dan juga Wira mampir sebentar di warung, untuk memberi kebutuhan dapur."Bu, beli beras 1 liter, telur 4 butir, sama kangkung 2 ikat," ujar Nila memesan."Baik, Neng Nila tunggu sebentar, ya!" sahut pemilik warung.Nila pun duduk di bangku panjang yang ada di depan warung itu."Aw ... Sakit!"Terdengar suara seseorang yang mengerang kesakitan. Membuat Nila dan Wira menoleh ke asal sumber suara."Mak Onam," lirih Nila.Nila segera membayar semua belanjanya."Mak Onam kenapa itu, A. Kasihan terlihat berdarah-darah," tunjuk Nila."Ya ampun, Emak!" Wira berlari mendekati Mak Onam yang sedang mengaduh kesakitan."Emak kenapa, kok bisa sampai berdarah-darah begini?" tanya Wira."Wira, Emak takut ... Emak takut menjadi korban selanjutnya. Tolong ... Emak tidak kuat, Emak sudah tua," pekik Mak Onam."Biar saya antar pulang dulu ke rumah Emak. Nanti Emak bisa jelaskan kenapa bisa begini." Wira membopong Mak Onam dan berjalan menuju rumah Mak Onam."A aku ik
"Dia datang ... Ya, dia datang!" gumam Abah Kosmos, yang sedang duduk di ruangan khusus."Getarannya semakin kuat, aku harus segera pergi ke desa itu." Abah Kosmos bangkit kemudian keluar dari ruangan itu."Kemed! Kemed!" Panggil Abah Kosmos, kepada anaknya, yang sedang asyik menggosok batu akik."Iya, ada apa, Pak?" tanya Kemed tanpa menoleh ke arah ayahnya."Antar Bapak ke kampung Ciburinong," jawab Abah Kosmos."Mau apa, Pak? Lagi nanggung nih, sebentar lagi beres," ujar Kemed.Tuk!"Aw!" pekik Kemed.Abah Kosmos menggetok kepala Kemed dengan tongkatnya."Kamu kalau dimintai tolong sama orang tua, selalu saja ada alasan buat menolak. Sudah, taruh semua batu akik itu. Sekarang antar Bapak ke kampung itu. Kalau tidak, nanti kamu tidur di belakang rumah! Biar tahu rasa kamu, tidur sama jurig jarian!" tegas Abah Kosmos."Ampun, Pak. Iya-iya, aku keluarin dulu motornya." Kemed pun bangkit lalu mengeluarkan motor bebeknya.Setelah motor dikeluarkan, Abah Kosmos kemudian mengunci semua pi
Wira terkejut mendengar ucapan Nila."Kamu kenapa, Neng? Siapa yang mati?" tanya Wira.Abah Kosmos menatap tajam ke arah Nila, sambil terus melantunkan sesuatu dari mulutnya. Tampak keringat bercucuran di dahi Abah Kosmos. Ia seperti kepanasan saat menatap Nila.Namun tiba-tiba Nila berdiri, lalu mendorong tubuh Wira sampai ia terjungkal ke tanah.Nila berlari ke arah dapur, namun dengan cepat Abah Kosmos berdiri."Cegah dia, jangan sampai makhluk itu melakukan hal buruk terhadap tubuh istrimu. Abah merasakan ada amarah pada makhluk itu, hawanya sangat panas. Kemed, bantu Wira!" titah Abah Kosmos.Mendengar itu, Wira dan Kemed segera berlari mengejar Nila.Sampai di dapur, Nila sudah tak ada lagi disana. Namun terlihat pintu belakang terbuka lebar."Abah, Nila keluar lewat pintu belakang!" teriak Wira."Cari dia, jangan sampai makhluk itu membawa istrimu, Wira. Sepertinya ada dendam yang belum terselesaikan dari makhluk itu," sahut Abah Kosmos.Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pik
"Sepertinya makhluk itu adalah orang yang meninggal membawa amarah dan dendam," timpal Kemed berpendapat."Bisa jadi, mungkin ada sumpah serapah yang dia ucap, sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Ya, aku yakin itu, Bah. Selain dengan keluarga Melati, aku tidak memiliki masalah lagi, karena dari ciri-ciri yang disebutkannya, semua itu merujuk kepada Melati. Mungkin karena itu, arwah Bu Warsih tidak tenang," sahut Wira.Abah Kosmos terdiam, mencerna pendapat-pendapat yang diucapkan Wira dan Kemed."Masuk akal, tapi mungkin kita harus mendalami masalah ini. Mungkin sekarang kita hanya bisa sebatas menerka-nerka. Abah merasa ada sesuatu yang lain pada makhluk itu. Kalian dengar, sebelum Nila pingsan? Dia mengucapkan kata tolong. Padahal sebelumnya dia sangat angkuh, bicara pun dengan suara menggeram. Sedangkan terakhir sebelum Nila pingsan, justru suara lain terdengar meminta tolong," imbuh Abah Kosmos.Wira mengangguk, namun ia tetap yakin, bahwa masalah ini ada sangkut pautnya den
Malam hariBu Tinah sudah bersiap untuk pergi ke rumah Melati. Ia menengok ke arah kamar, terlihat suaminya sudah terlelap tidur, begitu pun dengan anaknya.Bu Tinah sengaja tidak memberitahu Abah Ikin, soal rencana ini, karena jika Abah Ikin tahu, sudah pasti Bu Tinah tidak bisa pergi lantaran Abah Ikin akan melarangnya keluar malam.Bu Tinah melirik ke arah jam dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00.Dengan berbekal senter, Bu Tinah segera keluar dari rumah secara diam-diam, seperti maling yang takut ketahuan pemilik rumah.Sebelum kakinya melangkah keluar, Bu Tinah menengok ke sana kemari. Ada sedikit keraguan dalam benaknya. Namun rasa penasaran mendominasi diri, untuk tetap pergi memastikan apa yang selalu Melati lakukan."Ya ampun ... Kampung ini sudah seperti kuburan saja. Sepi, seperti tak ada kehidupan," batin Bu Tinah.Namun rasa ngeri yang dirasakannya tak lantas menyurutkan niatnya untuk tetap pergi.Bu Tinah mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang dijanjik
Seseorang bertopeng Hulk itu kemudian membuka topengnya."Huh huh!" ujar pria berbaju compang camping sambil bertepuk tangan dan tersenyum lebar.Pria yang bernama Abah Uta itu kemudian mengintip ke dalam kamar Melati, lewat celah kecil dinding bilik.Lama Abah Uta mengintip Melati yang sedang tertidur, ia tersenyum namun lama-lama tangannya tiba-tiba mengepal kuat.Sementara di tempat lain, Bu Tinah, Bu Salimah dan juga pak Molen berlari terbirit-birit. Mereka berlomba-lomba saling mendahului untuk segera pulang ke rumah masing-masing.Mereka ketakutan bukan main, sampai-sampai diantara mereka ada yang terjerembab ke dalam lubang pembuangan sampah."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya!" teriak Pak Molen yang baru saja masuk ke dalam lubang pembuangan sampah tanpa sengaja.Namun sayangnya kedua wanita yang dipanggil itu, tak menghiraukan teriakannya yang terus menerus meminta tolong.Kedua wanita itu hanya memikirkan nasib mereka masing-masing."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya atuh!