Seseorang bertopeng Hulk itu kemudian membuka topengnya."Huh huh!" ujar pria berbaju compang camping sambil bertepuk tangan dan tersenyum lebar.Pria yang bernama Abah Uta itu kemudian mengintip ke dalam kamar Melati, lewat celah kecil dinding bilik.Lama Abah Uta mengintip Melati yang sedang tertidur, ia tersenyum namun lama-lama tangannya tiba-tiba mengepal kuat.Sementara di tempat lain, Bu Tinah, Bu Salimah dan juga pak Molen berlari terbirit-birit. Mereka berlomba-lomba saling mendahului untuk segera pulang ke rumah masing-masing.Mereka ketakutan bukan main, sampai-sampai diantara mereka ada yang terjerembab ke dalam lubang pembuangan sampah."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya!" teriak Pak Molen yang baru saja masuk ke dalam lubang pembuangan sampah tanpa sengaja.Namun sayangnya kedua wanita yang dipanggil itu, tak menghiraukan teriakannya yang terus menerus meminta tolong.Kedua wanita itu hanya memikirkan nasib mereka masing-masing."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya atuh!
Sore hariWira telah pulang dari kebunnya. Kepulangannya disambut hangat oleh Nila, dengan berbagai masakan yang ia hidangkan di atas meja."Kasihan sekali suami aku, pasti kecapean, ya? Sini duduk dulu, kamu mending makan dulu," ujar Nila."Iya nih, tapi nggak apa-apa sih. Kan ada obatnya," sahut Wira.Nila mengerutkan keningnya."Maksudnya kamu obatnya, Neng. Ya sudah aku mau makan dulu habis itu mandi. Tolong dong ambilkan nasinya," ujar Wira.Nila tersipu malu, kemudian ia mengambil piring lalu menuangkan nasi ke atas piring Wira."Loh, mana cincin kamu, Neng?" tanya Wira, saat menyadari tak ada cincin yang melingkar di jari Nila."Ya ampun aku lupa, A. Tadi aku lagi nyuci baju, terus cincinnya aku taruh di kamar mandi. Cincin itu beberapa kali hampir terlepas dari jadi tanganku, karena sedikit longgar dan licin terkena air sabun," jawab Nila."Kamu jangan pernah melepas cincin itu, Neng. Sebab cincin itu sebuah perantara supaya Abah Kosmos bisa merasakan jika kamu dalam gangguan
"Kamu kenapa, Neng? Kok kayak sedang gelisah begitu?" tanya Wira yang baru saja selesai mandi. Ia berjalan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.Nila mengangkat kepalanya yang semula menunduk."A Wira, baru saja Kang Asep kesini. Dia menanyakan kamu ada disini atau nggak. Dia kesini hanya mau memberitahu, bahwa Mak Onam meninggal dunia. Dia ditemukan warga, nyangkut di pepohonan tepi jurang. Sekarang warga sedang membantu mengurus jenazahnya. Rencananya malam ini mau langsung dikebumikan," jawab Nila.Mendengar kabar ini, membuat Wira syok."Kamu nggak becanda, kan? Innalilahi ...." ucap Wira."Nggak, A, ini serius ... Aku curiga, kematian Mak Onam ada kaitannya dengan makhluk gundukan tanah itu. Kematiannya saja tidak wajar," sahut Nila.Tubuh Nila berubah menggigil karena ketakutan. Wira mendekatinya, duduk lalu mengusap punggung Nila."Mak Onam sudah meninggal, apakah setelah ini aku selanjutnya?" lirih Nila."Sssttt ... Kamu tidak boleh bicara begitu, Neng. Aku yakin k
Tiga bulan kemudian, Nila masih bertahan di kampung itu. Hari ini Wira dan Nila hendak pergi ke kebun untuk memanen cabai hasil kebun mereka."Kamu sudah kasih tahu Bu Heti, kalau panen di kebun kita hari ini?" tanya Wira."Sudah, A, tadi pagi-pagi sekali aku ke rumahnya. Mereka siap membantu panen kita katanya," jawab Nila.Wira tersenyum, "Syukurlah ... Kita akan bayar mereka nanti dari hasil penjualan cabai kita. Lebih baik aku berangkat duluan, kamu masak saja dulu nanti perginya menyusul," ucap Wira."Baik, A, ya sudah kamu hati-hati di jalan. Nanti aku menyusul," sahut Nila.Wira pun pergi ke kebun seorang diri, dengan membawa banyak karung. Cabai yang ia tanam ternyata tumbuh subur dan sudah tentu hasilnya juga akan memuaskan. Ia sangat bersyukur, karena ini kali pertama ia menanam cabai. Jika begini, kemungkinan ia bisa membawa istrinya untuk pindah dari rumahnya.Sementara Nila berjibaku dengan alat masaknya. Memasak makanan selezat mungkin. Kini ia memasak dengan porsi yang
Mendengar cerita ibu-ibu barusan, membuat perasaan Nila semakin tak enak. Pasalnya mulai hari ini ia kembali ditinggal kerja oleh Wira."Ngeri juga, ya? Kenapa desa kita ini jadi seperti ini? Dulu kampung kita ini sangat ramai dan tentram. Bahkan setiap malam selalu saja ada yang berjaga ronda di pos kamling. Saya juga bisa berjualan hingga larut malam. Tapi makhluk gundukan tanah itu tiba-tiba muncul memporak-porandakan ketenangan desa ini. Tidak pernah ada yang meronda, saya juga sebelum magrib harus cepat tutup warung." Pemilik warung menimpali."Sayang banget ya, Bu, jadi merugikan seperti ini? Ingin sekali pindah dari sini, tapi sayang juga dengan rumah saya ini. Terlebih saya juga tidak punya banyak uang. Untuk bisa makan sehari-hari saja saya sudah bersyukur," timpal ibu-ibu yang lain.Selesai memilih bahan makanan, Nila segera membayarnya lalu pulang.Sampai di rumah, Nila meraih ponselnya. Ia mencari nomor ibunya, berniat ingin menghubunginya. Nila ingin mencoba membujuk ibun
JANGAN MENDEKATI GUNDUKAN TANAH ITU, JIKA KAMU MELIHATNYA. JIKA LARANGAN ITU KAMU LANGGAR, MAKA BERSIAP-SIAPLAH KAMU AKAN MELIHAT WUJUD ASLINYA!***Kota B, 15.00 WIB.“Ma, aku sudah menikah dengan A Wira tadi siang. Maaf aku tidak bisa mengabulkan permintaan Mama untuk membatalkan pernikahan dengannya. Aku mohon Mama terima ya, A Wira sebagai menantu Mama! Insya Allah dia baik dan bertanggung jawab!” imbuh Nila kepada ibunya, Retna.“Sudah berapa kali saya menentang hubungan kalian. Tapi kalian masih saja nekat menikah tanpa persetujuan saya. Dan kamu, Nila, apa yang kamu cari dari lelaki miskin ini, hah?” bentak Retna tak suka.“Mama, saya mohon jangan marahi Nila. Saya mohon restui pernikahan kami. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk Nila, saya mohon!” Wira bersimpuh di kaki Retna.“Diam, saya bukan Mama kamu. Sampai kapanpun, saya tidak akan merestui hubungan kalian. Jika kalian nekat melanjutkan pernikahan kalian, lebih baik kamu angkat kaki dar
“Ayo, Neng cepetan!” ujar Wira yang baru selesai menutup pintu.“Ah iya, A sebentar,” sahut Nila lalu mengambil dompet miliknya di bawah pohon nangka.Mereka berdua segera pergi menuju warung untuk membeli sebuah lilin. Namun saat mereka sudah menjauh dari bawah pohon nangka, sesuatu yang menyembul berupa gundukan tanah itu bergerak maju lalu menghilang.“A Wira, kampung ini masih berdekatan dengan hutan, ya? Banyak sekali pohon-pohon besar sama kebun-kebun singkong dan pisang disini,” tanya Nila melirik kesana kemari. Matanya tak henti menelisik ke setiap arah.“Iya, Neng, kampung sini memang masih dekat dengan hutan, memang disini mayoritas penduduk mata pencahariannya ya ini, mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Warga disini memanfaatkan hasil bumi dengan bercocok tanam. Bahkan tak jarang warga disini juga mencari kayu bakar ke hutan untuk kemudian dijual. Orang tua Aa dulu juga berkebun, tapi kebunnya agak jauh sedikit dari sini. Nanti kalau Aa libur, Aa akan ajak kamu
Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras."Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila.Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila.Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini."Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga.Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya.Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang.Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli.Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah