Nila, bu kades dan pak kades serta beberapa warga berjalan cepat menuju rumah Wira.Mereka sudah bersiap untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Dengan penuh antisipasi, mereka melangkah dengan cepat.Sampai di kediaman Wira, suasana begitu hening. Tak ada suara gedoran pintu seperti tadi. Bahkan pintu pun masih terlihat tertutup rapat. Mobil Lidya pun masih ada di tempat semula."Pak, Bu, mungkin Lidya masih ada di dalam. Aku sudah menguncinya dari luar. Tapi nggak tahu kalau pintu belakang, aku lupa menguncinya. Bisa jadi dia sudah keluar lewat sana," imbuh Nila merasakan perasaan tak enak."Lebih baik kita berpencar mengelilingi rumah ini. Kita bertiga, saya, Ibu dan Nila kita menuju ke pintu belakang. Sebagian warga menunggu di pintu depan dan juga jendela-jendela. Dengan begitu, Lidya akan kesulitan untuk mencoba kabur melarikan diri jika dia memang masih ada di dalam," sahut pak kades.Semua mengangguk setuju, kemudian mereka melakukan tugas masing-masing, berjaga di setiap ak
"Kok saya jadi merinding, ya?" ujar warga yang sedang menjaga mayat Lidya di dapur."Jangan bikin saya takut, lihat mayat wanita ini saja sudah berhasil buat saya merinding," timpal yang lain.Di ruang tamu, Nila mencoba menghubungi Wira yang sedang bekerja di kota. Nila terpaksa akan menyuruhnya pulang cepat, padahal jam masih menunjukkan pukul 21.02."Halo, A Wira ... Apakah A Wira masih bekerja?" tanya Nila, saat teleponnya tersambung."Iya halo, Neng, aku masih bekerja. Memangnya ada apa kamu telepon? Apakah kamu diganggu lagi sama makhluk itu?" Wira bertanya balik."A, sebaiknya A Wira pulang. Ada kejadian mengenaskan di rumah kita tapi bukan kepadaku. Kamu bisa, kan minta ijin dulu sama bos kamu? Di sini sudah banyak orang. Hanya saja kami sedang menunggu kedatangan A Wira untuk memutuskan langkah apa yang akan kami ambil," jawab Nila."Memangnya kejadian apa, Neng? Aduh ... Baterainya tinggal satu persen, lagi. Coba cepat jelaskan ada apa?" Di seberang telepon, Wira terdengar p
"Ya ampun, kenapa dia bisa duduk? Dia kan sudah meninggal!" pekik warga setelah melihat kejadian aneh pada mayat Lidya namun tak berlangsung lama itu."Coba cek, apakah dia masih hidup?" titah pak kades yang tak kalah bingung dan takut.Orang-orang yang ada di rumah Wira, tak berani mendekati mayat Lidya. Mereka sudah terlanjur takut dengan apa yang baru saja dilihatnya."Kamu saja, Din ... Saya nggak bisa cek denyut nadi," bisik salah satu warga."Kenapa saya? Saya nggak mau ah takut," sahut Udin.Warga malah saling melempar ke sana kemari, perintah pak kades itu."I-itu Lidya, kenapa bisa ada di sini? Dia kenapa seperti itu?" tanya Retna dengan tubuh bergetar. Ia melihat luka di lehernya dengan perasaan ngeri."Lidya, aku seperti pernah melihatnya. Tapi kenapa dia sampai seperti ini. Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Wira, ia tak kalah syok dengan Retna, saat melihat kondisi Lidya."Lidya itu anak angkatnya Mama. Kamu masih ingat, kan foto yang pernah aku tunjukkan? Dialah orangny
"Maksud A Wira apa?" tanya Nila tidak mengerti."Nanti kamu juga akan tahu jawabannya. Lihat saja nanti malam," jawab Wira.Sore hari, keadaan rumah Wira tampak ramai tetangga yang sedang membantu persiapan acara tahlilan untuk Lidya."Teh Nila, aku tidak menyangka. Pas pulang dari menjenguk Aki aku di desa sebelah, ternyata ada kejadian mengerikan lagi di sini. Nahasnya kejadiannya ada di rumah A Wira, lagi. Aku nggak bisa bayangin, bagaimana rasanya jadi Teh Nila," ujar Lita saat dirinya sedang membantu Nila menggelar terpal dan karpet di lantai tanah rumah Wira."Iya, Lit ... Kejadiannya begitu cepat. Aku juga masih sangat syok," sahut Nila."Oh iya, Teh ... Saat menjenguk Aki, Ibu sempat menceritakan tentang kejadian-kejadian di kampung kita. Terus Aki aku nyaranin untuk minta tolong saja kepada temannya Aki. Tapi sayangnya rumahnya sangat jauh," imbuh Lita."Oh ya? Orang mana memangnya?" tanya Nila."Orang mana ya? Aku lupa, teh ... Tapi kan kita sudah ada Abah Kosmos. Semoga bel
"Jangan, saya mohon! Wira, aku tidak tahu apa-apa dalam masalah ini. Tolong kamu percaya sama aku," pekik Melati.Wira bergeming, ia tak menghiraukan pembelaan Melati.Warga membawa Melati menuju lapangan. Malam itu warga wanita yang mendengar kegaduhan di luar, segera keluar dari rumah mereka masing-masing. Setelah tahu apa yang hendak warga pria lakukan, warga wanita pun berbondong-bondong ikut serta mengarak Melati.Istri abah Ikin yakni bu Tinah, tak tinggal diam. Ia bertanya kepada warga pria perihal masalah ini. Setelah tahu masalahnya, bu Tinah bersemangat mendukung tindakan warga terhadap Melati."Bakar saja dia sekalian! Dasar ibu sama anak sama saja. Sama-sama tukang santet dan tukang ritual sesat. Buat apa hidup, kalau hanya untuk merugikan orang lain saja," imbuh bu Tinah."Iya, ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya tukang santet, anaknya tukang ritual sesat. Dasar keluarga aneh," sahut ibu-ibu yang lain.Mereka tampak geram terhadap Melati. Mereka tak sabar
"Aaaaaa!" Teriakkan Melati menggema di seluruh penjuru lapangan. Membuat Nila menutupi kedua telinganya, tak sanggup mendengar suara teriakkan kesakitan Melati saat api mulai menyentuh kulitnya.Duarrr!Suara dentuman keras tiba-tiba terdengar. Membuat semua orang yang berkumpul di lapangan terkejut tanpa terkecuali. Saking kerasnya, mereka sampai menutup telinga mereka masing-masing."Suara apa itu?" Hampir semua orang menanyakan hal yang sama. Namun mereka sendiri tidak tahu jawabannya.Angin tiba-tiba berhembus kencang, setelah terdengar suara dentuman tersebut."Sudah, lebih baik kita semua pulang. Masalah sudah selesai, dan kita tidak perlu lagi takut. Kita sudah bisa melakukan aktivitas malam seperti dulu, seperti meronda dan nongkrong-nongkrong di warung." Salah satu warga menyerukan ucapan tersebut."Iya, benar kata pak Yoyo, kita tidak akan lagi merasa ketakutan jika malam tiba. Semua ini berkat Wira, dia yang punya andil besar. Terima kasih, Wira, karena sudah membantu kami
Asap dari pembakaran kemenyan mengepul membumbung tinggi ke udara. Aroma yang menyeruak, beraroma wangi nan mistik itu tercium begitu menyengat ke dalam indra penciuman.Bergema di seluruh sudut ruangan, pembacaan mantera yang membuat benda-benda di sekitar gubuk di tengah hutan itu bergerak.Gubuk itu berguncang, pepohonan di sekitarnya menari-nari tergoyahkan angin yang secara tiba-tiba.Namun saat lantunan mantra itu terhenti, seketika pepohonan dan gubuk itu berhenti, seperti dikomando."Kalian telah bermain-main dengan orang yang salah. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup tenang, sebelum dendamku terbalaskan."Kemudian penghuni gubuk di tengah hutan itu kembali melantunkan mantra. Membuat sesuatu di dalam tanah merasa terpanggil dan muncul di hadapannya."Kamu, lakukan apa yang aku inginkan. Saat ini mereka sedang berada di atas angin. Tapi kamu harus menunjukkan bahwa mereka semua salah. Mereka telah membangkitkan amarahku. Maka mereka akan menerima pembalasan yang lebih peri
Nila yang tengah menyetir, sedikit merasa risih saat menyadari aki Yayan sedang memperhatikannya dengan lirikan mata yang tajam."Em ... Aki, apa Lita suka menginap ya di rumah Aki?" tanya Nila, berusaha mengalihkan perhatian."Iya, dulu dia suka menginap. Tapi sekarang sudah jarang-jarang," jawab aki Yayan.Nila menganggukkan kepalanya."Mendengar nama kamu, saya merasa tidak asing. Tapi ya sudahlah, takut salah. Oh iya, Wira sakit apa?" tanya aki Yayan.Nila mengernyit, penasaran apa maksud perkataan aki Yayan. Namun ia tidak enak jika banyak bertanya."A Wira demam, Aki. Dari subuh tadi, A Wira mengigau nggak jelas terus," jawab Nila.Kini giliran aki Yayan yang mengernyit."A Wira mengigau nggak jelas. Dalam tidurnya dia menggumamkan, 01.10. Aku nggak paham apa maksudnya," jelas Nila.Aki Yayan manggut-manggut, sementara Wira beberapa menit yang lalu sudah terlelap tidur."Sudah sampai, Aki ... Mari mampir dulu!" imbuh Nila saat mobilnya sudah berada di depan rumahnya."Terima kas