"Ya ampun, kenapa dia bisa duduk? Dia kan sudah meninggal!" pekik warga setelah melihat kejadian aneh pada mayat Lidya namun tak berlangsung lama itu."Coba cek, apakah dia masih hidup?" titah pak kades yang tak kalah bingung dan takut.Orang-orang yang ada di rumah Wira, tak berani mendekati mayat Lidya. Mereka sudah terlanjur takut dengan apa yang baru saja dilihatnya."Kamu saja, Din ... Saya nggak bisa cek denyut nadi," bisik salah satu warga."Kenapa saya? Saya nggak mau ah takut," sahut Udin.Warga malah saling melempar ke sana kemari, perintah pak kades itu."I-itu Lidya, kenapa bisa ada di sini? Dia kenapa seperti itu?" tanya Retna dengan tubuh bergetar. Ia melihat luka di lehernya dengan perasaan ngeri."Lidya, aku seperti pernah melihatnya. Tapi kenapa dia sampai seperti ini. Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Wira, ia tak kalah syok dengan Retna, saat melihat kondisi Lidya."Lidya itu anak angkatnya Mama. Kamu masih ingat, kan foto yang pernah aku tunjukkan? Dialah orangny
"Maksud A Wira apa?" tanya Nila tidak mengerti."Nanti kamu juga akan tahu jawabannya. Lihat saja nanti malam," jawab Wira.Sore hari, keadaan rumah Wira tampak ramai tetangga yang sedang membantu persiapan acara tahlilan untuk Lidya."Teh Nila, aku tidak menyangka. Pas pulang dari menjenguk Aki aku di desa sebelah, ternyata ada kejadian mengerikan lagi di sini. Nahasnya kejadiannya ada di rumah A Wira, lagi. Aku nggak bisa bayangin, bagaimana rasanya jadi Teh Nila," ujar Lita saat dirinya sedang membantu Nila menggelar terpal dan karpet di lantai tanah rumah Wira."Iya, Lit ... Kejadiannya begitu cepat. Aku juga masih sangat syok," sahut Nila."Oh iya, Teh ... Saat menjenguk Aki, Ibu sempat menceritakan tentang kejadian-kejadian di kampung kita. Terus Aki aku nyaranin untuk minta tolong saja kepada temannya Aki. Tapi sayangnya rumahnya sangat jauh," imbuh Lita."Oh ya? Orang mana memangnya?" tanya Nila."Orang mana ya? Aku lupa, teh ... Tapi kan kita sudah ada Abah Kosmos. Semoga bel
"Jangan, saya mohon! Wira, aku tidak tahu apa-apa dalam masalah ini. Tolong kamu percaya sama aku," pekik Melati.Wira bergeming, ia tak menghiraukan pembelaan Melati.Warga membawa Melati menuju lapangan. Malam itu warga wanita yang mendengar kegaduhan di luar, segera keluar dari rumah mereka masing-masing. Setelah tahu apa yang hendak warga pria lakukan, warga wanita pun berbondong-bondong ikut serta mengarak Melati.Istri abah Ikin yakni bu Tinah, tak tinggal diam. Ia bertanya kepada warga pria perihal masalah ini. Setelah tahu masalahnya, bu Tinah bersemangat mendukung tindakan warga terhadap Melati."Bakar saja dia sekalian! Dasar ibu sama anak sama saja. Sama-sama tukang santet dan tukang ritual sesat. Buat apa hidup, kalau hanya untuk merugikan orang lain saja," imbuh bu Tinah."Iya, ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya tukang santet, anaknya tukang ritual sesat. Dasar keluarga aneh," sahut ibu-ibu yang lain.Mereka tampak geram terhadap Melati. Mereka tak sabar
"Aaaaaa!" Teriakkan Melati menggema di seluruh penjuru lapangan. Membuat Nila menutupi kedua telinganya, tak sanggup mendengar suara teriakkan kesakitan Melati saat api mulai menyentuh kulitnya.Duarrr!Suara dentuman keras tiba-tiba terdengar. Membuat semua orang yang berkumpul di lapangan terkejut tanpa terkecuali. Saking kerasnya, mereka sampai menutup telinga mereka masing-masing."Suara apa itu?" Hampir semua orang menanyakan hal yang sama. Namun mereka sendiri tidak tahu jawabannya.Angin tiba-tiba berhembus kencang, setelah terdengar suara dentuman tersebut."Sudah, lebih baik kita semua pulang. Masalah sudah selesai, dan kita tidak perlu lagi takut. Kita sudah bisa melakukan aktivitas malam seperti dulu, seperti meronda dan nongkrong-nongkrong di warung." Salah satu warga menyerukan ucapan tersebut."Iya, benar kata pak Yoyo, kita tidak akan lagi merasa ketakutan jika malam tiba. Semua ini berkat Wira, dia yang punya andil besar. Terima kasih, Wira, karena sudah membantu kami
Asap dari pembakaran kemenyan mengepul membumbung tinggi ke udara. Aroma yang menyeruak, beraroma wangi nan mistik itu tercium begitu menyengat ke dalam indra penciuman.Bergema di seluruh sudut ruangan, pembacaan mantera yang membuat benda-benda di sekitar gubuk di tengah hutan itu bergerak.Gubuk itu berguncang, pepohonan di sekitarnya menari-nari tergoyahkan angin yang secara tiba-tiba.Namun saat lantunan mantra itu terhenti, seketika pepohonan dan gubuk itu berhenti, seperti dikomando."Kalian telah bermain-main dengan orang yang salah. Aku tidak akan membiarkan kalian hidup tenang, sebelum dendamku terbalaskan."Kemudian penghuni gubuk di tengah hutan itu kembali melantunkan mantra. Membuat sesuatu di dalam tanah merasa terpanggil dan muncul di hadapannya."Kamu, lakukan apa yang aku inginkan. Saat ini mereka sedang berada di atas angin. Tapi kamu harus menunjukkan bahwa mereka semua salah. Mereka telah membangkitkan amarahku. Maka mereka akan menerima pembalasan yang lebih peri
Nila yang tengah menyetir, sedikit merasa risih saat menyadari aki Yayan sedang memperhatikannya dengan lirikan mata yang tajam."Em ... Aki, apa Lita suka menginap ya di rumah Aki?" tanya Nila, berusaha mengalihkan perhatian."Iya, dulu dia suka menginap. Tapi sekarang sudah jarang-jarang," jawab aki Yayan.Nila menganggukkan kepalanya."Mendengar nama kamu, saya merasa tidak asing. Tapi ya sudahlah, takut salah. Oh iya, Wira sakit apa?" tanya aki Yayan.Nila mengernyit, penasaran apa maksud perkataan aki Yayan. Namun ia tidak enak jika banyak bertanya."A Wira demam, Aki. Dari subuh tadi, A Wira mengigau nggak jelas terus," jawab Nila.Kini giliran aki Yayan yang mengernyit."A Wira mengigau nggak jelas. Dalam tidurnya dia menggumamkan, 01.10. Aku nggak paham apa maksudnya," jelas Nila.Aki Yayan manggut-manggut, sementara Wira beberapa menit yang lalu sudah terlelap tidur."Sudah sampai, Aki ... Mari mampir dulu!" imbuh Nila saat mobilnya sudah berada di depan rumahnya."Terima kas
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke