Tiga bulan kemudian, Nila masih bertahan di kampung itu. Hari ini Wira dan Nila hendak pergi ke kebun untuk memanen cabai hasil kebun mereka."Kamu sudah kasih tahu Bu Heti, kalau panen di kebun kita hari ini?" tanya Wira."Sudah, A, tadi pagi-pagi sekali aku ke rumahnya. Mereka siap membantu panen kita katanya," jawab Nila.Wira tersenyum, "Syukurlah ... Kita akan bayar mereka nanti dari hasil penjualan cabai kita. Lebih baik aku berangkat duluan, kamu masak saja dulu nanti perginya menyusul," ucap Wira."Baik, A, ya sudah kamu hati-hati di jalan. Nanti aku menyusul," sahut Nila.Wira pun pergi ke kebun seorang diri, dengan membawa banyak karung. Cabai yang ia tanam ternyata tumbuh subur dan sudah tentu hasilnya juga akan memuaskan. Ia sangat bersyukur, karena ini kali pertama ia menanam cabai. Jika begini, kemungkinan ia bisa membawa istrinya untuk pindah dari rumahnya.Sementara Nila berjibaku dengan alat masaknya. Memasak makanan selezat mungkin. Kini ia memasak dengan porsi yang
Mendengar cerita ibu-ibu barusan, membuat perasaan Nila semakin tak enak. Pasalnya mulai hari ini ia kembali ditinggal kerja oleh Wira."Ngeri juga, ya? Kenapa desa kita ini jadi seperti ini? Dulu kampung kita ini sangat ramai dan tentram. Bahkan setiap malam selalu saja ada yang berjaga ronda di pos kamling. Saya juga bisa berjualan hingga larut malam. Tapi makhluk gundukan tanah itu tiba-tiba muncul memporak-porandakan ketenangan desa ini. Tidak pernah ada yang meronda, saya juga sebelum magrib harus cepat tutup warung." Pemilik warung menimpali."Sayang banget ya, Bu, jadi merugikan seperti ini? Ingin sekali pindah dari sini, tapi sayang juga dengan rumah saya ini. Terlebih saya juga tidak punya banyak uang. Untuk bisa makan sehari-hari saja saya sudah bersyukur," timpal ibu-ibu yang lain.Selesai memilih bahan makanan, Nila segera membayarnya lalu pulang.Sampai di rumah, Nila meraih ponselnya. Ia mencari nomor ibunya, berniat ingin menghubunginya. Nila ingin mencoba membujuk ibun
JANGAN MENDEKATI GUNDUKAN TANAH ITU, JIKA KAMU MELIHATNYA. JIKA LARANGAN ITU KAMU LANGGAR, MAKA BERSIAP-SIAPLAH KAMU AKAN MELIHAT WUJUD ASLINYA!***Kota B, 15.00 WIB.“Ma, aku sudah menikah dengan A Wira tadi siang. Maaf aku tidak bisa mengabulkan permintaan Mama untuk membatalkan pernikahan dengannya. Aku mohon Mama terima ya, A Wira sebagai menantu Mama! Insya Allah dia baik dan bertanggung jawab!” imbuh Nila kepada ibunya, Retna.“Sudah berapa kali saya menentang hubungan kalian. Tapi kalian masih saja nekat menikah tanpa persetujuan saya. Dan kamu, Nila, apa yang kamu cari dari lelaki miskin ini, hah?” bentak Retna tak suka.“Mama, saya mohon jangan marahi Nila. Saya mohon restui pernikahan kami. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuk Nila, saya mohon!” Wira bersimpuh di kaki Retna.“Diam, saya bukan Mama kamu. Sampai kapanpun, saya tidak akan merestui hubungan kalian. Jika kalian nekat melanjutkan pernikahan kalian, lebih baik kamu angkat kaki dar
“Ayo, Neng cepetan!” ujar Wira yang baru selesai menutup pintu.“Ah iya, A sebentar,” sahut Nila lalu mengambil dompet miliknya di bawah pohon nangka.Mereka berdua segera pergi menuju warung untuk membeli sebuah lilin. Namun saat mereka sudah menjauh dari bawah pohon nangka, sesuatu yang menyembul berupa gundukan tanah itu bergerak maju lalu menghilang.“A Wira, kampung ini masih berdekatan dengan hutan, ya? Banyak sekali pohon-pohon besar sama kebun-kebun singkong dan pisang disini,” tanya Nila melirik kesana kemari. Matanya tak henti menelisik ke setiap arah.“Iya, Neng, kampung sini memang masih dekat dengan hutan, memang disini mayoritas penduduk mata pencahariannya ya ini, mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan mereka. Warga disini memanfaatkan hasil bumi dengan bercocok tanam. Bahkan tak jarang warga disini juga mencari kayu bakar ke hutan untuk kemudian dijual. Orang tua Aa dulu juga berkebun, tapi kebunnya agak jauh sedikit dari sini. Nanti kalau Aa libur, Aa akan ajak kamu
Semalaman Nila berusaha untuk memejamkan matanya. Namun rasa takut mendominasi dirinya. Terdengar Wira masih mendengkur namun kali ini cukup keras."Jika yang tadi yang bukain pintu bukan A Wira, lalu siapa?" batin Nila.Hujan pun mereda, dan kini hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Semilir angin berhembus perlahan dari celah-celah bilik bambu. Membuat malam pertama di rumah Wira, menjadi malam yang mencekam bagi Nila.Nila tidak berani bergerak walaupun sekedar menghadap ke arah Wira. Baru kali ini Nila mengalami hal semacam ini."Neng, kamu belum tidur?" Wira menegur Nila yang masih terjaga.Nila menoleh ke arah pintu kamar, terlihat Wira sedang berdiri menatap dirinya.Jantung Nila semakin berdegup kencang, saat suara dengkuran dari Wira masih terdengar dari belakang.Batin Nila berkecamuk, dia bingung, entah yang mana suaminya yang asli.Dengan rasa penasaran, Nila menoleh ke arah Wira yang ada di atas kasur, di belakangnya. Ia yakin, Wira yang sedang berbaring dengannya adalah
Nila berjalan ke arah yang ditunjuknya. Namun Lita segera mencegahnya."Jangan, Teh, bahaya!" cegah Lita."Aku nggak percaya dengan adanya larangan itu. Nggak masuk diakal aja, masa melihat gundukan tanah saja sampai depresi. Lagian ini kan masih siang," seloroh Nila.Nila melepaskan tangannya dari pegangan tangan Kita.Nila mendekati gundukan tanah itu, dia tak mau mendengarkan peringatan dari Lita.Setelah mendekat, hidung Nila seperti mencium bau sesuatu yang sangat menyengat.Nila mengambil ranting pohon yang tergeletak di atas tanah. Kemudian dia mengorek gundukan tanah itu menggunakan ranting pohon tersebut.Betapa terkejutnya ia, saat mendapati sesuatu di dalamnya. Alangkah menyesalnya ia telah mengorek gundukan tanah itu."Kenapa, Teh?" tanya Lita merasa was-was."Kotoran kucing, banyak dan gede banget," jawab Nila sambil menutup hidungnya. Hampir saja Nila muntah dibuatnya.Nila segera menjauhi benda itu, kemudian mengajak masuk Lita ke dalam rumah."Ayo masuk, Lit. Sudah ...
Nila menoleh ke belakang, karena terkejut saat pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya."Perasaan barusan anginnya biasa saja," batin Nila. Namun dengan cepat ia mengabaikannya."Sudah selesai mandinya? Ayo kita makan!" seru Nila menghampiri Wira di dalam kamar mereka."Sudah, ayo!" sahut Wira.Mereka berdua yang semula berada di kamar depan, kemudian berjalan ke ruangan tengah. Mereka berdua segera makan malam, sebelum beristirahat."Tadi Aa ketemu sama Mama kamu di jalan." Wira membuka obrolan disela-sela mereka makan."Oh ya? Terus gimana Rekasi Mama? Apa dia nanyain kabar aku?" tanya Nila. Walaupun Retna telah mengusirnya, namun tidak dipungkiri Nila sangat merindukannya, walaupun baru beberapa hari mereka tidak berkomunikasi dan bertemu."Masih sama, Neng. Bahkan Aa saja yang mau menyalaminya, Mama malah menepis tangan Aa. Tapi tidak apa-apa, kita berdoa saja semoga Mama dibukakan hatinya. Kita buktikan sama Mama, kita bisa hidup bahagia," jawab Wira.Hati Nila mencelos, segit
Suara halus berbisik tertangkap oleh telinga Nila. Membuatnya kembali bangun dan menoleh kesana kemari."Siapa itu?" Nila menatap seluruh sudut kamar, namun tak mendapati siapapun disana. Hanya ada dirinya seorang diri."Ya Tuhan ... Kenapa akhir-akhir ini, aku sering berhalusinasi." Nila bergumam."Aku disini, lihat aku!" Kembali suara itu terdengar.Nila turun dari ranjang, berjalan mencari sumber suara itu."Aku disini, di belakangmu!"Seperti terhipnotis, Nila menoleh dan mendapati sebuah gundukan tanah, yang sempat ia lihat tadi."Ya ... Kau menemukanku. Mendekatlah!" seru suara itu.Nila menuruti kata-kata suara itu. Dia berjongkok mendekat pada gundukan tanah itu."Gali ...." Bisikan itu menuntun Nila untuk menggali tanah itu.Antara sadar dan tidak, Nila pun mengangguk kemudian mulai mengorek tanah itu tanpa bantuan alat. Ia mengorek tanah itu hanya menggunakan kedua tangannya.Semakin lama, Nila semakin membabi buta mengorek tanah itu."Kenapa ini? Kenapa tanganku terus berge