Esok pagiWira terbangun dari tidurnya, saat kokokan ayam tetangga mulai terdengar.Wira melirik ke arah jam, sudah menunjukkan pukul 06.00. Wira menoleh ke samping, ternyata Nila masih tertidur pulas."Kok nggak seperti biasanya jam segini belum bangun?" gumam Wira.Wira membiarkan istrinya tertidur, ia berjalan ke dapur hendak meminum air hangat dari dalam termos.Saat tiba di dapur, dahi Wira mengernyit, menatap kolong meja."Kemana buah nangkanya? Semalam kan aku taruh di sini. Kenapa sekarang tidak ada?" gumam Wira.Wira menoleh ke arah pintu dan jendela. Memastikan apakah pintu terbuka atau tidak. Namun anehnya, semua pintu dan jendela masih dalam keadaan tertutup dan terkunci."Kalau nggak ada maling, lalu siapa yang mengambil buah nangka itu?" batin Wira.Wira merasa aneh, namun kembali berpikir positif."Mungkin dimakan habis sama tikus," gumam Wira, walaupun ia tidak yakin akan itu.Wira kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Wira kembali ke da
Deg!Nila terkejut, seketika ia teringat akan foto yang pernah dikirimkan oleh Retna lewat pesan ke ponselnya."Ya, aku baru ingat, dia wanita yang ada di foto itu bersama Mama," batin Nila."Kenapa, kaget? Nggak usah kaget begitu dong. Aku kesini cuma mau ketemu sama kamu kok, mungkin untuk yang pertama dan terakhir kalinya," ujar Lidya."Mau apa kamu kesini? Kita nggak ada urusan, ya!" seru Nila.Lidya berjalan mendekati Nila, yang spontan membuat Nila berjalan mundur."Jelas kita ada urusan, kamu tahu nenek tua yang bernama Retna itu? Ya, Ibu kamu! Setiap malam dia selalu memanggil-manggil nama kamu, dan itu membuatku tidak suka. Kenapa dia mengangkatku menjadi anak, kalau dia masih teringat sama kamu. Aku kira aku akan menjadi anak satu-satunya walaupun anak angkat. Tapi tidak, dia masih teringat sama kamu, Nila dan itu membuat aku sakit hati. Aku sakit hati, bahkan dia sempat membuat surat wasiat jika kamu adalah pewaris tunggal semua harta kekayaannya. Aku tidak terima diperlaku
Nila, bu kades dan pak kades serta beberapa warga berjalan cepat menuju rumah Wira.Mereka sudah bersiap untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Dengan penuh antisipasi, mereka melangkah dengan cepat.Sampai di kediaman Wira, suasana begitu hening. Tak ada suara gedoran pintu seperti tadi. Bahkan pintu pun masih terlihat tertutup rapat. Mobil Lidya pun masih ada di tempat semula."Pak, Bu, mungkin Lidya masih ada di dalam. Aku sudah menguncinya dari luar. Tapi nggak tahu kalau pintu belakang, aku lupa menguncinya. Bisa jadi dia sudah keluar lewat sana," imbuh Nila merasakan perasaan tak enak."Lebih baik kita berpencar mengelilingi rumah ini. Kita bertiga, saya, Ibu dan Nila kita menuju ke pintu belakang. Sebagian warga menunggu di pintu depan dan juga jendela-jendela. Dengan begitu, Lidya akan kesulitan untuk mencoba kabur melarikan diri jika dia memang masih ada di dalam," sahut pak kades.Semua mengangguk setuju, kemudian mereka melakukan tugas masing-masing, berjaga di setiap ak
"Kok saya jadi merinding, ya?" ujar warga yang sedang menjaga mayat Lidya di dapur."Jangan bikin saya takut, lihat mayat wanita ini saja sudah berhasil buat saya merinding," timpal yang lain.Di ruang tamu, Nila mencoba menghubungi Wira yang sedang bekerja di kota. Nila terpaksa akan menyuruhnya pulang cepat, padahal jam masih menunjukkan pukul 21.02."Halo, A Wira ... Apakah A Wira masih bekerja?" tanya Nila, saat teleponnya tersambung."Iya halo, Neng, aku masih bekerja. Memangnya ada apa kamu telepon? Apakah kamu diganggu lagi sama makhluk itu?" Wira bertanya balik."A, sebaiknya A Wira pulang. Ada kejadian mengenaskan di rumah kita tapi bukan kepadaku. Kamu bisa, kan minta ijin dulu sama bos kamu? Di sini sudah banyak orang. Hanya saja kami sedang menunggu kedatangan A Wira untuk memutuskan langkah apa yang akan kami ambil," jawab Nila."Memangnya kejadian apa, Neng? Aduh ... Baterainya tinggal satu persen, lagi. Coba cepat jelaskan ada apa?" Di seberang telepon, Wira terdengar p
"Ya ampun, kenapa dia bisa duduk? Dia kan sudah meninggal!" pekik warga setelah melihat kejadian aneh pada mayat Lidya namun tak berlangsung lama itu."Coba cek, apakah dia masih hidup?" titah pak kades yang tak kalah bingung dan takut.Orang-orang yang ada di rumah Wira, tak berani mendekati mayat Lidya. Mereka sudah terlanjur takut dengan apa yang baru saja dilihatnya."Kamu saja, Din ... Saya nggak bisa cek denyut nadi," bisik salah satu warga."Kenapa saya? Saya nggak mau ah takut," sahut Udin.Warga malah saling melempar ke sana kemari, perintah pak kades itu."I-itu Lidya, kenapa bisa ada di sini? Dia kenapa seperti itu?" tanya Retna dengan tubuh bergetar. Ia melihat luka di lehernya dengan perasaan ngeri."Lidya, aku seperti pernah melihatnya. Tapi kenapa dia sampai seperti ini. Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Wira, ia tak kalah syok dengan Retna, saat melihat kondisi Lidya."Lidya itu anak angkatnya Mama. Kamu masih ingat, kan foto yang pernah aku tunjukkan? Dialah orangny
"Maksud A Wira apa?" tanya Nila tidak mengerti."Nanti kamu juga akan tahu jawabannya. Lihat saja nanti malam," jawab Wira.Sore hari, keadaan rumah Wira tampak ramai tetangga yang sedang membantu persiapan acara tahlilan untuk Lidya."Teh Nila, aku tidak menyangka. Pas pulang dari menjenguk Aki aku di desa sebelah, ternyata ada kejadian mengerikan lagi di sini. Nahasnya kejadiannya ada di rumah A Wira, lagi. Aku nggak bisa bayangin, bagaimana rasanya jadi Teh Nila," ujar Lita saat dirinya sedang membantu Nila menggelar terpal dan karpet di lantai tanah rumah Wira."Iya, Lit ... Kejadiannya begitu cepat. Aku juga masih sangat syok," sahut Nila."Oh iya, Teh ... Saat menjenguk Aki, Ibu sempat menceritakan tentang kejadian-kejadian di kampung kita. Terus Aki aku nyaranin untuk minta tolong saja kepada temannya Aki. Tapi sayangnya rumahnya sangat jauh," imbuh Lita."Oh ya? Orang mana memangnya?" tanya Nila."Orang mana ya? Aku lupa, teh ... Tapi kan kita sudah ada Abah Kosmos. Semoga bel
"Jangan, saya mohon! Wira, aku tidak tahu apa-apa dalam masalah ini. Tolong kamu percaya sama aku," pekik Melati.Wira bergeming, ia tak menghiraukan pembelaan Melati.Warga membawa Melati menuju lapangan. Malam itu warga wanita yang mendengar kegaduhan di luar, segera keluar dari rumah mereka masing-masing. Setelah tahu apa yang hendak warga pria lakukan, warga wanita pun berbondong-bondong ikut serta mengarak Melati.Istri abah Ikin yakni bu Tinah, tak tinggal diam. Ia bertanya kepada warga pria perihal masalah ini. Setelah tahu masalahnya, bu Tinah bersemangat mendukung tindakan warga terhadap Melati."Bakar saja dia sekalian! Dasar ibu sama anak sama saja. Sama-sama tukang santet dan tukang ritual sesat. Buat apa hidup, kalau hanya untuk merugikan orang lain saja," imbuh bu Tinah."Iya, ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya tukang santet, anaknya tukang ritual sesat. Dasar keluarga aneh," sahut ibu-ibu yang lain.Mereka tampak geram terhadap Melati. Mereka tak sabar
"Aaaaaa!" Teriakkan Melati menggema di seluruh penjuru lapangan. Membuat Nila menutupi kedua telinganya, tak sanggup mendengar suara teriakkan kesakitan Melati saat api mulai menyentuh kulitnya.Duarrr!Suara dentuman keras tiba-tiba terdengar. Membuat semua orang yang berkumpul di lapangan terkejut tanpa terkecuali. Saking kerasnya, mereka sampai menutup telinga mereka masing-masing."Suara apa itu?" Hampir semua orang menanyakan hal yang sama. Namun mereka sendiri tidak tahu jawabannya.Angin tiba-tiba berhembus kencang, setelah terdengar suara dentuman tersebut."Sudah, lebih baik kita semua pulang. Masalah sudah selesai, dan kita tidak perlu lagi takut. Kita sudah bisa melakukan aktivitas malam seperti dulu, seperti meronda dan nongkrong-nongkrong di warung." Salah satu warga menyerukan ucapan tersebut."Iya, benar kata pak Yoyo, kita tidak akan lagi merasa ketakutan jika malam tiba. Semua ini berkat Wira, dia yang punya andil besar. Terima kasih, Wira, karena sudah membantu kami