Sore hariWira telah pulang dari kebunnya. Kepulangannya disambut hangat oleh Nila, dengan berbagai masakan yang ia hidangkan di atas meja."Kasihan sekali suami aku, pasti kecapean, ya? Sini duduk dulu, kamu mending makan dulu," ujar Nila."Iya nih, tapi nggak apa-apa sih. Kan ada obatnya," sahut Wira.Nila mengerutkan keningnya."Maksudnya kamu obatnya, Neng. Ya sudah aku mau makan dulu habis itu mandi. Tolong dong ambilkan nasinya," ujar Wira.Nila tersipu malu, kemudian ia mengambil piring lalu menuangkan nasi ke atas piring Wira."Loh, mana cincin kamu, Neng?" tanya Wira, saat menyadari tak ada cincin yang melingkar di jari Nila."Ya ampun aku lupa, A. Tadi aku lagi nyuci baju, terus cincinnya aku taruh di kamar mandi. Cincin itu beberapa kali hampir terlepas dari jadi tanganku, karena sedikit longgar dan licin terkena air sabun," jawab Nila."Kamu jangan pernah melepas cincin itu, Neng. Sebab cincin itu sebuah perantara supaya Abah Kosmos bisa merasakan jika kamu dalam gangguan
"Kamu kenapa, Neng? Kok kayak sedang gelisah begitu?" tanya Wira yang baru saja selesai mandi. Ia berjalan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.Nila mengangkat kepalanya yang semula menunduk."A Wira, baru saja Kang Asep kesini. Dia menanyakan kamu ada disini atau nggak. Dia kesini hanya mau memberitahu, bahwa Mak Onam meninggal dunia. Dia ditemukan warga, nyangkut di pepohonan tepi jurang. Sekarang warga sedang membantu mengurus jenazahnya. Rencananya malam ini mau langsung dikebumikan," jawab Nila.Mendengar kabar ini, membuat Wira syok."Kamu nggak becanda, kan? Innalilahi ...." ucap Wira."Nggak, A, ini serius ... Aku curiga, kematian Mak Onam ada kaitannya dengan makhluk gundukan tanah itu. Kematiannya saja tidak wajar," sahut Nila.Tubuh Nila berubah menggigil karena ketakutan. Wira mendekatinya, duduk lalu mengusap punggung Nila."Mak Onam sudah meninggal, apakah setelah ini aku selanjutnya?" lirih Nila."Sssttt ... Kamu tidak boleh bicara begitu, Neng. Aku yakin k
Tiga bulan kemudian, Nila masih bertahan di kampung itu. Hari ini Wira dan Nila hendak pergi ke kebun untuk memanen cabai hasil kebun mereka."Kamu sudah kasih tahu Bu Heti, kalau panen di kebun kita hari ini?" tanya Wira."Sudah, A, tadi pagi-pagi sekali aku ke rumahnya. Mereka siap membantu panen kita katanya," jawab Nila.Wira tersenyum, "Syukurlah ... Kita akan bayar mereka nanti dari hasil penjualan cabai kita. Lebih baik aku berangkat duluan, kamu masak saja dulu nanti perginya menyusul," ucap Wira."Baik, A, ya sudah kamu hati-hati di jalan. Nanti aku menyusul," sahut Nila.Wira pun pergi ke kebun seorang diri, dengan membawa banyak karung. Cabai yang ia tanam ternyata tumbuh subur dan sudah tentu hasilnya juga akan memuaskan. Ia sangat bersyukur, karena ini kali pertama ia menanam cabai. Jika begini, kemungkinan ia bisa membawa istrinya untuk pindah dari rumahnya.Sementara Nila berjibaku dengan alat masaknya. Memasak makanan selezat mungkin. Kini ia memasak dengan porsi yang
Mendengar cerita ibu-ibu barusan, membuat perasaan Nila semakin tak enak. Pasalnya mulai hari ini ia kembali ditinggal kerja oleh Wira."Ngeri juga, ya? Kenapa desa kita ini jadi seperti ini? Dulu kampung kita ini sangat ramai dan tentram. Bahkan setiap malam selalu saja ada yang berjaga ronda di pos kamling. Saya juga bisa berjualan hingga larut malam. Tapi makhluk gundukan tanah itu tiba-tiba muncul memporak-porandakan ketenangan desa ini. Tidak pernah ada yang meronda, saya juga sebelum magrib harus cepat tutup warung." Pemilik warung menimpali."Sayang banget ya, Bu, jadi merugikan seperti ini? Ingin sekali pindah dari sini, tapi sayang juga dengan rumah saya ini. Terlebih saya juga tidak punya banyak uang. Untuk bisa makan sehari-hari saja saya sudah bersyukur," timpal ibu-ibu yang lain.Selesai memilih bahan makanan, Nila segera membayarnya lalu pulang.Sampai di rumah, Nila meraih ponselnya. Ia mencari nomor ibunya, berniat ingin menghubunginya. Nila ingin mencoba membujuk ibun
Esok pagiWira terbangun dari tidurnya, saat kokokan ayam tetangga mulai terdengar.Wira melirik ke arah jam, sudah menunjukkan pukul 06.00. Wira menoleh ke samping, ternyata Nila masih tertidur pulas."Kok nggak seperti biasanya jam segini belum bangun?" gumam Wira.Wira membiarkan istrinya tertidur, ia berjalan ke dapur hendak meminum air hangat dari dalam termos.Saat tiba di dapur, dahi Wira mengernyit, menatap kolong meja."Kemana buah nangkanya? Semalam kan aku taruh di sini. Kenapa sekarang tidak ada?" gumam Wira.Wira menoleh ke arah pintu dan jendela. Memastikan apakah pintu terbuka atau tidak. Namun anehnya, semua pintu dan jendela masih dalam keadaan tertutup dan terkunci."Kalau nggak ada maling, lalu siapa yang mengambil buah nangka itu?" batin Wira.Wira merasa aneh, namun kembali berpikir positif."Mungkin dimakan habis sama tikus," gumam Wira, walaupun ia tidak yakin akan itu.Wira kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, Wira kembali ke da
Deg!Nila terkejut, seketika ia teringat akan foto yang pernah dikirimkan oleh Retna lewat pesan ke ponselnya."Ya, aku baru ingat, dia wanita yang ada di foto itu bersama Mama," batin Nila."Kenapa, kaget? Nggak usah kaget begitu dong. Aku kesini cuma mau ketemu sama kamu kok, mungkin untuk yang pertama dan terakhir kalinya," ujar Lidya."Mau apa kamu kesini? Kita nggak ada urusan, ya!" seru Nila.Lidya berjalan mendekati Nila, yang spontan membuat Nila berjalan mundur."Jelas kita ada urusan, kamu tahu nenek tua yang bernama Retna itu? Ya, Ibu kamu! Setiap malam dia selalu memanggil-manggil nama kamu, dan itu membuatku tidak suka. Kenapa dia mengangkatku menjadi anak, kalau dia masih teringat sama kamu. Aku kira aku akan menjadi anak satu-satunya walaupun anak angkat. Tapi tidak, dia masih teringat sama kamu, Nila dan itu membuat aku sakit hati. Aku sakit hati, bahkan dia sempat membuat surat wasiat jika kamu adalah pewaris tunggal semua harta kekayaannya. Aku tidak terima diperlaku
Nila, bu kades dan pak kades serta beberapa warga berjalan cepat menuju rumah Wira.Mereka sudah bersiap untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Dengan penuh antisipasi, mereka melangkah dengan cepat.Sampai di kediaman Wira, suasana begitu hening. Tak ada suara gedoran pintu seperti tadi. Bahkan pintu pun masih terlihat tertutup rapat. Mobil Lidya pun masih ada di tempat semula."Pak, Bu, mungkin Lidya masih ada di dalam. Aku sudah menguncinya dari luar. Tapi nggak tahu kalau pintu belakang, aku lupa menguncinya. Bisa jadi dia sudah keluar lewat sana," imbuh Nila merasakan perasaan tak enak."Lebih baik kita berpencar mengelilingi rumah ini. Kita bertiga, saya, Ibu dan Nila kita menuju ke pintu belakang. Sebagian warga menunggu di pintu depan dan juga jendela-jendela. Dengan begitu, Lidya akan kesulitan untuk mencoba kabur melarikan diri jika dia memang masih ada di dalam," sahut pak kades.Semua mengangguk setuju, kemudian mereka melakukan tugas masing-masing, berjaga di setiap ak
"Kok saya jadi merinding, ya?" ujar warga yang sedang menjaga mayat Lidya di dapur."Jangan bikin saya takut, lihat mayat wanita ini saja sudah berhasil buat saya merinding," timpal yang lain.Di ruang tamu, Nila mencoba menghubungi Wira yang sedang bekerja di kota. Nila terpaksa akan menyuruhnya pulang cepat, padahal jam masih menunjukkan pukul 21.02."Halo, A Wira ... Apakah A Wira masih bekerja?" tanya Nila, saat teleponnya tersambung."Iya halo, Neng, aku masih bekerja. Memangnya ada apa kamu telepon? Apakah kamu diganggu lagi sama makhluk itu?" Wira bertanya balik."A, sebaiknya A Wira pulang. Ada kejadian mengenaskan di rumah kita tapi bukan kepadaku. Kamu bisa, kan minta ijin dulu sama bos kamu? Di sini sudah banyak orang. Hanya saja kami sedang menunggu kedatangan A Wira untuk memutuskan langkah apa yang akan kami ambil," jawab Nila."Memangnya kejadian apa, Neng? Aduh ... Baterainya tinggal satu persen, lagi. Coba cepat jelaskan ada apa?" Di seberang telepon, Wira terdengar p