"Aaaaa!"Nila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Ia baru tersadar, ternyata hari sudah pagi. Matahari pagi menyinari tubuhnya di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi. Namun sesuatu yang janggal baru ia sadari. Nila kini berada di bawah pohon beringin tua, dengan akar yang sudah menjalar bergelantungan."Aku ... Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah Nyai Rukmini?" gumam Nila.Nila memijat pelipisnya, merasa aneh dengan semua yang terjadi pada dirinya."Rumah megah, Nyai Rukmini, apakah semua itu hanya halusinasi?" gumam Nila."Tapi makanan itu ...." Nila menghentikan ucapannya, saat kakinya merasakan geli.Nila menatap kakinya, yang sedang dikerubuti belatung. Sontak membuat Nila berteriak ketakutan sekaligus geli. Nila berdiri dan loncat-loncat karena merasa geli dan jijik.Tak jauh dari tempat Nila, terdapat bangkai tikus yang sudah dikerubuti lalat dan belatung, juga cacing yang masih menggeliat, di atas daun pisang yang sudah kering."Apakah makanan
"Masa sih, A?" tanya Nila merasa bingung. Pasalnya ia sama sekali tak menciumnya. Hanya saja mulutnya terasa tidak nyaman."Iya, Neng, baunya itu loh hilang timbul. Sebentar aku mau cari dulu sumber baunya. Barangkali ada bangkai tikus disini," jawab Wira.Wira mencari di setiap kolong. Mulai dari kolong meja, kursi, lemari, sampai kolong ranjang pun tak luput dari pencariannya."Tapi nggak ada apa-apa kok, Neng. Aneh, apa baunya dari luar?" imbuh Wira."Mungkin, A, aku mau istirahat dulu, A. Aku capek," sahut Nila.Nila pun masuk ke dalam kamar, lalu Wira mengikutinya dari belakang."Kamu tidur yang nyenyak, ya! Kasihan sekali kamu. Semoga anak kita tetap sehat di dalam sini." Wira mengusap perut Nila.Nila mengangguk, lalu berbaring. Sebelum keluar dari dalam kamar, Wira terlebih dahulu mengecup kening Nila."Neng!" Wira membuang muka."Kenapa, A?" tanya Nila, merasa aneh dengan sikap suaminya."Neng kamu habis memakan apa? Kenapa mulutmu bau bangkai? Apakah bau yang dari tadi aku c
Hari sudah beranjak malam, kini Wira dan Nila berpamitan untuk pulang."Ingat, jangan sampai kamu melepaskan cincin itu. Saya akan pantau dari sini. Semoga dengan ini, tujuan kita bisa terselesaikan," ujar Abah Kosmos, memperingatkan sebelum Wira dan Nila pergi."Baik, Abah, kalau begitu kami permisi," pamit Nila.Di sepanjang jalan, Nila tak banyak bicara. Ia hanya diam sambil memperhatikan jalan yang mereka lalui."Sudah, kamu jangan melamun. Ikhlaskan, jika Tuhan berkehendak, kita pasti akan dikaruniai anak lagi," imbuh Wira."Iya, A, hanya saja aku sangat menginginkan anak itu. Tapi ya sudahlah, namanya juga musibah," sahut Nila.Jalanan yang dilalui mereka tampak begitu sunyi sepi seperti biasa. Kampung mati, mungkin dua kata itu cocok untuk menggambarkan kampung itu jika malam tiba.Sampai di rumah, mereka langsung merebahkan diri di dalam kamar."Aku kangen sama Mama," ujar Nila menatap lurus ke arah langit-langit kamar."Kamu mau menemuinya?" tanya Wira.Nila menggeleng pelan,
Setelah keluar dari perkebunan, Nila dan juga Wira mampir sebentar di warung, untuk memberi kebutuhan dapur."Bu, beli beras 1 liter, telur 4 butir, sama kangkung 2 ikat," ujar Nila memesan."Baik, Neng Nila tunggu sebentar, ya!" sahut pemilik warung.Nila pun duduk di bangku panjang yang ada di depan warung itu."Aw ... Sakit!"Terdengar suara seseorang yang mengerang kesakitan. Membuat Nila dan Wira menoleh ke asal sumber suara."Mak Onam," lirih Nila.Nila segera membayar semua belanjanya."Mak Onam kenapa itu, A. Kasihan terlihat berdarah-darah," tunjuk Nila."Ya ampun, Emak!" Wira berlari mendekati Mak Onam yang sedang mengaduh kesakitan."Emak kenapa, kok bisa sampai berdarah-darah begini?" tanya Wira."Wira, Emak takut ... Emak takut menjadi korban selanjutnya. Tolong ... Emak tidak kuat, Emak sudah tua," pekik Mak Onam."Biar saya antar pulang dulu ke rumah Emak. Nanti Emak bisa jelaskan kenapa bisa begini." Wira membopong Mak Onam dan berjalan menuju rumah Mak Onam."A aku ik
"Dia datang ... Ya, dia datang!" gumam Abah Kosmos, yang sedang duduk di ruangan khusus."Getarannya semakin kuat, aku harus segera pergi ke desa itu." Abah Kosmos bangkit kemudian keluar dari ruangan itu."Kemed! Kemed!" Panggil Abah Kosmos, kepada anaknya, yang sedang asyik menggosok batu akik."Iya, ada apa, Pak?" tanya Kemed tanpa menoleh ke arah ayahnya."Antar Bapak ke kampung Ciburinong," jawab Abah Kosmos."Mau apa, Pak? Lagi nanggung nih, sebentar lagi beres," ujar Kemed.Tuk!"Aw!" pekik Kemed.Abah Kosmos menggetok kepala Kemed dengan tongkatnya."Kamu kalau dimintai tolong sama orang tua, selalu saja ada alasan buat menolak. Sudah, taruh semua batu akik itu. Sekarang antar Bapak ke kampung itu. Kalau tidak, nanti kamu tidur di belakang rumah! Biar tahu rasa kamu, tidur sama jurig jarian!" tegas Abah Kosmos."Ampun, Pak. Iya-iya, aku keluarin dulu motornya." Kemed pun bangkit lalu mengeluarkan motor bebeknya.Setelah motor dikeluarkan, Abah Kosmos kemudian mengunci semua pi
Wira terkejut mendengar ucapan Nila."Kamu kenapa, Neng? Siapa yang mati?" tanya Wira.Abah Kosmos menatap tajam ke arah Nila, sambil terus melantunkan sesuatu dari mulutnya. Tampak keringat bercucuran di dahi Abah Kosmos. Ia seperti kepanasan saat menatap Nila.Namun tiba-tiba Nila berdiri, lalu mendorong tubuh Wira sampai ia terjungkal ke tanah.Nila berlari ke arah dapur, namun dengan cepat Abah Kosmos berdiri."Cegah dia, jangan sampai makhluk itu melakukan hal buruk terhadap tubuh istrimu. Abah merasakan ada amarah pada makhluk itu, hawanya sangat panas. Kemed, bantu Wira!" titah Abah Kosmos.Mendengar itu, Wira dan Kemed segera berlari mengejar Nila.Sampai di dapur, Nila sudah tak ada lagi disana. Namun terlihat pintu belakang terbuka lebar."Abah, Nila keluar lewat pintu belakang!" teriak Wira."Cari dia, jangan sampai makhluk itu membawa istrimu, Wira. Sepertinya ada dendam yang belum terselesaikan dari makhluk itu," sahut Abah Kosmos.Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pik
"Sepertinya makhluk itu adalah orang yang meninggal membawa amarah dan dendam," timpal Kemed berpendapat."Bisa jadi, mungkin ada sumpah serapah yang dia ucap, sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Ya, aku yakin itu, Bah. Selain dengan keluarga Melati, aku tidak memiliki masalah lagi, karena dari ciri-ciri yang disebutkannya, semua itu merujuk kepada Melati. Mungkin karena itu, arwah Bu Warsih tidak tenang," sahut Wira.Abah Kosmos terdiam, mencerna pendapat-pendapat yang diucapkan Wira dan Kemed."Masuk akal, tapi mungkin kita harus mendalami masalah ini. Mungkin sekarang kita hanya bisa sebatas menerka-nerka. Abah merasa ada sesuatu yang lain pada makhluk itu. Kalian dengar, sebelum Nila pingsan? Dia mengucapkan kata tolong. Padahal sebelumnya dia sangat angkuh, bicara pun dengan suara menggeram. Sedangkan terakhir sebelum Nila pingsan, justru suara lain terdengar meminta tolong," imbuh Abah Kosmos.Wira mengangguk, namun ia tetap yakin, bahwa masalah ini ada sangkut pautnya den
Malam hariBu Tinah sudah bersiap untuk pergi ke rumah Melati. Ia menengok ke arah kamar, terlihat suaminya sudah terlelap tidur, begitu pun dengan anaknya.Bu Tinah sengaja tidak memberitahu Abah Ikin, soal rencana ini, karena jika Abah Ikin tahu, sudah pasti Bu Tinah tidak bisa pergi lantaran Abah Ikin akan melarangnya keluar malam.Bu Tinah melirik ke arah jam dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00.Dengan berbekal senter, Bu Tinah segera keluar dari rumah secara diam-diam, seperti maling yang takut ketahuan pemilik rumah.Sebelum kakinya melangkah keluar, Bu Tinah menengok ke sana kemari. Ada sedikit keraguan dalam benaknya. Namun rasa penasaran mendominasi diri, untuk tetap pergi memastikan apa yang selalu Melati lakukan."Ya ampun ... Kampung ini sudah seperti kuburan saja. Sepi, seperti tak ada kehidupan," batin Bu Tinah.Namun rasa ngeri yang dirasakannya tak lantas menyurutkan niatnya untuk tetap pergi.Bu Tinah mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang dijanjik
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang