"Dia datang ... Ya, dia datang!" gumam Abah Kosmos, yang sedang duduk di ruangan khusus."Getarannya semakin kuat, aku harus segera pergi ke desa itu." Abah Kosmos bangkit kemudian keluar dari ruangan itu."Kemed! Kemed!" Panggil Abah Kosmos, kepada anaknya, yang sedang asyik menggosok batu akik."Iya, ada apa, Pak?" tanya Kemed tanpa menoleh ke arah ayahnya."Antar Bapak ke kampung Ciburinong," jawab Abah Kosmos."Mau apa, Pak? Lagi nanggung nih, sebentar lagi beres," ujar Kemed.Tuk!"Aw!" pekik Kemed.Abah Kosmos menggetok kepala Kemed dengan tongkatnya."Kamu kalau dimintai tolong sama orang tua, selalu saja ada alasan buat menolak. Sudah, taruh semua batu akik itu. Sekarang antar Bapak ke kampung itu. Kalau tidak, nanti kamu tidur di belakang rumah! Biar tahu rasa kamu, tidur sama jurig jarian!" tegas Abah Kosmos."Ampun, Pak. Iya-iya, aku keluarin dulu motornya." Kemed pun bangkit lalu mengeluarkan motor bebeknya.Setelah motor dikeluarkan, Abah Kosmos kemudian mengunci semua pi
Wira terkejut mendengar ucapan Nila."Kamu kenapa, Neng? Siapa yang mati?" tanya Wira.Abah Kosmos menatap tajam ke arah Nila, sambil terus melantunkan sesuatu dari mulutnya. Tampak keringat bercucuran di dahi Abah Kosmos. Ia seperti kepanasan saat menatap Nila.Namun tiba-tiba Nila berdiri, lalu mendorong tubuh Wira sampai ia terjungkal ke tanah.Nila berlari ke arah dapur, namun dengan cepat Abah Kosmos berdiri."Cegah dia, jangan sampai makhluk itu melakukan hal buruk terhadap tubuh istrimu. Abah merasakan ada amarah pada makhluk itu, hawanya sangat panas. Kemed, bantu Wira!" titah Abah Kosmos.Mendengar itu, Wira dan Kemed segera berlari mengejar Nila.Sampai di dapur, Nila sudah tak ada lagi disana. Namun terlihat pintu belakang terbuka lebar."Abah, Nila keluar lewat pintu belakang!" teriak Wira."Cari dia, jangan sampai makhluk itu membawa istrimu, Wira. Sepertinya ada dendam yang belum terselesaikan dari makhluk itu," sahut Abah Kosmos.Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pik
"Sepertinya makhluk itu adalah orang yang meninggal membawa amarah dan dendam," timpal Kemed berpendapat."Bisa jadi, mungkin ada sumpah serapah yang dia ucap, sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Ya, aku yakin itu, Bah. Selain dengan keluarga Melati, aku tidak memiliki masalah lagi, karena dari ciri-ciri yang disebutkannya, semua itu merujuk kepada Melati. Mungkin karena itu, arwah Bu Warsih tidak tenang," sahut Wira.Abah Kosmos terdiam, mencerna pendapat-pendapat yang diucapkan Wira dan Kemed."Masuk akal, tapi mungkin kita harus mendalami masalah ini. Mungkin sekarang kita hanya bisa sebatas menerka-nerka. Abah merasa ada sesuatu yang lain pada makhluk itu. Kalian dengar, sebelum Nila pingsan? Dia mengucapkan kata tolong. Padahal sebelumnya dia sangat angkuh, bicara pun dengan suara menggeram. Sedangkan terakhir sebelum Nila pingsan, justru suara lain terdengar meminta tolong," imbuh Abah Kosmos.Wira mengangguk, namun ia tetap yakin, bahwa masalah ini ada sangkut pautnya den
Malam hariBu Tinah sudah bersiap untuk pergi ke rumah Melati. Ia menengok ke arah kamar, terlihat suaminya sudah terlelap tidur, begitu pun dengan anaknya.Bu Tinah sengaja tidak memberitahu Abah Ikin, soal rencana ini, karena jika Abah Ikin tahu, sudah pasti Bu Tinah tidak bisa pergi lantaran Abah Ikin akan melarangnya keluar malam.Bu Tinah melirik ke arah jam dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00.Dengan berbekal senter, Bu Tinah segera keluar dari rumah secara diam-diam, seperti maling yang takut ketahuan pemilik rumah.Sebelum kakinya melangkah keluar, Bu Tinah menengok ke sana kemari. Ada sedikit keraguan dalam benaknya. Namun rasa penasaran mendominasi diri, untuk tetap pergi memastikan apa yang selalu Melati lakukan."Ya ampun ... Kampung ini sudah seperti kuburan saja. Sepi, seperti tak ada kehidupan," batin Bu Tinah.Namun rasa ngeri yang dirasakannya tak lantas menyurutkan niatnya untuk tetap pergi.Bu Tinah mulai melangkahkan kakinya menuju tempat yang dijanjik
Seseorang bertopeng Hulk itu kemudian membuka topengnya."Huh huh!" ujar pria berbaju compang camping sambil bertepuk tangan dan tersenyum lebar.Pria yang bernama Abah Uta itu kemudian mengintip ke dalam kamar Melati, lewat celah kecil dinding bilik.Lama Abah Uta mengintip Melati yang sedang tertidur, ia tersenyum namun lama-lama tangannya tiba-tiba mengepal kuat.Sementara di tempat lain, Bu Tinah, Bu Salimah dan juga pak Molen berlari terbirit-birit. Mereka berlomba-lomba saling mendahului untuk segera pulang ke rumah masing-masing.Mereka ketakutan bukan main, sampai-sampai diantara mereka ada yang terjerembab ke dalam lubang pembuangan sampah."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya!" teriak Pak Molen yang baru saja masuk ke dalam lubang pembuangan sampah tanpa sengaja.Namun sayangnya kedua wanita yang dipanggil itu, tak menghiraukan teriakannya yang terus menerus meminta tolong.Kedua wanita itu hanya memikirkan nasib mereka masing-masing."Bu Tinah, Bu Salimah tolongin saya atuh!
Sore hariWira telah pulang dari kebunnya. Kepulangannya disambut hangat oleh Nila, dengan berbagai masakan yang ia hidangkan di atas meja."Kasihan sekali suami aku, pasti kecapean, ya? Sini duduk dulu, kamu mending makan dulu," ujar Nila."Iya nih, tapi nggak apa-apa sih. Kan ada obatnya," sahut Wira.Nila mengerutkan keningnya."Maksudnya kamu obatnya, Neng. Ya sudah aku mau makan dulu habis itu mandi. Tolong dong ambilkan nasinya," ujar Wira.Nila tersipu malu, kemudian ia mengambil piring lalu menuangkan nasi ke atas piring Wira."Loh, mana cincin kamu, Neng?" tanya Wira, saat menyadari tak ada cincin yang melingkar di jari Nila."Ya ampun aku lupa, A. Tadi aku lagi nyuci baju, terus cincinnya aku taruh di kamar mandi. Cincin itu beberapa kali hampir terlepas dari jadi tanganku, karena sedikit longgar dan licin terkena air sabun," jawab Nila."Kamu jangan pernah melepas cincin itu, Neng. Sebab cincin itu sebuah perantara supaya Abah Kosmos bisa merasakan jika kamu dalam gangguan
"Kamu kenapa, Neng? Kok kayak sedang gelisah begitu?" tanya Wira yang baru saja selesai mandi. Ia berjalan sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.Nila mengangkat kepalanya yang semula menunduk."A Wira, baru saja Kang Asep kesini. Dia menanyakan kamu ada disini atau nggak. Dia kesini hanya mau memberitahu, bahwa Mak Onam meninggal dunia. Dia ditemukan warga, nyangkut di pepohonan tepi jurang. Sekarang warga sedang membantu mengurus jenazahnya. Rencananya malam ini mau langsung dikebumikan," jawab Nila.Mendengar kabar ini, membuat Wira syok."Kamu nggak becanda, kan? Innalilahi ...." ucap Wira."Nggak, A, ini serius ... Aku curiga, kematian Mak Onam ada kaitannya dengan makhluk gundukan tanah itu. Kematiannya saja tidak wajar," sahut Nila.Tubuh Nila berubah menggigil karena ketakutan. Wira mendekatinya, duduk lalu mengusap punggung Nila."Mak Onam sudah meninggal, apakah setelah ini aku selanjutnya?" lirih Nila."Sssttt ... Kamu tidak boleh bicara begitu, Neng. Aku yakin k
Tiga bulan kemudian, Nila masih bertahan di kampung itu. Hari ini Wira dan Nila hendak pergi ke kebun untuk memanen cabai hasil kebun mereka."Kamu sudah kasih tahu Bu Heti, kalau panen di kebun kita hari ini?" tanya Wira."Sudah, A, tadi pagi-pagi sekali aku ke rumahnya. Mereka siap membantu panen kita katanya," jawab Nila.Wira tersenyum, "Syukurlah ... Kita akan bayar mereka nanti dari hasil penjualan cabai kita. Lebih baik aku berangkat duluan, kamu masak saja dulu nanti perginya menyusul," ucap Wira."Baik, A, ya sudah kamu hati-hati di jalan. Nanti aku menyusul," sahut Nila.Wira pun pergi ke kebun seorang diri, dengan membawa banyak karung. Cabai yang ia tanam ternyata tumbuh subur dan sudah tentu hasilnya juga akan memuaskan. Ia sangat bersyukur, karena ini kali pertama ia menanam cabai. Jika begini, kemungkinan ia bisa membawa istrinya untuk pindah dari rumahnya.Sementara Nila berjibaku dengan alat masaknya. Memasak makanan selezat mungkin. Kini ia memasak dengan porsi yang
"Aaaa!" Nila menjerit ketika melihat makhluk gundukan tanah itu berada di dalam kamarnya.Wira pun tak kalah kaget, ia terjingkat ketika melihat makhluk itu.Namun, setelah menampakkan dirinya beberapa detik, makhluk itu kemudian menghilang begitu saja."Ternyata bau itu berasal dari makhluk itu. Bu-bukannya Mak Onam sudah meninggal, tapi kenapa makhluk itu masih ada?" tanya Wira tergugup.Nila terdiam, sambil menekan rasa takutnya. Walau pun sudah beberapa kali Nila melihatnya. Namun, Nila masih merasakan ketakutan."A, sepertinya tugas kita belum selesai," lirih Nila.Alis Wira mengernyit, tidak mengerti dengan ucapan Nila."Maksud kamu, Neng?" tanya Wira."Kamu ingat perkataan Mama kemarin malam? Mama bilang, dia pernah mendengar makhluk itu meminta tolong untuk disempurnakan," jawab Nila.Wira berpikir sejenak, kemudian bersuara."Ah iya, kita melupakan hal itu. Tunggu-tunggu, kok aku jadi berpikiran sama sesuatu yang ada di gubuk Mak Onam, ya!" seru Wira.Kini giliran alis Nila y
"Nila, ini aku!" bisik seseorang yang tengah memeluk Nila dari belakang.Nila mengurai pelukannya lalu membalikkan badannya."Me-melati," lirih Nila tak menyangka bahwa Melati ada di hadapannya.Melati mengangguk sambil tersenyum, "Iya, Nila, ini aku, Melati."Di belakang Melati, Nila melihat ada Abah Kosmos, Abah Ikin dan tetua desa yang lain."Kok bisa?" Nila merasa bingung."Sudah, nanti saja aku cerita. Mana yang lain? Di sini ada hewan buas, jadi kamu jangan berisik," lirih Melati.Nila mengangguk, "Mereka ada di dalam.""Ya sudah ayo gabung sama mereka," ajak Melati."Sebentar, aku harus menghancurkan batu cincin ini dulu. Aku mau cari batu," ujar Melati.Dengan hati-hati, Abah Ikin berinisiatif mencarikan batu dan menyerahkannya kepada Nila.Dengan cepat Nila menghancurkan batu cincin itu. Tak ayal, suara teriakkan dari dalam gubuk menggema memenuhi atmosfer hutan itu."I-itu," ucap Melati."Iya, itu suara Mak Onam, dan batu ini merupakan sumber kekuatannya. Maafkan aku, Melati
Abah Uta segera mengambil obor yang lain.Beberapa inchi lagi, api telah mendekat ke arah kedua benda milik Mak Onam itu."Maafkan aku, Onam. Kamu sudah banyak merugikan orang lain. Terpaksa aku melakukan ini," gumam Abah Uta.Brus!Seketika api menyentuh kedua benda berupa buntelan kecil itu."Aaaa ... Kurang ajar kau, Uta. Aaaaa!" Teriakkan Mak Onam di atas batu, membuat semua orang menoleh. Mereka menyaksikan tubuh Mak Onam ambruk dan tidak bergerak lagi di atas batu.Kini, mereka bisa bernafas lega. Kedua benda itu telah habis terbakar, dan Mak Onam telah kalah."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita mencari Abah Kosmos dulu? Aku lihat dia hanyut tadi. Aku harap beliau selamat," imbuh Wira."Begini saja, kita berpencar menjadi dua kelompok. Beberapa dari kita mencari Abah Kosmos, dan yang lain ikut saya ke kedalaman hutan. Saya ingin membawa putri saya dari sana. Saya khawatir jika Melati terus menerus berada di dalam hutan," sahut Abah Uta.Semua mengangguk setuju,
Huek!Wira berusaha menahan mual saat sesuatu yang ia sentuh itu mengeluarkan bau tak sedap. Wira sangat kesusahan melihatnya. Namun yang jelas, perasaan Wira sangat tidak enak.Wira bangkit dan meraba saku celananya. Ia teringat jika tadi saat istirahat di tempat kerja, ia sempat membeli korek untuk menyalakan rokok."Syukurlah ada," gumam Wira.Tangan gemetar Wira mulai menyalakan korek api itu."Ya Tuhan!"Wira beringsut mundur, dan kembali mematikan korek tersebut. Sesuatu di depan Wira sangat mengejutkannya. Ketika korek itu dinyalakan, jelas Wira melihat kepala menyembul dari dalam tanah dengan wujud mengerikan. Mungkin selama ini, makhluk inilah yang meneror warga bahkan juga istrinya, pikir Wira.Jantung Wira berdetak begitu kencang. Takut, sudah pasti, meski pun ia seorang lelaki, jika dihadapkan dalam situasi seperti ini maka ia akan berubah menjadi pengecut.Wira kembali menyalakan korek itu. Berusaha tidak memperdulikan makhluk itu yang masih ada. Wira gegas mencari oborny
Setelah melintasi aliran air terjun, Wira dan abah Kosmos kembali melewati kawasan hutan, menyusuri jalanan setapak menuju perkampungan.Tak ada percakapan diantara mereka berdua. Hanya helaan nafas yang terdengar saling bersahutan. Perjalanan malam ini terasa begitu menegangkan. Mereka akan berjuang mencari benda-benda milik mak Onam.Krosak!Langkah Wira terhenti, ketika mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Abah Kosmos yang berada di depan Wira menyentuh tangan Wira dan menyuruhnya untuk terus berjalan melalui sebuah isyarat tangannya."Sebisa mungkin kamu tidak boleh menoleh ke belakang atau pun ke samping. Ingat tujuan kita, jika kamu tidak ingin semuanya sia-sia," bisik abah Kosmos yang kini berjalan sejajar dengan Wira.Wira menelan saliva kasar, sambil mengangguk mengiyakan ucapan abah Kosmos.Mereka berdua terus saja berjalan. Sebuah suara kembali terdengar di telinga Wira. Namun, Wira selalu mengingat perkataan abah Kosmos barusan.Entah kenapa, Wira merasa jika jara
"Pak Kades," pekik Wira, saat mengetahui bahwa sang pemilik kepala yang tergeletak di semak-semak itu adalah milik pak kades.Semua orang tercengang, gegas mereka menghampiri pak kades. Mereka menyibakkan semak-semak itu. Tubuh pak kades tertutupi semak-semak. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar."Dia masih hidup," ujar Abah Kosmos setelah memeriksa nadinya."Syukurlah, kita bisa membawanya pulang. Setelah itu kita kembali ke rencana kita untuk menyelidiki rumah Mak Onam," imbuh aki Oyan.Semua mengangguk setuju, kemudian mulai mengangkat tubuh pak kades.Mereka kemudian hendak membalikkan badan. Namun, mereka tak menyadari ada sesosok berbalut kain putih, yang sedang berdiri di belakang mereka."Aaaa ... Apaan itu?" teriak Nila, ketiak melihat sosok itu.Sontak orang yang sedang menggotong tubuh pak kades hampir saja melemparkan tubuh pak kades, saking terkejut. Namun beruntung mereka bisa mempertahankan tubuh kak kades sehingga tidak sampai terjatuh.Di hadapan mereka, berdir
"Wira ... Nila!" teriak Retna dari jalan. Ia tergopoh-gopoh menyusul Wira dan Nila yang sedang berkumpul di lapangan. Sebelumnya Retna sudah diberitahu, jika malam ini akan ada ritual khusus yang akan dilakukan oleh tetua desa. "Mama," Sahut Nila. Semua orang menoleh ke arah Retna. Nila dan Wira pun bangkit dan menghampiri Retna. "Mama kenapa? Kenapa Mama kesini?" tanya Nila. Tubuh Retna bergetar, dari wajahnya terlihat raut ketakutan. "Sebaiknya kita bawa saja ke sana. Biar Mama bergabung sama kita," imbuh Wira. Nila mengangguk, kemudian menuntun Retna bergabung bersama tetua desa. Mereka membiarkan Retna tenang terlebih dahulu. Terlihat sekali, jika Retna seperti orang yang sangat ketakutan. Setelah dirasa tenang, Wira mencoba bertanya perihal ibu mertuanya menyusul mereka ke lapangan. "Jadi begini, Wira ... Semenjak Mama menempati rumah mak Onam, dari pertama Mama selalu merasakan keanehan. Setiap malam, Mama selalu mendengar suara gaduh di dalam kamar tengah. Awal
"Semoga Mama nyaman di sini, soal bayar sewa, biar aku saja yang bayarkan. Susah jika harus menunggu mobil laku dulu. Tapi Mama jangan khawatir, aku sudah menawarkan mobil Mama ke teman-teman dan atasan aku di tempat kerja," ujar Wira siang hari itu.Wira dan Retna telah berada di depan rumah mendiang Mak Onam. Wira menyewa rumah itu kepada saudara Mak Onam. Sebenarnya masih ada abah Uta, suaminya Mak Onam yang berhak menentukan rumah ini disewa atau tidak. Namun, akan susah jika harus berkomunikasi dengannya, mengingat jiwanya sedang terganggu. Sampai sekarang pun, entah dimana keberadaannya, karena ia selalu berpindah-pindah tempat."Iya, Wira ... Terima kasih banyak sudah membantu Mama. Mama pasti akan nyaman tinggal di sini. Halamannya luas, jadi Mama bisa belajar menanam cabai di sini," sahut Retna.Wira tersenyum sambil mengangguk, "Syukurlah kalau Mama suka. Sebenarnya aku dan Nila nggak mau Mama tinggal terpisah, apalagi Mama tinggal sendiri. Tapi kami juga harus menghargai ke
Suasana di rumah Wira begitu ramai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah Wira, guna mencari tahu apa yang terjadi semalam terhadap Nila."Abah ... Bagaimana bisa Nila seperti ini? Tapi syukurlah Abah kebetulan datang ke kampung ini. Sehingga Nila bisa diselamatkan," imbuh pak kades yang juga berada di rumah Wira.Di atas kursi panjang, Nila terbaring tak sadarkan diri. Di bagian tubuhnya seperti tangan, kaki dan pipinya terdapat luka bakar akibat semalam.Retna dan Wira pun terlihat syok akan kejadian yang menimpa Nila. Tak menyangka jika nyawa Nila semalam dalam bahaya. Wira yang baru saja sembuh, sangat khawatir saat tahu apa yang terjadi pada Nila semalam."Sebelumnya Abah sudah memberikan sebuah cincin kepada Nila. Cincin yang terhubung dengan cincin saya. Bilamana Nila berada dalam gangguan makhluk gundukan tanah itu, maka Abah bisa merasakannya. Maka semalam ketika Abah merasakan getaran hebat dari cincin ini, Abah langsung pergi ke kampung ini. Dan benar saja, Nila sedang