**Bab 002: Perpisahan**
Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu.
"Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"
Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur.
"Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!"
"Karena itu, jangan gegabah!"
"Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti..."
"Tapi, Duch..."
"Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur Helena meski suaranya datar. "Aku tidak pantas menyandang gelar itu. Tuanmu mengingatkan dari mana aku berasal dengan sangat baik."
Helena terdiam, merasakan hati yang berat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Atthy. Dia tahu Atthy tidak mudah membuka diri, dan saat ini, untuk pertama kalinya, dia merasakan kerapuhan dalam diri nyonya mudanya yang sangat dihormati. Namun, ia juga tidak bisa menahan rasa penasaran yang membelenggu hatinya.
Helena ingin sekali memeluk Atthy, namun dia berusaha menahan diri. Menjaga jarak sebagai seorang abdi.
"Jika Tuan Hugh yang menginginkan ini, maka pasti ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi," kata Helena dengan lembut. "Saya akan berbicara dengan Tuan Hugh, memastikan apa yang sebenarnya terjadi."
Atthy menoleh, tatapan matanya penuh dengan keputusasaan. "Sudah cukup, Helena. Aku tidak ingin mengemis belas kasihan. Harga diriku sudah cukup terluka..."
Helena merasakan getaran kegelisahan yang begitu mendalam di dalam diri Atthy. Apa yang terjadi sebenarnya antara mereka berdua? Kenapa pernikahan ini bisa berubah menjadi seperti ini? Di balik semua kedamaian luar yang terlihat, pasti ada sesuatu yang lebih gelap sedang terjadi.
"Baiklah, Duchess, beri saya waktu. Saya akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Helena dengan suara penuh tekad. "Tetapi, tolong jangan menandatangani surat perceraian itu. Menunggu sedikit lebih lama tidak akan merugikan Anda..."
"Kau keras kepala, Helena..."
Helena terdiam, dia hanya bisa mengerutkan dahi dengan tatapan memelas menanggapi Atthy.
Bibir Atthy tersenyum, tetapi getir. Dengan tetap memegang erat surat cerai yang ada di tangannya, ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, membiarkan angin pagi yang dingin masuk.
"Duchess.." Helena berbicara dengan air mata yang sulit dibendung. "Maafkan saya... Saya tidak bisa menerimanya," serunya tegas, suara hatinya bergejolak. "Saya akan mencari tahu mengapa Duke memutuskan untuk mengirimkan dokumen ini padamu."
Helena membalikkan badan, meninggalkan ruangan dengan langkah terburu-buru, meskipun hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri. Setiap keputusan Atthy semakin sulit untuk dipahami, dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang. Dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di balik tindakan ini.
Langkahnya cepat, matanya mencari sosok Hugh yang seharusnya sedang berada di ruang makan, namun saat ia tiba, ruang makan itu tampak kosong.
"Ada apa, Nyonya Whitmore?" tanya seorang pelayan yang tengah membereskan meja makan.
"Apakah Tuanku Duke makan siang hari ini?" tanya Helena, menyembunyikan kegelisahannya.
"Sepertinya tidak, Nyonya," jawab pelayan itu dengan ragu. "Tadi saya mendengar beliau membatalkan makan siangnya karena ada urusan mendadak."
"Apa?!" Helena hampir berteriak, matanya setengah melotot. "Dan Tuan Alwyn? Apakah beliau bersama Duke?"
"Tidak, Nyonya," jawab pelayan itu. "Tuan Gusev mungkin sedang di kantor, karena Tuan Duke tiba-tiba pergi dengan Tuan Rozenfeld."
Helena menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya yang memuncak. Ia mengingat pesan terakhir dari Atthy dan merasakan perasaan cemas yang tak terbendung.
"Baiklah, terima kasih," serunya dengan nada tegas.
Namun, sebelum dia bisa pergi, pelayan itu menambahkannya dengan suara cemas.
"Ah, Nyonya Whitmore, maaf, ada satu hal lagi..." kata pelayan itu, tampak ragu.
"Ada apa lagi?" tanya Helena, suaranya ketus.
"Bagaimana dengan Duchess?" tanya pelayan itu dengan wajah cemas. "Apakah kami perlu menyiapkan makan siang untuknya?"
"Ya, lakukan!" seru Helena tanpa berpikir panjang. "Panggil pelayan pribadi Duchess untuk segera menemui Duchess di ruangannya!"
Setelah itu, Helena menuju ruang kerja Alwyn, hatinya penuh dengan pertanyaan. Setiap langkah terasa seperti memikul beban yang semakin berat.
Tiba di ruang kerja Alwyn, Helena lupa mengetuk pintu dan langsung masuk. Alwyn langsung menegurnya.
"Nyonya Helena! Apa yang Anda lakukan?!"
Helena tidak peduli. Ia langsung berbicara, "Apa maksud dari dokumen yang Anda berikan pada saya tadi pagi?"
Alwyn terdiam. "Maksud Anda, dokumen perceraian untuk Duchess Atthaleyah Griffith?"
"Jadi Anda tahu?"
"Bagaimana mungkin saya tidak mengetahui jika saya sendiri yang menyerahkannya pada Anda?!"
"Kenapa? Apa yang terjadi dengan mereka? Apa alasan di balik semua ini?"
"Itu bukan urusan kita, Nyonya. Kita hanya melakukan apa yang diperintahkan."
"Duchess dipercayakan pada saya, saya harus tahu apa yang terjadi!"
Saat perdebatan mereka semakin memanas, suara ketukan pintu menginterupsi.
"Maafkan kami, Tuan Gusev, apakah Nyonya Whitmore ada di dalam?"
Alwyn mengizinkan mereka masuk, dan ketiga pelayan yang tampak terengah-engah masuk dengan wajah penuh kecemasan.
"Kami tidak bisa menemukan Duchess di mana-mana..."
"Salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."
"APA?!" Helena dan Alwyn serempak berseru, terkejut.
Jantung Helena berdebar kencang. Rasa cemas kini berubah menjadi ketakutan yang semakin menguasai dirinya.
"Di mana?! Kenapa kalian baru memberitahuku sekarang?!"
---
Di Manor, Atthy nyaris tidak pernah mengeluh. Nyonya muda yang tenang, seorang wanita rumahan. Menjaga jarak dari hiruk-pikuk sekitar. Namun, ketika benar-benar diperlukan, dia tidak akan ragu untuk bertindak. Sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam, menikmati ketenangan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini cukup mengejutkan bagi penghuni Manor, yang sejak awal memandangnya dengan kecurigaan. Mereka telah mendengar banyak rumor tentang calon istri Duke Hugh Griffith—sosialita flamboyan dengan kisah cinta yang bertebaran di mana-mana. Tapi kenyataannya, Atthy jauh berbeda dari yang mereka bayangkan.
Awalnya, keberadaannya tidak disukai. Seorang lady dari bangsawan tingkat rendah yang memasuki pernikahan politik demi ambisi. Namun, waktu membuktikan sebaliknya. Atthy tidak hanya membawa dirinya dengan kewibawaan, tetapi juga menunjukkan kecerdasan dan ketenangan yang tak terduga. Hingga satu hal yang membuat semua orang di Manor benar-benar tercengang—Atthy pergi dari Manor sendirian. Tanpa pengawal, tanpa pelayan, tanpa siapa pun. Begitu saja, dia melangkah keluar.
---
"Apa maksudmu?!"
Teriakan Alwyn menggema di ruangan, suaranya bergetar menahan amarah. Mata tajamnya menusuk pelayan yang berdiri gemetar di hadapannya.
"Maaf... Maafkan kami, Tuan Gusev... Kami... Kami tidak tahu..." jawab seorang pelayan dengan wajah pucat pasi. "Tapi, salah satu penjaga melihat Duchess keluar melalui gerbang belakang."
"Apa?!" Mata Alwyn membelalak. Sebelum dia bisa berkata lebih jauh, ketukan terdengar di pintu.
"Masuk!" perintahnya tajam.
Seorang penjaga muda melangkah masuk dengan ragu. Wajahnya menegang saat berhadapan dengan Alwyn.
"Kau... Bukankah kau penjaga baru?" Alwyn menyipitkan mata.
"I-iya... Maafkan saya, Tuan Gusev. Saya penjaga di gerbang belakang... Duchess meminta saya memberikan ini pada Tuan..." tangannya gemetar saat menyerahkan amplop besar.
"Ah!" seru penjaga itu begitu melihat Helena di dalam ruangan. "Nyonya Whitmore, Duchess juga menitipkan ini untuk Anda."
Helena mengambil amplop itu dengan ekspresi curiga. "Kenapa harus kau yang menyerahkannya?!"
"Saya... Saya tidak tahu, Nyonya... Duchess hanya bilang, Tuan Duke sudah tahu tentang kepergiannya," jawab penjaga itu terbata.
"Lalu, di mana Duchess?!" suara Helena meninggi, sorot matanya tajam seperti pedang.
"B-beliau... sudah pergi..." jawabnya pasrah.
"Apa?! Pergi?! Dengan siapa?!" Helena nyaris menerjang ke depan.
"S-sendirian... B-beliau tidak memberi tahu saya apa-apa... Maafkan saya..."
Ruangan membeku. Pelayan-pelayan menunduk, tak berani bersuara. Penjaga itu tampak seperti bayangan yang ingin menghilang, tubuhnya gemetar hebat.
---
"APA INI?!"
Alwyn membanting amplopnya ke meja. Kertas-kertas berhamburan saat napasnya memburu.
**'Aku tidak butuh kompensasi perceraian. Asalkan Tuanmu membiarkan aku sendiri, itu sudah cukup untukku.'**
Sepotong kertas dengan dua kalimat tajam menyertai surat cerai yang sudah ditandatangani Atthy.
Tak seorang pun bersuara. Semua menatap Alwyn yang berdiri kaku, wajahnya memerah karena amarah yang mendidih.
"T-tuan Gusev..." gumam penjaga itu lemah.
Alwyn menatapnya dengan sorot dingin yang mengunci. "Siapa yang merekomendasikanmu?" suaranya lebih rendah, namun lebih mengancam daripada teriakan sebelumnya.
"Saya... Saya hanya menjalankan tugas, Tuan..."
"Bodoh!" suara Alwyn meledak. "Kecerobohanmu bisa membawa bencana! Apa kau tidak berpikir dua kali saat melihat seorang Duchess meninggalkan Manor sendirian?!"
Penjaga itu hampir jatuh mundur, kakinya goyah. Namun sebelum ia bisa berbicara lagi, Alwyn mengangkat tangannya, menghentikan segala bentuk pembelaan.
"Panggil semua pengawal! Cari Duchess sekarang juga!"
Penjaga itu segera berlari keluar, meninggalkan ruangan yang kini terasa semakin panas oleh ketegangan.
Helena, yang masih memegang suratnya, meremas kertas itu dengan jemari gemetar. Matanya bergerak cepat membaca isi yang ditinggalkan Atthy.
---
**Dear Helena,**
Kepala pelayan yang selalu tegas, namun sangat aku sayangi. Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku karena tidak sempat berpamitan dengan cara yang lebih baik.
Sampaikan salamku pada Lily dan Miriam, aku sangat menyayangi mereka. Sayang, waktu kita sangat singkat.
Aku kembalikan semua pakaian dan aksesori yang diberikan oleh tuanmu. Tidak ada satu pun yang aku bawa, karena semua itu bukan seleraku. Begitu juga dengan Stella, Bela, dan Rosa. Mereka adalah pelayan yang Tuanmu kirimkan padaku, dan aku ingin kau yang mengurus mereka sekarang.
Aku tidak bisa membayar mereka, karena aku tidak punya uang. Aku hanya bisa menitipkan mereka padamu. Aku mohon, minta tuanmu untuk membayar upah mereka, karena mereka bukan pelayan yang aku pilih. Aku harap kau mengerti.
Maafkan aku, Helena, karena harus pergi seperti ini, tanpa memberi peringatan. Namun, aku tahu, kau pasti akan menghalangiku jika mengetahui keputusanku.
Aku sudah berjanji pada Tuanmu, dan aku harus menepatinya.
PS. Aku sangat menyayangimu. Kau seperti ibu bagiku.
---
Ruangan itu tenggelam dalam kesunyian yang mencekam.
Helena menggenggam surat itu erat, bibirnya bergetar. Pelayan-pelayan menunduk, sementara Alwyn menatap meja dengan wajah kelam. Tangannya mengepal, seolah menahan badai yang mengancam pecah kapan saja.
Tiba-tiba, pintu terbuka keras.
"Maaf, saya terlambat!" Sarah, sang dokter muda, melangkah masuk dengan riang, membawa tas peralatan medis. "Saya tadi dipanggil ke dapur, katanya ada pelayan yang—"
Dia berhenti mendadak, menyadari suasana yang begitu berbeda. Senyumnya perlahan memudar.
Matanya menyapu ruangan. Wajah-wajah pucat. Helena yang tampak terguncang. Dan Alwyn, yang berdiri kaku dengan ekspresi yang begitu gelap.
"Ada... apa?" tanya Sarah pelan.
Alwyn menoleh perlahan. "Dr. Sarah," suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat Sarah menegakkan punggung. "Ini bukan waktu untuk bertanya. Ambil semua peralatan medis yang kau punya. Bersiaplah. Kau mungkin akan menghadapi sesuatu yang sulit."
Sarah menelan ludah. "Apa yang terjadi?"
---
Salju putih terus berjatuhan, satu per satu menyelimuti kepala Atthy yang tertunduk. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kaki di atas tumpukan salju yang mengubur jalan setapak hingga lutut.
Hembusan angin dingin menggigit kulitnya, bahkan menembus mantel tebal yang membungkus tubuh rapuhnya. Napasnya memburu, berpadu dengan uap hangat yang sekejap hilang dikecup udara dingin.
"Ke mana aku harus pergi?" pikir Atthy dengan putus asa, langkahnya semakin berat, seolah bumi sendiri menolak keberadaannya.
Sudah tiga bulan ia tinggal di Skythia, tetapi suasana luar Manor baginya hanyalah misteri. Ia hanya tahu jalan-jalan yang dilalui kereta kuda, dan bahkan itu kini tampak asing dalam lautan salju yang menyamarkan segalanya. Hutan yang mengelilingi wilayah itu hanya menambah kengerian dalam kesunyian malam. Pepohonan menjulang tinggi, seperti raksasa hitam yang mengawasinya dalam diam.
Atthy terus melangkah, meski tidak tahu ke mana arah yang dituju. Salju yang menutupi jalan seakan mencabut segala petunjuk, membuat dunia di sekitarnya tampak seperti labirin putih tanpa akhir. Tubuhnya yang terbiasa dengan gurun pasir panas dan sabana luas kini merasakan penderitaan baru—dingin yang mengiris, menelanjangi kekuatan terakhir yang tersisa dalam dirinya.
Angin bersiul, menciptakan suara yang menyerupai jeritan hantu. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Ujung jarinya yang semula terasa ngilu kini berangsur mati rasa. Ketika akhirnya ia tak lagi sanggup melangkah, ia terjatuh di bawah sebuah pohon besar yang akarnya mencuat dari tanah beku.
Duduk bersandar, napasnya tersengal. Atthy memandangi langit kelabu yang perlahan mulai ditelan malam. Pandangannya kosong, seperti memutar kembali nasibnya yang tragis. Dari seorang cucu bangsawan rendah yang bersahaja, menjadi Duchess dengan kekuasaan besar, hingga kini ia hanyalah seorang perempuan yang kehilangan identitas—bukan lagi seorang Galina, apalagi seorang Griffith.
Suhu dingin tanpa belas kasihan terus menyerangnya, membuat setiap serat tubuhnya seolah berteriak meminta kehangatan yang tak pernah datang. Pelayan-pelayan yang dulu setia melayaninya, perapian hangat di Manor, semuanya terasa seperti mimpi yang mustahil terulang.
Perlahan, tubuhnya mulai kehilangan rasa. Rasa sakit yang menusuk tulang saat ia berjalan tadi kini berubah menjadi kehampaan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi—hipotermia. Kepalanya terasa berat, tapi pikirannya mulai melayang, mengembara di antara kenangan yang menyakitkan.
Wajah keluarganya melintas di benaknya. Kakek yang berwibawa tapi juga ramah, ayahnya yang tegas tapi penuh kasih, suara tawa adik-adiknya di sabana. Air mata menggenang di sudut matanya, membeku sebelum sempat jatuh.
Namun, bayangan itu tiba-tiba tergantikan oleh sosok lain—matanya yang tajam, sikap dingin yang penuh wibawa, suara yang memanggil namanya dengan nada datar namun begitu memikat.
"Duke Hugh Griffith..." bisiknya lemah, hampir tanpa suara.
Sekelebat rasa sakit yang membara muncul di dadanya, bercampur dengan kerinduan yang menyesakkan. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ia akan mati sendirian di tempat asing ini tanpa sempat menuntaskan luka yang membebani hatinya?
Ketika pikirannya hampir tenggelam sepenuhnya, dari kejauhan terdengar derap langkah berat. Sesuatu mendekat—entah itu keajaiban atau kehancuran. Atthy memejamkan mata, membiarkan dirinya menyerah pada takdir yang akan datang.
Suara langkah itu semakin jelas, memecah kesunyian hutan yang mencekam. Atthy tidak tahu lagi apakah ia harus merasa takut atau berharap.
"Seseorang... tolong aku..." gumamnya lemah, sebelum kesadaran sepenuhnya lepas dari genggamannya.
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 003: Konspirasi**Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.---Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar."Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 006: Keputusan**Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi
**Bab 007 Dengki**Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak."Jadi, apa yang h
**Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu
**Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
*Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke
**Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap
**Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."
**Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana
**Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya
**Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala
**Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema
**Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany
**Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil
**Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya