**Bab 001: Duka**
Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.
“Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang,” ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.
Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya—meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia tidak boleh mengecewakan ekspektasi itu. Namun, malam pertama ini jauh dari bayangan impian para gadis muda yang mendambakan kebahagiaan pernikahan.
“Kau puas sekarang setelah tidur denganku?” tanya Hugh dengan nada sinis, menatap Atthy seolah ia hanyalah objek yang tak layak mendapat perhatian. Sorot matanya menunjukkan kesombongan, namun dalam sekejap, ada secuil keraguan yang cepat terselubung di balik sikap acuhnya.
“Puas?” balas Atthy, suaranya gemetar namun mulai menguat. “Apakah kau pikir pernikahan ini hanya tentang ambisi dan kepalsuan? Apa aku hanya pantas dijadikan alat untuk menegaskan posisimu?”
Hugh mengernyit, lalu dengan dingin berkata, “Aku hanya ingin memperjelas posisimu, Athaleyah Galina. Kau harus ingat dari mana asalmu. Jangan biarkan gelar ‘Duchess’ di atas kertas membuatmu lupa bahwa dirimu hanya sepotong catur dalam permainan besar ini.”
Tatapan Atthy menyala. “Posisiku? Kau maksudkan aku hanyalah ‘Duchess di atas kertas’? Yang terhormat Duke Hugh Griffith, aku bukanlah boneka yang bisa kau mainkan sesuka hati. Aku punya harga diri, dan aku tidak akan terus menerus tunduk pada hinaanmu.”
Sebuah keheningan sejenak menyelimuti ruangan yang semula penuh kemewahan itu, namun ketegangan tak juga reda. Setiap helai pakaian yang berantakan seolah menjadi saksi bisu dari perdebatan sengit antara dua jiwa yang terperangkap dalam pernikahan politik. Di balik kemegahan ruangan, Atthy merasakan kegetiran mendalam—sebuah jurang kesendirian yang mulai menguasai dirinya.
“Kau pikir dengan tidur denganku, kau bisa menguasaiku? Perempuan… Aku, Duke Griffith, bukan seorang pria yang bisa kau manipulasi hanya karena aku telah menikmati tubuhmu,” desis Hugh, menambah tajam setiap kata. “Aku bisa dengan mudah mendapatkan wanita sepertimu di jalanan, dan kau? Kau hanyalah satu dari mereka.”
Mendengar kata-kata itu, Atthy menahan tangis, namun keberanian mulai tumbuh di antara reruntuhan harga dirinya. “Kenapa kau harus berkata seperti itu padaku, di malam pertamaku sebagai istrimu? Apakah ini yang kau anggap pantas? Sudah tiga bulan sejak pernikahan kita, dan kau hampir tidak pernah menganggap keberadaan diriku. Apakah semua ini hanya permainan untuk menegaskan kekuasaanmu?”
Hugh terdiam sejenak. Wajahnya memperlihatkan keraguan yang cepat hilang, digantikan oleh sikap dingin. “Aku ingin kau mengerti, Atthaleyah. Aku ingin kau sadar akan posisimu, agar tidak terlena oleh gelar kosong. Aku memberimu kesempatan untuk mengakui siapa dirimu sebenarnya—Apa ambisimu?”
Atthy tak bisa menahan kemarahannya lagi. “Apakah salah jika aku berambisi memenangkan hati suamiku?! Jadi, kau katakan aku hanyalah alat dalam permainanmu? Bahwa keberadaan dan perasaanku tidak berarti apa-apa? Aku lelah menelan semua hinaan ini, dan malam ini, aku tidak akan diam saja.”
Mata Hugh menyipit, sesaat ia terlihat tersentak oleh keberanian dan kemarahan yang terpancar dari Atthy. “Apakah kau akan terus bersilat lidah denganku? Lalu, apakah kau siap meninggalkan pernikahan yang, sekurang-kurangnya, membawa kekuasaan dan kedudukan?”
Suasana semakin memanas. Atthy melangkah mendekat, tatapannya tajam bagaikan pedang. “Aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin menentukan jalanku sendiri, hidup sesuai keinginanku, bukan berdasarkan ambisi dan aturan politikmu. Aku tidak akan mengorbankan harga diriku hanya untuk memenuhi ambisi palsu yang kau banggakan.”
Hugh terdiam, lalu berkata dengan suara serak, “Athaleyah Galina, penjelasanmu bertolak belakang dengan apa yang selama ini kupahami tentang dirimu. Namun, aku akan memberimu pilihan. Aku telah cukuo mendengar keinginanmu, kau bebas pergi dariku. Tidak perlu gunakan Raja sebagai alasan. Dengan kekuasaanku, aku pastikan kau tidak akan mendapat masalah di luar sini.”
“Aku akan pergi,” jawab Atthy dengan tegas, meski suara masih bergetar karena emosi. “Tapi kau harus berjanji. Janjikan padaku: jangan usik keluargaku, jangan sentuh mereka, biarkan mereka hidup dengan damai. Aku memilih jalan ini bukan untuk melukai, melainkan untuk kedamian keluargaku.”
Hugh terpaku sejenak, terkejut mendengar permintaan itu. Di balik sikap arogan yang biasa ia tunjukkan, sesaat tampak bayangan penyesalan yang samar—sebuah perasaan yang hampir membuatnya goyah. Namun, ego dan keinginan untuk mempertahankan kontrol segera menguasai dirinya. “Kau benar-benar keras kepala,” gumamnya, meski nadanya kini mengandung nada pertanyaan yang tidak bisa ia singkirkan.
“Benar,” jawab Atthy, menatap tajam, “dan justru keberanian inilah yang membuatku takkan terus hidup dalam bayang-bayangmu. Aku tidak akan menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang hanya menghancurkan jati diriku.”
Beberapa saat kemudian, Atthy berbalik membelakangi Hugh. Kepalanya terasa berat, namun dia tidak bisa menahan keinginannya untuk pergi, mencari kedamaian, atau mungkin hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang begitu menyesakkan.
Hugh memandangnya dari kejauhan, menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang biasa. Ketika Atthy membelakanginya memperlihatkan punggungnya yang kesepian, Hugh memanggilnya dengan suara yang lebih pelan daripada sebelumnya.
''Atthaleyah...''
Atthy tidak menjawab. Hanya matanya yang bereaksi terhadap panggilan itu.
Hugh menarik napas pelan. Suaranya terdengar lebih dingin saat akhirnya ia berkata, "Jangan menyesal."
Atthy tersenyum tipis, tanpa sedikit pun goyah. "Jangan khawatir. Aku tidak akan."
Keangkuhan Hugh menolaknya untuk mengakui bahwa kali ini, firasatnya berteriak lebih keras dari sebelumnya. Bahwa bukan Atthy yang akan menyesal—melainkan dirinya sendiri.
---
Hugh membuka pintu kamarnya dengan gerakan tenang dan terkontrol, tetapi tatapannya langsung berubah tajam ketika melihat tiga pelayan pribadi Atthy berdiri kaku di depan.
Mereka sudah menunggunya.
Ketiganya berdiri dengan kepala tertunduk, tangan terlipat di depan, berusaha terlihat patuh. Namun, kegelisahan mereka terlalu jelas untuk disembunyikan.
"Pagi, Tuan Hugh," sapa Stela, mencoba tersenyum, meskipun bibirnya sedikit bergetar.
Hugh tidak menjawab.
Hanya sorot matanya yang menajam, menusuk seperti pedang, menelusuri ekspresi mereka satu per satu.
Stela langsung menunduk lebih dalam. Bela menggigit bibirnya, mencoba menahan kecemasan. Rosa, yang paling muda, sudah hampir kehilangan keseimbangan karena lututnya melemas.
Hening.
Ketegangan terasa menyesakkan, seakan udara di sekeliling mereka berubah lebih berat.
"Ada yang ingin kalian katakan?"
Suara Hugh terdengar datar, tetapi tekanan di baliknya begitu kuat hingga napas mereka tersendat.
Mereka saling pandang. Tak satu pun berani berbicara lebih dulu.
"Kami... hanya memastikan jika Duchess membutuhkan sesuatu," Bela akhirnya bersuara.
Kebohongan.
Terlalu rapi.
Hugh menghela napas perlahan. Ia tidak tertarik mendengar alasan mereka.
"Kalian seharusnya tahu..." Hugh berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya menggantung di udara.
"...bahwa aku bukan pria yang bisa kalian bodohi untuk kedua kalinya."
Mereka membeku.
"Satu kesalahan lagi..." Hugh mendekat setengah langkah, cukup untuk membuat mereka mundur refleks.
"...dan tidak akan ada kesempatan ketiga."
Tatapannya tetap dingin, tidak ada kemarahan yang meledak-ledak—hanya keputusan mutlak yang tak terbantahkan.
Ketiganya kini tahu satu hal pasti.
Hugh Griffith tidak akan memberi mereka kesempatan lagi.
Tanpa menunggu reaksi mereka, Hugh melangkah melewati mereka, seolah mereka bukan siapa-siapa lagi baginya.
Ketiga pelayan itu tetap terdiam di tempatnya, tertahan dalam ketakutan yang kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.
---
"Tuanku, ada yang harus saya persiapkan?" tanya Helena, kepala pelayan, yang baru tiba dengan sigap.
"Panggil Alwyn ke ruanganku segera, dan juga Dr. Windfold untuk melihat kondisinya!" seru Hugh, suaranya tegas.
Helena sedikit terkejut. "Maaf, tuanku?!"
"Dia... Sepertinya terluka. Tidak... Dia memang terluka... Sudahlah! Kau urus saja dia!" suara Hugh semakin tegang. Ekspresinya tetap dingin, tetapi Helena menangkap sesuatu yang aneh—sebuah kecanggungan.
Helena mengernyit, bertanya dalam hati. Kenapa pria setenang gunung es ini tampak tersipu?
Namun, dia menyimpan rasa ingin tahunya. Profesionalitas adalah yang utama.
"Baik, tuanku," jawabnya, meskipun hatinya penuh tanda tanya. Namun, sesuatu dalam diri Hugh mulai menarik perhatiannya.
Helena beralih menatap ketiga pelayan pribadi Atthy yang masih berdiri cemas di depan kamar.
"Ada apa dengan mereka?" pikirnya. "Apa yang mereka sembunyikan sampai harus bicara hanya dengan tatapan mata?"
Namun, saat ini majikannya lebih utama.
"Apa lagi yang kalian tunggu?! Masuk!" perintahnya.
Begitu mereka masuk, ekspresi mereka berubah menjadi cemas. Helena tersentak ketika melihat kondisi kamar. Matanya membelalak, tangannya menutup mulut. Ruangan berantakan. Namun, lebih dari itu—penampakan Atthy membuat dadanya sesak.
"Ah, Duchess!" seru Helena, cepat mendekat. "Ada apa ini?"
Atthy menatapnya, matanya kosong tetapi tegas. Wajahnya memelas, seolah meminta pertolongan tanpa mengatakannya. Namun, di balik kepedihannya, ada harga diri yang tetap ia pertahankan.
Helena tahu, Atthy bukan wanita yang dengan mudah akan menerima simpati. Justru karena itu, melihatnya seperti ini jauh lebih menyakitkan.
"Duchess, saya akan sege—"
"Helena," potong Atthy, suaranya serak. "Tinggalkan aku... Tolong, biarkan aku sendiri."
Helena terdiam, terkejut dengan permintaan itu. Namun, melihat betapa rapuhnya Atthy, dia menahan dirinya dan menurut. Dengan berat hati, ia meninggalkan kamar itu, meskipun kecemasannya semakin menguat.
Keluar dari kamar, dia membawa ketiga pelayan Atthy bersamanya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Pelayan-pelayan itu tampak gelisah, ketegangan masih tersisa di antara mereka.
Ada sesuatu yang tidak mereka katakan.
---
Saat menuju ruang makan, Helena bertemu Alwyn.
"Nyonya Helena!" panggil Alwyn, "Tolong berikan ini pada Duchess!" Ia menyerahkan amplop berisi dokumen.
Helena mengerutkan dahi. "Dokumen?" Namun, dia tetap menerimanya. "Tuan Alwyn, maaf, bisakah Anda bantu saya? Tolong panggilkan Dr. Sarah."
"Dokter Sarah?" Alwyn tampak waspada. "Duchess sakit?"
Helena mengangguk. "Ya, tolong segera lakukan."
Alwyn tidak bertanya lebih lanjut dan pergi. Namun, hati Helena semakin tidak tenang.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Atthy?
---
Terdengar ketukan di pintu kamar Atthy.
"Duchess, saya masuk," kata Helena sebelum menyerahkan dokumen dari Alwyn.
"Duchess... Apa Anda baik-baik saja?" tanyanya, mencoba membaca ekspresi wanita itu.
Atthy tersenyum samar. "Aku baik-baik saja, Helena."
''Maaf Duchess, Tuan Alwyn menitipkan sebuah dokumen untuk Anda...'' ujar Helena m asih menjaga sikap profesionalnya.
Namun, saat melihat dokumen itu, ekspresi Atthy berubah. Sebuah senyum pahit terbentuk di bibirnya. Helena bisa melihatnya—mata Atthy tampak menangis, meskipun tidak ada air mata yang jatuh.
"Ada apa, Duchess?" tanya Helena waspada.
Atthy mengangkat dokumen itu, menatap Helena dengan mata kosong. "Aku sudah tidak punya gelar itu lagi. Hanya Atthaleyah Galina."
"Maaf, Duchess, saya tidak mengerti..."
"Tuanmu mengirimi aku berkas perceraian," ujar Atthy, mengacungkan surat cerai dari Hugh dengan ekspresi santai yang bertentangan dengan kesedihan di matanya.
"Apa?!" Helena terperangah, nyaris tidak percaya.
Ia bahkan lupa niat awalnya untuk mengajak Atthy makan siang. Pikirannya penuh amarah. Ingin rasanya ia segera menemui Hugh dan menuntut penjelasan.
Sebelum Atthy bisa menandatangani surat itu, tangan Helena spontan menahannya.
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat) PAMANKU SUAMIKU (sudah tamat) MENJEMPUT ISTRIKU MANUSIA BUAS SINGA BETINA MILIKKU
**Bab 002: Perpisahan**Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu."Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur."Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!""Karena itu, jangan gegabah!""Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti...""Tapi, Duch...""Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur
**Bab 003: Konspirasi**Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.---Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar."Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 006 Surat dari Ibu Kota*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima har
**Bab 007 Mencurigakan**---Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali."Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash."Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar."Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja."Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya."Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "Itulah yang tertulis di situ.""Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa."Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu," ujarnya, menyertai kalimat itu dengan
**Bab 008 Pertimbangan**Setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar, mereka segera kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur. Rumah sederhana itu memiliki empat kamar. Rowt dan Ash masing-masing menempati kamar mereka sendiri, sementara Ay sekamar dengan Dimi, saudara kembar Agafya. Atthy dan Gafy, meskipun beda usia, tidur dalam kamar yang sama.Agafya, yang biasa dipanggil Gafy atau Gaff, dilahirkan dengan kondisi tubuh lemah. Namun meski begitu, Gafy selalu ceria dan cerewet. Ia adalah salah satu sumber kebisingan di rumah yang sunyi ini, terutama setelah Dimi yang selalu aktif, seolah-olah energi Gafy yang terbatas itu dipinjam oleh saudaranya yang penuh semangat.Malam itu, sambil membantu kakaknya melipat pakaian, Gafy tiba-tiba bertanya dengan mata berbinar, "Kak... Apa kakak akan menerimanya?"Atthy yang sedang sibuk mengangkat sekeranjang jemuran dari luar rumah hanya melirik sekilas, kemudian menjawab dengan sikap santai, "Apa?" Seolah tak terlalu peduli."L
**Bab 009 Keputusan**---Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Kemudian, dengan tegas namun le
**Bab 027: Surat Helena**"Alwyn mengirim surat," ujar Kevin, membuka gulungan perkamen dengan ekspresi penasaran.Hugh yang berdiri di dekatnya menyipitkan mata saat membaca isi surat tersebut. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah catatan kaki yang disisipkan Alwyn di akhir surat.''Duchess membantu saya memecahkan masalah dengan lebih cepat. Helena memberi tahu saya hal-hal mengejutkan yang terjadi di Manor.''Hugh mengernyit. Kata-kata itu menggantung di benaknya."Ada apa, Duke?" tanya Saihan, memperhatikan perubahan ekspresi Hugh yang tak seperti biasanya.Alih-alih menjawab, Hugh membuka laci meja kerjanya, mengambil gulungan surat lain yang diterimanya dari Helena beberapa hari yang lalu. Ia membacanya kembali dengan seksama.Tuanku Duke, ini adalah beberapa poin yang kami hasilkan. Sekiranya ini bisa membantu Anda di Granthar. Duchess dengan teliti melihat berbagai aspek dan mendapati beberapa celah yang mungkin, itulah masalah yang harus Anda pecahkan.''Menurut Hele
**Bab 026 Pembuktian Diri**Di sebuah sore yang tenang di Manor, cahaya redup dari jendela menyinari ruang tamu yang rapi. Atthy duduk di kursi bergaya klasik, sejenak tenggelam dalam lembaran surat kabar yang tampak usang. Meski tampak santai, pikirannya melayang jauh, seakan setiap baris kata mengusik jiwanya yang baru saja mendapatkan status baru.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh keakraban terdengar dari pintu ruang tamu. Helena, kepala pelayan yang selama ini setia mengurus setiap detil kehidupan di Manor, melangkah masuk dengan senyum sopan. Dengan nada ramah, Helena berkata,"Duchess, Anda tampak fokus dengan surat kabar, ada yang menarik?"Atthy mengalihkan pandangan dari surat kabar dan tersenyum tipis sambil menjawab,"Tidak juga... aku membaca untuk menghabiskan waktu..."Helena mengangguk, lalu bertanya lagi,"Apakah Anda bosan?"Atthy merenung sejenak, lalu menghela napas lembut,"Entah... aku tidak tahu."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan sebelum Atthy, dengan sua
**Bab 025 Mengamamati**Di ruang kerja yang sederhana namun tertata, Cavero duduk di mejanya sambil membaca surat resmi yang baru saja diterima. Surat itu—yang telah melalui saluran komunikasi resmi dan mendapat persetujuan dari Hugh—memberikan kabar singkat mengenai situasi Aldor di Skythia yang berpotensi mempengaruhi kondisi pelabuhan.Di luar, suasana pelabuhan tampak tenang, tetapi Cavero tahu bahwa ketegangan sedang mengendap di bawah permukaannya. Kapal-kapal dagang berlabuh seperti biasa, tetapi ada terlalu banyak pergerakan yang tak wajar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam sebelum tatapannya kembali ke surat di tangannya.Tak lama kemudian, ajudannya yang paling dipercaya, Dani, masuk dengan langkah tenang dan menyampaikan, "Putra Mahkota, laporan terbaru dari pos pengawasan menunjukkan peningkatan aktivitas penyusupan di dermaga. Semua langkah keamanan telah diperiksa ulang sesuai arahan Duke Griffith."Cavero menatap Dani dengan ketenangan pe
**Bab 024 Integritas**Atthy termenung memikirkan cerita yang sampai kepadanya melalui Ayahnya dan Ay. Dia memikirkan, kenapa cerita yang beredar di kalangan masyarakat Nauruan mengenai Grand Duke Griffith berbeda dengan yang baru saja dia dengar dari Lily.''Duchess!'' panggil Lily yang mulai bingung karena Atthy terdiam dengan wajah serius memikirkan sesuatu.''Hm,'' sahut Atthy dengan alis mata naik menanggapi Lily, ''Tidak, aku... hanya sedang memikirkan beberapa hal.''''Eumh, apa ada lagi yang mau Duchess tanyakan?''Atthy menatap wajah Lily dengan seksama sebelum menjawab pertanyaan Lily.''Lily, apa kau bahagia bekerja di penampungan itu?''Kali ini Lily yang tidak segera menjawab pertanyaan Atthy. Dia sempat terdiam sesaat sebelum dengan serius menjawab pertanyaan Atthy.''Maafkan saya Duchess,'' ujar Lily kemudian.Atthy memiringkan kepalanya dengan wajah bingung mendengar Lily malah meminta maaf kepadanya.Lily, menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kembali uca
**Bab 023 Griffith**Beberapa waktu setelah kejadian dengan trio viscountess, Atthy duduk setengah bersila di kalang jendela sambil memegang buku yang dia tidak tahu apa isinya. Dengan mata yang sedang melihat keluar jendela, menatap pemandangan yang sangat asing baginya, pikirannya sibuk merenungkan banyak hal dengan sebelah kakinya yang menggantung bergoyang-goyang.''Haruskah aku?!''''Tapi, dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padaku...''''Meskipun... itu semua dilakukannya karena ada urusan mendadak.''''Tapi... pernikahan ini juga mendadak untukku. Lalu, sekarang aku harus bagaimana?''''Bagaimana menjelaskannya pada Ayah... pada Kakek... pada Ay...''Atthy bergumam dengan serius, melontarkan berbagai kalimat penuh dengan pertanyaan, saking seriusnya dia lupa kalau saat ini dia memakai gaun dan berada di Manor. Meski tidak ada aturan tertulis, tapi tentunya sebagai seorang lady, postur duduk yang dilakukan Atthy terkesan tidak biasa.''Duchess...''''Duchess...''Bebe
**Bab 022 Tiga Orang Tamu**Sudah dua hari sejak Hugh meninggalkan Manor untuk inspeksi wilayah sekaligus melihat perkembangan pembangunan Kastil Skythia. Awalnya Alwyn ingin mengutamakan membangun jalur kereta dan sebuah stasiun untuk mencapai wilayah terdalam di Skythia. Tapi, Hugh menegaskan untuk mendahulukan pembangunan Kastil di banding dengan jalur kereta. Alasannya adalah karena Skythia baru saja di taklukan dan kemungkinan kelompok kontra masih bergerilya di Skythia. Maka dari itu pertahanan di pusat wilayah Skythia harus diprioritaskan.Perdebatan pembangunan kastil sebagai pusat pertahanan dan rel kereta sebagai akses transportsi untuk memudahkan pendistribusian segala keperluan di Skythia berlangsung cukup alot. Bukan hanya karena Skythia wilayah baru dan sebagian besar hancur akibat perang, tapi dana yang ada masih harus di perhitungkan untuk keperluan di sana sini. Belum lagi Hugh yang selalu absen karena panggilan darurat membuat pengesahan perencanaan pembangunan kasti
**Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem
**Bab 020 Aldor**Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan."Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung ke
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang