**Bab 005: Utara dan Selatan**
Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.
Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.
Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.
Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.
Awalnya, perdagangan garam dan kulit binatang di Caihina dikuasai oleh pembesar-pembesar Nauruan. Namun, sejak Rowt mendapat gelar Baron, ia memperoleh akses kekuasaan atas jalur perdagangan, dan perlahan, monopoli perdagangan hasil bumi Caihina mulai berubah. Masyarakat Caihina akhirnya dapat menikmati hasil jerih payah mereka, baik dari menambang garam maupun mengolah kulit binatang. Namun, keberhasilan ini membuat Rowt dibenci oleh kalangan aristokrat, sebab kesuksesan itu mengancam dominasi mereka. Melihat kondisi ini, Rowt tetap mempertahankan gelar Baronnya meski harus membayar pajak tinggi.
Bagi para aristokrat, kejadian seperti ini menjadi pelajaran berharga. Mereka melihat Rowt—seorang rakyat jelata yang menjadi bangsawan—sebagai ancaman. Sejak saat itu, mereka terus mewaspadai dan menghalangi setiap usaha Rowt untuk bangkit kembali.
Meskipun Rowt dan Ash berjuang keras melawan elit bangsawan yang terus menekan mereka, mereka tak pernah menyerah. Mereka berusaha agar perdagangan Caihina tetap berjalan, meski harus menghadapi kondisi perbatasan yang semakin berbahaya, terutama di hutan yang berbatasan dengan Nauruan. Setiap kali dagangan mereka terkumpul, baik Rowt maupun Ash selalu ada di depan untuk memimpin perdagangan. Dan lebih membanggakan lagi, Atthy dan Ay pun mulai mengikuti jejak mereka.
Menjadi penambang garam, pemburu, pandai besi, dan pedagang adalah pekerjaan sehari-hari bagi keluarga Rowt. Bahkan Atthy, sebagai wanita, ikut terjun mengerjakannya. Bukan hanya keluarga Rowt, tetapi sebagian besar masyarakat Caihina menjalani hidup serupa. Pekerjaan ekstrem seperti berburu dan menjadi pandai besi bahkan dilakukan oleh wanita seperti Atthy. Ini bukan hal luar biasa di Caihina, sebab banyak remaja wanita Caihina lainnya yang dibesarkan dengan didikan keras. Sejak usia sembilan tahun, anak laki-laki sudah bisa berburu secara mandiri, sementara remaja wanita baru bisa berburu bersama saudara laki-laki atau ayah mereka setelah mereka berusia tiga belas tahun. Tradisi ini sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Caihina.
Gurun dan sabana adalah wilayah yang keras dan tidak mengenal ampun. Tak hanya dibutuhkan fisik yang kuat, tetapi juga mental yang kokoh untuk bertahan hidup di tempat seperti ini. Karena itulah, wanita-wanita Caihina dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berwibawa, tidak kalah dengan para pria. Meski wilayah ini terkenal dengan iklim yang terik, masyarakatnya tidak menjadi keras. Justru, mereka sangat terbuka dan saling membantu satu sama lain.
Sebagai seseorang yang pernah berada di dunia sosialita bangsawan, Rowt sangat mengerti betapa pentingnya pendidikan. Meskipun hidup dalam kemiskinan, dia yakin bahwa belajar adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Pengalaman hidupnya yang penuh liku itulah yang membuat Rowt berhasil mendidik anak cucunya, meski hanya dengan pendidikan dasar. Ash, yang pernah mengenyam pendidikan akademi hingga lulus, memiliki pemahaman yang lebih luas dan memudahkannya untuk menikahi Laura. Pendidikan yang dimiliki Ash juga yang membuatnya mampu melawan intimidasi para bangsawan, aristokrat, atau pun pembesar-pembesar yang masih suka mengganggu masyarakat Caihina, khususnya pedagang, dengan mengatasnamakan hukum pemerintahan.
Atthy, meski tidak mengenyam pendidikan formal, mendapat pendidikan dasar seorang bangsawan dari ibunya yang dulu merupakan guru etiket sebelum menikah dengan Ash. Pendidikan tersebut menjadi bekal bagi Atthy untuk menjalani hidup meskipun dalam kesulitan.
Namun, saat ini Atthy belum memiliki keinginan untuk menikah. Di satu sisi, dia merasa terikat pada keluarganya yang membutuhkan, terutama Gafy. Keinginan adiknya untuk melihat dunia lebih luas membuat Atthy mulai mempertimbangkan masa depannya. Meskipun demikian, dia tahu bahwa kehidupannya tidak semudah yang dibayangkan Gafy.
Atthy sangat menyadari betapa kerasnya hidup mereka. Keluarganya memang bahagia meski hidup serba kekurangan, tetapi dia juga tahu bahwa kenyataan yang mereka hadapi jauh lebih sulit daripada yang tampak di luar. Namun, yang lebih mengkhawatirkannya adalah kesehatan Gafy. Atthy merasa jika memiliki lebih banyak sumber daya, dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi adik-adiknya. Gafy dan Dimi berhak merasakan kehidupan yang lebih layak, dan Atthy berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan berusaha semampunya untuk mewujudkannya.
---
---
Alpen di utara tidak jauh berbeda dengan Nauruan di selatan. Kedua kota tersebut merupakan kota besar yang terletak di perbatasan Kerajaan Xipil, dan keduanya sangat dihindari oleh banyak orang karena medan dan kontur wilayahnya yang sangat berbahaya. Wilayahnya memang luas, namun banyak bangsawan yang enggan terlibat dalam urusan di Alpen, mengingat tingginya risiko konflik yang melibatkan wilayah-wilayah perbatasan kerajaan.
Namun, meskipun keduanya berbagi kesamaan dalam hal tantangan geografis, perbedaan mencolok antara Alpen dan Nauruan terletak pada siapa yang menguasainya. Alpen, yang beriklim dingin, dikuasai oleh seorang Grand Duke yang tegas dan berwibawa. Kepemimpinannya yang kuat menjaga stabilitas di wilayah tersebut meskipun sering kali dilanda potensi konflik. Sementara itu, Nauruan, yang memiliki iklim tropis hingga cenderung panas dan seharusnya bisa makmur dengan tanahnya yang subur, justru dilanda gejolak akibat penguasa yang sombong dan gemar berfoya-foya, yang lebih mementingkan kemewahan pribadi daripada kesejahteraan rakyatnya.
Pola kehidupan masyarakat di kedua wilayah ini pun sangat berbeda. Penduduk Alpen terkenal tenang dan teratur, seolah-olah hidup dalam harmoni dengan alam yang keras di sekitar mereka. Sebaliknya, Nauruan lebih semarak dan ramai, meskipun kenyataannya mereka jauh lebih miskin dibandingkan Alpen. Ketidakseimbangan ini sebagian besar disebabkan oleh Count Veraga yang selalu iri dengan kemewahan Xerces, ibu kota kerajaan yang berkilau. Untuk mengatasi rasa iri tersebut, Count Veraga penerima mandat kerajaan untuk mengurus Nauruan. Dia berusaha keras agar Nauruan bisa tampil serupa dengan megahnya Xerces, meski kondisi sosial dan ekonomi wilayahnya tidak mendukung. Sedangkan banyak bangsawan dan aristokrat yang merasa penilaian kerajaan tidak adil, akibatnya pemerintahan Nauruan kacau balau karena yang berkepentingan sibuk dengan kepentingan masing-masing dan tidak saling mempercayai.
Wilayah Alpen, meskipun sangat luas, bahkan puluhan kali lebih besar daripada Xerces yang glamor, tidak menjadikannya kota yang penuh dengan kemewahan. Kota Alpen adalah kota yang makmur, namun kemakmuran itu berasal dari hasil tambang mereka, seperti batu bara, emas, dan berlian. Meskipun Alpen terletak di ujung negara, jauh dari hiruk-pikuk dunia, mereka tidak tertinggal berkat kepemimpinan Klan Griffith yang terkenal dengan tangan dinginnya. Kepemimpinan yang penuh ketegasan namun juga bijaksana ini menjadikan Alpen tetap bertahan dalam stabilitas meski dikelilingi ketegangan dan konflik.
Alpen memang luas, tiga kali lipat lebih besar dari Nauruan, namun wilayah tersebut sangat berbahaya. Letaknya yang bersinggungan langsung dengan tiga negara yang hingga kini masih enggan meraih perdamaian, menjadikannya wilayah yang rawan. Alpen, Skythia, dan Kargavs adalah tiga wilayah yang masih diperebutkan oleh enam kerajaan besar. Perang perebutan wilayah ini sudah berlangsung lebih dari dua abad, sejak era kepemimpinan Grand Duke Griffith generasi sebelumnya yang secara tegas dan mutlak menguasai Alpen setelah mengalahkan Zorthen dan Karzeth. Hingga saat ini telah menjaga Alpen dan Klan Griffith tetap mengendalikan wilayah ini dengan penuh kewibawaan.
---
---
Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.
Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.
Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring dan suara napas yang tertahan. Atthy menggenggam erat ujung pakaiannya, merasa tekanan di dadanya semakin berat. Namun, ia tahu bahwa ia harus mengatakannya sekarang, sebelum keberaniannya goyah.
"Ayah, Kakek," panggilnya, suaranya terdengar mantap meskipun ada ketegangan yang terselip di dalamnya. "Aku sudah memikirkan mengenai lamaran pernikahan itu."
Ash, yang semula hanya menikmati sarapannya dengan diam, langsung mengangkat wajah. Sorot matanya tajam, penuh dengan evaluasi. "Atthy, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik!" serunya, suaranya sarat dengan kekhawatiran. "Baru semalam kami memberitahumu... Tidak ada keharusan untuk memutuskan secepat ini."
Atthy menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Ayah... Aku tidak tahu apakah keputusan ini terlalu terburu-buru atau tidak. Tapi, Ayah, aku merasa sudah memikirkannya dengan matang, dan aku memutuskan untuk menerima lamaran pernikahan itu."
Rowt, yang sejak tadi diam, kini menatap cucunya dengan serius. Tatapan pria tua itu tidak menyiratkan kemarahan, melainkan sorot tajam yang menguji keyakinan Atthy. "Atthy, kau yakin dengan keputusanmu?"
Atthy menelan ludah, tapi matanya tetap teguh. "Eum," jawabnya sambil mengangguk. "Ayah, Kakek... Seperti yang kalian katakan, ini adalah kesempatan langka. Lagi pula, dia seorang Grand Duke yang sangat disegani, dengan wilayah besar seperti Alpen..." Ia mengucapkannya dengan keyakinan yang dibuat-buat, meskipun ada sedikit kegelisahan yang mengintip di balik matanya.
Rowt tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah mencari celah dalam keyakinan cucunya. "Atthy, apa kau yakin tidak mau memikirkannya lagi?" tanyanya sekali lagi, suaranya dalam dan penuh tekanan. "Masih ada waktu sebelum kita memberikan jawaban."
Atthy menatap wajah ayah dan kakeknya satu per satu, memastikan mereka melihat keteguhan dalam dirinya. "Ayah dan Kakek memintaku untuk memikirkannya, dan aku sudah melakukannya. Keputusan ini aku ambil setelah semalaman berpikir." Ia berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih lembut, "Tapi... seandainya nanti kalian menemukan bahwa dia bukan pria yang baik untukku, aku akan menerima keputusan kalian. Kalian bisa menolaknya tanpa harus bertanya padaku."
Suaranya terdengar kuat, tetapi di balik ketegasannya, ada sesuatu yang tidak terucapkan—sebuah ketakutan halus yang berusaha ia sembunyikan. Ia mencoba memberi ruang untuk keputusan keluarganya, meskipun hatinya sudah mantap dengan pilihannya.
Rowt dan Ash saling berpandangan. Keheningan yang menyelimuti ruangan itu terasa semakin berat. Mereka mengenal Atthy dengan baik—anak ini tidak akan mengatakan sesuatu dengan setengah hati. Namun, keputusan ini bukan sesuatu yang bisa diambil dengan mudah.
Di tengah keheningan itu, Atthy kembali melanjutkan makannya dengan tenang, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang berselimut dalam dirinya. Tapi, meskipun ia terlihat tenang di luar, dadanya terasa sesak.
Ia tahu, keputusannya hari ini akan mengubah hidupnya selamanya.
''Baiklah kalau itu keputusanmu,'' ujar Ash, menatap lama wajah putrinya. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, tetapi ia tahu Atthy sudah memutuskan dengan tekad yang bulat. Dalam diam, ia merenungkan semua kemungkinan yang akan datang, sementara Atthy memandangnya dengan keyakinan. Begitu banyak yang dipertaruhkan, dan ia tak ingin Atthy merasakan beban keputusan ini sendirian.
''Atthy, kuharap ini akan jadi keputusan terbaik untukmu...'' ujar kakeknya, Rowtag, dengan suara berat, sambil menepuk kepala Atthy dengan lembut. Ada kehangatan dalam sentuhannya, namun juga kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan. Usianya sudah lanjut, tetapi semangatnya tetap menyala, meski ia tahu setiap langkah Atthy membawa mereka lebih jauh dari kenyamanan yang mereka kenal.
Atthy tersenyum tipis, meski di dalam hatinya, ia merasa seolah ada gumpalan ketegangan yang mengganjal. ''Terima kasih, Kek...'' jawabnya, matanya sedikit berkilau, namun senyumnya mengandung sedikit keraguan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.
Ash bangkit dari sofa tua di ruang keluarga dengan gerakan cepat, memutus keheningan yang menggantung. ''Baiklah...'' ujarnya, suaranya penuh perintah yang biasa terdengar di rumah ini, meskipun ada kecemasan yang masih mengerling di matanya. ''Ay, kabari yang lain. Kita akan melakukan konvoi!''
''Baik, Ayah,'' jawab Ay dengan suara tegas, tetapi ada kerutan tipis di dahinya, menandakan pikirannya melayang, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu betul keputusan ini bukan hanya soal bisnis. Ini adalah keputusan yang bisa mengubah hidup mereka, terutama kakaknya.
''Kak, aku akan membantumu,'' ujar Dimi dengan wajah semringah, langsung mengejar kakaknya. Meskipun ceria, ada kilatan kecemasan di matanya yang tak terucapkan, merasa terjebak di antara rasa hormat pada keputusan Atthy dan kecemasan yang menggelayuti hatinya.
''Baiklah, aku mempersiapkan barang dagangan kita,'' ujar Atthy dengan keyakinan yang ia coba tunjukkan, meski di dalam hatinya, ada suara kecil yang bertanya-tanya apakah ia telah membuat keputusan yang tepat. Dia berpamitan pada kakeknya dan juga Gafy yang sudah mulai sibuk dengan meja makan.
''Kak, aku akan segera membantumu setelah aku membereskan meja makan...'' sahut Gafy dengan semangat, dan Atthy mengangguk dengan senyum di bibirnya. Melihat adik bungsunya begitu penuh semangat sedikit membantu meredakan ketegangan di hatinya, meskipun dia tahu, keputusan besar sedang menunggu mereka di luar sana.
Namun, dalam diam, Atthy merasakan ketegangan yang semakin menggelayuti pikirannya. Keputusan ini bukan hanya tentang pernikahan. Ini adalah pintu yang akan membawanya ke dunia yang jauh lebih besar, dengan potensi bahaya yang tak terlihat. Meskipun ia mencoba menenangkan dirinya dengan senyum, di balik tatapannya, ada ketidakpastian yang menyelimuti hati kecilnya. Apa yang akan terjadi setelah ini?
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 006: Keputusan**Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi
**Bab 007 Dengki**Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak."Jadi, apa yang h
**Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu
**Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
*Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke
**Bab 011 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
**Bab 012 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 013 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap
**Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."
**Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana
**Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya
**Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala
**Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema
**Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany
**Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil
**Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya