Share

007 Dengki

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2024-11-08 19:02:42

**Bab 007 Dengki**

Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Davion, suara tegasnya mengisi ruangan. "Waktu kita terus berkurang, kakek. Musuh kita sudah bergerak. Kita harus bertindak sekarang."

Margrave menarik napas dalam-dalam, suaranya tenang, namun penuh perhitungan. "Kesabaran adalah kunci, Davion. Jika kita bergerak terlalu cepat, kita akan memberi mereka kesempatan untuk menyerang dulu. Tidak ada yang lebih bodoh daripada bertindak gegabah hanya karena terburu-buru."

Davion membalas dengan tatapan tajam, namun dia tahu bahwa berbicara lebih keras tidak akan mengubah sikap kakeknya. "Tapi kita tidak bisa terus menunggu. Musuh kita pasti sedang memperhitungkan langkah kita, kakek. Jika kita menunggu terlalu lama, kita akan terlambat."

Margrave tidak terganggu. "Kita akan bergerak, tapi kita akan melakukannya dengan cara yang tepat. Tidak ada keuntungan dalam bertindak sebelum waktunya tiba. Semua tindakan kita harus terencana dengan sempurna."

Davion mulai berjalan mondar-mandir, gerakannya menggambarkan ketidakpuasan yang sudah lama terpendam. "Pernahkah kau berpikir, kakek, bahwa mungkin kita sudah terlalu lama merencanakan dan tidak cukup banyak bertindak? Semua kesempatan kita bisa menguap begitu saja."

Margrave tetap duduk, tidak tergoyahkan. "Pemikiranmu terlalu sempit, Davion. Dunia ini bukan tempat untuk bertindak sembarangan. Kita harus berhati-hati dengan setiap langkah kita. Setiap keputusan harus dipertimbangkan dengan matang, karena kesalahan kecil bisa membuat kita kehilangan semuanya."

Davion berhenti sejenak, menatap kakeknya dengan tatapan penuh tantangan. "Tapi, kakek, kadang-kadang kita harus bertindak meski belum semuanya jelas. Jika kita terus menunggu, orang lain akan mengambil alih."

Margrave hanya mengangkat alisnya, sedikit tersenyum. "Orang lain selalu berusaha mengambil alih. Tapi, hanya mereka yang sabar yang akan menang pada akhirnya."

Suasana itu kembali menjadi hening. Davion berdiri diam, namun di dalam hatinya, amarah dan frustrasi terus membara. Dia tahu bahwa apa yang dikatakan kakeknya mungkin benar, tapi kadang-kadang, untuk mencapai kekuasaan yang mereka inginkan, mereka harus siap bergerak lebih cepat. Terlalu banyak menunggu bisa berarti kehilangan segalanya.

Namun, Margrave tidak tampak terpengaruh. Matanya masih tertuju pada Davion, penuh perhitungan, penuh ketenangan. "Jika kita bergerak terlalu cepat, kita memberi mereka kesempatan untuk menyerang. Sabar adalah keunggulan yang tidak dimiliki oleh mereka yang terburu-buru."

Davion mendengus. "Kau selalu mengatakan itu, kakek. Tapi apa jadinya jika kita terus menunggu, dan mereka yang lebih cepat bertindak justru yang mendapatkannya? Apa yang akan kita lakukan kemudian?"

Margrave menatap cucunya dengan mata yang penuh teka-teki. "Kita akan bertindak, Davion. Namun, kita akan melakukannya dengan cara yang lebih baik, lebih halus, lebih terencana. Kita akan bergerak pada waktu yang tepat."

Davion menatap keluar jendela, jantungnya berdebar kencang. Dia merasa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang hilang. Tetapi, dia tahu, Margrave selalu memiliki rencana. Hanya saja, rencana itu selalu datang dengan harga yang harus dibayar. Dan itu adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai kekuasaan yang mereka inginkan.

Di luar sana, dunia terus bergerak. Tapi di dalam ruangan ini, Margrave dan Davion tahu bahwa ketegangan ini belum akan berakhir. Pertarungan kekuasaan mereka baru saja dimulai, dan tidak ada yang tahu siapa yang akan menang pada akhirnya.

Ruangan itu terasa semakin berat dengan setiap kata yang terucap. Margrave tetap duduk dengan sikap tenang, seakan tak terganggu oleh beban yang ada. Sebaliknya, Davion berdiri, gelisah. Setiap gerakan tubuhnya tampak penuh ketegangan, seperti seseorang yang tak sabar menunggu untuk bergerak, namun dibatasi oleh sesuatu yang tak terlihat.

"Athaleyah Galina," kata Margrave perlahan, suaranya penuh pertimbangan. "Dia adalah bagian dari rencana kita. Kau tahu betul apa yang kita harapkan dari pernikahan itu."

Davion mengangguk, matanya bergerak cepat, penuh rasa penasaran dan keraguan. "Aku tahu, kakek. Kita sudah membicarakan ini berkali-kali. Tetapi... kita akan menunggu lebih lama lagi? Kita tahu betul dia hanya ada dalam rumor. Kita belum tahu siapa sebenarnya dia."

Margrave memandang cucunya dengan tatapan yang tajam dan tenang. "Kita sudah cukup tahu, Davion. Tidak perlu terburu-buru. Perjalanan ini butuh waktu, dan kita harus bermain dengan hati-hati. Kita tidak bisa langsung bertindak hanya karena kita merasa sudah tahu segalanya."

Davion mengerutkan kening, tak bisa menahan rasa frustrasinya. "Kakek, kita harus bergerak cepat. Waktu tidak akan menunggu kita. Jika kita hanya menunggu, kita akan tertinggal. Sementara itu, setiap langkah yang kita ambil sekarang bisa menjadi penentu bagi masa depan kita."

Margrave tersenyum samar, namun tatapannya tetap tajam. "Terlalu banyak terburu-buru akan membunuh kita lebih cepat daripada jika kita berhati-hati. Kita sudah membuat rencana dengan sangat matang. Jika kita terburu-buru, kita mungkin hanya akan memperburuk keadaan."

Davion merasa darahnya mendidih. "Aku mengerti kalau kamu suka memikirkan segala hal dengan hati-hati, Kakek. Tapi kita bukan sedang bermain catur. Ini masalah kekuasaan dan posisi kita di depan Duke Hugh dan seluruh kerajaan."

Margrave menundukkan kepalanya sejenak, kemudian berbicara dengan suara rendah namun dalam. "Kita tidak sedang bermain catur, Davion. Tapi dalam banyak hal, permainan ini sama seperti itu. Setiap gerakan harus dipikirkan dengan cermat. Salah langkah, kita bisa jatuh."

Davion tampaknya tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang semakin besar. "Aku paham itu, Kakek. Tetapi aku merasa ada yang lebih penting di sini—sesuatu yang kita butuhkan untuk memastikan kontrol kita tetap kuat. Jangan beri kesempatan bagi orang lain untuk mendahului kita."

Margrave mengangguk, namun ekspresinya tetap tidak berubah. "Kita akan terus memantau. Aku tahu betul kelebihan yang dimiliki Athaleyah. Mungkin dia tampak seperti sekadar rumor, tetapi dia lebih dari itu. Dia adalah ancaman yang perlu kita waspadai."

"Ancaman?" tanya Davion dengan suara lebih keras, tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. "Kakek, apakah kita memang harus menunggu sampai sesuatu yang buruk terjadi? Mengapa tidak kita lakukan sesuatu lebih cepat?"

Margrave menatap cucunya dengan serius. "Tidak, Davion. Kita akan memanfaatkan situasi ini dengan bijak. Perhatian kita saat ini adalah memahami seluruh gambarannya. Ini lebih dari sekadar pernikahan atau hubungan politik. Ini adalah soal menguasai kekuasaan yang lebih besar."

Keheningan menyelimuti ruangan. Davion merasa ada ketegangan yang lebih dalam di balik setiap kata kakeknya. "Kakek, aku tidak bisa diam saja. Jika kita tidak bertindak, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengendalikan situasi ini."

Margrave berdiri dengan perlahan, mengamati Davion yang masih penuh amarah. "Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Ingatlah, Davion, kita mengukur setiap langkah kita dengan teliti. Dalam dunia ini, bukan siapa yang bertindak lebih cepat yang menang, tetapi siapa yang bertindak lebih bijak."

Davion menarik napas panjang, akhirnya bisa menahan emosinya yang berkecamuk. Dia tahu kakeknya benar, tapi dia tetap merasa ada urgensi yang tak bisa dibiarkan begitu saja. "Baiklah, Kakek. Tapi kita harus memastikan kita selalu satu langkah lebih maju dari yang lain."

Margrave menatap cucunya sekali lagi, kemudian menunduk dengan senyum samar. "Kita selalu satu langkah di depan, Davion. Hanya saja, kadang-kadang kita harus memberi ruang untuk langkah itu berkembang dengan sendirinya."

Langit di luar kamar pribadi Grand Duke Margrave mulai cerah setelah hujan lebat semalaman. Sisa-sisa badai meninggalkan embun yang menggantung di udara pagi. Namun, suasana di dalam ruangan tetap dingin, seolah mencerminkan ketegangan antara dua penghuni kamar itu.

Davion berdiri di dekat jendela besar, memandangi pemandangan luas wilayah timur. Punggungnya tegak, tetapi tangannya mengepal, mencerminkan frustrasi yang sudah lama ia pendam. Margrave duduk di kursi besar dekat perapian, memutar cincin di jarinya, seperti kebiasaannya ketika sedang berpikir.

"Kau tidak mendengarkanku," Davion akhirnya membuka suara, nadanya tajam. "Setiap hari kita menunggu, Cavero semakin memperkuat posisinya. Apa kau ingin aku tetap menjadi bayangan di bawahnya selamanya?"

Margrave mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Davion, aku selalu mendengarkan. Hanya saja, tidak semua hal perlu ditanggapi dengan segera. Kau terlalu terburu-buru."

Davion berbalik, matanya menatap tajam ke arah kakeknya. "Terlalu terburu-buru? Kau bahkan tidak mencoba! Aku sudah cukup bersabar, Kakek. Cavero harus dijatuhkan sekarang, sebelum semuanya terlambat."

Margrave menyandarkan punggungnya, lalu menatap cucunya dengan dingin. "Kau berbicara tentang kesabaran, tetapi kau belum belajar arti sebenarnya. Politik bukan pertempuran di medan perang, Davion. Ini tentang waktu dan kesempatan, bukan kemarahan dan dendam."

Davion mendekat ke meja, tangannya menghantam permukaan kayu dengan keras. "Ini bukan tentang politik, ini tentang hakku! Aku adalah putra Silvia, cucumu. Tahta itu seharusnya milikku. Tapi sekarang, Cavero mendapatkan segalanya hanya karena dia lahir lebih dulu dari ibu yang lebih rendah dari Silvia ibuku."

"Dan itulah yang membuatmu kalah," balas Margrave, suaranya tetap tenang tetapi tegas. "Amarahmu adalah kelemahan, Davion. Kau ingin Cavero kalah? Tunjukkan bahwa kau lebih baik darinya, bukan hanya lebih marah darinya."

Davion menghela napas kasar, lalu menjauh dari meja. Ia mulai berjalan mondar-mandir, sementara Margrave tetap tak tergoyahkan di kursinya.

"Apa rencanamu sebenarnya, Kakek?" tanya Davion akhirnya, suaranya mereda tetapi masih penuh tekanan. "Apa kau benar-benar ingin aku menang, atau kau hanya bermain permainanmu sendiri?"

Margrave berdiri perlahan, mendekati cucunya. "Davion, kau adalah pewaris yang aku pilih. Aku telah berjuang lebih lama dari yang kau bayangkan untuk memastikan kau memiliki kesempatan ini. Tapi jika kau tidak belajar mengendalikan dirimu, maka semua perjuanganku akan sia-sia."

"Jadi, aku hanya perlu menunggu?" Davion membalas, suaranya hampir berbisik. "Kapan, Kakek? Kapan aku akhirnya bisa mengambil tempatku yang seharusnya?"

"Ketika Cavero membuat kesalahan," jawab Margrave, menepuk bahu cucunya dengan pelan. "Dan percayalah, Davion, semua orang membuat kesalahan pada akhirnya. Kita hanya perlu memastikan bahwa kita siap untuk memanfaatkannya."

Davion tidak menjawab, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya puas. Margrave kembali ke kursinya, mengambil segelas anggur yang telah disiapkan di meja kecil di sampingnya.

"Tenanglah, cucuku," katanya sambil mengangkat gelasnya. "Permainan ini masih panjang, dan kita akan menang. Tapi hanya jika kau belajar untuk tidak membiarkan amarah menguasaimu."

Davion memandang kakeknya sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Margrave menghela napas pelan, menatap pintu yang tertutup di belakang cucunya.

"Waktu, Davion," gumamnya. "Waktu adalah senjata yang paling mematikan."

---

Di waktu yang berbeda

---

Hujan deras mengguyur malam itu, menghantam jendela besar di aula pertemuan Grand Duke Margrave. Lilin-lilin di dinding memancarkan cahaya temaram, membentuk bayangan gelap yang menari di sepanjang ruangan. Meja besar dari kayu ek berdiri megah di tengah aula, dengan ukiran rumit yang menggambarkan kejayaan keluarga Margrave. Namun, suasana di dalam ruangan lebih berat daripada badai di luar.

Grand Duke Margrave duduk di kursinya, mengenakan mantel tebal berwarna hitam dengan hiasan perak di kerahnya. Tangan kanannya perlahan memutar cincin di jari, sementara matanya yang tajam memindai wajah-wajah di sekeliling meja. Di hadapannya, tiga Count duduk dengan ekspresi berbeda: Markus Hazen tampak gelisah, Frendel Belatrix serius tetapi waspada, sementara Dalmar Yegev tersenyum tipis, nyaris sinis.

"Tuanku Grand Duke," Markus memulai, suaranya terdengar ragu. "Pengangkatan resmi Pangeran Cavero sebagai Putra Mahkota telah menyulitkan posisi kita. Jika raja mangkat dalam waktu dekat, Cavero akan naik tahta tanpa bisa diganggu gugat."

Margrave menatap Markus tanpa emosi, lalu mengangkat gelas anggurnya. "Aku tahu itu," katanya, nadanya rendah tetapi penuh bobot. "Kita sudah terlalu lama membiarkan raja bermain dengan bidaknya. Tapi seperti permainan catur, langkah terakhir akan menentukan segalanya."

Frendel Belatrix, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Dengan segala hormat, Tuanku. Saya setuju bahwa rencana harus matang, tetapi setiap hari yang kita lewatkan adalah kesempatan bagi Cavero untuk menguatkan posisinya. Kita harus memberikan pukulan pertama."

Margrave menyandarkan tubuhnya, seolah menikmati ketegangan yang muncul di antara sekutunya. "Pukulan pertama hanya berarti jika ia mematikan, Frendel. Dan untuk itu, kita perlu memastikan segalanya. Aku sudah menempatkan beberapa orangku di istana. Mereka akan memastikan bahwa Cavero tidak pernah merasa aman di tahtanya."

"Dan bagaimana dengan Ratu Silvia?" tanya Dalmar Yegev, senyum liciknya semakin lebar. "Maharani adalah aset terbesar kita. Jika dia memberikan dukungan secara terbuka, kita tidak perlu menunggu terlalu lama."

"Silvia tahu apa yang harus dilakukan," jawab Margrave singkat. "Dia sudah memainkan perannya dengan sempurna. Kita tidak akan mengungkapkan semua kartu kita sekaligus, Dalmar. Bahkan kau seharusnya tahu itu."

Dalmar tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. "Tentu saja, Tuanku. Saya hanya memastikan bahwa semua potensi kekuatan kita digunakan secara maksimal."

Markus, yang terlihat semakin gelisah, memandang Margrave dengan kerutan di dahinya. "Dan bagaimana jika rencana ini gagal? Apa yang akan terjadi pada kita?"

Margrave meletakkan gelas anggurnya perlahan di atas meja, menciptakan suara kecil yang terasa memekakkan di ruangan yang sunyi. "Markus, jika kau meragukan kemenangan kita, maka kau sudah kalah sebelum perang dimulai. Jika kau takut, maka diamlah. Ketakutanmu tidak ada gunanya di sini."

Markus menundukkan kepala, wajahnya memerah. Frendel tampak berpikir keras, sementara Dalmar menyembunyikan seringainya di balik tangan.

"Cavero mungkin tampak kuat di atas kertas," lanjut Margrave, suaranya kembali tenang. "Tapi dia hanyalah bidak lain di papan ini. Kita akan membuatnya runtuh, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan waktu. Biarkan dia merasa aman, lalu kita serang saat dia tidak menduganya."

"Baiklah," kata Margrave akhirnya. "Kita sudah cukup berbicara. Lakukan apa yang sudah aku instruksikan. Dan ingat, setiap langkah harus terencana. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Para Count berdiri satu per satu, memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan. Ketika pintu terakhir tertutup, Margrave duduk kembali dan menatap peta besar kerajaan yang tergantung di dinding. Tangan kirinya menyentuh dagunya, sementara senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Permainan baru saja dimulai," gumamnya.

---

---

Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.

Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang penuh dominasi.

“Apa yang kau pikirkan tentang Darius?” suara Margrave terdengar tenang, hampir tak tergoyahkan. Ia tidak terburu-buru untuk mendapatkan jawaban. Setiap kata yang diucapkannya bagaikan senjata tersembunyi, menghantam tepat sasaran tanpa kesan tergesa-gesa. Margrave sudah mengenal betul cara membaca orang, bahkan lebih cepat daripada kebanyakan orang yang bertemu dengannya.

Davion, meski menahan diri, tak bisa menahan dorongan untuk segera memberikan jawabannya. "Dia licik, Kakek. Tapi kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa Darius adalah alat yang harus diperhitungkan. Dia memiliki koneksi yang luas dan tidak ragu untuk menggerakkan semua kekuatan itu untuk keuntungan dirinya sendiri. Kita tidak bisa terlalu mengandalkannya."

Margrave menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, matanya tetap tajam menatap cucunya. “Dan kau merasa kita harus berhadapan dengan Darius secara langsung, tanpa menunggu langkah-langkahnya yang lebih jauh?”

Davion menundukkan kepala sejenak, mengatur pikirannya sebelum menjawab dengan tegas. "Aku rasa kita harus segera ambil langkah. Terlalu banyak yang bergantung pada siapa yang bisa mendapatkan posisi terbaik di ibu kota. Jika kita menunggu terlalu lama, kita mungkin akan kehilangan kesempatan."

Margrave tersenyum tipis, senyum yang tak terlihat mengancam, namun mengandung peringatan yang dalam. “Kesempatan, ya? Tapi ingat, Davion, kesempatan bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Kita harus menunggu saat yang tepat, mengendalikannya dengan tenang. Terlalu cepat bergerak akan membuat kita kehilangan pijakan.”

Davion merasakan dorongan yang kuat untuk melawan, namun menahan diri. "Tapi Kakek... kita juga tidak bisa terlalu lambat. Keluarga Galina—terutama Athaleyah—mereka sudah mulai bergerak. Dan Viscount tentu tahu itu."

Margrave menatap cucunya, seolah menilai kembali kata-kata itu. “Athaleyah, memang. Kita tahu lebih banyak tentang mereka dibandingkan yang mereka kira. Tapi kau harus mengingat bahwa keluarga Galina adalah perangkap yang lebih rumit dari sekadar ambisi mereka. Mereka penuh dengan jebakan tersembunyi.”

Davion meluruskan duduknya, gelisah. "Dan Baron Galina? Dia hanya seorang pria pengecut dengan mulut besar, tapi—"

Margrave mengangkat tangan, memberi tanda agar Davion berhenti berbicara. “Baron Galina adalah alat. Tidak lebih dari itu. Darius menggunakan dia untuk menutupi langkah-langkahnya yang lebih besar, itu yang perlu kita waspadai. Tapi... Athaleyah, dia lebih dari sekadar alat. Kau benar-benar harus berhati-hati dengannya.”

Suara Margrave penuh dengan peringatan yang tak langsung. Ada ketegangan yang lebih dalam dari sekadar strategi—sebuah intuisi yang datang dari pengalaman panjang. Davion menelan ludah, merasakan cemas yang terpendam.

"Jadi... apa yang harus kita lakukan sekarang?" Davion akhirnya bertanya, suaranya lebih penuh tekad, namun masih terkesan terburu-buru.

Margrave menatap cucunya dengan mata yang hampir tak terbaca. "Kita tunggu... Tunggu langkah mereka yang terlalu percaya diri. Tapi saat itu datang, kita akan bergerak dengan kekuatan yang tak mereka duga."

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJEMPUT ISTRIKU   008 Billy Kutcher

    **Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu

    Last Updated : 2024-11-15
  • MENJEMPUT ISTRIKU   009 Stela, Bela, dan Rosa

    **Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p

    Last Updated : 2024-11-22
  • MENJEMPUT ISTRIKU   010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt

    *Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke

    Last Updated : 2024-11-29
  • MENJEMPUT ISTRIKU   011 Perjalanan

    **Bab 011 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum

    Last Updated : 2024-12-06
  • MENJEMPUT ISTRIKU   012 Kegundahan

    **Bab 012 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek

    Last Updated : 2024-12-13
  • MENJEMPUT ISTRIKU   013 Dokter Sarah Windfold

    **Bab 013 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn

    Last Updated : 2024-12-20
  • MENJEMPUT ISTRIKU   014 Duke Hugh Griffith

    **Bab 014 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn

    Last Updated : 2024-12-27
  • MENJEMPUT ISTRIKU   015 Alwyn dan Helena

    **Bab 015 Alwyn dan Helena**Alwyn sibuk berkutat dengan tumpukkan dokumen di ruang kerjanya ketika pintu diketuk. "Masuk," ujarnya, tanpa menoleh.Helena melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang di belakangnya. Helena mengangguk memberi salam kepada Alwyn. Dia melihat wajah Alwyn yang tampak lelah, tetapi matanya tetap memancarkan perhatian yang tajam. "Nyonya Helena, saya butuh laporan terkini mengenai distribusi persediaan musim dingin."Helena menoleh, menatapnya dengan senyum tipis. "Tentu, Tuan Alwyn. Saya sudah membawanya." Ia memberikan sebuah map yang dia bawa, tetapi kemudian berhenti, menatap Alwyn sejenak sebelum menyerahkan dokumen itu."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?" tanya Alwyn, nada suaranya tenang, tetapi mengisyaratkan bahwa ia menyadari ketidaklaziman dalam sikap Helena.Helena mengangguk pelan. "Ini tentang Lady Athaleyah."Wajah Alwyn sedikit berubah, meski ia berusaha tetap tenang. "Apa yang ingin Anda sampaikan?"Helena meletakkan map di meja, mengat

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   058 Kendali Diri

    **Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap

  • MENJEMPUT ISTRIKU   056 Konspirasi Tiga Pelayan

    **Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."

  • MENJEMPUT ISTRIKU   056 Terang dan Gelap

    **Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana

  • MENJEMPUT ISTRIKU   055 Hugh dan Alwyn

    **Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya

  • MENJEMPUT ISTRIKU   054 Pergolakan Batin

    **Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala

  • MENJEMPUT ISTRIKU   053 Perdebatan Hugh dan Atthy

    **Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema

  • MENJEMPUT ISTRIKU   052 Menyambut Prajurit

    **Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany

  • MENJEMPUT ISTRIKU   051 Kebenaran Atthy

    **Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil

  • MENJEMPUT ISTRIKU   050 Hadiah

    **Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status