**Bab 007 Mencurigakan**
---
Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali.
"Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash.
"Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar.
"Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja.
"Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya.
"Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "Itulah yang tertulis di situ."
"Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa.
"Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu," ujarnya, menyertai kalimat itu dengan nada penuh canda.
Dengan lemas, Ash merosot dan jatuh ke kursi panjang di hadapan ayahnya. Tubuhnya terasa lemah, masih terperangkap dalam ketidakpercayaan yang mendalam.
---
Malam itu, setelah makan malam selesai, Ash meminta semua orang, termasuk keempat anaknya, untuk berkumpul membicarakan sesuatu. Aydan, adik lelaki Atthy yang berusia tiga belas tahun, duduk di sampingnya, bersebelahan dengan si kembar Dimi dan Agafya yang baru berusia delapan tahun. Agafya adalah saudara kembar Dimi yang memiliki tubuh lemah sejak kelahirannya. Laura, istri Ash meninggal tidak lama setelah melahirkan kedua anak kembarnya.
"Atthy, masalah yang akan kita bicarakan adalah tentang dirimu," ujar Ash, memulai pembicaraan dengan santai, meskipun matanya tetap fokus pada hidangan yang sedang dinikmatinya. Namun, ada ketegangan di balik nada santainya yang tak bisa disembunyikan.
"Ya, ayah..." jawab Atthy dengan sopan. Suaranya tenang, namun hatinya tidak bisa menahan gejolak. Dia merasakan kedalaman kata-kata ayahnya. Mungkin ini adalah momen yang akan mengubah hidupnya.
"Kau tahu tadi pagi ada surat dari Ibu Kota, 'kan?" tanya Ash, memastikan Atthy mengikuti.
Atthy mengangguk, namun rasa asing mulai mengisi pikirannya. Surat dari Ibu Kota... Sesuatu yang sudah lama tidak pernah menjadi bagian dari hidupnya yang sederhana di Caihina.
"Surat itu adalah surat lamaran pernikahan untukmu," lanjut Ash, kalimat itu mengambang di udara seolah mengguncang suasana yang tadinya damai.
Semua anak-anak Ash terkejut mendengarnya, begitu pun Atthy. Tidak ada yang bisa menyembunyikan keterkejutan di wajah mereka.
Atthy tahu tentang peraturan di kerajaan, namun yang dia rasakan bukan hanya sekedar kewajiban yang datang dengan usia, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya terasa sempit. Pernikahan bukan hanya tentang dua hati yang menyatu. Bagi Atthy, ini adalah pertanyaan tentang kebebasan, tentang keinginan untuk terus hidup seperti sekarang, di Caihina, jauh dari dunia yang rumit dan penuh aturan di Ibu Kota.
Begitu pula dengan pemikiran Ay, adik lelakinya yang selalu mengikuti ke mana pun ayahnya pergi, baik saat Ash bekerja di bengkel besi, berburu, atau berdagang di pusat kota. Aydan selalu jadi saksi bisu perjalanan kehidupan ayahnya, dan kini dia menyaksikan adiknya akan menghadapi jalan yang tidak bisa dia pilih.
"Kenapa, ayah?" seru Atthy terkejut, tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. Perasaan itu datang begitu mendalam, seolah ada beban besar yang mendesaknya untuk segera memberi jawaban.
Ash terdiam sejenak. Ada ragu di mata Ash, namun dia segera menenangkan diri. Wajahnya menatap Atthy dengan penuh perhatian, mencoba mencari cara untuk menyampaikan hal yang paling sulit.
"Atthy, aku tahu ini sangat mendadak... Kami tidak akan memaksamu, tapi kami ingin kau memikirkannya. Menurut kami, ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu," jelas Ash, dengan nada hati-hati yang mengandung harapan. Ada kehangatan, namun juga ketegasan yang tak bisa disangkal.
Kebijaksanaan Rowt dalam memimpin keluarga kini diteruskan kepada putranya, Ash. Tentu saja, Rowt memahami apa yang ada dalam benak putra semata wayangnya. Dia tahu betul bahwa keputusan ini akan sulit, tetapi dia juga tahu bahwa anaknya akan bisa menghadapinya dengan kebijaksanaan yang dia wariskan.
"Atthy, aku mengerti perasaanmu," kata Rowt dengan suara lembut namun penuh makna. "Tapi seperti yang ayahmu katakan, pikirkanlah baik-baik."
"Ayah... Aku belum ingin menikah, aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu," jawab Atthy dengan wajah serius, menanggapi dengan keberanian yang datang dari hatinya yang penuh keraguan.
Meskipun serius, Atthy tetap tenang menikmati makan malamnya. Sikap tenang itu bukan hanya diwarisi dari ibunya, tetapi juga merupakan warisan dari kakeknya. Atthy adalah tipe wanita yang sangat peduli pada keluarganya dan mengerti benar akan maruah bangsawan, berkat didikan tegas dari ibunya. Namun, meskipun begitu, dia tetap menjalani hidupnya dengan santai.
"Aku mengerti," kata Ash, suaranya lebih lembut. "Tapi, akan lebih baik jika kau memikirkannya dengan matang. Pikirkan baik-baik, Atthy! Setidaknya, ini memberi kesempatan hidup yang lebih baik daripada tetap tinggal di sini."
"Ayah, kakek..." panggil Atthy dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak pernah sekali pun membenci tempat ini. Aku lahir dan dibesarkan di sini, dan aku sangat menikmati kehidupan di Caihina," tambahnya dengan tegas, mengungkapkan isi hatinya yang penuh perasaan.
"Atthy, kakek sangat mengerti itu," sahut Rowt dengan suara lembut, memberikan dukungan penuh. "Tapi seperti yang ayahmu katakan, pikirkanlah baik-baik."
"Atthy, Ayah harap kau tidak salah paham tentang ini. Ayah memintamu untuk memikirkan ini bukan berarti kami memaksamu menerima lamaran pernikahan itu... Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan akan menjadi bagian dari hidupmu selamanya. Itu yang harus kau camkan! Pada akhirnya, kau yang akan menjalani kehidupan pernikahan itu. Ayah dan kakekmu tidak ingin kau hidup dalam keterpaksaan... Kita memang hidup di tempat terpencil, kita mungkin tidak punya banyak harta, tapi kita selalu menikmati hidup kita, dan itu tidak akan berubah," ujar Ash, dengan wajah serius dan tegas, mengungkapkan apa yang dia dan Rowt pikirkan. "Kami hanya ingin kau memikirkannya dengan matang. Ini memang kesempatan langka, tapi jika kau tidak menginginkannya, kami akan menghargai keputusanmu."
Ash, meskipun lebih keras dan tegas dibandingkan Rowt, tidak pernah menjadi otoriter dalam keluarga. Meskipun dia sempat merasakan pendidikan formal di akademi kerajaan, dia tetap bijaksana dalam mengambil keputusan.
"Baiklah... Aku akan memikirkannya lagi," jawab Atthy dengan tulus, matanya menunjukkan keputusan untuk merenung dan tidak terburu-buru.
Di sampingnya, Atthy bisa melihat mata Agafya yang berkilauan, menatapnya sejak Ash memberi tahu bahwa Atthy mendapat lamaran dari seorang bangsawan tinggi di Ibu Kota. Agafya tampak penuh harapan, seolah menginginkan kakaknya untuk menerima kesempatan ini. Namun, bagi Atthy, jalan yang terbentang di depan masih penuh dengan ketidakpastian.
---
Di tempat yang berbeda terlihat seorang ayah duduk di tepi meja, wajahnya serius, menatap anak perempuannya dengan penuh harap. "Kau harus menerima ini, anakku. Menikahlah dengannya. Ini akan mengubah hidupmu, dan hidup kita."
Anaknya menunduk, matanya penuh keraguan. "Tapi aku tidak bisa, Ayah. Beban ini terlalu berat untukku." Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan. "Aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini."
Ayahnya menghela napas, mendekat dengan suara lembut namun penuh tekad. "Kau tidak punya pilihan. Ini lebih besar dari kita. Kau akan melihat, setelah semuanya selesai, hidup kita akan berubah."
Anaknya menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Tapi... bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?"
Ayahnya meletakkan tangan di bahunya, memandangnya dengan penuh harapan. "Kau tidak akan gagal, anakku. Kau hanya perlu mengikuti rencana ini. Percayalah padaku."
---
---
Manor, di waktu yang berbeda. Sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di pojok ruangan, wajah mereka dipenuhi kecemasan.
Wanita itu menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut... kita tak bisa keluar dari ini."
Lelaki itu menghela napas panjang, matanya penuh kebingungan dan marah. "Kita terpojok, tak ada pilihan lain. Semua ini... karena dia." Ia menggenggam tangan wanita itu, seakan mencari kekuatan.
Wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit mundur, menahan kegelisahan. "Jika mereka tahu... kita tidak hanya kehilangan segalanya. Kita akan mati."
Lelaki itu menatap dengan tajam, wajahnya suram. "Kita sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan lain. Ini jalan yang sudah kita pilih, dan kita harus melanjutkannya."
Wanita itu mengangkat pandangannya, ketakutan menyelimuti. "Tapi... bagaimana jika kita tidak bisa mengendalikan semuanya? Jika ini berakhir buruk, kita akan dihancurkan."
Lelaki itu bangkit dengan langkah tegas, suara rendah namun penuh penekanan. "Kita tak punya pilihan. Tidak ada waktu untuk penyesalan. Kita harus melangkah. Ini satu-satunya jalan." Dia berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang gelap. "Kalau ini gagal... kita akan mati. Tapi kita harus maju, apapun yang terjadi."
---
**Bab 008 Pertimbangan**Setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar, mereka segera kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur. Rumah sederhana itu memiliki empat kamar. Rowt dan Ash masing-masing menempati kamar mereka sendiri, sementara Ay sekamar dengan Dimi, saudara kembar Agafya. Atthy dan Gafy, meskipun beda usia, tidur dalam kamar yang sama.Agafya, yang biasa dipanggil Gafy atau Gaff, dilahirkan dengan kondisi tubuh lemah. Namun meski begitu, Gafy selalu ceria dan cerewet. Ia adalah salah satu sumber kebisingan di rumah yang sunyi ini, terutama setelah Dimi yang selalu aktif, seolah-olah energi Gafy yang terbatas itu dipinjam oleh saudaranya yang penuh semangat.Malam itu, sambil membantu kakaknya melipat pakaian, Gafy tiba-tiba bertanya dengan mata berbinar, "Kak... Apa kakak akan menerimanya?"Atthy yang sedang sibuk mengangkat sekeranjang jemuran dari luar rumah hanya melirik sekilas, kemudian menjawab dengan sikap santai, "Apa?" Seolah tak terlalu peduli."L
**Bab 009 Keputusan**---Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Kemudian, dengan tegas namun le
**Bab 010 Menolak**---**Flashback: Pusat Kota Nauruan**Ash dan Ay tiba di pusat kota Nauruan setelah perjalanan panjang bersama rombongan konvoi. Kota itu ramai seperti biasa, dengan pedagang yang memanggil pelanggan, suara lonceng yang sesekali terdengar di alun-alun, dan hiruk pikuk orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di tengah kesibukan itu, Ash tidak hanya fokus menjual barang dagangannya tetapi juga menggali informasi tentang Grand Duke Griffith, sosok yang kelak bisa saja menjadi menantunya.Namun, apa yang mereka dengar dari para penduduk dan pedagang lain hanya menambah berat beban pikiran mereka."Grand Duke Griffith? Jangan pernah main-main dengannya," ujar salah satu pedagang dengan nada rendah, seolah takut ada yang mendengar. "Dia itu pria besi. Hatinya sudah beku sejak lama. Tidak ada belas kasihan bagi mereka yang melawannya.""Mereka bilang," sambung seorang wanita tua yang menjual kain, "dia merebut Alpen dengan darah. Tidak ada yang bisa menantangny
**Bab 011 Pengorbanan**Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bag
**Bab 012 Billy Kutcher**"Selamat pagi, Baron Galina," sapa kepala rombongan itu dengan nada yang diselubungi kepercayaan diri berlebihan. "Aku Billy Kutcher, utusan dari Tuanku Grand Duke Griffith... Kami datang untuk membawa putrimu ke Alpen sekarang juga."Sapaannya terdengar formal, tetapi setiap kata yang terucap seperti pedang yang menyayat, tajam dan penuh penghakiman. Tatapan Billy, penuh keangkuhan, melintas dari wajah mereka seolah-olah mereka hanyalah debu yang tak layak dihargai. Aura kesombongannya begitu jelas, hampir seperti ia tengah menilai mereka sebagai makhluk yang jauh lebih rendah darinya. Ash, yang sudah sejak awal merasa cemas dan tidak nyaman dengan sikap Billy, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah yang sulit ditekan. Hawa dingin mulai memenuhi ruang ini, semakin menebal seiring dengan ketegangan yang semakin memuncak. Setiap kata Billy terasa seperti serangan halus yang merendahkan mereka semua, meski status Rowtag sebagai seorang bangsawa
**Bab 013 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
*Bab 014 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, pemimpin iringan yang diutus Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan saya adalah Randy Rozenfeld,
**Bab 015 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
**Bab 027: Surat Helena**"Alwyn mengirim surat," ujar Kevin, membuka gulungan perkamen dengan ekspresi penasaran.Hugh yang berdiri di dekatnya menyipitkan mata saat membaca isi surat tersebut. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah catatan kaki yang disisipkan Alwyn di akhir surat.''Duchess membantu saya memecahkan masalah dengan lebih cepat. Helena memberi tahu saya hal-hal mengejutkan yang terjadi di Manor.''Hugh mengernyit. Kata-kata itu menggantung di benaknya."Ada apa, Duke?" tanya Saihan, memperhatikan perubahan ekspresi Hugh yang tak seperti biasanya.Alih-alih menjawab, Hugh membuka laci meja kerjanya, mengambil gulungan surat lain yang diterimanya dari Helena beberapa hari yang lalu. Ia membacanya kembali dengan seksama.Tuanku Duke, ini adalah beberapa poin yang kami hasilkan. Sekiranya ini bisa membantu Anda di Granthar. Duchess dengan teliti melihat berbagai aspek dan mendapati beberapa celah yang mungkin, itulah masalah yang harus Anda pecahkan.''Menurut Hele
**Bab 026 Pembuktian Diri**Di sebuah sore yang tenang di Manor, cahaya redup dari jendela menyinari ruang tamu yang rapi. Atthy duduk di kursi bergaya klasik, sejenak tenggelam dalam lembaran surat kabar yang tampak usang. Meski tampak santai, pikirannya melayang jauh, seakan setiap baris kata mengusik jiwanya yang baru saja mendapatkan status baru.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh keakraban terdengar dari pintu ruang tamu. Helena, kepala pelayan yang selama ini setia mengurus setiap detil kehidupan di Manor, melangkah masuk dengan senyum sopan. Dengan nada ramah, Helena berkata,"Duchess, Anda tampak fokus dengan surat kabar, ada yang menarik?"Atthy mengalihkan pandangan dari surat kabar dan tersenyum tipis sambil menjawab,"Tidak juga... aku membaca untuk menghabiskan waktu..."Helena mengangguk, lalu bertanya lagi,"Apakah Anda bosan?"Atthy merenung sejenak, lalu menghela napas lembut,"Entah... aku tidak tahu."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan sebelum Atthy, dengan sua
**Bab 025 Mengamamati**Di ruang kerja yang sederhana namun tertata, Cavero duduk di mejanya sambil membaca surat resmi yang baru saja diterima. Surat itu—yang telah melalui saluran komunikasi resmi dan mendapat persetujuan dari Hugh—memberikan kabar singkat mengenai situasi Aldor di Skythia yang berpotensi mempengaruhi kondisi pelabuhan.Di luar, suasana pelabuhan tampak tenang, tetapi Cavero tahu bahwa ketegangan sedang mengendap di bawah permukaannya. Kapal-kapal dagang berlabuh seperti biasa, tetapi ada terlalu banyak pergerakan yang tak wajar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam sebelum tatapannya kembali ke surat di tangannya.Tak lama kemudian, ajudannya yang paling dipercaya, Dani, masuk dengan langkah tenang dan menyampaikan, "Putra Mahkota, laporan terbaru dari pos pengawasan menunjukkan peningkatan aktivitas penyusupan di dermaga. Semua langkah keamanan telah diperiksa ulang sesuai arahan Duke Griffith."Cavero menatap Dani dengan ketenangan pe
**Bab 024 Integritas**Atthy termenung memikirkan cerita yang sampai kepadanya melalui Ayahnya dan Ay. Dia memikirkan, kenapa cerita yang beredar di kalangan masyarakat Nauruan mengenai Grand Duke Griffith berbeda dengan yang baru saja dia dengar dari Lily.''Duchess!'' panggil Lily yang mulai bingung karena Atthy terdiam dengan wajah serius memikirkan sesuatu.''Hm,'' sahut Atthy dengan alis mata naik menanggapi Lily, ''Tidak, aku... hanya sedang memikirkan beberapa hal.''''Eumh, apa ada lagi yang mau Duchess tanyakan?''Atthy menatap wajah Lily dengan seksama sebelum menjawab pertanyaan Lily.''Lily, apa kau bahagia bekerja di penampungan itu?''Kali ini Lily yang tidak segera menjawab pertanyaan Atthy. Dia sempat terdiam sesaat sebelum dengan serius menjawab pertanyaan Atthy.''Maafkan saya Duchess,'' ujar Lily kemudian.Atthy memiringkan kepalanya dengan wajah bingung mendengar Lily malah meminta maaf kepadanya.Lily, menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kembali uca
**Bab 023 Griffith**Beberapa waktu setelah kejadian dengan trio viscountess, Atthy duduk setengah bersila di kalang jendela sambil memegang buku yang dia tidak tahu apa isinya. Dengan mata yang sedang melihat keluar jendela, menatap pemandangan yang sangat asing baginya, pikirannya sibuk merenungkan banyak hal dengan sebelah kakinya yang menggantung bergoyang-goyang.''Haruskah aku?!''''Tapi, dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padaku...''''Meskipun... itu semua dilakukannya karena ada urusan mendadak.''''Tapi... pernikahan ini juga mendadak untukku. Lalu, sekarang aku harus bagaimana?''''Bagaimana menjelaskannya pada Ayah... pada Kakek... pada Ay...''Atthy bergumam dengan serius, melontarkan berbagai kalimat penuh dengan pertanyaan, saking seriusnya dia lupa kalau saat ini dia memakai gaun dan berada di Manor. Meski tidak ada aturan tertulis, tapi tentunya sebagai seorang lady, postur duduk yang dilakukan Atthy terkesan tidak biasa.''Duchess...''''Duchess...''Bebe
**Bab 022 Tiga Orang Tamu**Sudah dua hari sejak Hugh meninggalkan Manor untuk inspeksi wilayah sekaligus melihat perkembangan pembangunan Kastil Skythia. Awalnya Alwyn ingin mengutamakan membangun jalur kereta dan sebuah stasiun untuk mencapai wilayah terdalam di Skythia. Tapi, Hugh menegaskan untuk mendahulukan pembangunan Kastil di banding dengan jalur kereta. Alasannya adalah karena Skythia baru saja di taklukan dan kemungkinan kelompok kontra masih bergerilya di Skythia. Maka dari itu pertahanan di pusat wilayah Skythia harus diprioritaskan.Perdebatan pembangunan kastil sebagai pusat pertahanan dan rel kereta sebagai akses transportsi untuk memudahkan pendistribusian segala keperluan di Skythia berlangsung cukup alot. Bukan hanya karena Skythia wilayah baru dan sebagian besar hancur akibat perang, tapi dana yang ada masih harus di perhitungkan untuk keperluan di sana sini. Belum lagi Hugh yang selalu absen karena panggilan darurat membuat pengesahan perencanaan pembangunan kasti
**Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem
**Bab 020 Aldor**Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan."Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung ke
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang