**Bab 015 Alwyn dan Helena**Alwyn sibuk berkutat dengan tumpukkan dokumen di ruang kerjanya ketika pintu diketuk. "Masuk," ujarnya, tanpa menoleh.Helena melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang di belakangnya. Helena mengangguk memberi salam kepada Alwyn. Dia melihat wajah Alwyn yang tampak lelah, tetapi matanya tetap memancarkan perhatian yang tajam. "Nyonya Helena, saya butuh laporan terkini mengenai distribusi persediaan musim dingin."Helena menoleh, menatapnya dengan senyum tipis. "Tentu, Tuan Alwyn. Saya sudah membawanya." Ia memberikan sebuah map yang dia bawa, tetapi kemudian berhenti, menatap Alwyn sejenak sebelum menyerahkan dokumen itu."Ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?" tanya Alwyn, nada suaranya tenang, tetapi mengisyaratkan bahwa ia menyadari ketidaklaziman dalam sikap Helena.Helena mengangguk pelan. "Ini tentang Lady Athaleyah."Wajah Alwyn sedikit berubah, meski ia berusaha tetap tenang. "Apa yang ingin Anda sampaikan?"Helena meletakkan map di meja, mengat
**Bab 016 Status Baru**Duke Hugh Ethan Griffith adalah anak kedua dari tiga anak lelaki Grand Duke Griffith. Hugh memperoleh gelar Dukenya pada usia 23 tahun, satu tahun setelah ia memimpin pasukan dalam perang besar melawan Kerajaan Targozar dan Vuldrekh dan berhasil merebut wilayah Skythia sepenuhnya. Skythia adalah pegunungan luas yang telah menjadi sengketa antara kerajaan Xipil dan Kerajaan Targozar dan Vuldrekh, sebuah wilayah yang sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam.Sejak usia 12 tahun, Hugh sudah terjun ke medan perang bersama kakak tertuanya. Namun, pada usia 15 tahun, setelah kakaknya tewas dalam perang, Hugh dipercaya untuk memimpin pasukan yang mencoba merebut Skythia. Dalam sembilan tahun peperangan yang penuh darah itu, Hugh akhirnya berhasil mengusir Targozar dan Vuldrekh dari wilayah Skythia.Skythia memiliki luas yang hampir setara dengan Alpen, wilayah yang sudah dikuasai oleh dinasti Griffith sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Meskipun baru sekit
**Bab 017 Saihan Malaken dan Count Kevin Dravina**Derap tapak kuda memecah keheningan hutan. Rombongan Duke Hugh Griffith berangkat meninggalkan Manor sejak pagi hari, menembus kabut yang masih menggantung di atas lembah. Saat matahari mulai merangkak tinggi, udara dingin yang menusuk kulit mereka semakin tajam, menyelinap melalui setiap celah jubah dan pakaian, seolah-olah menguji ketahanan mereka. Derap kaki kuda menggema di hutan sunyi, menambah ketegangan setiap meter perjalanan.Saihan, yang duduk di samping Hugh, merasa keheningan itu mulai menekan. Ia mencoba mengisi ruang kosong yang tercipta dengan percakapan ringan, meski nada suaranya jauh dari serius."Duke, bukankah sangat disayangkan?" tanyanya dengan nada santai."Apa maksudmu?" Hugh menjawab tanpa berpaling, tetap fokus pada jalan di depan, memegang kendali kudanya dengan tangan yang tampak kokoh."Istri Anda yang cantik, baru saja sah menjadi istri dan kini malah Anda tinggalkan," lanjut Saihan, sengaja memberikan sen
**Bab 018 Granthar**Hugh memandang luas wilayah Granthar yang terhampar di depan matanya. Sebuah benteng yang kokoh berdiri di tengah padang rumput yang luas, dikelilingi oleh hutan lebat yang seolah ingin menyembunyikan segala rahasia yang ada di dalamnya. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah yang khas, menandakan bahwa musim hujan sudah mendekat. Di kejauhan, tampak barisan pegunungan yang menjadi batas alami dari kerajaan ini, memberikan kesan kesendirian yang mendalam.Di sampingnya, Saihan dan Kevin berdiri dengan sikap serius. Sejak perjalanan mereka dimulai, tidak ada banyak kata yang terucap di antara mereka. Keheningan perjalanan lebih berbicara banyak tentang ketegangan yang mereka rasakan. Granthar bukan hanya sebuah tempat yang perlu diperiksa—itu adalah potret dari keseluruhan keamanan kerajaan Skythia. Jika Granthar jatuh, maka sebagian besar wilayah Skythia akan kehilangan pertahanan utamanya.“Seperti yang kita duga,” kata Saihan, memecah keheningan. “Keam
**Bab 019 Granthar 2**Setelah melakukan observasi dan menerima laporan dari Kevin dan Saihan, Hugh memutuskan untuk segera merancang langkah-langkah konkret. Ancaman dari musuh yang belum jelas semakin terasa, dan pasukannya harus siap menghadapi segala kemungkinan. Namun, Hugh juga tahu bahwa kecemasan yang mulai melanda para tentara bisa menjadi kelemahan yang tak terduga. Jika itu tidak diatasi, bisa jadi lebih besar dari ancaman luar yang mereka hadapi.Dengan langkah tegap, Hugh menuju ruang komando. Di dalamnya, para komandan tengah berdiskusi dengan suara rendah, membahas kesiapan pasukan dan langkah-langkah pertahanan yang akan diambil. Begitu Hugh memasuki ruangan, suasana seketika berubah. Semua orang berdiri dengan hormat, namun ada ketegangan yang jelas terlihat di wajah mereka."Yang Mulia Duke Griffith," ujar salah seorang komandan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai menyebar di antara mereka. "Kami telah mempersiapkan pertahanan di titik utara, namun ada kekh
**Bab 020 Aldor**Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan."Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung ke
**Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem
**Bab 022 Tiga Orang Tamu**Sudah dua hari sejak Hugh meninggalkan Manor untuk inspeksi wilayah sekaligus melihat perkembangan pembangunan Kastil Skythia. Awalnya Alwyn ingin mengutamakan membangun jalur kereta dan sebuah stasiun untuk mencapai wilayah terdalam di Skythia. Tapi, Hugh menegaskan untuk mendahulukan pembangunan Kastil di banding dengan jalur kereta. Alasannya adalah karena Skythia baru saja di taklukan dan kemungkinan kelompok kontra masih bergerilya di Skythia. Maka dari itu pertahanan di pusat wilayah Skythia harus diprioritaskan.Perdebatan pembangunan kastil sebagai pusat pertahanan dan rel kereta sebagai akses transportsi untuk memudahkan pendistribusian segala keperluan di Skythia berlangsung cukup alot. Bukan hanya karena Skythia wilayah baru dan sebagian besar hancur akibat perang, tapi dana yang ada masih harus di perhitungkan untuk keperluan di sana sini. Belum lagi Hugh yang selalu absen karena panggilan darurat membuat pengesahan perencanaan pembangunan kasti
**Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap
**Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."
**Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana
**Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya
**Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala
**Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema
**Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany
**Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil
**Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya