**Bab 014: Perjalanan**
Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.
Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.
Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum pernah dilihatnya.
''Lady... Silakan,'' ujar Alwyn dengan sopan saat menyambut di pintu gerbong yang sudah disediakan khusus untuk Atthy.
''Ah!... Baik, terima kasih...'' ujar Atthy menjawab sambil menerima uluran tangan dari Randy. Dia sedikit terkejut karena masih terdiam memandangi ''ular besi'' yang baru pertama kali dilihatnya.
Atthy terheran-heran dengan besi besar dan berat itu. Dalam pikirannya, ia sibuk memikirkan bagaimana benda di hadapannya bisa berjalan membawa puluhan bahkan ratusan orang melintasi dua jajaran besi kurus di sepanjang jalurnya. Benda besar yang terkesan sangat berat itu, bisa memotong waktu perjalanan sepuluh kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan menggunakan kereta kuda. Sebagai seorang pandai besi, Atthy juga terbayang bagaimana besarnya tungku yang digunakan untuk membuat benda besar di depannya.
Gerbong khusus yang dibuat senyaman mungkin untuk seorang bangsawan memang tiada duanya. Terdapat tempat tidur dan sofa yang sangat nyaman meski ukurannya disesuaikan dengan luas gerbong. Gerbong ini khusus disediakan hanya untuk Atthy, sebagai tamu kehormatan Duke Griffith. Para pelayannya menempati gerbong lain yang telah disiapkan, bersama dengan para pengawal. Mereka harus selalu bersiaga dan hanya akan masuk ke gerbong khusus jika Atthy memanggil mereka.
''Lady, kita akan melakukan perjalanan selama sepuluh hari dengan kereta ini. Segala keperluan selama perjalanan telah kami persiapkan. Kami menyadari ini akan sangat tidak nyaman bagi Anda, tetapi harap bersabar sampai kita tiba nanti, Lady. Panggillah kami kapan pun Anda membutuhkan! Kami akan selalu siap, Lady...''
Alwyn dengan sangat sopan menunjukkan seluruh isi gerbong khusus untuk Atthy dan menjelaskan fungsinya.
''Baik,'' jawab Atthy sopan, ''Eum, Tuan Alwyn, bolehkah aku memanggilmu begitu?'' tanya Atthy dengan sangat sopan.
''Tentu saja, Lady,'' jawab Alwyn dengan segera, menyunggingkan senyum formal di wajahnya.
Atthy tersenyum menanggapi Alwyn, lalu berkata, ''Tuan Alwyn!'' sambil memanggil lembut, ''Terima kasih,'' tambahnya dengan senyum manis yang tulus di wajahnya.
Alwyn seolah menyadari arti tersembunyi dari senyum Atthy tersebut, yang membuatnya sempat terkejut.
''Tuan Alwyn, beritahu juga yang lain, buat diri kalian senyaman mungkin!'' seru Atthy, masih dengan sopan, ''Aku akan berusaha untuk tidak menyusahkan kalian.''
''Tidak menyusahkan?!'' gumam Alwyn dalam hati, ''Apa dia bisa melakukannya?''
Alwyn merasa sedikit heran, namun segera setelah itu, dia merasa terharu karena merasakan ketulusan dalam kata-kata Atthy. Ia pun menjawab dengan anggukan kepala disertai senyuman.
---
Berikut adalah revisi yang disesuaikan dengan arahan Anda:
---
Ternyata, apa yang direncanakan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Atthy, yang tidak pernah naik kereta, mendapati tubuhnya kesulitan beradaptasi. Dia tidak menyangka jika tubuhnya akan menolak untuk bekerja sama dalam situasi seperti ini.
Di tengah perjalanan, tubuh Atthy yang tidak dalam kondisi baik membuatnya kesulitan untuk menghabiskan makanannya seperti biasanya. Atthy, yang terbiasa hidup sederhana, selalu diajarkan untuk menghargai makanan. Karena itu, dia biasanya akan selalu menghabiskan apa pun yang terhidang di piringnya. Namun kali ini, meskipun sangat berusaha, dia tak mampu melakukannya. Meskipun begitu, dia berusaha untuk tidak memperlihatkan ketidaknyamanannya kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
Atthy segera bersiap untuk tidur, berharap bahwa setelah beristirahat, tubuhnya akan lebih baik. Dia bergumam di tempat tidurnya untuk menghabiskan waktu yang terasa membosankan. Rasanya, hampir tidak ada hal yang bisa dilakukan sekarang.
''Awalnya menarik, tapi... bahkan belum lewat satu hari... membosankan! Sepuluh hari terjebak di kereta ini... Kalau tahu begini, seharusnya aku membawa beberapa buku, agar ada sesuatu yang bisa kulakukan...''
''Sayang sekali... Aku harus membuang waktu sepuluh hari terjebak di sini tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Karena kedatangan mereka yang begitu mendadak, aku sampai bingung apa yang harus kubawa. Bahkan uang pun tidak kubawa.''
''Dasar Atthy bodoh! Bagaimana jika terjadi sesuatu sedangkan aku tidak punya bekal apa pun... pakaian yang mereka berikan juga sangat tidak nyaman...''
''Sampai kapan aku harus seperti ini?''
''Haruskah aku kembalikan barang-barang ini?!''
''Tapi... bagaimana jika dia tersinggung?! Dia seorang Grand Duke, penguasa wilayah yang sangat besar... Dia memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan di kerajaan... Tentu uang bukan masalah baginya... Mungkin dia akan tersinggung jika kukembalikan barang-barangnya...''
''Apa harus begini kehidupan yang kujalani nanti?... Huft...'' (Atthy mendesah pasrah), ''Nasib bangsawan miskin sepertiku, bahkan ketiga pelayan yang dikirim olehnya untuk melayaniku... Mereka tidak tulus... aku bisa melihatnya dengan jelas.''
''Tapi, tunggu! Tidak semuanya... Alwyn dan Randy... Mereka sangat, sangat berbeda dengan Billy... Meski mereka juga tampak sedikit aneh...''
---
Malam itu, setelah para ksatria pengawal dan pelayan selesai makan malam, Alwyn dan Randy duduk berhadapan, menghabiskan waktu untuk mencerna makanan yang baru saja mengisi perut mereka. Mereka berdua adalah dua orang dengan jabatan tertinggi dalam iringan rombongan calon mempelai wanita, Lady Atthaleyah Galina, utusan dari Duke Griffith.
"Alwyn, apa kau merasa ada sesuatu yang tidak beres?" Randy memulai percakapan dengan nada tidak pasti.
"Pada Lady Galina?" jawab Alwyn segera, mengingatkan pada betapa jelasnya ekspresi yang sama yang terpancar dari mereka berdua.
Randy mengangguk pelan, wajahnya serius. Dari ekspresi dan nada bicara Alwyn, jelas terlihat bahwa Alwyn juga merasakan hal yang sama dengannya.
"Entah, aku belum bisa membuat hipotesis apa pun," Alwyn menjawab acuh, matanya tajam menatap luar jendela kereta yang bergerak perlahan.
"Tapi... Tidakkah menurutmu aneh?" Randy bertanya lebih lanjut, suaranya mengandung rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, "Tidak ada satu pun dari keluarganya yang hadir untuk melepas kepergiannya."
Alwyn menghela napas, berpikir sejenak. "Aku tahu... Tapi, hal itu bukan urusan kita yang hanya seorang abdi. Penilaian itu akan kita serahkan pada Tuanku Duke. Meskipun, sebelumnya kita sudah mendapat kabar dari utusan Baron Galina bahwa mereka memiliki urusan mendadak."
Randy mendengus pelan, tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi... Tetap saja, kita adalah utusan Duke Griffith, mereka hanya Baron. Sikap mereka sangat tidak bijaksana," kata Randy, dengan nada kesal yang tampaknya semakin sulit untuk ditahan. "Mungkinkah karena pangeran? Karena itu mereka bersikap sembrono?"
"Ya, mungkin," jawab Alwyn sambil menatap ke luar jendela, matanya berkedip cepat. "Meski begitu, tetap saja aneh... Aku belum bisa menyimpulkan apa pun. Informasinya terlalu sedikit... Tapi, apa pun itu, sama sepertimu, aku juga sangat kesal dengan hal itu. Tapi, biarlah... Bukankah kau sudah tahu alasan Duke Griffith menyetujui pertemuan ini? Asumsiku mereka menjadi sombong hanya karena mereka mendapat dukungan besar. Mereka tidak sadar kalau mereka juga sedang dimanfaatkan. Jangan khawatir, saat tiba waktunya kita akan balas mereka. Sekarang, biarkan mereka menikmati sisa waktu yang mereka miliki," jawab Alwyn, wajahnya datar, namun intonasinya terdengar seolah sedang menyeringai, ada kebingungan yang terkubur dalam pikirannya.
Randy menghela napas panjang, matanya sejenak melirik ke arah Alwyn, kemudian kembali menunduk. "Kau mungkin benar... Aku merasa kasihan dengannya," jawab Randy pelan, kata-katanya itu ditujukan pada Atthy, meskipun tidak langsung diucapkan kepadanya.
Alwyn menatap Randy, meliriknya sekilas dengan ekspresi bingung, sebelum kembali diam. Ada sedikit perubahan pada wajahnya, namun hanya sekejap. Matanya kini terfokus pada dokumen yang ada di hadapannya, tapi pikirannya masih terganggu oleh perasaan aneh yang terus berputar tentang Atthy.
"Ya... Aku juga merasa ada sesuatu yang janggal," gumam Alwyn di dalam hatinya, suaranya semakin dalam, hampir tak terdengar oleh Randy. "Ekspresi yang terlihat darinya, sangat tulus. Lady itu... tidak terlihat sedang mengenakan topeng... tapi, tetap saja, ada sesuatu yang aneh."
Alwyn terus memeriksa dokumen di hadapannya, tangannya bergerak perlahan menyusuri kertas-kertas itu, tetapi pikirannya terhenti pada sosok Atthy. Senyumnya, tatapan matanya—semuanya terlihat begitu... tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan dengan perasaan tidak menentu itu?
Sementara Randy, meskipun merasa kasihan, tetap tidak bisa mengabaikan ketidakpuasannya. Apakah benar semuanya seperti yang mereka lihat? Atau ada sesuatu yang tersembunyi lebih dalam?
---
Lima hari sudah berlalu sejak Atthy menaiki kereta api, dan sekitar lima hari lagi dia akan sampai di Alpen. Perjalanan ini dilalui dengan sangat aman dan nyaman, tanpa ada konflik yang berarti. Para pengawal dan pelayan merasa puas, bahkan senang, karena perjalanan panjang ini tidak seberat yang mereka bayangkan sebelumnya.
Namun, dalam kesendirian yang panjang di dalam kereta, kebosanan mulai menghampiri mereka. Tanpa ada hal besar yang terjadi, mereka hanya bisa mengobrol tentang hal-hal kecil yang terlintas dalam pikiran mereka.
"Hei, aku tidak menyangka perjalanan kita akan semulus ini..." seorang pengawal berkata dengan suara datar, matanya menatap kosong keluar jendela.
"Benar, aku bahkan sudah sangat mempersiapkan diri dengan segala kekacauan yang akan dibuatnya," jawab yang lain, suaranya penuh kelakar meskipun sedikit cemas.
"Hm!... Kita bahkan mendapat bonus gaji tiga kali lipat karena mau melakukan perjalanan ini," sahut yang ketiga dengan nada bercanda, mencoba menyegarkan suasana.
"Sejujurnya, aku tidak menyangka dia akan setenang ini..." kata yang lain, mengernyitkan dahi seolah masih kebingungan dengan perilaku Atthy.
Tiba-tiba, suara keras memecah percakapan mereka.
"Perhatikan ucapan kalian!" seru Randy, memasuki gerbong dengan langkah tegas. "Jaga tata tertib kalian, ksatria!" suaranya penuh kewibawaan, langsung membuat suasana hening.
"Perbaiki sikap kalian, kalian bukan prajurit biasa, kalian adalah kesatrianya Griffith!" Alwyn menambahkan dengan nada yang lebih dingin, matanya tajam menatap mereka satu per satu.
Semua prajurit dan pelayan buru-buru memberi hormat, meminta maaf dengan cepat. "Maafkan kami, Tuan."
Namun, salah satu dari mereka yang lebih muda mencoba membela diri. "Tapi Komandan, kami tidak bicara tentang hal buruk..." katanya dengan suara ragu.
"Itu benar, Komandan, kami hanya membicarakan sesuatu yang baik," kata yang lain, tampak kebingungan tapi berusaha menjelaskan.
"Sejak awal, hingga hari ini, tidak pernah sekalipun dia mengeluh," tambah yang lain, sedikit berbisik, merasa bahwa ini tidak seharusnya menjadi masalah.
"Lady!" Alwyn langsung mengoreksi, nada suaranya lebih tajam. "Kalian seharusnya selalu menyebutnya Lady Galina, bukan 'dia'."
Mereka semua terdiam, menyadari kesalahan mereka, lalu segera memberi hormat lagi. "Maaf, Lady Galina, itu maksud kami, Tuan."
"Iya, maafkan kami, Tuan. Tapi semua itu benar adanya, bahkan para pelayan sempat dibuat gusar karena takut kalau mereka melakukan kesalahan. Lady Galina hampir tidak pernah memanggil mereka," kata salah satu pengawal lain dengan sedikit kebingungan.
Alwyn terkejut mendengar hal itu, ekspresinya berubah seketika. Dia selalu sibuk dengan urusannya dan tidak memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Kau panggil para pelayan Lady Atthaleyah untuk berbicara denganku!" seru Alwyn dengan nada perintah yang tegas, dan segera bergegas menuju gerbong pribadinya.
Sama seperti Atthy, Alwyn juga memiliki gerbong pribadinya sendiri, meski tidak semewah yang ditempati oleh Atthy. Namun, kemewahan itu bukanlah yang ia inginkan—tapi kenyamanan dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya yang lebih penting. Namun kini, pikirannya terganggu oleh perasaan tak nyaman yang semakin lama semakin berkembang.
---
TOK TOK TOK
"Masuk." Suara Alwyn terdengar datar, namun ada ketegasan di dalamnya.
Ketiga pelayan itu melangkah masuk dengan langkah yang nyaris tak bersuara, berdiri berbaris di hadapan meja kerja Alwyn. Pria itu duduk di kursinya sambil menyilangkan kakinya setelah meletakkan dokumen yang sedang dikerjakannya.
"Tuan Guzev, Anda memanggil kami?" Stela, yang tertua, mencoba terdengar tenang, tetapi nada suaranya sedikit bergetar.
"Benar." Alwyn mengangguk kecil, lalu menggeser pandangannya pada dokumen yang terbuka di meja seolah tidak terlalu peduli, tetapi jelas-jelas setiap gerakannya terukur. "Aku mendengar kabar dari para pengawal bahwa kalian terlihat... gelisah. Apa yang terjadi?"
Pertanyaan itu sederhana, tetapi langsung memotong suasana ruangan seperti pisau tajam.
Ketiga pelayan itu saling melirik, seolah mencoba mencari siapa yang harus bicara lebih dulu. Tidak ada yang menjawab.
"Kuharap aku tidak perlu mengulangi pertanyaanku." Alwyn berbicara dengan suara yang lebih rendah, namun ada tekanan di balik intonasinya. Jemarinya yang tadi mengetuk meja berhenti, dan kini ia melipat kedua tangannya di atas dokumen yang terbuka.
Stela akhirnya mengambil langkah pertama. "T-tidak ada, Tuan. Kami baik-baik saja."
Alwyn mengangkat sebelah alisnya. "Benarkah?" Suaranya tidak terdengar menggertak, tetapi nada skeptisnya lebih berbobot daripada ancaman apa pun.
Bela mencoba menambahkan. "Kami hanya... lelah, Tuan. Itu saja."
"Lelah?" Alwyn mengulang kata itu pelan, seperti sedang menimbang-nimbang maknanya. Pandangannya kini terarah langsung pada Rosa, pelayan yang paling menunjukkan kecemasannya, membuat gadis itu langsung menunduk. "Lelah tidak membuat orang menghindari tatapan, Rosa."
Ketiganya kini diam, jelas tidak tahu harus berkata apa. Suasana ruangan terasa semakin berat, udara seolah dipenuhi ketegangan yang tak terlihat.
"Stela," panggil Alwyn dengan suara rendah tapi penuh kendali, memusatkan perhatiannya pada pelayan tertua itu. "Kau yang paling senior. Jika ada sesuatu yang tidak beres, ini saatnya untuk memberitahuku. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
Stela tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menggigit bibirnya. Dia menggeleng perlahan, pandangannya tetap tertunduk. "Tidak ada, Tuan. Kami tidak menyembunyikan apa pun."
Keheningan menggantung di ruangan itu. Alwyn memandangi mereka satu per satu, matanya tajam seperti sedang mencoba menembus rahasia yang mereka simpan. Tetapi, dia tidak menunjukkan tanda-tanda frustrasi atau kehilangan kesabaran. Sebaliknya, dia bersandar kembali ke kursinya, gerakannya tenang, penuh percaya diri.
---
**Bab 015 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 016: Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabat
Alwyn segera memberi salam pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya, dia juga langsung bersikap siap layaknya seorang ajudan di hadapannya komandannya.''Maafkan kelalaian saya Tuanku, saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya...'' ujar Alwyn segera berusaha menjelaskan pada tuannya.''Keluarlah!'' seru pria besar itu seolah tidak peduli dengan penyesalan Alwyn, ''Siapkan kereta kudanya!''''Baik Tuanku,'' jawab Alwyn kemudian segera pergi meninggalkan Atthy dan pria itu berdua di dalam ruangan.Alwyn merasa cemas dengan keadaan Atthy tapi apa boleh buat dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Atthy sekarang ada bersama dengan calon suaminya. Sebagai seorang yang hanya bekerja, dia tidak boleh bertindak di luar ketentuannya sebagai seorang pegawai.''Keadaanmu tampak tidak baik...'' ujar pria besar itu bertanya dengan dingin.Atthy meneliti sem
PLETIK PLETIK PLETIKDi kegelapan malam, di dalam ruangan mewah yang sunyi senyap, terdengar suara kayu yang terbakar di perapian.Setelah pingsan di kereta tadi pagi, Atthy tidur nyaris sepanjang hari.Di tempat tidur, Atthy yang nyaman beristirahat terbangun. Dia mulai mengerjapkan matanya, dia masih linglung karena belum sadar sepenuhnya. Perlahan-lahan Atthy berusaha menarik tubuhnya untuk duduk. Baru saja dapat posisi yang pas, dia langsung terkejut, saat mendapati seorang pria duduk menatapnya di samping tempat tidurnya.Matanya terbelalak dengan jantung yang berdegup sangat kuat seolah kuda yang berlari di pacuan. Atthy benar-benar terkejut setengah mati. Kejadian barusan membuat Atthy berpikir bahwa, baru saja dia siuman tapi langsung di hadapkan dengan ganasnya Dewa perang tepat di hadapannya.''Kau sudah bangun?''Hugh bertanya dengan nada datar nya
**Bab 001 Duka di Malam Pertama**Atthy menatap suaminya, Duke Hugh Griffith, dengan mata yang terbuka lebar, berusaha mencerna setiap kata yang baru saja terlontar dari mulutnya. Kamar tidur yang luas dan penuh kemewahan kini terasa sangat sempit, sesak dengan ketegangan yang hampir tidak bisa ditahan. Hugh, pria yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, malah berdiri dengan santainya di dekat lemari pakaian, menyusun helai demi helai pakaian yang tercecer di lantai, seakan tak ada yang penting di dunia ini selain dirinya sendiri.''Kau hanya seorang wanita bodoh... Kau terlalu tinggi berpikir tentang dirimu. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang melemparkan dirinya pada pria di jalanan setiap malam hanya untuk sekantung uang,'' ujar Hugh, suaranya terdengar datar, seperti tidak peduli sedikit pun dengan perasaan Atthy.Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantung Atthy, membuat tubuhnya bergetar hebat. Tidak ada kemarahan yang terluapkan, hanya rasa hancur
**Bab 002: Gelar Duchess**Di luar ruangan, tiga pelayan pribadi Atthy menunggu, gelisah. Mereka segera menunduk memberikan salam ketika Hugh keluar dari kamar Atthy. Ada kesan aneh di wajah mereka—suatu perasaan yang sulit untuk dipahami, meski jelas terlihat bahwa mereka tidak bisa menahan rasa penasaran dan kebingungannya. Suasana pagi itu tampak penuh dengan rahasia yang belum terungkap. Apalagi, baru saja Hugh dan Atthy—majikan mereka—menghabiskan malam bersama untuk pertama kalinya setelah tiga bulan masa pernikahan mereka yang terkesan dingin."Tuanku, apa ada hal yang harus saya persiapkan?" tanya Helena, kepala pelayan yang baru saja tiba dan dengan sigap mendekat."Panggil Alwyn ke ruanganku segera, dan juga panggil Dr. Windfold untuk melihat kondisinya!" seru Hugh dengan nada perintah yang keras.Helena sedikit terkejut. "Maaf, tuanku?!""Dia... Sepertinya terluka. Tidak... Dia memang terluka... Sudahlah! Kau urus saja dia!" seru Hugh dengan suara yang semakin tegang. Meskip
**Bab 003 Dokumen Perceraian**Atthy menatap surat perceraian itu, jarinya terulur ke atas kertas, namun entah mengapa, seolah ada sesuatu yang menahan gerakannya. Tatapannya kosong, meskipun dalam hati, perasaan berkecamuk. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, tapi kenyataan tetap terasa menyesakkan. Tangan Helena dengan berani menahan tangan Atthy, menahan tindakan yang hampir pasti akan mengubah segalanya.Helena menarik kembali tangannya dengan cepat, tubuhnya gemetar, tak menyangka akan melakukan itu. Kejutan dan ketegangan yang terpendam membuat perasaannya campur aduk.“Helena!” seru Atthy dengan nada terkejut, namun ada keraguan dalam suaranya. Bola matanya memancarkan perasaan yang sulit dicerna. Seolah ingin menangis, tapi dia menahan diri, memahami perasaan yang sedang dirasakan oleh wanita itu. “Kau... kenapa?” Atthy bertanya, suaranya pelan namun penuh makna.“Duchess,” Helena berbicara dengan suara bergetar, “Maafkan saya. Tapi, tolong pikirkan lagi!” serunya, mencoba unt
**Bab 004 Kekacauan di Ruangan Alwyn**Selama berada di Manor, Atthy tidak pernah sekalipun mengeluh. Wanita muda itu lebih suka menyendiri, menjaga jarak dari hiruk-pikuk sekitar. Hanya ketika benar-benar diperlukan, Atthy keluar dari Manor. Sebagian besar waktunya dihabiskan di dalam, menikmati ketenangan. Hal ini cukup mengejutkan bagi sebagian besar penghuni Manor. Mereka sudah mendengar banyak cerita mengenai wanita yang akan menjadi istri Duke Hugh Griffith, tapi kenyataannya Atthy jauh berbeda dari yang dibayangkan banyak orang.Para penghuni Manor awalnya tidak menyukai kehadiran Atthy. Mereka tahu, dia hanyalah seorang lady dari golongan bangsawan tingkat rendah, bukan bagian dari keluarga besar yang mereka kenal. Namun, semakin lama mereka mengamati Atthy, semakin mereka mengagumi sikap elegan dan kecerdasan yang dimilikinya. Atthy tahu bagaimana menjaga etika, tahu bagaimana bertindak dengan penuh kewibawaan dalam situasi apapun. Tetapi ada satu hal yang sangat mengejutkan m
PLETIK PLETIK PLETIKDi kegelapan malam, di dalam ruangan mewah yang sunyi senyap, terdengar suara kayu yang terbakar di perapian.Setelah pingsan di kereta tadi pagi, Atthy tidur nyaris sepanjang hari.Di tempat tidur, Atthy yang nyaman beristirahat terbangun. Dia mulai mengerjapkan matanya, dia masih linglung karena belum sadar sepenuhnya. Perlahan-lahan Atthy berusaha menarik tubuhnya untuk duduk. Baru saja dapat posisi yang pas, dia langsung terkejut, saat mendapati seorang pria duduk menatapnya di samping tempat tidurnya.Matanya terbelalak dengan jantung yang berdegup sangat kuat seolah kuda yang berlari di pacuan. Atthy benar-benar terkejut setengah mati. Kejadian barusan membuat Atthy berpikir bahwa, baru saja dia siuman tapi langsung di hadapkan dengan ganasnya Dewa perang tepat di hadapannya.''Kau sudah bangun?''Hugh bertanya dengan nada datar nya
Alwyn segera memberi salam pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya, dia juga langsung bersikap siap layaknya seorang ajudan di hadapannya komandannya.''Maafkan kelalaian saya Tuanku, saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya...'' ujar Alwyn segera berusaha menjelaskan pada tuannya.''Keluarlah!'' seru pria besar itu seolah tidak peduli dengan penyesalan Alwyn, ''Siapkan kereta kudanya!''''Baik Tuanku,'' jawab Alwyn kemudian segera pergi meninggalkan Atthy dan pria itu berdua di dalam ruangan.Alwyn merasa cemas dengan keadaan Atthy tapi apa boleh buat dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Atthy sekarang ada bersama dengan calon suaminya. Sebagai seorang yang hanya bekerja, dia tidak boleh bertindak di luar ketentuannya sebagai seorang pegawai.''Keadaanmu tampak tidak baik...'' ujar pria besar itu bertanya dengan dingin.Atthy meneliti sem
**Bab 016: Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabat
**Bab 015 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 014: Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
Bab 013 Alwyn Gusev dan Randy RozenveltBeberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, pemimpin iringan yang diutus Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan saya adalah Randy Rozenfeld, s
Bab 012 Stela, Bela, dan Rosa.---Ash dan Rowtag akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik—seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan pad
Bab 011 Billy Kutcher"Selamat pagi, Baron Galina," sapa kepala rombongan itu dengan nada yang diselubungi kepercayaan diri berlebihan. "Aku Billy Kutcher, utusan dari Tuanku Grand Duke Griffith... Kami datang untuk membawa putrimu ke Alpen sekarang juga."Sapaannya terdengar formal, tetapi setiap kata yang terucap seperti pedang yang menyayat, tajam dan penuh penghakiman. Tatapan Billy, penuh keangkuhan, melintas dari wajah mereka seolah-olah mereka hanyalah debu yang tak layak dihargai. Aura kesombongannya begitu jelas, hampir seperti ia tengah menilai mereka sebagai makhluk yang jauh lebih rendah darinya. Ash, yang sudah sejak awal merasa cemas dan tidak nyaman dengan sikap Billy, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah yang sulit ditekan. Hawa dingin mulai memenuhi ruang ini, semakin menebal seiring dengan ketegangan yang semakin memuncak. Setiap kata Billy terasa seperti serangan halus yang merendahkan mereka semua, meski status Rowtag sebagai seorang bangsawan ta
Bab 010 PengorbananAtthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bagaima