**Bab 020 Aldor**
Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.
Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan.
"Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung kegelisahan. "Saya tidak menyangka Anda akan datang langsung ke sini. Kami sebenarnya sudah mengirim laporan tertulis ke pusat."
Alwyn menatapnya dengan datar, lalu melangkah ke dalam aula, diikuti oleh Marcel Devereux dan Wilham Kessner. Keduanya menjaga ekspresi netral, tetapi tatapan tajam Marcel dengan cepat menyapu ruangan, memperhatikan setiap detail kecil.
"Dan laporan itu tidak cukup," jawab Alwyn dengan nada tenang, namun mengandung ketegasan yang membuat udara di ruangan itu semakin berat. "Saya ingin melihat langsung kondisi Aldor dan Ironvale. Situasi di sini tidak bisa ditangani hanya dengan surat-menyurat."
Edric tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tentu, saya mengerti. Namun, keadaan di sini cukup terkendali. Memang ada beberapa... gangguan kecil dari penduduk lokal, tetapi tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan."
Marcel mengangkat alis sedikit, sementara Wilham mendengus pelan. Pernyataan Edric bertentangan dengan laporan yang mereka terima dari jaringan intelijen. Penduduk pribumi di Ironvale semakin resah, dan ada indikasi bahwa pihak luar mungkin sedang mengincar sumber daya tambang. Jika Edric meremehkan situasi ini, ada dua kemungkinan—ia tidak kompeten, atau ia memiliki kepentingan sendiri yang ingin ia lindungi.
Alwyn mendekat, menatap langsung ke mata Edric. "Saya harap Anda tidak menganggap kedatangan saya sebagai gangguan, Tuan Valmond. Saya datang untuk memastikan Aldor tetap berdiri dengan kuat. Jika ada sesuatu yang perlu saya ketahui, sebaiknya Anda mengatakannya sekarang."
Edric menelan ludah, ekspresinya sekilas menunjukkan ketakutan. Namun, ia segera menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Tentu, Tuan Gusev. Saya akan mengatur pertemuan dengan para pengawas tambang dan administrasi militer Aldor. Saya yakin mereka bisa memberikan laporan yang lebih terperinci."
Alwyn mengangguk. "Baik. Saya ingin melihat semua dokumen terkait Aldor dan Ironvale. Saya juga ingin berbicara dengan kepala pasukan lokal serta beberapa penduduk. Pastikan tidak ada informasi yang ditutup-tutupi."
Edric tersenyum kaku, lalu menoleh ke arah seorang pria yang berdiri di sampingnya—Garrick Mornay, tangan kanannya yang lebih banyak menangani urusan administratif. Garrick adalah pria bertubuh kurus dengan mata licik yang selalu mengamati keadaan dengan cermat. Dibandingkan Edric, Garrick tampak lebih waspada dan perhitungan.
"Segera atur semuanya," perintah Edric kepada Garrick.
"Tentu, Tuan," jawab Garrick, suaranya datar namun nadanya mengandung kesan seseorang yang selalu memiliki agenda tersendiri.
Alwyn melirik ke arah Marcel dan Wilham, memberi isyarat halus. Mereka mengerti—mereka harus tetap waspada. Ada sesuatu di Aldor yang belum terungkap, dan kedatangan mereka di sini mungkin baru awal dari konflik yang lebih besar.
---
**Pertemuan di Aldor**
Setibanya di ruang kerja yang sederhana namun penuh dengan tanda kekuasaan Aldor, Alwyn duduk di depan meja besar yang dipenuhi dokumen-dokumen yang belum tersentuh. Edric Valmond, yang baru saja menerima kedatangan Alwyn, berdiri di dekat jendela, memandangi pemandangan Aldor yang tampak tenang, meskipun suasana di dalam ruangan itu tampak jauh dari itu.
"Tuan Gusev," Edric mulai, suaranya dipenuhi dengan ketegangan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kami menerima laporan terbaru tentang situasi di Ironvale... namun, saya khawatir informasi ini masih belum sepenuhnya jelas."
Alwyn mengamati Edric dengan seksama. Tuan muda ini tampaknya tidak tahu harus mulai dari mana. Sikapnya yang angkuh jelas terasa, namun ada kecemasan yang tak terucapkan di balik raut wajahnya.
"Jadi, menurut Anda, situasinya tidak cukup jelas?" Alwyn bertanya, nada suaranya tenang, namun penuh tekanan. "Apakah itu karena laporan yang Anda terima memang kabur, atau ada sesuatu yang sengaja disembunyikan?"
Edric menoleh ke Alwyn dengan wajah yang sedikit memerah. Ia mengalihkan pandangannya, lalu berbicara dengan terbata-bata. "Ada ketegangan yang berkembang di antara penduduk pribumi, dan kami juga menerima laporan tentang beberapa kejadian yang tidak dapat kami klarifikasi dengan baik... Begitu juga dengan aktivitas di tambang Ironvale, yang terkadang terlalu sulit untuk dipantau."
Sebelum Alwyn sempat menanggapi, suara ketukan terdengar di pintu. Seorang pria paruh baya melangkah masuk tanpa menunggu izin. Tatapannya tajam, dan langkahnya penuh percaya diri, seolah ruangan ini adalah miliknya.
Edric langsung menegakkan bahu, tetapi ada sekilas keragu-raguan di matanya. "Tuan Calen," katanya dengan nada yang mencoba terdengar berwibawa, namun tidak sepenuhnya berhasil.
Calen menatap Edric sekilas, lalu mengalihkan perhatiannya kepada Alwyn. "Tuan Gusev, saya adalah orang kepercayaan Tuan Edric," katanya dengan suara rendah dan tegas, namun tanpa nada hormat yang biasanya diberikan kepada atasan.
Alwyn menatapnya dengan tajam. Di balik sikap profesional Calen, ia merasakan sesuatu yang lebih dalam. Edric mungkin secara resmi adalah penguasa Aldor, tetapi ruangan ini menunjukkan sesuatu yang berbeda—Calen masuk tanpa diundang, berbicara tanpa menunggu persetujuan, dan bahkan tidak menunggu Edric untuk memperkenalkannya.
"Anda?" Alwyn bertanya, suaranya dipenuhi keraguan. "Apa yang Anda ketahui tentang situasi ini yang tidak diberitahukan oleh Tuan Valmond?"
Calen tersenyum tipis, tetapi itu bukan senyum ramah. "Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali kami, Tuan Gusev. Namun, mungkin Anda lebih baik mendengarkan cerita langsung dari orang-orang yang lebih memahami keadaan di lapangan."
Marcel dan Wilham, yang sejak tadi diam, bertukar pandang sejenak. Marcel mendekat dan menambahkan, "Kami akan melakukan observasi lebih mendalam di lapangan, Tuan. Mungkin laporan dari orang-orang yang lebih terlibat bisa memberi Anda gambaran lebih jelas."
Alwyn mengangguk, menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari apa yang telah diberitahukan kepadanya. "Lanjutkan penyelidikan kalian," kata Alwyn kepada Marcel dan Wilham, "Tetap waspada terhadap segala kemungkinan. Kita harus tahu lebih banyak."
Edric tetap berdiri di tempatnya, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu. Calen, di sisi lain, tampak lebih santai, seakan dia yang benar-benar mengendalikan pertemuan ini.
Saat mereka keluar dari ruangan, Alwyn tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Aldor mungkin memiliki dua penguasa—satu yang memegang gelar, dan satu yang memegang kendali nyata.
_ _ _
Alwyn melangkah keluar dari ruang pertemuan dengan kepala yang dipenuhi berbagai kemungkinan. Kata-kata Calen terus terngiang di pikirannya. Bagaimana mungkin seorang kepala pengawal bisa berbicara seolah dialah yang memiliki wewenang penuh? Dan yang lebih aneh lagi, Edric tidak menunjukkan perlawanan sedikit pun.
Di koridor yang panjang dan diterangi cahaya lilin, Wilham menyejajari langkahnya. "Tuan, menurut Anda, siapa yang sebenarnya menguasai Aldor?" tanyanya dengan suara rendah, seolah khawatir dinding pun bisa mendengar.
"Calen," jawab Alwyn tanpa ragu. "Valmond mungkin memegang gelar resmi, tetapi Calen yang menarik benang di belakang layar. Itu terlihat jelas."
Wilham mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawaban itu. "Saya tidak nyaman dengan cara dia memperlakukan Valmond. Jika seorang pemimpin kehilangan wibawa di depan anak buahnya, bagaimana ia bisa diharapkan untuk memimpin?"
Mereka melewati beberapa prajurit yang memberi hormat singkat sebelum melanjutkan tugas masing-masing. Ironvale selalu dipenuhi ketegangan, tetapi Aldor memiliki nuansa yang berbeda—lebih halus, lebih berbahaya.
Setibanya di halaman kastil, Marcel sudah menunggu. "Kami telah mengumpulkan beberapa informasi," katanya segera, tanpa basa-basi. "Ada pihak yang tidak puas dengan keadaan di Aldor, termasuk beberapa bangsawan kecil yang merasa diabaikan. Tapi yang paling menarik adalah bahwa sebagian besar keputusan penting tampaknya tidak berasal dari Edric Valmond."
"Lalu dari siapa?" tanya Alwyn, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Marcel melirik ke arah jendela ruang kerja Edric yang masih menyala. "Saya rasa kita tahu siapa," katanya dengan nada serius.
Alwyn menarik napas dalam. Ia harus memastikan bahwa siapa pun yang benar-benar berkuasa di Aldor tidak akan menjadi ancaman bagi misinya di Ironvale. Namun, bagaimana ia bisa menghadapi seseorang yang bahkan tidak duduk di kursi kekuasaan, tetapi memiliki kendali penuh atasnya?
Malam semakin larut, dan pertanyaan itu tetap menggantung di udara, menunggu jawaban yang belum jelas.
**Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem
**Bab 001: Duka**Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.“Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang,” ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya—meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia
**Bab 002: Perpisahan**Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu."Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur."Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!""Karena itu, jangan gegabah!""Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti...""Tapi, Duch...""Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur
**Bab 003: Konspirasi**Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.---Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar."Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 006 Surat dari Ibu Kota*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima har
**Bab 007 Mencurigakan**---Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali."Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash."Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar."Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja."Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya."Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "Itulah yang tertulis di situ.""Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa."Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu," ujarnya, menyertai kalimat itu dengan
**Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem
**Bab 020 Aldor**Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan."Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung ke
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang
**Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn
**Bab 017 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 016 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 015 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
*Bab 014 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, pemimpin iringan yang diutus Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan saya adalah Randy Rozenfeld,
**Bab 013 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p