**Bab 015 Perjalanan**
Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.
Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.
Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum pernah dilihatnya.
''Lady... Silakan,'' ujar Alwyn dengan sopan saat menyambut di pintu gerbong yang sudah disediakan khusus untuk Atthy.
''Ah!... Baik, terima kasih...'' ujar Atthy menjawab sambil menerima uluran tangan dari Randy. Dia sedikit terkejut karena masih terdiam memandangi ''ular besi'' yang baru pertama kali dilihatnya.
Atthy terheran-heran dengan besi besar dan berat itu. Dalam pikirannya, ia sibuk memikirkan bagaimana benda di hadapannya bisa berjalan membawa puluhan bahkan ratusan orang melintasi dua jajaran besi kurus di sepanjang jalurnya. Benda besar yang terkesan sangat berat itu, bisa memotong waktu perjalanan sepuluh kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan menggunakan kereta kuda. Sebagai seorang pandai besi, Atthy juga terbayang bagaimana besarnya tungku yang digunakan untuk membuat benda besar di depannya.
Gerbong khusus yang dibuat senyaman mungkin untuk seorang bangsawan memang tiada duanya. Terdapat tempat tidur dan sofa yang sangat nyaman meski ukurannya disesuaikan dengan luas gerbong. Gerbong ini khusus disediakan hanya untuk Atthy, sebagai tamu kehormatan Duke Griffith. Para pelayannya menempati gerbong lain yang telah disiapkan, bersama dengan para pengawal. Mereka harus selalu bersiaga dan hanya akan masuk ke gerbong khusus jika Atthy memanggil mereka.
''Lady, kita akan melakukan perjalanan selama sepuluh hari dengan kereta ini. Segala keperluan selama perjalanan telah kami persiapkan. Kami menyadari ini akan sangat tidak nyaman bagi Anda, tetapi harap bersabar sampai kita tiba nanti, Lady. Panggillah kami kapan pun Anda membutuhkan! Kami akan selalu siap, Lady...''
Alwyn dengan sangat sopan menunjukkan seluruh isi gerbong khusus untuk Atthy dan menjelaskan fungsinya.
''Baik,'' jawab Atthy sopan, ''Eum, Tuan Alwyn, bolehkah aku memanggilmu begitu?'' tanya Atthy dengan sangat sopan.
''Tentu saja, Lady,'' jawab Alwyn dengan segera, menyunggingkan senyum formal di wajahnya.
Atthy tersenyum menanggapi Alwyn, lalu berkata, ''Tuan Alwyn!'' sambil memanggil lembut, ''Terima kasih,'' tambahnya dengan senyum manis yang tulus di wajahnya.
Alwyn seolah menyadari arti tersembunyi dari senyum Atthy tersebut, yang membuatnya sempat terkejut.
''Tuan Alwyn, beritahu juga yang lain, buat diri kalian senyaman mungkin!'' seru Atthy, masih dengan sopan, ''Aku akan berusaha untuk tidak menyusahkan kalian.''
''Tidak menyusahkan?!'' gumam Alwyn dalam hati, ''Apa dia bisa melakukannya?''
Alwyn merasa sedikit heran, namun segera setelah itu, dia merasa terharu karena merasakan ketulusan dalam kata-kata Atthy. Ia pun menjawab dengan anggukan kepala disertai senyuman.
---
Ternyata, apa yang direncanakan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Atthy, yang tidak pernah naik kereta, mendapati tubuhnya kesulitan beradaptasi. Dia tidak menyangka jika tubuhnya akan menolak untuk bekerja sama dalam situasi seperti ini.
Di tengah perjalanan, tubuh Atthy yang tidak dalam kondisi baik membuatnya kesulitan untuk menghabiskan makanannya seperti biasanya. Atthy, yang terbiasa hidup sederhana, selalu diajarkan untuk menghargai makanan. Karena itu, dia biasanya akan selalu menghabiskan apa pun yang terhidang di piringnya. Namun kali ini, meskipun sangat berusaha, dia tak mampu melakukannya. Meskipun begitu, dia berusaha untuk tidak memperlihatkan ketidaknyamanannya kepada orang-orang yang baru dikenalnya.
Atthy segera bersiap untuk tidur, berharap bahwa setelah beristirahat, tubuhnya akan lebih baik. Dia bergumam di tempat tidurnya untuk menghabiskan waktu yang terasa membosankan. Rasanya, hampir tidak ada hal yang bisa dilakukan sekarang.
''Awalnya menarik, tapi... bahkan belum lewat satu hari... membosankan! Sepuluh hari terjebak di kereta ini... Kalau tahu begini, seharusnya aku membawa beberapa buku, agar ada sesuatu yang bisa kulakukan...''
''Sayang sekali... Aku harus membuang waktu sepuluh hari terjebak di sini tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Karena kedatangan mereka yang begitu mendadak, aku sampai bingung apa yang harus kubawa. Bahkan uang pun tidak kubawa.''
''Dasar Atthy bodoh! Bagaimana jika terjadi sesuatu sedangkan aku tidak punya bekal apa pun... pakaian yang mereka berikan juga sangat tidak nyaman...''
''Sampai kapan aku harus seperti ini?''
''Haruskah aku kembalikan barang-barang ini?!''
''Tapi... bagaimana jika dia tersinggung?! Dia seorang Grand Duke, penguasa wilayah yang sangat besar... Dia memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan di kerajaan... Tentu uang bukan masalah baginya... Mungkin dia akan tersinggung jika kukembalikan barang-barangnya...''
''Apa harus begini kehidupan yang kujalani nanti?... Huft...'' (Atthy mendesah pasrah), ''Nasib bangsawan miskin sepertiku, bahkan ketiga pelayan yang dikirim olehnya untuk melayaniku... Mereka tidak tulus... aku bisa melihatnya dengan jelas.''
''Tapi, tunggu! Tidak semuanya... Alwyn dan Randy... Mereka sangat, sangat berbeda dengan Billy... Meski mereka juga tampak sedikit aneh...''
---
Malam itu, setelah para ksatria pengawal dan pelayan selesai makan malam, Alwyn dan Randy duduk berhadapan, menghabiskan waktu untuk mencerna makanan yang baru saja mengisi perut mereka. Mereka berdua adalah dua orang dengan jabatan tertinggi dalam iringan rombongan calon mempelai wanita, Lady Atthaleyah Galina, utusan dari Duke Griffith.
"Alwyn, apa kau merasa ada sesuatu yang tidak beres?" Randy memulai percakapan dengan nada tidak pasti.
"Pada Lady Galina?" jawab Alwyn segera, mengingatkan pada betapa jelasnya ekspresi yang sama yang terpancar dari mereka berdua.
Randy mengangguk pelan, wajahnya serius. Dari ekspresi dan nada bicara Alwyn, jelas terlihat bahwa Alwyn juga merasakan hal yang sama dengannya.
"Entah, aku belum bisa membuat hipotesis apa pun," Alwyn menjawab acuh, matanya tajam menatap luar jendela kereta yang bergerak perlahan.
"Tapi... Tidakkah menurutmu aneh?" Randy bertanya lebih lanjut, suaranya mengandung rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, "Tidak ada satu pun dari keluarganya yang hadir untuk melepas kepergiannya."
Alwyn menghela napas, berpikir sejenak. "Aku tahu... Tapi, hal itu bukan urusan kita yang hanya seorang abdi. Penilaian itu akan kita serahkan pada Tuanku Duke. Meskipun, sebelumnya kita sudah mendapat kabar dari utusan Baron Galina bahwa mereka memiliki urusan mendadak."
Randy mendengus pelan, tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi... Tetap saja, kita adalah utusan Duke Griffith, mereka hanya Baron. Sikap mereka sangat tidak bijaksana," kata Randy, dengan nada kesal yang tampaknya semakin sulit untuk ditahan. "Mungkinkah karena pangeran? Karena itu mereka bersikap sembrono?"
"Ya, mungkin," jawab Alwyn sambil menatap ke luar jendela, matanya berkedip cepat. "Meski begitu, tetap saja aneh... Aku belum bisa menyimpulkan apa pun. Informasinya terlalu sedikit... Tapi, apa pun itu, sama sepertimu, aku juga sangat kesal dengan hal itu. Tapi, biarlah... Bukankah kau sudah tahu alasan Duke Griffith menyetujui pertemuan ini? Asumsiku mereka menjadi sombong hanya karena mereka mendapat dukungan besar. Mereka tidak sadar kalau mereka juga sedang dimanfaatkan. Jangan khawatir, saat tiba waktunya kita akan balas mereka. Sekarang, biarkan mereka menikmati sisa waktu yang mereka miliki," jawab Alwyn, wajahnya datar, namun intonasinya terdengar seolah sedang menyeringai, ada kebingungan yang terkubur dalam pikirannya.
Randy menghela napas panjang, matanya sejenak melirik ke arah Alwyn, kemudian kembali menunduk. "Kau mungkin benar... Aku merasa kasihan dengannya," jawab Randy pelan, kata-katanya itu ditujukan pada Atthy, meskipun tidak langsung diucapkan kepadanya.
Alwyn menatap Randy, meliriknya sekilas dengan ekspresi bingung, sebelum kembali diam. Ada sedikit perubahan pada wajahnya, namun hanya sekejap. Matanya kini terfokus pada dokumen yang ada di hadapannya, tapi pikirannya masih terganggu oleh perasaan aneh yang terus berputar tentang Atthy.
"Ya... Aku juga merasa ada sesuatu yang janggal," gumam Alwyn di dalam hatinya, suaranya semakin dalam, hampir tak terdengar oleh Randy. "Ekspresi yang terlihat darinya, sangat tulus. Lady itu... tidak terlihat sedang mengenakan topeng... tapi, tetap saja, ada sesuatu yang aneh."
Alwyn terus memeriksa dokumen di hadapannya, tangannya bergerak perlahan menyusuri kertas-kertas itu, tetapi pikirannya terhenti pada sosok Atthy. Senyumnya, tatapan matanya—semuanya terlihat begitu... tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan dengan perasaan tidak menentu itu?
Sementara Randy, meskipun merasa kasihan, tetap tidak bisa mengabaikan ketidakpuasannya. Apakah benar semuanya seperti yang mereka lihat? Atau ada sesuatu yang tersembunyi lebih dalam?
---
Lima hari sudah berlalu sejak Atthy menaiki kereta api, dan sekitar lima hari lagi dia akan sampai di Alpen. Perjalanan ini dilalui dengan sangat aman dan nyaman, tanpa ada konflik yang berarti. Para pengawal dan pelayan merasa puas, bahkan senang, karena perjalanan panjang ini tidak seberat yang mereka bayangkan sebelumnya.
Namun, dalam kesendirian yang panjang di dalam kereta, kebosanan mulai menghampiri mereka. Tanpa ada hal besar yang terjadi, mereka hanya bisa mengobrol tentang hal-hal kecil yang terlintas dalam pikiran mereka.
"Hei, aku tidak menyangka perjalanan kita akan semulus ini..." seorang pengawal berkata dengan suara datar, matanya menatap kosong keluar jendela.
"Benar, aku bahkan sudah sangat mempersiapkan diri dengan segala kekacauan yang akan dibuatnya," jawab yang lain, suaranya penuh kelakar meskipun sedikit cemas.
"Hm!... Kita bahkan mendapat bonus gaji tiga kali lipat karena mau melakukan perjalanan ini," sahut yang ketiga dengan nada bercanda, mencoba menyegarkan suasana.
"Sejujurnya, aku tidak menyangka dia akan setenang ini..." kata yang lain, mengernyitkan dahi seolah masih kebingungan dengan perilaku Atthy.
Tiba-tiba, suara keras memecah percakapan mereka.
"Perhatikan ucapan kalian!" seru Randy, memasuki gerbong dengan langkah tegas. "Jaga tata tertib kalian, ksatria!" suaranya penuh kewibawaan, langsung membuat suasana hening.
"Perbaiki sikap kalian, kalian bukan prajurit biasa, kalian adalah kesatrianya Griffith!" Alwyn menambahkan dengan nada yang lebih dingin, matanya tajam menatap mereka satu per satu.
Semua prajurit dan pelayan buru-buru memberi hormat, meminta maaf dengan cepat. "Maafkan kami, Tuan."
Namun, salah satu dari mereka yang lebih muda mencoba membela diri. "Tapi Komandan, kami tidak bicara tentang hal buruk..." katanya dengan suara ragu.
"Itu benar, Komandan, kami hanya membicarakan sesuatu yang baik," kata yang lain, tampak kebingungan tapi berusaha menjelaskan.
"Sejak awal, hingga hari ini, tidak pernah sekalipun dia mengeluh," tambah yang lain, sedikit berbisik, merasa bahwa ini tidak seharusnya menjadi masalah.
"Lady!" Alwyn langsung mengoreksi, nada suaranya lebih tajam. "Kalian seharusnya selalu menyebutnya Lady Galina, bukan 'dia'."
Mereka semua terdiam, menyadari kesalahan mereka, lalu segera memberi hormat lagi. "Maaf, Lady Galina, itu maksud kami, Tuan."
"Iya, maafkan kami, Tuan. Tapi semua itu benar adanya, bahkan para pelayan sempat dibuat gusar karena takut kalau mereka melakukan kesalahan. Lady Galina hampir tidak pernah memanggil mereka," kata salah satu pengawal lain dengan sedikit kebingungan.
Alwyn terkejut mendengar hal itu, ekspresinya berubah seketika. Dia selalu sibuk dengan urusannya dan tidak memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Ia merasa ada yang tidak beres.
"Kau panggil para pelayan Lady Atthaleyah untuk berbicara denganku!" seru Alwyn dengan nada perintah yang tegas, dan segera bergegas menuju gerbong pribadinya.
Sama seperti Atthy, Alwyn juga memiliki gerbong pribadinya sendiri, meski tidak semewah yang ditempati oleh Atthy. Namun, kemewahan itu bukanlah yang ia inginkan—tapi kenyamanan dan efisiensi dalam menjalankan tugasnya yang lebih penting. Namun kini, pikirannya terganggu oleh perasaan tak nyaman yang semakin lama semakin berkembang.
---
TOK TOK TOK
"Masuk." Suara Alwyn terdengar datar, namun ada ketegasan di dalamnya.
Ketiga pelayan itu melangkah masuk dengan langkah yang nyaris tak bersuara, berdiri berbaris di hadapan meja kerja Alwyn. Pria itu duduk di kursinya sambil menyilangkan kakinya setelah meletakkan dokumen yang sedang dikerjakannya.
"Tuan Guzev, Anda memanggil kami?" Stela, yang tertua, mencoba terdengar tenang, tetapi nada suaranya sedikit bergetar.
"Benar." Alwyn mengangguk kecil, lalu menggeser pandangannya pada dokumen yang terbuka di meja seolah tidak terlalu peduli, tetapi jelas-jelas setiap gerakannya terukur. "Aku mendengar kabar dari para pengawal bahwa kalian terlihat... gelisah. Apa yang terjadi?"
Pertanyaan itu sederhana, tetapi langsung memotong suasana ruangan seperti pisau tajam.
Ketiga pelayan itu saling melirik, seolah mencoba mencari siapa yang harus bicara lebih dulu. Tidak ada yang menjawab.
"Kuharap aku tidak perlu mengulangi pertanyaanku." Alwyn berbicara dengan suara yang lebih rendah, namun ada tekanan di balik intonasinya. Jemarinya yang tadi mengetuk meja berhenti, dan kini ia melipat kedua tangannya di atas dokumen yang terbuka.
Stela akhirnya mengambil langkah pertama. "T-tidak ada, Tuan. Kami baik-baik saja."
Alwyn mengangkat sebelah alisnya. "Benarkah?" Suaranya tidak terdengar menggertak, tetapi nada skeptisnya lebih berbobot daripada ancaman apa pun.
Bela mencoba menambahkan. "Kami hanya... lelah, Tuan. Itu saja."
"Lelah?" Alwyn mengulang kata itu pelan, seperti sedang menimbang-nimbang maknanya. Pandangannya kini terarah langsung pada Rosa, pelayan yang paling menunjukkan kecemasannya, membuat gadis itu langsung menunduk. "Lelah tidak membuat orang menghindari tatapan, Rosa."
Ketiganya kini diam, jelas tidak tahu harus berkata apa. Suasana ruangan terasa semakin berat, udara seolah dipenuhi ketegangan yang tak terlihat.
"Stela," panggil Alwyn dengan suara rendah tapi penuh kendali, memusatkan perhatiannya pada pelayan tertua itu. "Kau yang paling senior. Jika ada sesuatu yang tidak beres, ini saatnya untuk memberitahuku. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
Stela tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya menggigit bibirnya. Dia menggeleng perlahan, pandangannya tetap tertunduk. "Tidak ada, Tuan. Kami tidak menyembunyikan apa pun."
Keheningan menggantung di ruangan itu. Alwyn memandangi mereka satu per satu, matanya tajam seperti sedang mencoba menembus rahasia yang mereka simpan. Tetapi, dia tidak menunjukkan tanda-tanda frustrasi atau kehilangan kesabaran. Sebaliknya, dia bersandar kembali ke kursinya, gerakannya tenang, penuh percaya diri.
---
**Bab 016 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 017 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang
**Bab 001: Duka**Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.“Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang,” ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya—meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia
**Bab 002: Perpisahan**Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu."Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur."Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!""Karena itu, jangan gegabah!""Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti...""Tapi, Duch...""Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur
**Bab 003: Konspirasi**Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.---Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar."Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang
**Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn
**Bab 017 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 016 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 015 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
*Bab 014 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, pemimpin iringan yang diutus Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan saya adalah Randy Rozenfeld,
**Bab 013 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
**Bab 012 Billy Kutcher**"Selamat pagi, Baron Galina," sapa kepala rombongan itu dengan nada yang diselubungi kepercayaan diri berlebihan. "Aku Billy Kutcher, utusan dari Tuanku Grand Duke Griffith... Kami datang untuk membawa putrimu ke Alpen sekarang juga."Sapaannya terdengar formal, tetapi setiap kata yang terucap seperti pedang yang menyayat, tajam dan penuh penghakiman. Tatapan Billy, penuh keangkuhan, melintas dari wajah mereka seolah-olah mereka hanyalah debu yang tak layak dihargai. Aura kesombongannya begitu jelas, hampir seperti ia tengah menilai mereka sebagai makhluk yang jauh lebih rendah darinya. Ash, yang sudah sejak awal merasa cemas dan tidak nyaman dengan sikap Billy, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah yang sulit ditekan. Hawa dingin mulai memenuhi ruang ini, semakin menebal seiring dengan ketegangan yang semakin memuncak. Setiap kata Billy terasa seperti serangan halus yang merendahkan mereka semua, meski status Rowtag sebagai seorang bangsawa
**Bab 011 Pengorbanan**Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bag