**Bab 016 Kegundahan**
Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut.
"Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.
Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''
"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."
Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah mereka, "jika ada sesuatu yang membuat Lady kalian tidak nyaman, kalian harus melapor kepadaku secepatnya. Jangan ada yang disembunyikan."
"Baik, Tuan. Kami mengerti," jawab mereka hampir serempak, sebelum memberi hormat dan keluar dari ruangan dengan langkah terburu-buru.
Ketika pintu tertutup, Alwyn melepaskan napas kasar, mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua sikunya bertumpu di meja. Tangan kirinya naik, memijat pelipisnya seolah mencoba mengusir pikiran-pikiran yang berputar.
"Sial... aku terlalu gegabah," gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. "Tapi ini semakin jelas. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan—dan itu berkaitan dengan Lady Atthaleyah."
Dia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap tumpukan dokumen yang kini tampak tidak menarik baginya. Perkataan Stela barusan, sikap Rosa yang terlalu gugup, bahkan ketegangan yang terasa di antara mereka... semuanya membentuk potongan teka-teki yang belum utuh.
“Rosa. Dia adalah kunci.” Pikiran itu muncul tiba-tiba. Alwyn tahu, di antara ketiga pelayan itu, Rosa yang paling lemah. Dia mungkin tidak akan berbicara langsung, tetapi tekanan atau situasi yang tepat bisa membuka pintu informasi yang kini tertutup rapat.
Namun, untuk saat ini, Alwyn memilih menahan diri. Dia memutuskan untuk kembali ke dokumen-dokumen di depannya, mencoba mengalihkan perhatian dari kegelisahannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, pikiran tentang Atthy dan pelayannya terus menyelinap masuk, mengusik konsentrasinya.
"Apa yang sebenarnya terjadi di balik ini semua?" Alwyn bertanya dalam hati, sambil memutar-mutar pena di antara jarinya. "Semakin kupikirkan, semakin tidak masuk akal."
Ruangan itu kini sunyi. Hanya suara samar detak jam di sudut ruangan yang menemani Alwyn, tetapi pikirannya tidak pernah benar-benar diam. Ia tahu, cepat atau lambat, rahasia itu akan terungkap.
''Dan ketika itu terjadi, aku harus siap.''
---
"Selamat siang, Lady," sapa Alwyn dengan suara lembut namun penuh wibawa saat dia memasuki gerbong pribadi Atthy.
"Ah, Tuan Alwyn, selamat siang. Ada apa?" balas Atthy dengan sopan, senyumnya terulas manis.
"Apakah Anda baik-baik saja, Lady?" tanya Alwyn, matanya sedikit menyelidik, meski tetap terjaga dalam batas sopan.
"Saya?" Atthy menegakkan tubuhnya, lalu mengangguk dengan anggun. "Tentu saja. Saya baik-baik saja." Nada suaranya terdengar tegas, namun tetap lembut. "Kenapa, Tuan? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?"
Alwyn terkejut sejenak, kelopak matanya terangkat halus. Selama ini, hampir tidak ada orang yang mampu membaca pikirannya selain Duke Griffith atau kolega terdekatnya. Namun, gadis muda di depannya ini, dengan caranya yang polos namun tajam, berhasil menyingkap sedikit keraguannya.
"Maaf atas kelancangan saya, Lady," ucap Alwyn, mengembalikan kendali dirinya. "Namun, apa yang membuat Anda berpikir demikian?"
"Entah," jawab Atthy ringan, bahunya sedikit terangkat. "Naluri saya saja. Senyum Anda tampak berbeda hari ini, dan kata-kata itu keluar begitu saja."
Alwyn terdiam, matanya mengamati wajah Atthy dengan seksama. Gadis muda itu terlihat naif, namun memiliki kepercayaan diri yang menonjol. Ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Alwyn tidak bisa mengabaikannya. Atthy memancarkan aura bangsawan yang tegas dan elegan, namun tanpa kesombongan sedikit pun.
"Maafkan saya jika ucapan saya mengganggu Anda, Tuan Alwyn," lanjut Atthy, suaranya tulus, disertai tatapan bersinar yang memancarkan rasa hormat dan semangat muda.
Alwyn menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. "Tidak, Lady. Sama sekali tidak mengganggu. Sebaliknya, saya sangat tersanjung atas perhatian Anda."
Dia memperbaiki posisinya, kedua tangannya kini terlipat di belakang punggung. "Saya hanya ingin memastikan Anda dalam keadaan baik. Perjalanan ini sudah mencapai separuhnya, dan dalam lima hari lagi kita akan tiba di Alpen. Saya khawatir, Anda merasa bosan atau kelelahan karena terlalu lama di dalam kereta."
Atthy menatap Alwyn, dan kali ini senyum yang lebih dalam terulas di wajahnya. Ada ketulusan yang terpancar dari pria itu, sesuatu yang membuat Atthy merasa dihargai.
"Memang sedikit membosankan," jawab Atthy jujur, "tapi buku-buku yang Anda bawakan dari setiap pemberhentian cukup membantu mengusir rasa bosan saya. Terima kasih banyak, Tuan Alwyn."
"Senang mendengar itu, Lady."
Namun di dalam hatinya, Atthy merasa bersalah. "Maaf, Alwyn," gumamnya dalam hati. "Aku bahkan tidak tahu apa isi buku-buku itu. Aku terlalu lemah untuk benar-benar membacanya. Tapi bagaimana aku bisa mengatakan hal ini kepadamu? Perjalanan ini sudah cukup melelahkan untukmu dan semua orang. Jika aku mengeluh, aku hanya akan menjadi beban."
Alwyn, yang tidak menyadari pikiran Atthy, tersenyum lebih lebar. "Kalau begitu, saya permisi, Lady. Semoga perjalanan selanjutnya tetap menyenangkan bagi Anda."
"Silakan, Tuan Alwyn," jawab Atthy sambil mengangguk lembut, senyumnya tetap terjaga.
Ketika Alwyn meninggalkan gerbong, Atthy menyandarkan tubuhnya ke kursi. Wajahnya masih tampak tenang, namun di balik itu, tubuhnya semakin melemah. Sejak hari pertama perjalanan, rasa mual yang tidak kunjung reda terus menghantui dirinya, dan ini diperburuk dengan kurangnya nafsu makan. Kondisi tubuhnya perlahan menurun, tetapi Atthy, dengan segala kebanggaannya, memilih untuk tidak menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun.
"Aku harus bertahan," pikirnya, memejamkan mata sejenak. "Aku tidak boleh merepotkan mereka. Jika perjalanan ini tertunda karena aku, apa yang akan mereka pikirkan?"
Di sisi lain, Alwyn yang kini kembali ke ruangannya, masih memikirkan percakapan tadi. Senyum Atthy memang menenangkan, tetapi ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
"Dia menyembunyikan sesuatu," pikir Alwyn. "Aku tidak tahu apa, namun, ada sesuatu yang tidak selaras; mata Lady Athaleyah seolah berusaha terlihat tenang, tetapi ada semburat kelelahan yang tidak bisa sepenuhnya disembunyikan."
Namun untuk saat ini, dia memilih menahan rasa penasarannya.
---
''Randy, carikan aku seorang dokter!'' seru Alwyn pada Randy ketika kereta akan memasuki stasiun di setengah perjalanan mereka menuju Alpen.
''Dokter?!'' pekik Randy heran, ''Siapa yang sakit?''
''Lady Athaleyah...''
''Lady Galina?! Baru saja para pelayan itu bilang Lady Galina baik-baik saja dan dia tidak butuh apa-apa...'' ujar Randy dengan nada membantah.
''Para pelayan itu?!'' sahut Alwyn setengah membeo, ''Mereka tidak bisa dipercaya... bagaimana mereka bisa menyebut diri mereka pelayan pribadi jika mereka tidak bisa mengenali kondisi majikannya,'' tambah Alwyn dengan nada kesal.
Randy mengerutkan dahi melihat teman sejak masa akademi bisa membuat ekspresi seperti itu untuk wanita yang baru lima hari dikenalnya. Tapi segera setelahnya, ujung bibir Randy tampak terangkat. Dia cukup senang melihat temannya mau tertarik dengan orang lain yang baru dikenal.
''Dokter... baiklah, aku akan mencarikannya.''
Randy menyetujui permintaan Alwyn dengan senang hati.
''Ah, Randy!'' panggil Alwyn ketika Randy hendak meninggalkannya, ''Kalau bisa cari dokter wanita!'' tambah Alwyn, menambahkan catatan penting dalam nota permintaannya.
Randy mengangkat alisnya menanggapi Alwyn, lalu dia memperlihatkan ekspresi aneh, tapi Alwyn mengacuhkannya dan segera berbalik untuk melarikan diri dari rasa penasaran Randy.
---
Tujuh hari berlalu sejak Atthy meninggalkan Nauruan.
“Lady, bagaimana kondisi Anda?” tanya Alwyn dengan wajah cemas, suaranya menggantung penuh kekhawatiran.
“Ehm... Seperti yang Anda lihat. Maaf, sudah menyusahkan kalian,” jawab Atthy dengan ekspresi sungkan, suaranya terdengar lemah namun matanya tetap memancarkan ketegaran yang tak tergoyahkan.
“Lady, ini karena kelalaian saya yang melupakan kondisi Anda...” ujar Alwyn dengan wajah penuh penyesalan, matanya menatap Atthy dengan kekhawatiran yang dalam. Ia tidak bisa menahan rasa bersalahnya, seakan-akan ia bertanggung jawab atas penderitaan Atthy.
“Tidak apa, jangan salahkan dirimu... Ini adalah kali pertama saya naik kereta, saya tidak tahu kalau ternyata saya akan mabuk kendaraan. Ditambah lagi, semakin kita mendekat ke tujuan, suhu semakin dingin... Saya terbiasa berada di wilayah gurun dan sabana, jadi tubuh saya sepertinya sedikit terkejut saat kita mulai mendekati wilayah Alpen yang dingin...” jawab Atthy sambil menahan sakit di tenggorokannya, matanya sesekali menutup untuk meredakan rasa sakit yang menyiksa.
“Gurun?! Sabana?!... Aku tahu Nauruan memiliki temperatur suhu yang hangat, tapi apakah harus disebut gurun? Sabana? Yang aku tahu, Nauruan hanya wilayah tropis, tapi gurun, aku tidak tahu yang seperti itu...” pekik Alwyn dalam hatinya. Ia terkejut dengan alasan yang baru saja diungkapkan oleh Atthy, merasa ada yang aneh.
“Baiklah, semoga tidak bertambah buruk. Mungkin sebentar lagi, tubuh Lady Athaleyah akan segera beradaptasi,” jawab Alwyn dengan suara lembut, meskipun rasa cemas masih terbayang di wajahnya, ia berusaha memberi semangat pada Atthy.
“Eum... Saya harap begitu,” jawab Atthy sambil tersenyum tipis, meski wajahnya pucat dan lelah, aura keteguhan dalam dirinya tak hilang.
“Tiga hari lagi kita akan segera tiba di Stasiun Bellhaven, Alpen, lalu akan melanjutkan perjalanan ke Eldoria di Skythia. Butuh waktu satu hari dari Bellhaven ke Eldoria. Maaf, setiap hari saya hanya bisa mengatakan ini, tolong bersabarlah sedikit lagi...” ujar Alwyn sekali lagi, suaranya penuh rasa simpati, wajahnya tampak sangat peduli.
“Eldoria?! Skythia?!” sahut Atthy dengan suara serak, matanya terbuka lebar karena terkejut. Suara itu nyaris tak keluar, terhalang oleh sakit tenggorokannya yang semakin parah.
Tindakan Atthy barusan membuat Alwyn sedikit terkejut. Dia merasa seperti Atthy baru saja mendengar tentang Skythia, padahal ini adalah tujuan mereka yang sudah direncanakan.
Atthy ingin bertanya lebih lanjut, namun rasa sakit yang tajam di tenggorokannya membuatnya terhenti sejenak. Ia mencoba mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
“Maaf, Tuan Gusev...” panggil Sarah, “Sepertinya, tenggorokan Lady Galina sakit... sebaiknya biarkan lady istirahat dulu...”
“Ah! Maafkan saya, Lady... Baiklah, saya akan undur diri dulu... Anda beristirahatlah, jangan memaksakan diri Anda!” Alwyn berkata dengan nada penuh penyesalan.
“Hm... Terima kasih, Alwyn. Jangan terlalu cemas!” sahut Atthy dengan senyuman yang mencoba terlihat tulus, meski bibirnya terasa kaku dan tubuhnya lemas.
“Lady, jangan sungkan!” seru Alwyn, matanya dipenuhi rasa cemas yang mendalam. “Anda bisa memanggil kami kapan pun Anda mau...”
Alwyn benar-benar bingung. Kondisi Atthy begitu buruk, namun ia tak pernah mengeluh. Apa pun obat atau makanan yang disediakan, Atthy selalu menelannya tanpa bantahan. Meskipun sakit, Atthy tak pernah memanggil pelayan untuk melayaninya. Ia seperti terbiasa melakukan segalanya sendiri, hal yang sangat berbeda dengan kebanyakan lady yang ditemuinya.
“Saya mengerti, jangan khawatir!” jawab Atthy, matanya tetap menatap Alwyn dengan tatapan penuh keteguhan, meski wajahnya pucat dan tubuhnya lemah. Aura di sekitarnya tetap menunjukkan kekuatan yang luar biasa. “Lagi pula, Dokter Windfold selalu mendampingi saya sekarang...”
“Anda... lebih nyaman bersama Dokter Windfold, rupanya...” ujar Alwyn dengan wajah yang terlihat lega, senyum tulusnya muncul seiring dengan rasa tenang yang sedikit meresap.
Atthy sempat bingung dengan ucapan Alwyn barusan, namun akhirnya ia memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Dokter Sarah Windfold, yang duduk di samping Atthy, tersenyum dengan senang sekaligus bangga mendengar ucapan Alwyn. Senyum itu mengungkapkan rasa puasnya atas perhatian yang diberikan kepada Atthy.
Alwyn akhirnya meninggalkan Atthy untuk beristirahat sendirian di ruangannya, meski wajahnya masih terlihat cukup cemas. Ia ingin menemaninya, tapi ia tahu itu tidak pantas dilakukan, karena dirinya hanyalah pelayan, sedangkan Atthy adalah tamu majikannya.
---
**Bab 017 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang
**Bab 001: Duka**Kamar tidur yang megah itu kini terasa sesak. Di tengah kemewahan, Atthy duduk terpaku di tepi ranjang, matanya masih membesar mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari suaminya. Duke Hugh Griffith, yang seharusnya menjadi pelindung dan pasangan hidupnya, berdiri dengan sikap santai di samping tempat tidur. Sambil merapikan pakaian yang tercecer di lantai, ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hati Atthy.“Kau hanya seorang wanita bodoh. Kau terlalu tinggi menilai dirimu sendiri. Bagiku, kau tidak lebih baik dari mereka yang mengemis perhatian pria di jalanan demi sekantung uang,” ujar Hugh dengan suara datar, tanpa ada nada penyesalan.Kata-kata itu seakan menjatuhkan seluruh dunia Atthy. Tubuhnya bergetar, hatinya seolah tersayat oleh pedang tak terlihat. Ia ingin berteriak, menantang, melawan, namun pikirannya berkata untuk tetap tenang. Ini adalah pernikahannya—meskipun hanya di atas kertas. Keluarganya menaruh harapan besar padanya, dan Atthy tahu bahwa ia
**Bab 002: Perpisahan**Helena menatap dengan mata terbuka lebar saat melihat Atthy yang tampaknya begitu tenang meski dalam situasi yang sangat emosional. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, hanya ketenangan yang tampak begitu kontras dengan perasaan gelisah yang menguasai Helena. Tangan Helena masih menahan tangan Atthy yang menggenggam erat dokumen perceraian itu."Duchess..." suara Helena sedikit gemetar, "Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Tuan Hugh mengirimkan surat ini?"Atthy menarik napas panjang, matanya kosong sejenak seolah mencerna apa yang harus dikatakan. Wajahnya yang lembut terlihat begitu letih. Bahkan, dengan senyum pahit di bibirnya, Atthy tetap terlihat terjaga dalam keadaan hati yang hancur."Kau bertanya pada orang yang salah, Helena. Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus menerima semua perlakuan ini!""Karena itu, jangan gegabah!""Aku lelah, Helena... Aku ingin berhenti...""Tapi, Duch...""Helena!" panggil Atthy dengan tatapan tegas menegur
**Bab 003: Konspirasi**Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.---Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar."Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang
**Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn
**Bab 017 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn
**Bab 016 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 015 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
*Bab 014 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, pemimpin iringan yang diutus Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan saya adalah Randy Rozenfeld,
**Bab 013 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
**Bab 012 Billy Kutcher**"Selamat pagi, Baron Galina," sapa kepala rombongan itu dengan nada yang diselubungi kepercayaan diri berlebihan. "Aku Billy Kutcher, utusan dari Tuanku Grand Duke Griffith... Kami datang untuk membawa putrimu ke Alpen sekarang juga."Sapaannya terdengar formal, tetapi setiap kata yang terucap seperti pedang yang menyayat, tajam dan penuh penghakiman. Tatapan Billy, penuh keangkuhan, melintas dari wajah mereka seolah-olah mereka hanyalah debu yang tak layak dihargai. Aura kesombongannya begitu jelas, hampir seperti ia tengah menilai mereka sebagai makhluk yang jauh lebih rendah darinya. Ash, yang sudah sejak awal merasa cemas dan tidak nyaman dengan sikap Billy, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh amarah yang sulit ditekan. Hawa dingin mulai memenuhi ruang ini, semakin menebal seiring dengan ketegangan yang semakin memuncak. Setiap kata Billy terasa seperti serangan halus yang merendahkan mereka semua, meski status Rowtag sebagai seorang bangsawa
**Bab 011 Pengorbanan**Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bag