Home / Romansa / MENJEMPUT ISTRIKU / 006 Keputusan

Share

006 Keputusan

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2024-11-01 19:03:11

**Bab 006: Keputusan**

Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.

Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi di perbatasan hutan menjadi ancaman nyata, memaksa warga untuk selalu waspada. Penduduk gurun ini sudah terbiasa mengatur waktu mereka agar bisa berangkat bersama dalam kelompok besar. Mereka berangkat dalam konvoi yang terdiri dari delapan desa lain, yang menghuni sembilan oase di wilayah gurun pasir dan sabana Caihina, semuanya masih termasuk dalam wilayah milik Nauruan.

---

**Pusat Kota Nauruan**

Ash dan Ay tiba di pusat kota Nauruan setelah perjalanan panjang bersama rombongan konvoi. Kota itu ramai seperti biasa, dengan pedagang yang memanggil pelanggan, suara lonceng yang sesekali terdengar di alun-alun, dan hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Aroma rempah dan debu bercampur di udara, menciptakan atmosfer khas kota dagang yang penuh pergerakan. Namun, bagi Ash, perjalanan kali ini bukan hanya soal menjual barang dagangan—ada beban yang jauh lebih berat menekan pikirannya.

Sejak pagi, ia dan Ay telah menyebar ke beberapa sudut pasar untuk menggali informasi tentang Grand Duke Griffith, sosok yang bisa saja menjadi menantu keluarga mereka. Namun, semakin banyak mereka mendengar, semakin gelap bayangan pria itu di benaknya.

"Grand Duke Griffith? Jangan pernah main-main dengannya," ujar salah satu pedagang dengan nada rendah, seolah takut ada yang mendengar. "Dia itu pria besi. Hatinya sudah beku sejak lama. Tidak ada belas kasihan bagi mereka yang melawannya."

"Mereka bilang," sambung seorang wanita tua yang menjual kain, "dia merebut Alpen dengan darah. Tidak ada yang bisa menantangnya, bahkan keluarga kerajaan sekalipun lebih memilih bekerja sama dengannya daripada menentang kehendaknya."

Rumor demi rumor mengalir seperti racun di telinga mereka. Ay, yang berdiri di dekat Ash, mendengarkan semuanya dengan ekspresi yang semakin suram. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan diri untuk tidak meledak.

Saat mereka akhirnya beristirahat di sebuah kedai kecil di sudut kota, Ay tak bisa lagi menahan gejolak di hatinya. Ia meletakkan gelas minumnya dengan kasar ke atas meja, suaranya hampir bergetar saat berbicara.

"Ayah, apa benar dia itu... calon kakak iparku? Orang tua bangka yang kejam itu?"

Ash mendesah berat. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. "Itu hanya rumor, Ay. Kita tidak tahu pasti bagaimana dia sebenarnya."

"Rumor? Ayah, aku tahu ayah juga tidak percaya semua itu hanya cerita kosong!" Ay membanting tangannya ke meja, membuat beberapa pelanggan di sekitar mereka menoleh. "Kakakku bukan barang dagangan, Ayah! Dia manusia, bukan sesuatu yang bisa ditukar demi nama baik atau gelar!"

"Jaga bicaramu, Ay!" hardik Ash, suaranya sekeras cambuk yang menghentikan amarah putranya sejenak. "Aku tahu betul apa yang kau rasakan! Kau pikir aku ini bodoh?! Sebelum dia kakakmu, dia adalah putriku. Apa kau pikir aku rela menyerahkan Atthy pada pria seperti itu?!"

Kedua lelaki itu saling menatap, mata mereka penuh kemarahan, tapi juga kegelisahan yang sama. Ay masih muda, emosinya meledak-ledak. Sementara Ash, yang telah mengarungi lebih banyak badai dalam hidupnya, mencoba mencari jalan keluar tanpa terbawa oleh amarah.

Ay menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Ayah, aku tidak peduli dengan gelarnya, bahkan jika dia seorang raja sekalipun. Aku tidak rela kakakku dijadikan tumbal ambisi bangsawan busuk." Suaranya lebih tenang sekarang, tapi tekadnya jelas terpahat dalam setiap kata. "Tolak lamaran itu, Ayah. Aku mohon."

Ash menatap putranya dalam-dalam. Ada rasa bangga yang sulit dijelaskan melihat keberanian Ay untuk berbicara seperti itu. Tapi di sisi lain, ia juga tahu, dunia tidak sesederhana itu. Setiap keputusan memiliki konsekuensi, dan ini bukanlah pertarungan yang bisa dimenangkan hanya dengan penolakan semata.

Setelah menarik napas panjang, Ash meletakkan tangannya di bahu Ay dan berkata, "Dengarkan aku, Ay. Kita sedang bermain dalam dunia yang penuh intrik. Aku bukan hanya ayahmu, tapi juga kepala keluarga ini. Setiap keputusan harus kupikirkan matang-matang, bukan hanya untuk Atthy, tapi untuk kalian semua. Jangan pernah berpikir aku akan menyerahkan keluargaku tanpa perlawanan."

Ay terdiam, matanya masih menyimpan bara kemarahan, tapi kini disertai dengan pemahaman yang lebih dalam. Dengan raut menyesal, ia berkata, "Maaf, Ayah. Aku tadi terlalu emosi. Aku tahu Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kita."

Ash tersenyum tipis. Tangannya terulur, mengusap kepala putranya dengan lembut. "Aku bangga padamu, Ay. Kau masih muda, tapi keberanianmu untuk melindungi keluargamu sudah lebih besar dari pria dewasa. Kakekmu pasti akan bangga melihatmu seperti ini."

Ay menunduk, wajahnya memerah karena malu. "Terima kasih, Ayah."

Namun, di balik percakapan ini, Ash tahu ancaman Grand Duke Griffith tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi, ia harus memastikan Atthy tidak menjadi korban pernikahan politik ini.

---

Beberapa hari kemudian

---

Ash berdiri di ruang tamu sederhana mereka, tatapannya menembus kaca jendela yang dipenuhi embun pagi. Suasana sunyi, hanya suara kayu yang berderak di perapian kecil di sudut ruangan. Ia baru saja selesai memaparkan hitungannya kepada Rowt, mengungkap kecurigaan yang terus menghantuinya sejak menerima kabar tentang utusan dari Alpen.

"Ayah, ini tidak masuk akal." Ash berbalik menatap Rowt yang duduk santai di kursi kayu. "Seharusnya, berdasarkan perjalanan surat dan logistik, utusan mereka tak mungkin tiba secepat ini. Tapi nyatanya, mereka lebih cepat dua belas hari dari perkiraan."

Rowt mendongak, menggaruk jenggotnya yang mulai memutih. "Kau benar. Tapi untuk apa mereka tergesa-gesa?"

"Itu juga yang kupikirkan!" Ash mulai kehilangan kesabaran. "Ayah, ini terasa seperti jebakan. Seolah semuanya sudah dirancang sejak awal."

Rowt mendengus, seolah tak terkesan dengan kegelisahan Ash. "Tentu saja semuanya dirancang. Ini lamaran pernikahan, anak bodoh. Apa kau pikir mereka akan melakukan ini secara sembarangan?"

"Ayah!" Ash membentak, wajahnya merah padam. "Aku serius! Jangan main-main dengan ini! Ini menyangkut masa depan putriku, masa depan Atthy!"

Rowt, bukannya terganggu, justru tersenyum kecil sambil mengangkat alis. "Dan kau pikir aku tidak serius? Jangan terlalu banyak mengoceh, Ashton Galina. Emosimu itu seperti pedang tumpul—hanya membuatmu terlihat lemah."

Ash mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. "Kau tampaknya menikmatinya, Ayah. Tapi aku tidak punya waktu untuk bercanda. Kita harus memikirkan langkah selanjutnya."

Rowt mendengus pelan. "Langkah apa? Kau sendiri yang bilang bahwa kita tidak mungkin menghentikan utusan mereka di tengah jalan. Kau mau melawan Grand Duke Griffith? Kita ini cuma keluarga kecil yang bahkan tidak dianggap di kalangan bangsawan! Tidak ada jalan lain, Ash, selain menghadapi mereka saat mereka tiba."

Ash membuang napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tahu itu. Tapi apa kau tidak merasa ada sesuatu yang tidak beres? Untuk apa mereka memaksakan lamaran ini? Kita tidak punya kekuatan, tidak punya harta. Apa yang mereka inginkan dari kita?"

Rowt mengangkat bahu. "Mungkin mereka ingin keturunan."

Ash memutar bola matanya, ekspresinya menunjukkan betapa tidak masuk akalnya pernyataan itu. "Ayah, dia punya empat anak laki-laki dan dua cucu. Kalau dia ingin keturunan, ada banyak wanita bangsawan lain yang akan rela berbaris untuk menjadi istrinya, meski dia sudah bau tanah seperti kau."

Rowt tidak terganggu oleh ejekan Ash. Ia hanya menyeringai kecil. "Kau benar. Tapi bagaimana kalau ada alasan lain?"

"Alasan lain?" Ash menyipitkan matanya, mencoba memahami maksud ayahnya.

"Ya," jawab Rowtag sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kau yakin tidak ada yang bermasalah dalam masa lalumu? Tidak ada musuh yang mungkin mencoba mengincar keluarga kita? Atau... mungkin sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"

Ash mendengus keras, nadanya sarkastik. "Tentu saja aku punya banyak musuh, Ayah. Bandit yang suka menghadang di perbatasan, para preman pasar yang tidak tahu diri yang selalu mencoba menggoda putriku, atau bahkan wanita-wanita yang tidak bisa menerima penolakanku. Kau tahu, aku pria yang cukup menarik."

Rowt memutar matanya, jelas tak terhibur oleh humor Ash. "Ashton Galina! Sudah cukup dengan omong kosongmu. Aku tidak tertarik mendengarmu membanggakan diri!"

"Kau yang bertanya," balas Ash santai, meski ekspresinya tetap serius. "Dan untuk jawabanmu, aku tidak tahu. Aku tidak punya musuh yang cukup gila untuk mengatur semua ini. Lagipula, pernikahan ini lebih menguntungkan daripada menghancurkan kita. Kalau Atthy sampai menjadi istri Grand Duke Griffith dan berhasil mendapatkan posisinya, bukankah itu malah merugikan mereka?"

Rowt terdiam, merenungkan kata-kata Ash. Setelah beberapa saat, ia mendesah. "Kau benar. Tapi itu tetap tidak menjelaskan kenapa semua ini terjadi. Dan sekarang, masalah terbesarnya adalah bagaimana kita akan menghadapi utusan mereka yang akan tiba dalam waktu sepuluh hari."

Ash mengangguk. "Tak ada pilihan. Kita harus menerima mereka dengan hormat. Meski aku tahu, ini hanya akan membawa lebih banyak masalah."

---

---

Ash dan Rowt akhirnya terpaksa menceritakan seluruh perkara yang sedang mereka hadapi kepada Atthy dan Ay. Mereka menyadari bahwa kedua anak itu, cepat atau lambat, akan menyadari adanya masalah dan pasti tidak akan tinggal diam. Hanya Gafy dan Dimi yang tidak dilibatkan karena usia mereka yang masih terlalu kecil.

Malam itu, Atthy menemukan Ay yang sedang termenung di atas atap rumah. Tubuhnya merebah santai, pandangannya lurus ke langit malam yang penuh bintang.

"Atthy, apa yang kau lakukan di sini?" gumam Ay tanpa menoleh, menyadari kehadiran kakaknya.

Atthy mengabaikan pertanyaan itu dan ikut duduk di samping Ay. Ia mengikuti arah pandangan adiknya, menatap luasnya langit yang tampak begitu tenang, kontras dengan pikiran mereka yang kacau.

"Ay, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Atthy lembut.

"Tidak ada," jawab Ay singkat. Suaranya terdengar datar, tapi jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Aku hanya mengagumi betapa luasnya angkasa..."

Atthy mendesah pelan. Ia mengenal Ay terlalu baik untuk menerima jawaban itu. "Ay, aku sudah mengasuhmu sejak kau masih kecil. Jangan coba-coba menyembunyikan apa pun dariku," ujarnya sambil menyentil dahi Ay dengan gemas.

Ay memegangi dahinya, mendengus kesal. "Kak, alasan terbesar kenapa kau akhirnya menyetujui lamaran itu adalah karena bujukan Gafy... Apa kau yakin akan menikahi bandot tua itu?" tanyanya tiba-tiba, menatap Atthy dengan tajam.

"Ay, perhatikan cara bicaramu!" tegur Atthy tegas, matanya memandang Ay dengan serius. "Ayah akan sangat marah jika mendengar kau berkata tidak sopan seperti itu."

Namun Ay tidak mundur. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke langit, wajahnya menyiratkan keraguan yang mendalam. "Aku hanya tidak mengerti, Kak... Kenapa harus kita? Kenapa kau harus menerima semua ini?"

Atthy terdiam, tidak langsung menjawab. Angin malam yang sejuk terasa begitu dingin, membawa keheningan yang semakin menekan.

Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.

''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.

Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"

Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"

Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bagaimana aku, Aydan Galina, adikmu ini tidak mencemaskannya?"

Atthy tertawa kecil, menahan geli saat mendengar ketegasan Ay. "Hehehe... Aku tahu, kalian semua sangat menyayangiku, aku mengerti..."

Ay menggigit bibirnya, masih kesal, namun tidak bisa menahan kasih sayangnya terhadap kakaknya. "Makanya jangan tertawa seperti itu, seolah tidak ada yang salah!" katanya, namun masih ada kelembutan dalam nada suaranya. "Kenapa sikap Kakak sama seperti Kakek? Yang selalu santai dalam setiap situasi?" Ay menatap Atthy dengan ekspresi memelas, lalu melanjutkan, "Aku sangat cemas, Kak. Kita ini hanya keluarga bangsawan rendah yang bahkan tidak dikenal di kalangan aristokrat. Bagaimana kita bisa menghadapi seorang Grand Duke yang punya kekuasaan besar dan didukung oleh kerajaan?"

Atthy tersenyum, masih mencoba meredakan ketegangan dengan cara bercanda. "Lalu, siapa yang dengan lantang bilang, 'Tidak peduli dengan kedudukannya, walau dia seorang Grand Duke sekalipun...'?" Atthy menyelipkan sedikit sindiran, menggoda Ay yang masih terlihat tegang. "Bukankah itu adik kecilku yang manis yang akan melindungi kakaknya dari pernikahan dengan bandot tua yang sudah bau tanah?"

Ay tersipu, wajahnya memerah, tapi tetap melotot ke arah Atthy yang sedang menggodanya. "Itu karena aku emosi saat itu..." jawabnya sambil menggosok hidungnya, merasa canggung dengan kata-kata kakaknya. "Dan perhatikan kata-katamu, itu kasar!" Ay menegur kakaknya dengan nada serius, meski matanya masih menyimpan rasa sayang.

Atthy tidak bergeming, tersenyum lebar, menikmati momen ini. "Lalu, bagaimana sekarang?" tanyanya dengan ekspresi setengah bercanda, setengah serius, seperti biasa.

Ay tidak langsung menjawab. Wajahnya yang awalnya ceria kini berubah serius. "Aku masih tidak akan merelakanmu!" jawabnya dengan tegas, namun nada suaranya sedikit melembut. "Tapi aku juga tidak bodoh. Aku tahu kalau menentang bangsawan tinggi seperti itu ada risikonya, Kak. Itu soal berani dan nekat. Kita tidak bisa sembrono. Aku tahu Kakek masih gagah, tapi tidak bisa menutup kenyataan bahwa dia sudah tidak muda lagi. Gafy, kita semua tahu, dia juga berusaha dengan caranya sendiri agar tidak terlalu merepotkan kita meski tubuhnya lemah. Dimi, dia masih bocah, terlalu polos untuk memahami ini."

Ay memandang Atthy dengan serius. "Apa kita sanggup menghadapi Grand Duke yang disegani bahkan oleh keluarga kerajaan?"

Atthy diam sejenak, memandang Ay dalam diam, meresapi kata-kata adiknya. Meskipun Ay mengaku takut, tatapan matanya tetap tajam, penuh tekad dan keberanian. Atthy menyadari, meskipun ada kekhawatiran, Ay tidak akan mundur begitu saja. Ia siap menghadapi apa pun demi keluarga mereka.

Atthy mengangguk pelan, sebuah senyuman lembut menyapanya. "Aku tahu, Ay... kita akan menghadapi ini bersama."

Atthy memandang Ay dengan tatapan penuh kehangatan. Meskipun ada rasa bangga, nada suaranya tetap serius. "Kau sudah dewasa, Ay. Aku tahu kau sangat menyayangiku, tapi ingat, emosi tidak akan menyelesaikan masalah. Jika nanti situasi tidak dapat dikendalikan, kau harus tetap tenang dan ingat tanggung jawabmu sebagai seorang pria dalam keluarga kita."

Ay terdiam sejenak, meresapi perkataan kakaknya. Namun, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. "Kakak... Aku..." Ay menatap kakaknya dengan mata penuh kemarahan, "Jangan bicara seperti itu! Jangan bicara tentang pernikahan dengan orang itu, seorang bandot tua itu! Aku tidak bisa menerima itu!"

Atthy tersenyum lembut, namun senyum itu mengandung kehangatan yang hanya dimiliki seorang kakak yang tahu betapa besar perhatian adiknya. Matanya tampak penuh penyesalan. "Aku tahu kau cemas," ujarnya dengan pelan, "tapi kita harus berpikir lebih jauh. Anggap saja ini keberuntungan. Mungkin dengan aku menikah dengannya, kehidupan Gafy dan Dimi akan lebih baik. Mereka akan mendapatkan kesempatan yang lebih layak."

"Apa Kakak gila?!" Ay memotong, wajahnya memerah karena marah. "Bukan 'mungkin', itu sangat buruk, Kak! Aku tidak peduli apa alasanmu!"

Atthy mengangguk, tanda bahwa dia menghargai pendapat Ay meski berbeda. "Iya, iya, baiklah... sangat buruk, puas?" kata Atthy sambil tersenyum santai, meskipun jelas dia tahu perasaan Ay.

Ay memutar matanya kesal, namun hatinya tetap penuh kasih untuk kakaknya. "Jangan coba-coba membujukku dengan cara seperti itu," ujarnya tegas. "Aku tahu kamu punya alasan, tapi itu tidak bisa diterima begitu saja."

Atthy tidak marah, justru ia memandang Ay dengan lembut. "Kesampingkan dulu sisi negatif dari masalah ini, Ay. Mari kita pikirkan dampak positifnya." Ia berhenti sejenak, menatap langit malam yang gelap. "Ay, mungkin pada generasi ayah kita, dia gagal memperbaiki kedudukan keluarga ini. Tapi aku berharap, dengan aku menyetujui pernikahan ini, Dimi bisa menikmati pendidikan di akademi, seperti yang ayah inginkan. Dan aku ingin Gafy bisa meraih impian-impiannya, bisa melihat dunia lebih luas."

Ay ingin menyela, tetapi dia tahu kakaknya berbicara dengan hati. Meskipun hatinya berat, Ay menyadari bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan, setidaknya saat ini. Ia hanya bisa mendengarkan.

Atthy melanjutkan, suaranya lembut, "Maafkan aku, Ay. Aku tahu kemampuanmu luar biasa, kau sangat pintar dan berbakat. Tapi, sayangnya, keadaan kita tidak memungkinkanmu untuk mendapatkan pendidikan yang layak di akademi."

Ay menatap kakaknya dengan tatapan penuh semangat, "Kak, aku tahu kamu dan ayah serta kakek bekerja keras untuk kami. Aku memang sedih karena tidak bisa mengenyam pendidikan formal, tapi sama seperti kamu, aku akan berusaha agar Dimi tidak berakhir seperti aku."

Ia menatap Atthy dengan tegas, "Jadi tolong, Kak, lupakan pemikiranmu untuk menikahi pria itu hanya demi hal sepele seperti itu."

Atthy terdiam, meskipun wajahnya tetap serius. "Pendidikan untuk Dimi, kehidupan yang lebih baik untuk Gafy, itu bukan hal sepele, Ay."

"Itu sepele, Kak?!" Ay menatap kakaknya dengan mata penuh tekad. "Terlalu mahal jika itu mengorbankan masa depanmu meski itu untuk mereka! Kakak, sungguh aku sangat tidak menyukainya!" Ay berbicara dengan suara lantang, tidak lagi menahan amarahnya. "Kakak tidak mempercayai kami? Tidak mempercayai kemampuanku untuk berjuang bersama?"

Atthy menatap Ay dengan mata penuh penyesalan. "Ay..."

Ay menatap Atthy dengan serius, matanya penuh tekad. "Jika begitu, bersabarlah. Jangan terburu-buru. Kita akan berusaha bersama. Masih ada tiga tahun lagi sebelum Dimi bisa mengikuti ujian masuk ke akademi kerajaan."

Atthy tersenyum kecil, meskipun hatinya penuh keraguan. "Ya, masih tiga tahun. Kita akan berusaha sama-sama," jawabnya pelan, sedikit mengangguk.

Ay menatap langit malam yang gelap, berharap bahwa masa depan mereka akan lebih cerah. "Setidaknya gelar kakek kita tidak hanya akan berakhir di atas kertas. Aku berharap Dimi bisa mewujudkannya."

"Semoga saja," jawab Atthy, senyum kecil kembali muncul di bibirnya, meski masih ada beban di dalam hatinya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJEMPUT ISTRIKU   007 Dengki

    **Bab 007 Dengki**Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak."Jadi, apa yang h

    Last Updated : 2024-11-08
  • MENJEMPUT ISTRIKU   008 Billy Kutcher

    **Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu

    Last Updated : 2024-11-15
  • MENJEMPUT ISTRIKU   009 Stela, Bela, dan Rosa

    **Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p

    Last Updated : 2024-11-22
  • MENJEMPUT ISTRIKU   010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt

    *Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke

    Last Updated : 2024-11-29
  • MENJEMPUT ISTRIKU   011 Perjalanan

    **Bab 011 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum

    Last Updated : 2024-12-06
  • MENJEMPUT ISTRIKU   012 Kegundahan

    **Bab 012 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek

    Last Updated : 2024-12-13
  • MENJEMPUT ISTRIKU   013 Dokter Sarah Windfold

    **Bab 013 Dokter Sarah Winfold**---HAHHHDesahan yang terdengar cukup keras dan berat dari Alwyn membuat Randy terkejut. Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan wajah sahabatnya yang tampak cemas, sebuah ekspresi yang sangat jarang ia lihat."Alwyn, ada apa?" tanya Randy, dahi mengernyit, merasakan ketegangan yang berbeda dalam sikap Alwyn. "Wajahmu... Terlihat jelas kau sedang cemas... Seperti bukan dirimu yang selalu tenang," lanjutnya, penuh keheranan."Lady Atthaleyah... Aku bingung harus bagaimana?" jawab Alwyn, suaranya penuh keluh kesah."Kenapa?" seru Randy, masih heran. "Bukankah selama ini Lady tidak pernah membuat masalah, kecuali jika dia sakit, tapi itu bukanlah hal yang bisa diatur...""Justru itu masalahnya, Randy," Alwyn memotong, ekspresinya cemberut, matanya tampak penuh keresahan. "Lady tidak pernah mengeluh, bahkan sekali pun! Malah membuatku semakin cemas melihat keadaannya yang semakin membingungkan."Randy terdiam sejenak, mencerna keluhan aneh sahabatn

    Last Updated : 2024-12-20
  • MENJEMPUT ISTRIKU   014 Duke Hugh Griffith

    **Bab 014 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn

    Last Updated : 2024-12-27

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   058 Kendali Diri

    **Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap

  • MENJEMPUT ISTRIKU   056 Konspirasi Tiga Pelayan

    **Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."

  • MENJEMPUT ISTRIKU   056 Terang dan Gelap

    **Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana

  • MENJEMPUT ISTRIKU   055 Hugh dan Alwyn

    **Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya

  • MENJEMPUT ISTRIKU   054 Pergolakan Batin

    **Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala

  • MENJEMPUT ISTRIKU   053 Perdebatan Hugh dan Atthy

    **Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema

  • MENJEMPUT ISTRIKU   052 Menyambut Prajurit

    **Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany

  • MENJEMPUT ISTRIKU   051 Kebenaran Atthy

    **Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil

  • MENJEMPUT ISTRIKU   050 Hadiah

    **Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status