**Bab 004: Mencurigakan**
*****
AWAL CERITA DIMULAI
*****
Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.
Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.
Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Desa Angga terletak di antara area gurun dan sabana. Di desa inilah Atthy lahir dan dibesarkan.
Caihina adalah dataran kering yang sangat luas dengan beberapa laguna besar sebagai sumber air utama bagi penduduknya. Di bagian utara Caihina, terdapat perbukitan batu kapur raksasa yang terselubungi pasir, membentuk cekungan menyerupai mangkuk raksasa. Di tengahnya, terbentang sabana luas sejauh mata memandang. Sedangkan di bagian selatan, terdapat hutan lebat yang penuh dengan binatang buas. Hutan ini terbagi menjadi dua wilayah: Caihina dan Nauruan. Wilayah Nauruan lebih sejuk meski tetap lebih hangat dibandingkan Skythia.
Di luar Nauruan, tidak banyak orang yang memahami Caihina. Wilayah ini dianaktirikan oleh penguasanya sehingga jarang disebut-sebut. Karena ketidakpedulian Count Veraga, banyak bandit perampok yang bersembunyi di perbatasan hutan. Medan yang berat dan berbahaya membuat wilayah ini sulit dijangkau, sehingga perdagangan pun terhambat. Akibatnya, desa-desa di Caihina semakin terisolasi.
"Ayah!... Ayah!... Lihat!" seru Damian, anak lelaki berusia enam tahun, berlari dari kejauhan sambil memanggil ayahnya.
"Dimi!... Hentikan teriakanmu!" seru Atthy, gadis remaja yang baru tiga bulan menginjak usia delapan belas tahun. Ia adalah anak perempuan tertua Ashton Galina.
Huf... Huf... Huf...
Damian berhenti sejenak, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah saat tiba di pagar pekarangan rumah.
"Ada apa denganmu?... Apa yang membuatmu harus berlari seperti itu?" tanya Ashton, ayahnya, sambil terus memukul besi panas di hadapannya.
"Pengantar pesan baru saja datang," jawab Damian dengan mata berbinar-binar.
"Lalu?" tanya Atthy acuh sambil menjaga nyala api untuk membantu ayahnya.
"Dia membawa surat," jawab Dimi dengan ekspresi bahagia.
"Dia pengantar pesan, tentu saja dia membawa surat," balas Atthy meledek adiknya namun tetap fokus pada pekerjaannya.
"Suratnya untuk kita," ujar Dimi dengan wajah semringah, mengabaikan ledekan Atthy.
"Hm?!" sahut Ash dan Atthy bersamaan dengan ekspresi heran.
"Lebih hebat lagi, ini dari Xerces, ibu kota Kerajaan," lanjut Dimi, bangga seolah sudah mengetahui reaksi mereka.
Mendengar itu, Atthy melirik ayahnya. Ashton hanya menanggapi dengan mengerutkan dahi karena heran.
"Apa kau tidak salah baca, Dimi?" tanya Ash, masih dengan wajah herannya.
Bagaimana tidak? Sejak lulus dari akademi dua puluh tahun lalu, Ash tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di ibu kota Kerajaan.
"Tidak, Ayah. Di surat itu tertulis jelas, 'Untuk Baron Galina'," jawab Dimi sambil menyerahkan surat itu kepada ayahnya, menunjukkan tulisan di muka amplop.
"Kalau begitu, itu untuk kakekmu," ujar Ash sambil menepuk lembut kepala putra bungsunya.
"Bukan untuk Ayah?!" seru Dimi, bertanya dengan wajah heran.
"Bodoh!" hardik Ash, "Bangsawan bergelar 'Baron' itu kakekmu."
"Dasar kau!... Sudah sini bantu aku!" seru Atthy terkekeh melihat adiknya yang masih bingung.
"Tapi, tetap saja... Surat itu ditujukan untuk keluarga kita," ujar Dimi berkilah, kemudian melakukan yang diperintahkan Atthy.
Ashton mengambil surat dari Dimi dan masuk ke dalam rumah untuk memberikannya kepada ayahnya, Rowtag Galina.
Atthy kembali melanjutkan pekerjaannya menempa besi, sementara Damian menjaga nyala api.
Sejak kecil, Atthy dan adik-adiknya selalu membantu Ashton bekerja sebagai pandai besi. Bahkan, Atthy sering ikut berburu di hutan bersama Ashton dan Aydan, adik laki-lakinya yang berusia tiga belas tahun.
"Ayah, ada surat untukmu dari ibu kota," ujar Ashton, menyerahkan surat itu kepada Rowtag, kakeknya Atthy.
"Surat?... Dari ibu kota?... Untukku?" tanya Rowtag dengan wajah heran.
"Ya," jawab Ashton santai.
"Apa kau tidak salah?" tanya Rowtag lagi, masih dengan ekspresi bingung.
"Kurasa tidak. Mataku masih bisa melihat dengan jelas. Di situ tertulis, 'Baron Galina'," jawab Ashton santai.
Rowtag menerima surat itu dari Ashton dan mulai membacanya. Beberapa saat kemudian, wajahnya berubah dari heran menjadi terkejut.
"Ash... Surat ini bukan untukku, tapi untukmu," ujar Rowtag sambil menunjukkan surat itu.
"Untukku?! Tapi, Ayah, di situ jelas tertulis BARON..." sahut Ashton bingung.
"Sudah lebih dari empat puluh tahun... Mungkin, mereka mengira aku sudah mati," ujar Rowtag dengan nada kecewa.
"Ayah, ada apa denganmu?" tanya Ashton khawatir. Ia tidak tega melihat wajah keriput ayahnya semakin sedih. "Apakah surat itu membawa kabar buruk?"
"Sebaliknya, mungkin ini adalah kabar baik. Tapi jelas, surat ini untukmu, Ash... Karena Atthy adalah putrimu," ujar Rowtag menjelaskan sambil tersenyum, mencoba menenangkan putranya.
"Atthy?... Apa hubungannya dengan Atthy?" tanya Ashton bingung.
"Surat ini adalah surat lamaran untuk putri sulungmu, Atthy," ujar Rowtag dengan wajah senang.
Ashton terbelalak mendengar itu. Ia terkejut, lebih dari keterkejutan Rowtag saat membaca suratnya.
"Ayah... Kau pasti sudah terlalu tua, matamu rabun. Berikan padaku, biar aku yang membacanya!" seru Ashton tak percaya.
"Terserah... Lagi pula, aku sudah bilang surat itu untukmu," jawab Rowtag sambil menyerahkan surat itu kepada Ashton.
Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali, seolah-olah matanya akan menemukan kesalahan yang tersembunyi di antara baris-baris tulisan rapi itu.
"Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash.
"Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar.
"Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja.
"Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya.
"Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "itulah yang tertulis di situ."
Ash merasakan tenggorokannya mengering. Matanya kembali menelusuri tulisan itu, seolah-olah setiap huruf bisa mengubah makna surat tersebut.
"Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa.
"Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu."
Dengan lemas, Ash merosot dan jatuh ke kursi panjang di hadapan ayahnya. Tubuhnya terasa lemah, masih terperangkap dalam ketidakpercayaan yang mendalam. Di luar, angin berembus pelan, membawa suara dedaunan yang bergesekan, seakan ikut membisikkan misteri yang menyelimuti kabar ini.
---
Malam itu, setelah makan malam selesai, Ash meminta semua orang, termasuk keempat anaknya, untuk berkumpul. Lilin-lilin menyala, bayangannya bergetar di dinding kayu rumah mereka. Aydan, adik lelaki Atthy yang berusia tiga belas tahun, duduk di sampingnya, bersebelahan dengan si kembar Dimi dan Agafya yang baru berusia delapan tahun. Agafya, yang sejak lahir memiliki tubuh lemah, menatap kakaknya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
"Atthy, masalah yang akan kita bicarakan adalah tentang dirimu," ujar Ash, memulai pembicaraan dengan santai, meskipun matanya tetap fokus pada hidangan yang hampir habis di piringnya. Namun, ada ketegangan di balik nada santainya yang tak bisa disembunyikan.
"Ya, Ayah..." jawab Atthy dengan sopan. Suaranya tenang, tetapi hatinya bergejolak. Entah kenapa, firasat buruk mulai menyusup di benaknya.
"Kau tahu tadi pagi ada surat dari Ibu Kota, bukan?" tanya Ash, memastikan Atthy mengikuti.
Atthy mengangguk, meskipun pikirannya masih berusaha memahami ke mana arah pembicaraan ini.
"Surat itu adalah surat lamaran pernikahan untukmu," lanjut Ash.
Kata-kata itu menggantung di udara. Sejenak, hanya suara kayu terbakar di perapian yang terdengar.
Atthy membeku. Napasnya tercekat. Matanya bergerak dari wajah ayahnya ke kakeknya, lalu kembali ke kertas yang sekarang sudah tergulung rapi di atas meja. Ini... tidak mungkin.
"Kenapa, Ayah?" serunya, nadanya dipenuhi kebingungan dan keterkejutan.
Ash terdiam sejenak. Ada ragu di matanya, tetapi ia segera menenangkan diri. "Atthy, aku tahu ini sangat mendadak... Kami tidak akan memaksamu, tapi kami ingin kau memikirkannya. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu."
Atthy menelan ludah. Kepalanya terasa penuh dengan pikiran yang berkelindan. Pernikahan? Dengan seseorang yang bahkan tak dikenalnya? Hidupnya di Caihina selama ini sederhana—damai, tenang. Tapi kini, dengan satu lembar surat, segalanya tampak seperti akan berubah.
Rowt menambahkan dengan suara berat, "Atthy, aku mengerti perasaanmu. Tapi seperti yang ayahmu katakan, pikirkanlah baik-baik."
Atthy mengepalkan tangannya di atas pangkuan. "Ayah... Aku belum ingin menikah. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu."
"Aku mengerti," kata Ash, suaranya lebih lembut. "Tapi, ini bisa menjadi kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. Pikirkanlah baik-baik, Atthy. Setidaknya, jangan terburu-buru menolak."
Di sampingnya, Atthy bisa merasakan tatapan Agafya yang penuh harapan. Mata kecilnya berkilauan, menatapnya seakan ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan.
---
Setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar, mereka segera kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur. Rumah sederhana itu memiliki empat kamar. Rowt dan Ash masing-masing menempati kamar mereka sendiri, sementara Ay sekamar dengan Dimi, saudara kembar Agafya. Atthy dan Gafy, meskipun beda usia, tidur dalam kamar yang sama.
Agafya, yang biasa dipanggil Gafy atau Gaff, dilahirkan dengan kondisi tubuh lemah. Namun meski begitu, Gafy selalu ceria dan cerewet. Ia adalah salah satu sumber kebisingan di rumah yang sunyi ini, terutama setelah Dimi yang selalu aktif, seolah-olah energi Gafy yang terbatas itu dipinjam oleh saudaranya yang penuh semangat.
Malam itu, sambil membantu kakaknya melipat pakaian, Gafy tiba-tiba bertanya dengan mata berbinar, "Kak... Apa kakak akan menerimanya?"
Atthy yang sedang sibuk mengangkat sekeranjang jemuran dari luar rumah hanya melirik sekilas, kemudian menjawab dengan sikap santai, "Apa?" Seolah tak terlalu peduli.
"Lamaran pernikahan itu?!" seru Gafy, suaranya penuh semangat dan sedikit kesal, meskipun dia tetap melanjutkan membantu Atthy dengan melipat pakaian yang sudah kering.
Atthy tersenyum tipis, melihat antusiasme Gafy yang berlebihan. "Entah," jawabnya sambil mengangkat bahu, "Aku tidak terlalu memikirkannya," lanjut Atthy dengan nada yang cukup acuh.
Gafy mendengus, tetap berusaha menggoda kakaknya dengan harapan yang jelas tertulis di wajahnya. "Kak, kalau kakak pergi ke Ibu Kota, kakak akan melihat banyak hal baru yang tidak pernah kakak lihat di sini," ujarnya dengan optimis, berusaha membujuk.
Atthy berhenti sejenak, menatap adiknya dengan mata yang sedikit meledek. "Kenapa? Kau ingin pergi ke Ibu Kota?" tanyanya, nada suaranya bercampur rasa penasaran dan sedikit bercanda.
"Kalau kakak bertanya begitu, tentu saja aku jawab iya..." Gafy tersenyum lebar, namun napasnya terdengar sedikit berat. Sekejap, dia memegangi lengannya, seolah kelelahan, tapi kemudian kembali tersenyum cerah. "Tapi kak, kau tahu dengan jelas bahwa itu akan sangat sulit untukku. Aku memang menginginkannya, tapi bukan berarti aku harus mendapatkannya... Aku bertubuh lemah, sulit bagiku meninggalkan tempat ini dengan keadaan kita sekarang... Tapi, sama sepertimu, aku bahagia di sini, menjadi adikmu, menjadi anak ayah, menjadi cucu kakek. Ini adalah tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, dan aku sangat bersyukur... Namun, aku juga ingin melihat seperti apa dunia selain tempat ini."
Atthy terdiam, merasakan sesuatu mengganjal di hatinya. "Tapi Gaff," katanya akhirnya, "Aku bukan akan ke Ibu Kota Kerajaan, tapi Alpen, wilayah Utara. Sangat jauh dari Ibu Kota... Surat itu memang datang dari Ibu Kota, tetapi lamaran itu berasal dari seorang Grand Duke yang tinggal di sana."
Gafy terdiam sejenak, mencerna kata-kata kakaknya. "Oh... Jadi begitu?" Wajahnya memerah, seolah kecewa, namun tetap ada harapan yang berkilau di matanya. "Tapi tetap saja, kak... Kau punya kesempatan itu, bukan?"
Atthy hanya tersenyum tipis. Kata-kata Gafy menggugah sesuatu dalam dirinya. Dia tahu, Gafy tidak hanya berbicara soal melihat dunia luar. Adiknya menginginkan harapan. Impian yang dia sendiri tidak bisa kejar, tetapi yang mungkin bisa Atthy wujudkan.
Namun, ada sesuatu yang janggal. Lamaran dari seorang Grand Duke? Bahkan jika keluarga mereka memiliki darah bangsawan, status mereka terlalu rendah untuk menarik perhatian sebesar itu. Kakek adalah seorang baron yang nyaris tak diingat siapa pun. Jadi bagaimana mungkin pihak kerajaan bisa mengenal mereka?
"Kakak!" Gafy memanggil, sedikit kesal karena Atthy melamun terlalu lama, "Tapi kak... apa itu berarti lamaran ini belum pasti?"
Atthy menatap Gafy sejenak, lalu menghela napas. "Pihak kerajaan sering kali menjodohkan kaum bangsawan. Biasanya ini adalah manuver politik, Gaff... Bukankah ayah dan aku sudah mengajarkanmu? Ada dua kemungkinan untuk ini: untuk melemahkan atau menguatkan salah satu pihak... masalahnya, kedudukan kakek sangat jauh untuk bisa terlibat dalam kancah politik sekelas kerajaan... itu sebabnya ayah memintaku untuk memikirkannya, karena aku tahu, ayah juga merasa ada yang tidak biasa dengan lamaran ini."
''Apakah akan buruk?''
''Aku tidak tahu, Gaff, karena kita tidak mengenal siapa Grand Duke Griffith, atau siapa yang telah merekomendasikanku.'' Atthy menghela napas pelan, berpikir keras. ''Banyak hal yang masih gelap dan tidak pasti.''
''Itu artinya, masih ada kemungkinan...'' Gafy menjawab, masih dengan keyakinan polos di matanya, seakan seluruh dunia masih penuh harapan.
''Apa kau sebegitu inginnya melihat seperti apa dunia di luar sana?'' tanya Atthy, menatap serius pada adiknya, mencoba mengerti lebih dalam.
''Eum,'' jawab Gafy, mengangguk dengan penuh harapan, seakan dunia yang ada di luar sana adalah segala-galanya.
Atthy terdiam, menimbang segala kemungkinan dalam pikirannya. ''Baiklah Gaff, aku akan lebih memikirkannya...'' jawabnya akhirnya, meskipun perasaan tidak pasti masih menggelayuti hatinya. Ia ingin sekali memberikan adiknya kesempatan untuk melihat dunia lebih luas, tapi ia juga tak bisa menepis kekhawatiran yang terus menghantuinya.
''Pikirkan baik-baik, kak... pasti menyenangkan bisa pergi ke mana pun dan melihat banyak hal baru di luar sana,'' kata Gafy dengan senyum cerah, penuh keyakinan pada kakaknya.
''Ya baiklah, aku mengerti... Sekarang, tidurlah!'' seru Atthy, sambil mendorong adiknya yang penuh semangat untuk berbaring.
Gafy mengangguk dan tersenyum lebar, seakan seluruh dunia tidak ada yang bisa menghalanginya. Malam itu, Atthy berbaring, namun pikirannya tak bisa lepas dari perbincangan yang baru saja terjadi. Semua ucapan keluarganya, harapan-harapan mereka tentang lamaran, membayangi benaknya. Selama ini, keluarganya selalu bahagia meski hidup dalam kekurangan. Mereka menerima keadaan dengan lapang dada, tidak pernah merasa kecewa.
Namun, sesuatu terasa janggal. Lamaran ini bukan sekadar lamaran biasa.
Siapa sebenarnya yang menarik benang di balik bayang-bayang?
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 006: Keputusan**Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi
**Bab 007 Dengki**Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak."Jadi, apa yang h
**Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu
**Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
*Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke
**Bab 011 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
**Bab 012 Kegundahan**Kegugupan Rosa mencuatkan rasa penasaran Alwyn. Ia merasa sudah berada di ambang menemukan sesuatu dari ketiga pelayan Atthy, tetapi jawabannya masih terselubung kabut."Tuan... Tidak ada masalah apa pun. Kami hanya... tidak terbiasa dengan perilaku Nona—eh, maksud saya, Lady Galina," ujar Stela. Sebagai pelayan senior, ia berhasil menyembunyikan rasa gugupnya lebih baik dibandingkan dua lainnya, tetapi bagi Alwyn, kesan itu tidak cukup meyakinkan.Mata Alwyn menyipit sedikit. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mempertahankan ekspresi tenang. Dalam pikirannya, suara kesal bergema. ''Sial, aku terlalu ceroboh. Seharusnya aku memanggil mereka satu per satu. Mereka saling melindungi, dan itu hanya memperkuat pertahanannya.''"Baiklah." Alwyn akhirnya mengangguk kecil, nada suaranya datar. "Kalian boleh pergi."Ketiga pelayan itu tampak lega mendengar perintah tersebut, meskipun Alwyn belum selesai. "Tapi ingat," lanjutnya dengan nada tajam yang menahan langkah merek
**Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap
**Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."
**Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana
**Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya
**Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala
**Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema
**Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany
**Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil
**Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya