Home / Romansa / MENJEMPUT ISTRIKU / 003 Konspirasi

Share

003 Konspirasi

Author: Wolfy
last update Last Updated: 2022-11-12 23:25:46

**Bab 003: Konspirasi**

Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.

---

Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar.

"Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."

Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam. "Griffith semakin kuat," jawabnya, suara tegas namun terkendali. "Dengan Skythia dalam genggamannya, dia tak hanya menambah kekuasaannya di luar, tetapi juga di dalam kerajaan. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi ancaman yang lebih besar."

"Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Hanya kita yang bisa memutuskan apa yang terjadi selanjutnya." Silvia menyipitkan matanya, penuh perhitungan.

Margrave mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Davion, kamu tahu posisimu sendiri. Kita perlu lebih dari sekadar klaim kekuasaan. Kita membutuhkan pengaruh yang jauh lebih besar. Griffith sedang membangun kekuasaannya di luar, tetapi kita yang berada di dalam istana, kita yang mengendalikan alur sejarah. Kita tak bisa membiarkan mereka merebut itu."

Silvia menatap Margrave dengan penuh perhatian. "Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Kita hanya butuh langkah yang lebih tajam."

Margrave tersenyum tipis. "Dan langkah itu ada di luar kerajaan. Kita butuh seseorang yang bisa kita kendalikan dari dalam."

"Seorang 'tumbal'," kata Silvia pelan. "Seseorang yang cukup berani untuk memasuki wilayah Griffith, namun cukup naif untuk tidak mengetahui bahayanya."

Margrave menatapnya, suara tegasnya penuh perhitungan. "Kita harus menemukan 'tumbal' yang tepat."

Viscount Darius Malenor Mencari Peluang

Viscount Darius Malenor mendekati Silvia dengan langkah terukur, matanya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Ratu tengah mencari peluang untuk memperkuat posisinya—dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

"Permaisuri, saya mendengar Anda sedang mencari seseorang yang dapat memberikan dukungan strategis," katanya, nadanya penuh kehati-hatian, namun langsung ke inti. "Saya rasa saya bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan."

Silvia mengangkat alis, tidak terkejut. Ia memperhatikan setiap gerakan Viscount dengan teliti, menilai lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkannya. "Apa yang Anda tawarkan, Viscount?"

Viscount menundukkan kepala dengan hormat. "Saya tahu situasi politik di ibu kota cukup rumit, dengan persaingan yang terus berkembang. Namun, saya juga tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat peluang di balik kabut ini. Klan Griffith dan Klan Margrave terjebak dalam pertarungan yang tak berkesudahan, dan saya yakin ada celah untuk dimainkan untuk Anda dan Pangeran Davion."

Silvia tetap tenang, menimbang kata-kata Viscount. "Anda pikir saya butuh seseorang seperti Anda untuk memanfaatkan itu?" tanyanya datar.

"Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya memiliki koneksi yang bisa berguna bagi Anda, Permaisuri," jawab Viscount, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Dan saya tahu bagaimana bergerak tanpa menarik terlalu banyak perhatian... baik bagi saya maupun bagi Anda."

Silvia mengamatinya sejenak. "Tunggu sebentar," katanya akhirnya, "Saya tidak tertarik pada permainan yang berisiko. Apa yang Anda tawarkan lebih dari sekadar bisikan kosong, Viscount?"

Viscount tersenyum tipis. "Kita semua tahu bahwa Anda tidak bermain dengan risiko, Permaisuri. Tapi terkadang, risiko terbesar adalah mengabaikan peluang yang ada di depan mata."

Silvia tidak segera menjawab. Namun dalam benaknya, ia tahu bahwa Viscount ini lebih dari sekadar pencari keuntungan biasa.

---

**Bidak**

Di ruang pertemuan pribadi, ketiganya duduk dalam sikap elegan namun penuh kewaspadaan.

Margrave menyesap anggurnya dengan malas, sebelum bersuara dengan nada sarkastis, "Viscount Darius Malenor—burung pipit yang terbang lebih tinggi dari anginnya. Hanya soal waktu sebelum dia lelah dan jatuh."

Davion menyeringai tipis. "Terlalu kecil untuk langit ini. Dia hanya burung yang ingin terbang, tapi sayapnya terlalu rapuh."

Silvia, yang lebih berhati-hati, menyandarkan tangannya di atas meja. "Tapi kadang burung pipit bisa mematuk jika kita lengah. Kita tahu dia baru, tapi mulut manisnya sudah berhasil menjangkau telinga yang lebih berpengaruh."

Margrave tertawa pelan. "Dia bisa berbicara sepanjang hari, tapi tak akan mengubah apa pun. Biarkan dia mengepakkan sayap, kita punya angin yang jauh lebih kuat."

Namun Davion justru menggeleng pelan, matanya menyipit. "Bukan itu yang menggangguku. Jika hanya ambisi, dia bukan ancaman. Tapi dia bukan hanya burung pipit yang berisik. Dia tahu ke mana dia ingin terbang."

Silvia menatapnya dengan tajam. "Maksudmu?"

Davion menekan ujung jarinya ke meja, berpikir. "Viscount ini... bukan hanya mencoba naik ke atas, tapi dia juga tahu ke mana arah angin. Ada seseorang yang membimbingnya, atau setidaknya, seseorang yang memberinya cukup keberanian untuk berbicara di hadapanmu, Permaisuri."

Ruangan itu jatuh dalam keheningan sejenak. Margrave, yang semula menganggap enteng, kini terlihat sedikit lebih serius.

Silvia akhirnya bersuara, suaranya dingin. "Tikus atau bukan, kita tak bisa terlena. Kadang yang tersembunyi adalah yang paling berbahaya."

Margrave menyudahi pembicaraan dengan senyum dingin. "Kita tahu tempat kita di langit ini. Biarkan si pipit itu terbang rendah. Jika dia terlalu berani, kita akan menghancurkan sayapnya."

---

**Konfrontasi Tiga Count**

Di sebuah ruangan mewah yang diterangi temaram cahaya lilin, tiga tokoh berpengaruh duduk mengelilingi meja bundar dari kayu hitam berukir. Aroma anggur tua bercampur dengan asap dupa tipis, menciptakan suasana yang sarat ketegangan. Bayangan mereka terpantul samar di permukaan kaca jendela besar yang menghadap ke kota, seolah menggambarkan permainan kekuasaan yang tengah berlangsung.

Count Markus Hazen membuka percakapan, senyumnya samar, namun tajam bak belati terselubung sutra.

"Viscount Darius Malenor? Bidak baru yang dibawa ke papan permainan ini. Aku bertanya-tanya, apa yang dilihat Margrave dalam dirinya selain sekadar ambisi mentah?"

Count Frendel Belatrix mendengus ringan, jari-jarinya mengetuk perlahan pada cangkir anggur yang belum ia teguk. Matanya menelusuri ruangan sebelum akhirnya menetap pada Markus.

"Ambisi mentah sering kali menjadi alat terbaik. Dia datang dari Nauruan, wilayah pinggiran yang bahkan tidak dipandang oleh sebagian besar bangsawan. Namun kini, dia berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkaran ini. Aku hampir mengagumi keberaniannya, atau mungkin kebutaannya."

Viscount Dalmar Yegev, yang selama ini hanya menyimak dengan ekspresi santai, akhirnya berkomentar.

"Keberanian atau kebodohan? Kadang batasnya tipis, dan lebih sering daripada tidak, yang satu akan mengarah pada yang lain. Tapi satu hal yang jelas, Margrave tidak akan bertaruh pada seseorang tanpa alasan. Aku ingin tahu, apakah Darius Malenor benar-benar bidak… atau mungkin sesuatu yang lebih berbahaya?"

Markus mengetuk meja dengan jemarinya, irama ketukannya teratur, nyaris seperti hitungan waktu sebelum eksekusi. Suaranya tetap dingin, penuh perhitungan.

"Margrave memiliki mata yang tajam untuk memilih alat. Tapi alat ini, Darius Malenor, terlalu rapuh. Satu langkah yang salah, dan dia akan runtuh sebelum mencapai tujuannya."

Frendel menyeringai, kilauan licik terlihat dalam matanya. Ia menyandarkan tubuhnya, menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Itulah keindahannya. Seorang bidak seperti dia mudah diarahkan, bahkan lebih mudah dihancurkan. Pertanyaannya bukan apakah kita akan bergerak, tapi kapan kita mulai bermain?"

Dalmar mengangkat gelasnya, memutar anggur di dalamnya sebelum akhirnya menyesap perlahan. Nada suaranya sarat dengan ironi.

"Kita biarkan permainan berjalan. Tapi jika Margrave berpikir dia bisa menggunakan bidak seperti Darius Malenor tanpa konsekuensi, maka dia jelas meremehkan permainan ini."

Markus menatap kedua rekannya, matanya gelap, menyimpan rencana yang belum diutarakan.

"Kita awasi mereka. Biarkan Darius Malenor melangkah sejauh mungkin, sampai ia merasa memiliki kekuatan. Saat itulah kita tunjukkan bahwa kekuatan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang tahu cara menggunakannya."

Frendel mengangkat cangkir anggurnya dengan senyum yang nyaris predatoris.

"Untuk kekuatan sejati, dan kejatuhan mereka yang tak cukup cerdik untuk bertahan."

Tiga cangkir beradu dalam dentingan halus. Di ruangan itu, kemenangan yang belum tercapai telah dirayakan dalam diam, sementara di luar sana, bidak yang mereka bicarakan mungkin baru saja melangkahkan kakinya ke dalam perangkap yang tak kasat mata.

---

**Bujuk Rayu**

---

Ruang pertemuan di Manor Baron Galina dipenuhi suasana yang mencoba menampilkan elegansi. Karpet tebal berwarna merah tua membentang di sepanjang lantai, sementara dinding dihiasi dengan lukisan potret keluarga Galina yang mencoba memberikan kesan aristokrat. Lilin-lilin di tempatnya memancarkan cahaya hangat, menciptakan bayangan di setiap sudut ruangan. Namun, kesan ini lebih terasa seperti upaya untuk menutupi kekurangan ketimbang menunjukkan kemegahan.

Viscount memasuki ruangan dengan langkah tenang, senyumnya tipis, tetapi matanya penuh perhitungan. Ia melirik sekeliling, jemarinya menyusuri tepi sarung tangannya dengan santai—gestur kecil yang tampak sepele, tetapi cukup untuk mengingatkan siapa pun yang memperhatikannya bahwa ia terbiasa memiliki kendali. Baron Galina segera berdiri dari kursinya, menyambut dengan nada yang dibuat-buat penuh semangat.

"Ah, Tuan Viscount! Sebuah kehormatan bagi rumah ini untuk menerima kunjungan Anda," kata Baron dengan gestur berlebihan, seperti seorang aktor di atas panggung.

Viscount menundukkan kepala sedikit, menahan senyum sinisnya. "Baron Galina, kehormatan ini sepenuhnya milik saya. Manor Anda memiliki suasana yang... khas."

Baron, yang tidak menangkap sindiran itu, tersenyum lebar. "Oh, terima kasih. Saya mencoba untuk menjaga standar aristokrat meskipun, tentu saja, tantangan selalu ada." Ia menunjuk kursi di seberangnya. "Silakan duduk, Tuan. Saya yakin kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan."

Mereka duduk berhadap-hadapan. Viscount membiarkan keheningan menggantung beberapa saat, mengamati Baron seperti pemangsa menilai mangsanya. Baron menggenggam gelas anggur di depannya, jarinya mengetuk-ngetuk tepi kaca seolah mencari pegangan.

"Rencana kita berjalan sesuai yang diharapkan," kata Viscount akhirnya, nadanya santai tetapi penuh kendali. "Margrave telah menerima gagasan pernikahan Athaleyah dengan Duke Hugh. Sebuah langkah besar untuk memperkuat posisi keluarga Galina."

Baron Galina berseri-seri, rasa bangga memenuhi wajahnya. "Luar biasa! Saya tahu rencana ini akan berhasil. Athaleyah adalah permata keluarga kami, dan dia akan menjadi Duchess yang sempurna. Count Veraga pasti akan menyesal telah meremehkan saya."

Viscount mengangguk perlahan, membiarkan Baron berbicara lebih banyak. "Namun, saya harus mengingatkan Anda, Baron," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius, "bahwa langkah ini harus dikelola dengan sangat hati-hati. Anda paham betul, ini bukan hanya soal kehormatan keluarga Galina. Ini tentang memainkan peran dalam strategi besar Margrave."

Baron mengangguk cepat, meskipun sedikit bingung dengan maksud Viscount. "Tentu saja, tentu saja. Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar. Anda tahu saya selalu setia kepada tujuan kita."

Viscount tersenyum, tetapi tatapannya dingin. "Kesetiaan Anda tidak diragukan, Baron. Namun, ada banyak mata yang mengamati setiap langkah kita. Satu langkah yang salah bisa menjadi senjata bagi musuh. Anda mengerti maksud saya?"

Baron tampak tegang sejenak sebelum menyembunyikannya dengan tawa canggung. Ia menyesap anggurnya, tetapi tidak cukup untuk menyembunyikan cara tangannya sedikit gemetar saat meletakkan kembali gelasnya. "Tentu, saya mengerti. Semua ini untuk kebaikan bersama. Dan tentu saja, untuk kepentingan Margrave."

"Tepat sekali," kata Viscount, mengamati reaksi Baron dengan saksama. "Namun, saya ingin memastikan Anda benar-benar siap menghadapi apa pun. Count Veraga mungkin akan mencoba mengacaukan rencana ini. Dan, tentu saja, Athaleyah sendiri harus diarahkan dengan bijak."

Baron bersandar ke depan, nada suaranya penuh semangat. "Jangan khawatir tentang Athaleyah. Dia sangat pintar, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan sedikit arahan, dia akan menjadi Duchess yang tak tertandingi."

Viscount tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Kecerdasan bisa menjadi pedang bermata dua, Baron. Pastikan Athaleyah tahu ke mana harus mengarahkannya."

Baron mengangguk, meskipun mulai tampak sedikit gelisah dengan nada Viscount. "Tentu saja. Semua akan berjalan sesuai rencana."

Viscount berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan itu selesai. "Bagus. Saya akan melaporkan kemajuan ini kepada Grand Duke Margrave. Pastikan Anda tidak membuat kesalahan, Baron."

Baron juga berdiri, tergesa-gesa membungkuk dalam-dalam. "Anda dapat mengandalkan saya, Tuan."

Viscount membalas dengan senyum tipis sebelum meninggalkan ruangan. Saat pintu tertutup di belakangnya, senyum itu berubah menjadi ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di dalam ruangan, Baron menghela napas lega, tanpa menyadari bahwa dalam permainan ini, ia bukan pemain, melainkan hanya bagian dari papan.

---

Beberapa waktu setelahnya.

---

Seorang ayah duduk di tepi meja. Wajahnya serius, menatap anak perempuannya yang duduk diam di hadapannya.

"Kau harus menerima ini, anakku. Menikahlah dengannya. Ini akan mengubah hidupmu... dan hidup kita."

Anak perempuannya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung gaunnya. "Tapi aku tidak bisa, Ayah... Beban ini terlalu berat. Aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini."

Ayahnya menghela napas panjang. "Kau tidak punya pilihan. Ini lebih besar dari kita. Percayalah padaku, ini adalah jalan terbaik."

Gadis itu menggigit bibirnya, matanya dipenuhi ketakutan. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?"

Ayahnya meraih bahunya, genggamannya dingin. "Kau tidak akan gagal. Kau hanya perlu mengikuti rencana ini. Jika ini berhasil... kita akan berada di puncak."

---

---

Sementara itu, di kediaman milik Baron Galina di Nauruan, Darius sedang menunggu di ruang tamu besar yang memiliki jejak kemewahan yang sudah mulai memudar. Ruangan itu cukup luas, dihiasi dengan furnitur antik yang terkesan mahal, namun sudah terlihat usang karena kurangnya perawatan. Lampu lilin bergoyang di meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, memberikan cahaya temaram yang membentuk bayangan di dinding-dinding ruangan, yang meskipun luas, tampak suram dan tidak terurus. Di luar, angin malam menggoyang tirai tebal yang tampak usang, seakan menggambarkan betapa ruangan ini tidak lagi dipenuhi kehidupan seperti dulu.

Darius duduk dengan santai di kursi empuk yang seharusnya menjadi simbol kekayaan, namun terlihat sedikit kusam. Senyum tipisnya tidak bisa disembunyikan, merasa puas dengan segala perhitungan yang sudah dibuat. "Baron," kata Viscount dengan suara rendah namun tegas, "ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Peringatan saya jelas—kita berada di titik yang tepat. Pernikahan ini bukan hanya soal keuntungan politik, tetapi tentang meruntuhkan Veraga dan mengendalikan semuanya."

Robert, yang duduk di kursi seberang dengan postur canggung, menatap Darius dengan tatapan yang campur aduk antara harapan dan keraguan. Meskipun hidupnya penuh kemewahan, Robert selalu merasa ada yang kurang, sesuatu yang tidak bisa ia capai meskipun memiliki kekayaan. "Tapi, bisakah kita benar-benar mempercayai Duke Griffith? Dia tidak akan begitu saja jatuh dalam jebakan kita, bukan?" Suaranya terdengar ragu, seolah masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Darius tertawa pelan, nada suaranya penuh kepercayaan diri. "Duke Griffith bukan masalah, Baron. Kita bisa mengatur semuanya dengan mudah. Begitu kita memiliki Lady Athaleyah di sisi kita, tidak ada yang bisa menghalangi kita. Saya sudah memikirkan semuanya, termasuk bagaimana menanggulangi Veraga. Semua yang kita butuhkan adalah dorongan kecil dan bantuan dari putri Anda." Senyum Darius semakin lebar, penuh arti. "Lady Athaleyah akan bisa menundukkan Duke Griffith, bahkan mungkin para pengikutnya juga. Saya yakin dia memiliki kemampuan itu."

Robert merasa tenggorokannya kering, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap kata yang keluar dari mulut Darius terasa semakin menekan dirinya. "Athaleyah… ya, jika dia berhasil, maka ini akan mengubah segalanya," jawabnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah kesempatan yang harus diambil.

Darius menatapnya lebih tajam, seolah mengukur setiap reaksi dari Robert. "Lady Athaleyah adalah kunci kita, Baron. Jika dia bisa mendapatkan posisi di sisi Duke Griffith, kita tidak hanya akan menguasai wilayah ini. Kita akan mengendalikan lebih banyak hal—lebih dari yang bisa Anda bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, memberikan beban berat yang seakan mengikat setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Robert terdiam, matanya mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang menghadap ke luar. Meskipun kediamannya besar dan mewah, terasa ada kekosongan yang mengganggu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, tetapi juga tak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya sedang memainkan permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

---

Beberapa waktu setelahnya

Di dalam manor yang diterangi cahaya temaram, sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di pojok ruangan.

Wanita itu menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut... kita tak bisa keluar dari ini."

Lelaki itu menghela napas panjang, matanya penuh kebingungan dan kemarahan. "Kita terpojok. Tak ada pilihan lain. Semua ini... karena dia."

Wanita itu menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pangkuan. "Jika mereka tahu... kita tidak hanya kehilangan segalanya. Kita akan mati."

Lelaki itu menatapnya dengan tajam, ekspresinya suram. "Kita sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan untuk mundur. Jika ini gagal... kita akan mati. Tapi kita harus maju, apapun yang terjadi."

---

Di luar manor, angin malam berembus kencang. Di kejauhan, cahaya dari ibu kota berkilauan di bawah langit yang gelap. Dan di dalam bayang-bayang, sesuatu telah mulai bergerak.

---

Wolfy

Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJEMPUT ISTRIKU   004 Mencurigakan

    **Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des

    Last Updated : 2022-11-12
  • MENJEMPUT ISTRIKU   005 Utara dan Selatan

    **Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe

    Last Updated : 2023-01-02
  • MENJEMPUT ISTRIKU   006 Surat dari Ibu Kota

    **Bab 006 Surat dari Ibu Kota*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima har

    Last Updated : 2024-11-01
  • MENJEMPUT ISTRIKU   007 Mencurigakan

    **Bab 007 Mencurigakan**---Beberapa saat kemudian, wajah Ash kembali memperlihatkan ekspresi heran yang tak percaya. Dia terus melirik ayahnya dan memandangi surat itu berulang kali."Apakah mataku ini rabun?" tanya Rowt, sengaja melemparkan ekspresi meledek pada Ash."Ayah..." panggil Ash, masih dengan ekspresi tak percaya yang jelas terlihat di wajahnya. "Lamaran ini... untuk Atthy?" tanyanya dengan nada heran, suaranya bergetar."Ya," jawab Rowt dengan senyum nakal, balas meledek dengan sengaja."Dari seorang Grand Duke?!" seru Ash, suaranya penuh pertanyaan. Ia masih merasa tak percaya."Jika mata kita berdua masih normal," jawab Rowt dengan tenang, "Itulah yang tertulis di situ.""Apakah mungkin ada kesalahan dari Ibu Kota Kerajaan?" tanya Ash dengan nada hampir putus asa."Kau bertanya padaku?" Rowt menatap putranya dengan senyum menggoda. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak pernah merasakan pendidikan di akademi seperti dirimu," ujarnya, menyertai kalimat itu dengan

    Last Updated : 2024-11-08
  • MENJEMPUT ISTRIKU   008 Pertimbangan

    **Bab 008 Pertimbangan**Setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar, mereka segera kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur. Rumah sederhana itu memiliki empat kamar. Rowt dan Ash masing-masing menempati kamar mereka sendiri, sementara Ay sekamar dengan Dimi, saudara kembar Agafya. Atthy dan Gafy, meskipun beda usia, tidur dalam kamar yang sama.Agafya, yang biasa dipanggil Gafy atau Gaff, dilahirkan dengan kondisi tubuh lemah. Namun meski begitu, Gafy selalu ceria dan cerewet. Ia adalah salah satu sumber kebisingan di rumah yang sunyi ini, terutama setelah Dimi yang selalu aktif, seolah-olah energi Gafy yang terbatas itu dipinjam oleh saudaranya yang penuh semangat.Malam itu, sambil membantu kakaknya melipat pakaian, Gafy tiba-tiba bertanya dengan mata berbinar, "Kak... Apa kakak akan menerimanya?"Atthy yang sedang sibuk mengangkat sekeranjang jemuran dari luar rumah hanya melirik sekilas, kemudian menjawab dengan sikap santai, "Apa?" Seolah tak terlalu peduli."L

    Last Updated : 2024-11-15
  • MENJEMPUT ISTRIKU   009 Keputusan

    **Bab 009 Keputusan**---Pagi itu, keluarga Galina menjalani rutinitas mereka seperti biasa. Atthy, seperti hari-hari sebelumnya, bangun lebih pagi untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Rowt, dengan kebiasaannya, mulai menyiapkan sarapan, dibantu oleh Gafy yang dengan cekatan mengatur bahan-bahan yang diperlukan. Dimi, si bungsu, mengurus hewan peliharaan mereka serta memastikan stok protein hewani untuk keluarga cukup. Sementara itu, Ash dan Ay bertugas mengolah hasil buruan mereka, mengurus daging, kulit, dan bulu hewan yang mereka tangkap.Berburu adalah keahlian utama penduduk Caihina. Kulit dan bulu binatang buruan menjadi komoditas unggulan yang sangat dihargai, menjadikan mereka terkenal di kalangan para pedagang. Kualitas kulit dan bulu yang mereka hasilkan sangat unggul, membuatnya dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa dari wilayah lain.Setelah sarapan, saat mereka duduk bersama di ruang makan, suasana hening sejenak. Kemudian, dengan tegas namun le

    Last Updated : 2024-11-22
  • MENJEMPUT ISTRIKU   010 Menolak

    **Bab 010 Menolak**---**Flashback: Pusat Kota Nauruan**Ash dan Ay tiba di pusat kota Nauruan setelah perjalanan panjang bersama rombongan konvoi. Kota itu ramai seperti biasa, dengan pedagang yang memanggil pelanggan, suara lonceng yang sesekali terdengar di alun-alun, dan hiruk pikuk orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di tengah kesibukan itu, Ash tidak hanya fokus menjual barang dagangannya tetapi juga menggali informasi tentang Grand Duke Griffith, sosok yang kelak bisa saja menjadi menantunya.Namun, apa yang mereka dengar dari para penduduk dan pedagang lain hanya menambah berat beban pikiran mereka."Grand Duke Griffith? Jangan pernah main-main dengannya," ujar salah satu pedagang dengan nada rendah, seolah takut ada yang mendengar. "Dia itu pria besi. Hatinya sudah beku sejak lama. Tidak ada belas kasihan bagi mereka yang melawannya.""Mereka bilang," sambung seorang wanita tua yang menjual kain, "dia merebut Alpen dengan darah. Tidak ada yang bisa menantangny

    Last Updated : 2024-11-29
  • MENJEMPUT ISTRIKU   011 Pengorbanan

    **Bab 011 Pengorbanan**Atthy menatap Ay dengan tatapan tajam, namun dengan lembut dia membelai kepala Ay, menenangkan emosi adiknya yang meluap.''Ay, sebagai bangsawan, kita diajarkan untuk menjaga perilaku dan kata-kata. Meskipun kita tidak mendapat pendidikan formal, orang tua kita, Ash dan Laura, sudah mengajarkan kita dengan baik. Kata-kata kasar tidak seharusnya keluar dari mulut kita, terutama di hadapan bangsawan, apalagi yang berkedudukan tinggi seperti mereka. Perilaku buruk bisa berujung pada konsekuensi berat jika ada petugas yang mendengarnya,'' ujar Atthy, suaranya rendah namun tegas.Ay menunduk, menghela napas panjang. "Maaf, Kak," jawabnya dengan senyum kecil, "Aku kesal. Kita sudah jelas menolaknya, tapi kenapa mereka tetap mengirim utusan untuk menjemputmu?"Atthy menatap Ay dengan tatapan menggoda, "Kau mencemaskanku?"Ay memutar matanya dengan kesal, "Kakak serius menanyakan itu?" jawabnya dengan nada tinggi, lalu melanjutkan, "Athaleyah Galina adalah kakakku. Bag

    Last Updated : 2024-12-06

Latest chapter

  • MENJEMPUT ISTRIKU   026 Pembuktian Diri

    **Bab 026 Pembuktian Diri**Di sebuah sore yang tenang di Manor, cahaya redup dari jendela menyinari ruang tamu yang rapi. Atthy duduk di kursi bergaya klasik, sejenak tenggelam dalam lembaran surat kabar yang tampak usang. Meski tampak santai, pikirannya melayang jauh, seakan setiap baris kata mengusik jiwanya yang baru saja mendapatkan status baru.Tiba-tiba, suara lembut namun penuh keakraban terdengar dari pintu ruang tamu. Helena, kepala pelayan yang selama ini setia mengurus setiap detil kehidupan di Manor, melangkah masuk dengan senyum sopan. Dengan nada ramah, Helena berkata,"Duchess, Anda tampak fokus dengan surat kabar, ada yang menarik?"Atthy mengalihkan pandangan dari surat kabar dan tersenyum tipis sambil menjawab,"Tidak juga... aku membaca untuk menghabiskan waktu..."Helena mengangguk, lalu bertanya lagi,"Apakah Anda bosan?"Atthy merenung sejenak, lalu menghela napas lembut,"Entah... aku tidak tahu."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan sebelum Atthy, dengan sua

  • MENJEMPUT ISTRIKU   025 Mengamati

    **Bab 025 Mengamamati**Di ruang kerja yang sederhana namun tertata, Cavero duduk di mejanya sambil membaca surat resmi yang baru saja diterima. Surat itu—yang telah melalui saluran komunikasi resmi dan mendapat persetujuan dari Hugh—memberikan kabar singkat mengenai situasi Aldor di Skythia yang berpotensi mempengaruhi kondisi pelabuhan.Di luar, suasana pelabuhan tampak tenang, tetapi Cavero tahu bahwa ketegangan sedang mengendap di bawah permukaannya. Kapal-kapal dagang berlabuh seperti biasa, tetapi ada terlalu banyak pergerakan yang tak wajar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam sebelum tatapannya kembali ke surat di tangannya.Tak lama kemudian, ajudannya yang paling dipercaya, Dani, masuk dengan langkah tenang dan menyampaikan, "Putra Mahkota, laporan terbaru dari pos pengawasan menunjukkan peningkatan aktivitas penyusupan di dermaga. Semua langkah keamanan telah diperiksa ulang sesuai arahan Duke Griffith."Cavero menatap Dani dengan ketenangan pe

  • MENJEMPUT ISTRIKU   024 Integritas

    **Bab 024 Integritas**Atthy termenung memikirkan cerita yang sampai kepadanya melalui Ayahnya dan Ay. Dia memikirkan, kenapa cerita yang beredar di kalangan masyarakat Nauruan mengenai Grand Duke Griffith berbeda dengan yang baru saja dia dengar dari Lily.''Duchess!'' panggil Lily yang mulai bingung karena Atthy terdiam dengan wajah serius memikirkan sesuatu.''Hm,'' sahut Atthy dengan alis mata naik menanggapi Lily, ''Tidak, aku... hanya sedang memikirkan beberapa hal.''''Eumh, apa ada lagi yang mau Duchess tanyakan?''Atthy menatap wajah Lily dengan seksama sebelum menjawab pertanyaan Lily.''Lily, apa kau bahagia bekerja di penampungan itu?''Kali ini Lily yang tidak segera menjawab pertanyaan Atthy. Dia sempat terdiam sesaat sebelum dengan serius menjawab pertanyaan Atthy.''Maafkan saya Duchess,'' ujar Lily kemudian.Atthy memiringkan kepalanya dengan wajah bingung mendengar Lily malah meminta maaf kepadanya.Lily, menarik nafas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kembali uca

  • MENJEMPUT ISTRIKU   023 Griffith

    **Bab 023 Griffith**Beberapa waktu setelah kejadian dengan trio viscountess, Atthy duduk setengah bersila di kalang jendela sambil memegang buku yang dia tidak tahu apa isinya. Dengan mata yang sedang melihat keluar jendela, menatap pemandangan yang sangat asing baginya, pikirannya sibuk merenungkan banyak hal dengan sebelah kakinya yang menggantung bergoyang-goyang.''Haruskah aku?!''''Tapi, dia pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun padaku...''''Meskipun... itu semua dilakukannya karena ada urusan mendadak.''''Tapi... pernikahan ini juga mendadak untukku. Lalu, sekarang aku harus bagaimana?''''Bagaimana menjelaskannya pada Ayah... pada Kakek... pada Ay...''Atthy bergumam dengan serius, melontarkan berbagai kalimat penuh dengan pertanyaan, saking seriusnya dia lupa kalau saat ini dia memakai gaun dan berada di Manor. Meski tidak ada aturan tertulis, tapi tentunya sebagai seorang lady, postur duduk yang dilakukan Atthy terkesan tidak biasa.''Duchess...''''Duchess...''Bebe

  • MENJEMPUT ISTRIKU   022 Tiga Orang Tamu

    **Bab 022 Tiga Orang Tamu**Sudah dua hari sejak Hugh meninggalkan Manor untuk inspeksi wilayah sekaligus melihat perkembangan pembangunan Kastil Skythia. Awalnya Alwyn ingin mengutamakan membangun jalur kereta dan sebuah stasiun untuk mencapai wilayah terdalam di Skythia. Tapi, Hugh menegaskan untuk mendahulukan pembangunan Kastil di banding dengan jalur kereta. Alasannya adalah karena Skythia baru saja di taklukan dan kemungkinan kelompok kontra masih bergerilya di Skythia. Maka dari itu pertahanan di pusat wilayah Skythia harus diprioritaskan.Perdebatan pembangunan kastil sebagai pusat pertahanan dan rel kereta sebagai akses transportsi untuk memudahkan pendistribusian segala keperluan di Skythia berlangsung cukup alot. Bukan hanya karena Skythia wilayah baru dan sebagian besar hancur akibat perang, tapi dana yang ada masih harus di perhitungkan untuk keperluan di sana sini. Belum lagi Hugh yang selalu absen karena panggilan darurat membuat pengesahan perencanaan pembangunan kasti

  • MENJEMPUT ISTRIKU   021 Aldor 2

    **Bab 021 Aldor 2**Langit di atas Aldor semakin gelap, angin dingin membawa serta aroma tanah basah dan asap dari obor yang dinyalakan di sepanjang jalanan kota benteng. Di dalam ruang pertemuan yang tertutup rapat, Alwyn duduk di depan meja panjang dengan peta Aldor dan Ironvale terbentang di hadapannya. Marcel dan Wilham berdiri di kedua sisinya, sementara di seberang mereka, Edric Valmond dan Calen tampak diam, masing-masing dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan."Laporan terakhir yang kami dapatkan menyebutkan adanya pergerakan kelompok bersenjata di sekitar tambang," ujar Wilham, nada suaranya datar namun tajam. "Tidak banyak, tapi cukup untuk membuat para pekerja resah."Edric menghela napas, tangannya mengepal di atas meja. "Kami sudah mengirim patroli tambahan ke sana. Namun, sejauh ini, tidak ada tanda-tanda perlawanan terbuka.""Karena mereka tidak sebodoh itu," Marcel menyela, matanya menyipit tajam ke arah Edric. "Mereka tahu kapan harus bergerak dan kapan harus bersem

  • MENJEMPUT ISTRIKU   020 Aldor

    **Bab 020 Aldor**Aldor menyambut Alwyn dengan langit kelabu dan udara dingin yang menusuk. Kota benteng ini berdiri dengan konstruksi yang belum selesai, namun suasana di dalamnya terasa jauh dari ketenangan. Penduduk berlalu-lalang dengan langkah cepat, wajah mereka dipenuhi kewaspadaan. Prajurit yang bertugas di gerbang melontarkan hormat dengan kaku, mencerminkan ketegangan yang sudah mengakar di tempat ini.Di aula utama kastil Aldor, seorang pria paruh baya dengan jubah kebesaran yang sedikit terlalu mewah untuk seorang penguasa daerah, berdiri dengan ekspresi gelisah. Edric Valmond, penguasa Aldor, adalah pria dengan wajah aristokrat yang dipenuhi garis-garis kelelahan. Matanya tajam, tetapi ada kegugupan yang sulit disembunyikan dari sorotannya. Dia bukan seorang pemimpin yang biasa menghadapi medan perang; keberaniannya lebih banyak teruji di ruang perjamuan, bukan di garis depan."Selamat datang di Aldor, Tuan Gusev," kata Edric, suaranya terdengar angkuh namun mengandung ke

  • MENJEMPUT ISTRIKU   022 Kawan atau Lawan

    **Bab 022 Kawan atau Lawan**Waktu ketika Baron Robert Galina baru saja mengirimkan surat persetujuan pengajuan lamaran Athaleyah Galina.---Pagi di Istana Kerajaan terasa lengang, seolah waktu berjalan lambat dengan setiap detik yang menggerus ketenangan di ruang kerja Grand Duke Margrave. Ruangan ini bukan hanya tempat merumuskan strategi, tapi juga tempat di mana otak tajam Margrave mengendalikan segala keputusan penting. Peta-peta besar terhampar di atas meja, disertai dengan gulungan kertas yang penuh perhitungan. Margrave duduk dengan tenang, matanya menganalisis setiap detail yang terhampar di hadapannya, seolah semua pergerakan dunia politik dapat diprediksi dengan tepat oleh pikirannya.Di seberang meja, Davion duduk dengan ekspresi yang lebih tergesa-gesa. Tangannya bergerak-gerak tak sabar, wajahnya memancarkan ambisi yang terkendali namun jelas-jelas menunjukkan ketidaksabarannya. Ia menunggu, menahan dorongan untuk berbicara, sementara Margrave tetap diam—keheningan yang

  • MENJEMPUT ISTRIKU   018 Duke Hugh Griffith

    **Bab 018 Duke Hugh Griffith**Alwyn segera memberi salam dengan hormat pada pria bertubuh tinggi dan gagah di hadapannya. Tanpa ragu, ia langsung bersikap siap, layaknya seorang ajudan yang selalu siaga di hadapan komandannya."Maafkan kelalaian saya, Tuanku. Saya ceroboh tidak memperhitungkan semuanya..." ujar Alwyn dengan nada rendah, berusaha menjelaskan sambil menahan kegugupan yang menggelayuti hatinya.Namun, pria besar itu tampaknya tak peduli sedikit pun dengan penyesalan Alwyn. Dengan nada tegas dan suara yang menggema, ia menyuruh, "Keluarlah! Siapkan kereta kudanya!""Baik, Tuanku," jawab Alwyn singkat, sebelum buru-buru berbalik dan segera pergi, meninggalkan Atthy bersama pria itu di dalam ruangan.Langkah Alwyn cepat namun penuh kecemasan. Meskipun hatinya berat, ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menjalankan perintah. Atthy kini ada bersama calon suaminya, dan sebagai seorang pegawai, dia hanya bisa bersimpati, bukan berempati. Dilema itu merayapi pikiran Alwyn

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status