**Bab 003: Konspirasi**
Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.
---
Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar.
"Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."
Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam. "Griffith semakin kuat," jawabnya, suara tegas namun terkendali. "Dengan Skythia dalam genggamannya, dia tak hanya menambah kekuasaannya di luar, tetapi juga di dalam kerajaan. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi ancaman yang lebih besar."
"Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Hanya kita yang bisa memutuskan apa yang terjadi selanjutnya." Silvia menyipitkan matanya, penuh perhitungan.
Margrave mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Davion, kamu tahu posisimu sendiri. Kita perlu lebih dari sekadar klaim kekuasaan. Kita membutuhkan pengaruh yang jauh lebih besar. Griffith sedang membangun kekuasaannya di luar, tetapi kita yang berada di dalam istana, kita yang mengendalikan alur sejarah. Kita tak bisa membiarkan mereka merebut itu."
Silvia menatap Margrave dengan penuh perhatian. "Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Kita hanya butuh langkah yang lebih tajam."
Margrave tersenyum tipis. "Dan langkah itu ada di luar kerajaan. Kita butuh seseorang yang bisa kita kendalikan dari dalam."
"Seorang 'tumbal'," kata Silvia pelan. "Seseorang yang cukup berani untuk memasuki wilayah Griffith, namun cukup naif untuk tidak mengetahui bahayanya."
Margrave menatapnya, suara tegasnya penuh perhitungan. "Kita harus menemukan 'tumbal' yang tepat."
Viscount Darius Malenor Mencari Peluang
Viscount Darius Malenor mendekati Silvia dengan langkah terukur, matanya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Ratu tengah mencari peluang untuk memperkuat posisinya—dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
"Permaisuri, saya mendengar Anda sedang mencari seseorang yang dapat memberikan dukungan strategis," katanya, nadanya penuh kehati-hatian, namun langsung ke inti. "Saya rasa saya bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan."
Silvia mengangkat alis, tidak terkejut. Ia memperhatikan setiap gerakan Viscount dengan teliti, menilai lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkannya. "Apa yang Anda tawarkan, Viscount?"
Viscount menundukkan kepala dengan hormat. "Saya tahu situasi politik di ibu kota cukup rumit, dengan persaingan yang terus berkembang. Namun, saya juga tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat peluang di balik kabut ini. Klan Griffith dan Klan Margrave terjebak dalam pertarungan yang tak berkesudahan, dan saya yakin ada celah untuk dimainkan untuk Anda dan Pangeran Davion."
Silvia tetap tenang, menimbang kata-kata Viscount. "Anda pikir saya butuh seseorang seperti Anda untuk memanfaatkan itu?" tanyanya datar.
"Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya memiliki koneksi yang bisa berguna bagi Anda, Permaisuri," jawab Viscount, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Dan saya tahu bagaimana bergerak tanpa menarik terlalu banyak perhatian... baik bagi saya maupun bagi Anda."
Silvia mengamatinya sejenak. "Tunggu sebentar," katanya akhirnya, "Saya tidak tertarik pada permainan yang berisiko. Apa yang Anda tawarkan lebih dari sekadar bisikan kosong, Viscount?"
Viscount tersenyum tipis. "Kita semua tahu bahwa Anda tidak bermain dengan risiko, Permaisuri. Tapi terkadang, risiko terbesar adalah mengabaikan peluang yang ada di depan mata."
Silvia tidak segera menjawab. Namun dalam benaknya, ia tahu bahwa Viscount ini lebih dari sekadar pencari keuntungan biasa.
---
**Bidak**
Di ruang pertemuan pribadi, ketiganya duduk dalam sikap elegan namun penuh kewaspadaan.
Margrave menyesap anggurnya dengan malas, sebelum bersuara dengan nada sarkastis, "Viscount Darius Malenor—burung pipit yang terbang lebih tinggi dari anginnya. Hanya soal waktu sebelum dia lelah dan jatuh."
Davion menyeringai tipis. "Terlalu kecil untuk langit ini. Dia hanya burung yang ingin terbang, tapi sayapnya terlalu rapuh."
Silvia, yang lebih berhati-hati, menyandarkan tangannya di atas meja. "Tapi kadang burung pipit bisa mematuk jika kita lengah. Kita tahu dia baru, tapi mulut manisnya sudah berhasil menjangkau telinga yang lebih berpengaruh."
Margrave tertawa pelan. "Dia bisa berbicara sepanjang hari, tapi tak akan mengubah apa pun. Biarkan dia mengepakkan sayap, kita punya angin yang jauh lebih kuat."
Namun Davion justru menggeleng pelan, matanya menyipit. "Bukan itu yang menggangguku. Jika hanya ambisi, dia bukan ancaman. Tapi dia bukan hanya burung pipit yang berisik. Dia tahu ke mana dia ingin terbang."
Silvia menatapnya dengan tajam. "Maksudmu?"
Davion menekan ujung jarinya ke meja, berpikir. "Viscount ini... bukan hanya mencoba naik ke atas, tapi dia juga tahu ke mana arah angin. Ada seseorang yang membimbingnya, atau setidaknya, seseorang yang memberinya cukup keberanian untuk berbicara di hadapanmu, Permaisuri."
Ruangan itu jatuh dalam keheningan sejenak. Margrave, yang semula menganggap enteng, kini terlihat sedikit lebih serius.
Silvia akhirnya bersuara, suaranya dingin. "Tikus atau bukan, kita tak bisa terlena. Kadang yang tersembunyi adalah yang paling berbahaya."
Margrave menyudahi pembicaraan dengan senyum dingin. "Kita tahu tempat kita di langit ini. Biarkan si pipit itu terbang rendah. Jika dia terlalu berani, kita akan menghancurkan sayapnya."
---
**Konfrontasi Tiga Count**
Di sebuah ruangan mewah yang diterangi temaram cahaya lilin, tiga tokoh berpengaruh duduk mengelilingi meja bundar dari kayu hitam berukir. Aroma anggur tua bercampur dengan asap dupa tipis, menciptakan suasana yang sarat ketegangan. Bayangan mereka terpantul samar di permukaan kaca jendela besar yang menghadap ke kota, seolah menggambarkan permainan kekuasaan yang tengah berlangsung.
Count Markus Hazen membuka percakapan, senyumnya samar, namun tajam bak belati terselubung sutra.
"Viscount Darius Malenor? Bidak baru yang dibawa ke papan permainan ini. Aku bertanya-tanya, apa yang dilihat Margrave dalam dirinya selain sekadar ambisi mentah?"
Count Frendel Belatrix mendengus ringan, jari-jarinya mengetuk perlahan pada cangkir anggur yang belum ia teguk. Matanya menelusuri ruangan sebelum akhirnya menetap pada Markus.
"Ambisi mentah sering kali menjadi alat terbaik. Dia datang dari Nauruan, wilayah pinggiran yang bahkan tidak dipandang oleh sebagian besar bangsawan. Namun kini, dia berusaha menancapkan pengaruhnya di lingkaran ini. Aku hampir mengagumi keberaniannya, atau mungkin kebutaannya."
Viscount Dalmar Yegev, yang selama ini hanya menyimak dengan ekspresi santai, akhirnya berkomentar.
"Keberanian atau kebodohan? Kadang batasnya tipis, dan lebih sering daripada tidak, yang satu akan mengarah pada yang lain. Tapi satu hal yang jelas, Margrave tidak akan bertaruh pada seseorang tanpa alasan. Aku ingin tahu, apakah Darius Malenor benar-benar bidak… atau mungkin sesuatu yang lebih berbahaya?"
Markus mengetuk meja dengan jemarinya, irama ketukannya teratur, nyaris seperti hitungan waktu sebelum eksekusi. Suaranya tetap dingin, penuh perhitungan.
"Margrave memiliki mata yang tajam untuk memilih alat. Tapi alat ini, Darius Malenor, terlalu rapuh. Satu langkah yang salah, dan dia akan runtuh sebelum mencapai tujuannya."
Frendel menyeringai, kilauan licik terlihat dalam matanya. Ia menyandarkan tubuhnya, menikmati setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Itulah keindahannya. Seorang bidak seperti dia mudah diarahkan, bahkan lebih mudah dihancurkan. Pertanyaannya bukan apakah kita akan bergerak, tapi kapan kita mulai bermain?"
Dalmar mengangkat gelasnya, memutar anggur di dalamnya sebelum akhirnya menyesap perlahan. Nada suaranya sarat dengan ironi.
"Kita biarkan permainan berjalan. Tapi jika Margrave berpikir dia bisa menggunakan bidak seperti Darius Malenor tanpa konsekuensi, maka dia jelas meremehkan permainan ini."
Markus menatap kedua rekannya, matanya gelap, menyimpan rencana yang belum diutarakan.
"Kita awasi mereka. Biarkan Darius Malenor melangkah sejauh mungkin, sampai ia merasa memiliki kekuatan. Saat itulah kita tunjukkan bahwa kekuatan sejati hanya dimiliki oleh mereka yang tahu cara menggunakannya."
Frendel mengangkat cangkir anggurnya dengan senyum yang nyaris predatoris.
"Untuk kekuatan sejati, dan kejatuhan mereka yang tak cukup cerdik untuk bertahan."
Tiga cangkir beradu dalam dentingan halus. Di ruangan itu, kemenangan yang belum tercapai telah dirayakan dalam diam, sementara di luar sana, bidak yang mereka bicarakan mungkin baru saja melangkahkan kakinya ke dalam perangkap yang tak kasat mata.
---
**Bujuk Rayu**
---
Ruang pertemuan di Manor Baron Galina dipenuhi suasana yang mencoba menampilkan elegansi. Karpet tebal berwarna merah tua membentang di sepanjang lantai, sementara dinding dihiasi dengan lukisan potret keluarga Galina yang mencoba memberikan kesan aristokrat. Lilin-lilin di tempatnya memancarkan cahaya hangat, menciptakan bayangan di setiap sudut ruangan. Namun, kesan ini lebih terasa seperti upaya untuk menutupi kekurangan ketimbang menunjukkan kemegahan.
Viscount memasuki ruangan dengan langkah tenang, senyumnya tipis, tetapi matanya penuh perhitungan. Ia melirik sekeliling, jemarinya menyusuri tepi sarung tangannya dengan santai—gestur kecil yang tampak sepele, tetapi cukup untuk mengingatkan siapa pun yang memperhatikannya bahwa ia terbiasa memiliki kendali. Baron Galina segera berdiri dari kursinya, menyambut dengan nada yang dibuat-buat penuh semangat.
"Ah, Tuan Viscount! Sebuah kehormatan bagi rumah ini untuk menerima kunjungan Anda," kata Baron dengan gestur berlebihan, seperti seorang aktor di atas panggung.
Viscount menundukkan kepala sedikit, menahan senyum sinisnya. "Baron Galina, kehormatan ini sepenuhnya milik saya. Manor Anda memiliki suasana yang... khas."
Baron, yang tidak menangkap sindiran itu, tersenyum lebar. "Oh, terima kasih. Saya mencoba untuk menjaga standar aristokrat meskipun, tentu saja, tantangan selalu ada." Ia menunjuk kursi di seberangnya. "Silakan duduk, Tuan. Saya yakin kita memiliki banyak hal untuk dibicarakan."
Mereka duduk berhadap-hadapan. Viscount membiarkan keheningan menggantung beberapa saat, mengamati Baron seperti pemangsa menilai mangsanya. Baron menggenggam gelas anggur di depannya, jarinya mengetuk-ngetuk tepi kaca seolah mencari pegangan.
"Rencana kita berjalan sesuai yang diharapkan," kata Viscount akhirnya, nadanya santai tetapi penuh kendali. "Margrave telah menerima gagasan pernikahan Athaleyah dengan Duke Hugh. Sebuah langkah besar untuk memperkuat posisi keluarga Galina."
Baron Galina berseri-seri, rasa bangga memenuhi wajahnya. "Luar biasa! Saya tahu rencana ini akan berhasil. Athaleyah adalah permata keluarga kami, dan dia akan menjadi Duchess yang sempurna. Count Veraga pasti akan menyesal telah meremehkan saya."
Viscount mengangguk perlahan, membiarkan Baron berbicara lebih banyak. "Namun, saya harus mengingatkan Anda, Baron," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius, "bahwa langkah ini harus dikelola dengan sangat hati-hati. Anda paham betul, ini bukan hanya soal kehormatan keluarga Galina. Ini tentang memainkan peran dalam strategi besar Margrave."
Baron mengangguk cepat, meskipun sedikit bingung dengan maksud Viscount. "Tentu saja, tentu saja. Saya akan memastikan semuanya berjalan lancar. Anda tahu saya selalu setia kepada tujuan kita."
Viscount tersenyum, tetapi tatapannya dingin. "Kesetiaan Anda tidak diragukan, Baron. Namun, ada banyak mata yang mengamati setiap langkah kita. Satu langkah yang salah bisa menjadi senjata bagi musuh. Anda mengerti maksud saya?"
Baron tampak tegang sejenak sebelum menyembunyikannya dengan tawa canggung. Ia menyesap anggurnya, tetapi tidak cukup untuk menyembunyikan cara tangannya sedikit gemetar saat meletakkan kembali gelasnya. "Tentu, saya mengerti. Semua ini untuk kebaikan bersama. Dan tentu saja, untuk kepentingan Margrave."
"Tepat sekali," kata Viscount, mengamati reaksi Baron dengan saksama. "Namun, saya ingin memastikan Anda benar-benar siap menghadapi apa pun. Count Veraga mungkin akan mencoba mengacaukan rencana ini. Dan, tentu saja, Athaleyah sendiri harus diarahkan dengan bijak."
Baron bersandar ke depan, nada suaranya penuh semangat. "Jangan khawatir tentang Athaleyah. Dia sangat pintar, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan sedikit arahan, dia akan menjadi Duchess yang tak tertandingi."
Viscount tersenyum kecil, tetapi matanya tetap tajam. "Kecerdasan bisa menjadi pedang bermata dua, Baron. Pastikan Athaleyah tahu ke mana harus mengarahkannya."
Baron mengangguk, meskipun mulai tampak sedikit gelisah dengan nada Viscount. "Tentu saja. Semua akan berjalan sesuai rencana."
Viscount berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan itu selesai. "Bagus. Saya akan melaporkan kemajuan ini kepada Grand Duke Margrave. Pastikan Anda tidak membuat kesalahan, Baron."
Baron juga berdiri, tergesa-gesa membungkuk dalam-dalam. "Anda dapat mengandalkan saya, Tuan."
Viscount membalas dengan senyum tipis sebelum meninggalkan ruangan. Saat pintu tertutup di belakangnya, senyum itu berubah menjadi ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di dalam ruangan, Baron menghela napas lega, tanpa menyadari bahwa dalam permainan ini, ia bukan pemain, melainkan hanya bagian dari papan.
---
Beberapa waktu setelahnya.
---
Seorang ayah duduk di tepi meja. Wajahnya serius, menatap anak perempuannya yang duduk diam di hadapannya.
"Kau harus menerima ini, anakku. Menikahlah dengannya. Ini akan mengubah hidupmu... dan hidup kita."
Anak perempuannya menunduk, jemarinya mencengkeram ujung gaunnya. "Tapi aku tidak bisa, Ayah... Beban ini terlalu berat. Aku tidak ingin menjadi bagian dari permainan ini."
Ayahnya menghela napas panjang. "Kau tidak punya pilihan. Ini lebih besar dari kita. Percayalah padaku, ini adalah jalan terbaik."
Gadis itu menggigit bibirnya, matanya dipenuhi ketakutan. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?"
Ayahnya meraih bahunya, genggamannya dingin. "Kau tidak akan gagal. Kau hanya perlu mengikuti rencana ini. Jika ini berhasil... kita akan berada di puncak."
---
---
Sementara itu, di kediaman milik Baron Galina di Nauruan, Darius sedang menunggu di ruang tamu besar yang memiliki jejak kemewahan yang sudah mulai memudar. Ruangan itu cukup luas, dihiasi dengan furnitur antik yang terkesan mahal, namun sudah terlihat usang karena kurangnya perawatan. Lampu lilin bergoyang di meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, memberikan cahaya temaram yang membentuk bayangan di dinding-dinding ruangan, yang meskipun luas, tampak suram dan tidak terurus. Di luar, angin malam menggoyang tirai tebal yang tampak usang, seakan menggambarkan betapa ruangan ini tidak lagi dipenuhi kehidupan seperti dulu.
Darius duduk dengan santai di kursi empuk yang seharusnya menjadi simbol kekayaan, namun terlihat sedikit kusam. Senyum tipisnya tidak bisa disembunyikan, merasa puas dengan segala perhitungan yang sudah dibuat. "Baron," kata Viscount dengan suara rendah namun tegas, "ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Peringatan saya jelas—kita berada di titik yang tepat. Pernikahan ini bukan hanya soal keuntungan politik, tetapi tentang meruntuhkan Veraga dan mengendalikan semuanya."
Robert, yang duduk di kursi seberang dengan postur canggung, menatap Darius dengan tatapan yang campur aduk antara harapan dan keraguan. Meskipun hidupnya penuh kemewahan, Robert selalu merasa ada yang kurang, sesuatu yang tidak bisa ia capai meskipun memiliki kekayaan. "Tapi, bisakah kita benar-benar mempercayai Duke Griffith? Dia tidak akan begitu saja jatuh dalam jebakan kita, bukan?" Suaranya terdengar ragu, seolah masih mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Darius tertawa pelan, nada suaranya penuh kepercayaan diri. "Duke Griffith bukan masalah, Baron. Kita bisa mengatur semuanya dengan mudah. Begitu kita memiliki Lady Athaleyah di sisi kita, tidak ada yang bisa menghalangi kita. Saya sudah memikirkan semuanya, termasuk bagaimana menanggulangi Veraga. Semua yang kita butuhkan adalah dorongan kecil dan bantuan dari putri Anda." Senyum Darius semakin lebar, penuh arti. "Lady Athaleyah akan bisa menundukkan Duke Griffith, bahkan mungkin para pengikutnya juga. Saya yakin dia memiliki kemampuan itu."
Robert merasa tenggorokannya kering, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap kata yang keluar dari mulut Darius terasa semakin menekan dirinya. "Athaleyah… ya, jika dia berhasil, maka ini akan mengubah segalanya," jawabnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah kesempatan yang harus diambil.
Darius menatapnya lebih tajam, seolah mengukur setiap reaksi dari Robert. "Lady Athaleyah adalah kunci kita, Baron. Jika dia bisa mendapatkan posisi di sisi Duke Griffith, kita tidak hanya akan menguasai wilayah ini. Kita akan mengendalikan lebih banyak hal—lebih dari yang bisa Anda bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, memberikan beban berat yang seakan mengikat setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Robert terdiam, matanya mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang menghadap ke luar. Meskipun kediamannya besar dan mewah, terasa ada kekosongan yang mengganggu. Ia tahu ini adalah kesempatan besar, tetapi juga tak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya sedang memainkan permainan yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
---
Beberapa waktu setelahnya
Di dalam manor yang diterangi cahaya temaram, sepasang suami istri duduk berhadap-hadapan di pojok ruangan.
Wanita itu menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku takut... kita tak bisa keluar dari ini."
Lelaki itu menghela napas panjang, matanya penuh kebingungan dan kemarahan. "Kita terpojok. Tak ada pilihan lain. Semua ini... karena dia."
Wanita itu menggigit bibirnya, tangannya mengepal di atas pangkuan. "Jika mereka tahu... kita tidak hanya kehilangan segalanya. Kita akan mati."
Lelaki itu menatapnya dengan tajam, ekspresinya suram. "Kita sudah sampai di titik ini. Tidak ada jalan untuk mundur. Jika ini gagal... kita akan mati. Tapi kita harus maju, apapun yang terjadi."
---
Di luar manor, angin malam berembus kencang. Di kejauhan, cahaya dari ibu kota berkilauan di bawah langit yang gelap. Dan di dalam bayang-bayang, sesuatu telah mulai bergerak.
---
Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
**Bab 004: Mencurigakan*******AWAL CERITA DIMULAI*****Kota Nauruan adalah sebuah kota besar di ujung perbatasan sebelah timur dari wilayah Kerajaan Xipil. Dari pusat Kota Nauruan, beralih ke sebuah wilayah yang masih dalam yurisdiksi Kota Nauruan. Wilayah ini sangat luas, lima belas kali lebih besar dari pusat kotanya sendiri.Caihina adalah sebuah wilayah tandus dan kering yang nyaris tidak tersentuh megahnya pusat Kota Nauruan. Wilayah terpencil ini memiliki belasan desa yang nasibnya kurang lebih sama. Desa-desa kecil yang sangat terisolasi, namun luasnya belasan kali lipat dari pusat kota. Wilayah ini terdiri dari gurun pasir dan sabana yang terlupakan oleh bangsawan yang memimpin kota, yaitu Count Veraga.Angga adalah salah satu desa dari jajaran sembilan desa terluar di wilayah Caihina, Kota Nauruan. Untuk mencapai pusat kota, diperlukan waktu sepuluh hari dengan kereta kuda karena medan yang sulit. Namun, jika berkuda, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Des
**Bab 005: Utara dan Selatan**Sejak zaman dahulu, sistem hierarki sosial yang kental, baik dalam pemerintahan maupun masyarakat, memperburuk kesulitan rakyat jelata untuk keluar dari belenggu gurun pasir dan sabana yang keras.Awalnya, garam dan kulit hewan adalah komoditas utama yang menopang ekonomi Caihina. Namun, setelah ditemukan pertambangan besi, banyak masyarakat Caihina mulai mempelajari seni pandai besi. Kehidupan yang keras di wilayah ini memaksa mereka untuk menguasai berbagai keterampilan demi bertahan hidup.Berkat ketangguhan masyarakatnya, meski Caihina terpencil dan sering terlupakan oleh pemerintahan kerajaan, wilayah ini tetap mampu mandiri.Sebagian besar masyarakat Caihina sebenarnya tidak miskin. Namun, latar belakang mereka yang berasal dari rakyat jelata dan dikenal sebagai suku terbelakang membuat mereka selalu terpinggirkan. Padahal, garam dan kulit binatang dari Caihina sangat mahal di pasaran, meski sebagian besar orang luar tidak mengetahuinya.Awalnya, pe
**Bab 006: Keputusan**Semua persiapan pun dilakukan dengan cekatan untuk perjalanan ke pusat kota. Keluarga Galina, yang terbiasa hidup mandiri, sudah sangat mengerti dengan peran dan tugas masing-masing. Ketika Ash dan Ay pergi, pekerjaan di rumah menjadi dua kali lipat lebih berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tanpa dua tenaga utama keluarga, segala sesuatu harus diselesaikan dengan lebih cepat dan efisien. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Ash dan Ay diperkirakan akan kembali dalam dua minggu, setelah menyelesaikan perjalanan pulang pergi dan menjual barang dagangan mereka. Karena itu, mereka yang tertinggal di rumah harus menggantikan beban yang hilang, bekerja lebih keras dari biasanya.Setiap kali berjualan ke pusat kota, penduduk gurun selalu melakukan konvoi demi alasan keamanan. Ash biasanya bergabung dengan beberapa warga dari desa tetangga yang juga membawa barang dagangan atau sekadar membeli kebutuhan di pusat kota Nauruan. Bahaya dari para bandit yang bersembunyi
**Bab 007 Dengki**Ruangan itu dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Jendela besar menghadap lanskap yang luas, namun ruangannya terasa terkendali, seperti hidup dalam bayangan kekuatan yang tak pernah padam. Meja panjang di tengah ruangan itu dikelilingi oleh kursi-kursi dengan ukiran halus, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak tergoyahkan. Namun, di balik keindahan tersebut, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Margrave duduk dengan tenang di kursinya, matanya yang tajam menatap Davion yang berdiri di seberang meja. Keduanya berada dalam ruang ini, satu-satunya tempat di mana mereka dapat berbicara tanpa gangguan, meski kedekatan mereka sebagai keluarga terasa semakin renggang. Margrave lebih tua, lebih bijaksana, namun ketenangan itu terkadang menyembunyikan ambisi yang lebih besar. Sementara itu, Davion, cucunya yang lebih muda, lebih terang-terangan, lebih cepat berbicara dan lebih cepat bertindak."Jadi, apa yang h
**Bab 008 Billy Kutcher**Akhirnya, hari yang selama ini dikhawatirkan oleh keluarga Rowt tiba. Hari yang datang lebih cepat dari perkiraan, seminggu lebih awal dari waktu yang mereka kira.Baru tiga hari yang lalu, mereka masih membicarakan masalah ini dengan penuh cemas. Namun tiba-tiba, rombongan utusan itu muncul di depan rumah mereka, seakan-akan hari ini adalah titik balik dari segala kekhawatiran. Ini membuat Rowt dan keluarganya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik lamaran ini, sesuatu yang tidak mereka pahami. Hanya saja, Rowt tidak bisa membayangkan apa yang bisa didapatkan dari keluarga mereka dengan melibatkan diri dalam permainan ini. Mereka adalah keluarga bangsawan miskin dengan gelar yang sudah mulai luntur. Seperti yang selalu mereka katakan, sangat tidak masuk akal jika dilihat dari segala aspek.Rombongan utusan yang membawa calon mempelai wanita tiba dengan sebuah kereta kuda yang dikelilingi oleh beberapa ksatria berkuda. Mereka datang pagi itu
**Bab 009 Stela, Bela, dan Rosa.**---Ash dan Rowt akhirnya pasrah, tidak mampu lagi menahan keputusan Atthy yang sudah mantap.Atthy bukanlah tipe gadis lemah gemulai yang bisa bersikap manja. Ia sudah menerima pendidikan yang cukup dari Laura, ibunya, sebelum kepergian Laura yang terlalu cepat, dan juga dari Ash, ayahnya, selama ini.Atthy tumbuh sebagai gadis yang dibesarkan dalam kehidupan rakyat jelata, jauh dari kemewahan. Namun, pengetahuan yang dimiliki Atthy melebihi banyak gadis remaja bangsawan seusianya. Sebagai seorang wanita bangsawan, Atthy memiliki kualitas yang tidak dapat dipandang sebelah mata, dan Ash sangat memahaminya. Bahkan, dalam setiap pandangan Ash terhadap Atthy, ada rasa bersalah yang mendalam, terutama ketika ia mengingat bagaimana Laura, istrinya, dengan sabar melatih dan mendidik Atthy untuk menjadi seorang Lady yang terhormat. Laura percaya bahwa suatu saat, Atthy akan menjalani hidup yang lebih baik seperti yang seharusnya dijalani seorang bangsawan p
*Bab 010 Alwyn Gusev dan Randy Rozenvelt*Beberapa waktu setelah Atthy selesai dengan segala keperluannya, kereta kuda elegan nan mewah datang menjemputnya. Iringan ini sangat kontras dengan pengiringan yang diterimanya di Caihina—bukan hanya kemewahan atribut yang mereka bawa, tetapi juga etika dan disiplin prajurit yang mengiringinya. Mereka berdiri tegak dan teratur, dengan wibawa yang tak terbantahkan, membuktikan bahwa ini adalah iringan dari kalangan bangsawan sejati.''Selamat siang, Lady Galina... Perkenalkan, saya adalah Alwyn Gusev, Pengelola Dukedom Griffith yang diutus sebagai pemimpin iringan Tuanku Duke Griffith,'' sapa seorang pria yang tampak dengan jelas sebagai pemimpin iringan ini. Suaranya rendah dan penuh wibawa, tapi tetap menjaga kesopanan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu elegan, bahkan dalam kalimat yang singkat. Meskipun cepat, cara dia berbicara mencerminkan pengetahuan dan kemanusiaan yang mendalam.''Selamat siang, Lady Galina... Perke
**Bab 011 Perjalanan**Beberapa jam kemudian, seperti yang telah dijelaskan oleh Alwyn, mereka tiba di stasiun dan segera memasuki gerbong khusus yang telah disiapkan untuk mereka. Atthy tercengang saat melihat kereta uap yang megah di hadapannya. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat kereta uap dengan mata kepalanya. Sebelumnya, ia hanya mengetahui tentang kereta uap melalui cerita ayah atau kakeknya, juga melalui koran dan buku yang pernah dibacanya.Atthy tidak mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekagumannya terhadap ''Ular Besi'' yang berdiri gagah di hadapannya. Warna hitam legam kereta itu menambah kesan misterius yang mengagumkan.Melihat reaksi Atthy, ekspresi Alwyn, Randy, dan para pengawal kembali memperlihatkan kesan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu Atthy. Meskipun begitu, mereka berusaha tetap sopan, tidak menunjukkan rasa heran mereka dengan terlalu jelas, dan tetap menghormati Lady yang saat itu terkesan cukup terpesona oleh teknologi yang belum
**Bab 058 Kendali Diri**''Apa ini? Ini belum waktunya. Dia bilang akan bicara setelah makan malam..." gumam Atthy sambil berjalan keluar dari ruang kerja Helena. Keningnya sedikit berkerut saat merenung. "Sangat tidak biasa dari dirinya. Ada apa?"Belum sempat ia melangkah lebih jauh, Stela terlihat aneh dengan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya tampak pucat dan ada kilatan gugup dalam matanya."Maaf, Duchess... bukan ke sana..." ujar Stela terbata-bata tapi dia terus mengiringi Atthy berjalan.Atthy menghentikan langkahnya. "Stela, kau kenapa?" Matanya menyipit, meneliti pelayan itu. Keringat dingin tampak mengalir di pelipisnya, dan tubuhnya sedikit gemetar."Tidak apa-apa, Duchess. Saya sepertinya sedikit tidak enak badan..." jawab Stela cepat, suaranya bergetar, seolah sedang menutupi sesuatu.Atthy mengernyit. "Kalau begitu, beristirahatlah. Wajahmu tampak sangat buruk. Kau membuatku khawatir, Stela.""Saya akan, Duchess. Segera setelah Anda beristirahat..."Atthy menghela nap
**Bab 057 Konspirasi Tiga Pelayan**---Di dalam kamar pelayan yang sempit, suasana terasa panas meskipun udara dingin pagi masih menyusup melalui celah-celah jendela kayu. Tiga sosok wanita duduk melingkar di atas lantai, masing-masing dengan ekspresi berbeda—Rosa yang frustrasi, Bela yang gelisah, dan Stela yang tampak berpikir dalam-dalam."Aku ingin pulang," ujar Rosa tiba-tiba, suaranya datar tetapi penuh kepasrahan.Bela mendesah keras sebelum melotot padanya. "Apa kau tidak lelah terus-menerus merengek seperti itu?!" bentaknya kasar.Rosa membalas tatapan Bela dengan mata penuh kebencian. "Bisakah kalian tenang?!" sela Stela tajam, suaranya nyaris berbisik. "Bagaimana jika ada telinga yang mendengar?"Namun, Rosa tak peduli. Dia menatap keduanya dengan mata membara. "Stela, kau juga tahu ini! Tiga bulan... bicara berbisik, berhati-hati... Kita bertiga tahu kalau kita tidak disukai di manor ini!"Bela mencibir. "Itu karena kebodohanmu... kalau saja kau tidak ceroboh saat itu..."
**Bab 056 Terang dan Gelap**''Kakek, apakah kakek membenci Duchess?'' tanya Karl.Mata Vadim terbelalak mendengar pertanyaan cucu tertuanya. Dia menatap Karl dengan tajam, mencoba memahami arah pemikirannya. Pertanyaan itu tidak datang begitu saja—ada sesuatu yang melatarbelakanginya.''Maafkan saya, Kakek. Percakapan Helena dengan Alwyn, saya tidak sengaja mendengarnya.''Vadim masih belum mengalihkan pandangannya. ''Helena dan Alwyn yang bicara, kenapa kau bertanya padaku tentang Duchess?''Karl menundukkan kepalanya sedikit, tetapi bukan dalam ketakutan. Itu adalah tanda bahwa dia sedang menimbang kata-katanya dengan hati-hati. ''Saya mulai mencari tahu...''''Kau menyelidikiku.''''Tidak juga, tapi saya mulai mengamati. Kakek mengubah pola bicara kakek dengan Duchess.''Vadim terdiam sesaat. Karl benar. Dia memang mengubah sikapnya terhadap Atthy. Tidak secara frontal, tetapi cukup terlihat bagi seseorang yang memperhatikan.''Anak ini, ternyata dia tumbuh lebih dewasa. Bagaimana
**Bab 055 Hugh dan Alwyn**Ruangan kerja Duke Hugh dipenuhi dokumen dan peta strategi yang sebagian masih terbuka di meja panjanganya. Namun, perhatian Hugh saat ini tidak tertuju pada pekerjaannya, melainkan pada pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi serius."Alwyn, ada apa?" suara Hugh terdengar rendah, tetapi penuh otoritas.Alwyn, yang biasanya selalu tenang dan terkendali, kini tampak sedikit berbeda. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu."Helena... Tuanku, dia tampak mengkhawatirkan," jawab Alwyn akhirnya, suaranya terukur tetapi mengandung kekhawatiran yang nyata.Hugh, yang semula masih menggenggam pena di tangannya, segera meletakkannya di atas meja. Tatapan matanya kini sepenuhnya terfokus pada Alwyn."Jelaskan," perintahnya singkat.Alwyn tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sebelum berbicara, memastikan setiap kata yang keluar benar-benar mencerminkan situasi yang terjadi."Kemungkinan, Helena terjebak dalam emosinya
**Bab 054 Pergolakan Batin**---Ruang kerja yang dipenuhi aroma khas kertas tua dan tinta yang baru mengering. Di balik meja besar yang tertata rapi, di hadapannya, Helena berdiri dengan tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya sedikit redup, pikirannya jelas dipenuhi oleh sesuatu.Alwyn masuk ke ruangan dengan ekspresi tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh pengamatan. Kehadiran Alwyn sama sekali tidak di sadari oleh Helena."Lady Helena, akhir-akhir ini Anda tampak tidak fokus." Teguran Alwyn meluncur pelan, tetapi tajam.Helena tersentak, matanya melebar karena terkejut. "Apa?!" pekiknya refleks. "Begitukah? Di mana saya melakukan kesalahan, Tuan Alwyn? Saya akan segera memperbaikinya."Alwyn tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Helena lebih dalam, seakan sedang meneliti sesuatu yang tak terlihat di wajahnya. Keheningan di antara mereka semakin menegaskan kesan bahwa sesuatu memang tidak beres."Anda telah menyelesaikan tugas Anda dengan sangat baik. Tidak ada kesalahan dala
**Bab 053 Perdebatan Hugh & Atthy**Cahaya lampu minyak berpendar lembut, menciptakan bayangan panjang di dinding ruangan yang luas. Aroma kertas dan lilin terbakar memenuhi udara, menambah kesan serius dalam pertemuan dua individu yang duduk berhadapan. Hugh bersandar dengan tenang di kursinya, ekspresinya tidak terbaca. Di seberangnya, Atthy duduk tegak, matanya tajam dan penuh tekad."Jadi, apa yang ingin kau bicarakan, Duchess?" Hugh membuka percakapan dengan nada yang terdengar lebih sebagai tantangan daripada sapaan."Kenapa Anda tidak segera meminta maaf pada saya?" Atthy menegaskan dengan nada tenang namun tegas.Hugh mengangkat alis, sedikit terkejut. "Apa?""Apa Anda merasa kalau Anda tidak punya kewajiban itu pada saya?" Atthy menatapnya lurus, tanpa gentar.Senyum kecil terbit di sudut bibir Hugh, tetapi matanya tetap dingin. “Menarik. Kau yang datang kepadaku, tetapi aku yang harus merasa bersalah?”Atthy tidak terpengaruh. “Bukan tentang merasa bersalah, ini tentang mema
**Bab 052 Menyambut Prajurit**Senja mulai merayap turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan berbaur dengan kegelapan. Di gerbang utama Manor Eldoria, deretan obor menyala terang, menerangi jalan berbatu yang dilalui oleh barisan prajurit yang baru kembali dari medan perang. Debu dan lumpur masih melekat di pakaian serta zirah mereka, namun ada kilatan kepuasan di mata mereka—puas karena kembali dengan kemenangan, puas karena bisa menghirup udara rumah setelah sekian lama terpapar bau darah dan kematian.Di ambang pintu utama, Helena berdiri tegak, gaun birunya bergerak lembut tertiup angin sore. Para pelayan di belakangnya menunggu dengan wajah penuh harap, sementara suasana Manor dipenuhi oleh keheningan yang menggantung—menunggu suara pertama yang akan memecahkan ketegangan.''Selamat datang kembali, Tuan Alwyn.'' Suara Helena lembut namun tegas, menyambut Alwyn dan rombongan yang baru saja tiba. ''Begitu pun Anda, Tuan Saihan, Count Kevin, dan semuany
**Bab 051 Kebenaran Atthy?!**---Ruang kerja Manor Eldoria dipenuhi cahaya temaram dari lampu minyak yang berpendar lembut, memberikan nuansa tenang sekaligus mencekam. Di luar jendela, angin malam berhembus, membawa dingin yang menggigit ke dalam ruangan. Bara di perapian masih menyala, memberikan sedikit kehangatan, tetapi tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang menggantung di udara.Vadim duduk di kursi kayu berukir, tangannya bertaut di atas meja. Sorot matanya tajam saat menatap Hugh yang berdiri di depannya. Lelaki muda itu tampak berpikir, ekspresinya tidak semudah biasanya untuk dibaca.''Aku mendengar sesuatu yang menarik dari Helena beberapa saat yang lalu...'' ujar Vadim, suaranya dalam dan penuh makna.Hugh mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan intens, menunggu kelanjutan ucapannya.''Helena mencurigai kalau Duchess adalah korban,'' lanjut Vadim, suaranya terdengar datar namun penuh perhitungan. ''Helena tidak salah, tapi juga tetap tidak boleh langsung mengambil
**Bab 050 Hadiah**Di ruang keluarga, kehangatan menyelimuti suasana saat semuanya duduk berkumpul menikmati camilan dan minuman hangat. Api di perapian membara dengan lembut, memberikan rasa nyaman di tengah udara dingin yang menyelinap dari luar."Kakek, bagaimana perjalananmu?" tanya Nathan yang duduk di sebelah kiri Vadim dengan penuh antusias.Vadim menyandarkan punggungnya ke sofa, sebelah tangannya tetap memeluk Naira yang nyaman bersandar di pangkuannya. "Seperti biasa, Nathan," jawabnya santai.Karl menatap Vadim dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Apakah urusan Kakek sudah selesai?"Vadim tersenyum tipis dan mengusap kepala Karl dengan lembut. "Ya, tidak ada masalah berarti. Aku menyelesaikan semuanya dengan cukup mudah."Setelah beberapa saat berbincang ringan, Vadim mengalihkan pandangannya ke Atthy yang duduk di sebrang meja di hadapannya. "Duchess, bagaimana denganmu? Apakah anak-anak ini menyusahkanmu?"Atthy mengangkat kepalanya, menatap Vadim dengan tenang. "Tidak, Ya