Share

147. MEREKA MEMILIH MATI

Bagi seorang anak, seburuk apapun orang tua. Mereka adalah tempat bergantung. Tempat untuk pulang. Juga tempat untuk menyaluran perih meski kadang tak ada kalimat yang bisa terucap.

Aku yang tumbuh dengan cinta ayah dan ibu, bahkan tidak bisa membenci mereka yang memilih mati. Urung membawaku dan Santo menjemput ajal.

"Beraninya bajingan itu berkata seperti itu padaku, San. Beraninya dia."

Sementara Lais ..., 'aku tidak mungkin bisa mengukur bagiamana ia merasa.'

Kecuali tangisnya menghapus canda dan tawa di dapur yang kini dipenuhi isak gadis yang lukanya sejalan dengan amarah dan rasa benci.

Pun, tidak bisa menerima ucapan maaf sang ayah.

Klep!

Suara pintu yang tertutup tak lagi memperdengarkan isak Lais.

"Enteng banget ya minta maaf." Arka yang keluar bersamaku menunjukkan senyum getir juga ejekan dalam nada suaranya.

"Hanya karena mereka minta maaf, kita tak punya kewajiban untuk memaafkan mereka 'kan? mereka pikir ini lebaran."

Aku bisa mendengar nada kesal dari suara bocah besar
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status