Di dalam bangsal yang hanya berisi satu brankar, makanan yang mas Rendra beli berserakan setelah ditampik jatuh. Dan tubuhku yang oleng setelah didorong, terus mas peluk dalam dekap melindungi. Bip! Bip! Bip! Mesin yang membaca detak jantung adikku konstan berbunyi, begitu menyakiti pendengaran. Tapi, suara yang bunyinya sama itu tidak mampu menyamarkan tangis gadis remaja yang lurus menatapku. Lais yang tidak bisa disebut sepenuhnya dewasa, mata sembabnya kembali berurai airmata. Suaranya bergetar dalam sendu yang tidak bisa ku ukur! "Aku benci padamu, Mbak Runi." Lontaran kalimat yang ia tunjukkan padaku tak mampu ku jawab karena seluruh kesadaranku memperhatikan bocah besar yang terlelap bak mimpi pulasnya tak mengizinkan Santo bangun. "Kenapa kau harus mengambil satu-satunya orang yang perduli padaku?" Suara Lais yang terdengar putus asa tidak mampu menggedori pertahanan diriku yang sudah biasa mendapat perlakuan kasar saat mata bapak dan ibu tak melihat. Tapi, bukan bera
Apa aku merasa lega setelah puas menangis? Rasanya tidak, meski ada sesuatu yang terasa lebih ringan dalam diriku yang masih mengingat pelukan eyang.Wanita yang harus pulang, menemani kedua cucu kembarnya yang mungkin mengirimiku pesan tentang apa yang mereka berdua lakukan hari ini.Hal yang tidak mungkin ku ketahui karena ponselku tertinggal di apartemen. Tempat di mana adikku menghabiskan waktunya setelah keluar dari rumah kami. Menjadikan hobinya menggambar sebagai pundi untuk menghidupi diri. Zraak!Suara pintu yang digeser pelan membuatku menoleh pada mas Rendra, ia yang mengantar eyang, datang dengan membawa plastik."Kita makan, ya."Dan lelaki yang terus menemaniku ini mendekat setelah menutup pintu sepelan saat ia masuk."Aku bisa makan sendiri, Mas.""Aku tahu," jawab mas Rendra yang tangannya terus berada di udara sampai aku memakan apa yang ia suapkan."Sedikit lagi, Runi."Pun, terus mengulangi kalimat sama setiap kali melihatku menelan apa yang ku kunyah sampai olahan
Untuk beberapa lama lelaki gagah yang memandangi ponselnya diam.Pesan dari sang nenek terasa begitu tiba-tiba, tapi bukan tak terpikir."Apa eyang akan baik-baik saja datang sendirian?" Rendra menarik nafasnya dalam. Menyadarkan punggung pada tembok rumah sakit yang kesibukannya sudah ia hafal."Aku mau beli es krim.""Aku... aku juga mau.""Kamu mau rasa apa?""Ng~ stlobeli."Ia yang tersenyum bahkan tak lagi kaget di depannya berlarian bocah yang tertawa lepas, seolah tidak paham tempat macam apa yang kaki-kaki kecil mereka pijaki."Kakek kapan pulang ya?'"Ng~ nda tahu, nanti sole?""Beneran?""Aku... aku tanya kan?""Oh, ha ha ha."Dan obrolan dua bocah lelaki yang membuat Rendra mengalihkan pandangan dari ponsel, kembali menciptakan senyum. Meski setelahnya ia menarik nafas dalam."Eyang akan baik-baik saja. Ia selalu seperti itu."Tapi, bagiamana dengan orang-orang yang akan eyangnya temui?Sepasang pasutri yang tak lagi menyebutkan nama anak lelaki mereka itu?Tarikan nafas Re
Mataku terbuka saat merasakan sentuhan di pipi dan mendapati Mas Rendra tersenyum dengan segelas susu coklat di tangannya."Bangunlah dulu, nanti tidur lagi." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu lembut untukku yang menarik nafas dalam, aroma rumah sakit langsung memenuhi paru-paru.Rasanya, aku yang duduk tegak tidur lama sekali. Seolah banyak yang sudah ku lewatkan dalam lelap."Pegal ya?" Mas Rendra mengusapi punggungku yang menerima segelas susu.Sentuhan tangannya memberi rasa nyaman yang tak ingin kusampaikan. Meski tatapan mataku membuat mas Rendra kembali memperlihatkan senyum, "minumlah selagi masih hangat, Runi."Dan kalimatnya membuatku kembali mengatakan terimakasih, hal yang nampaknya tidak mas Rendra sukai meski tidak ia katakan terang-terangan."Jam berapa, Mas?""Masih jam setengah sembilan, Runi."Aku mengangguk, menatap jendela yang gordennya mengintipkan gelap dari celahnya.Rasanya, waktuku berjalan lebih lambat sejak Santo dirawat, terlebih hari ini.'Apa ya
Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan."Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang."Kali ini saja, Ren. Kumohon."Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'Bertahun-tahun memadu kasih.Memperjuangkan hubungan meski ditentang.Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?"Baiklah."Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.Namun, tidak kulakukan.Aku tetap duduk di samping lela
Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s
Ping: apa kau bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu, Clara?*Ping: rasanya akan bodoh sekali jika tidak, bukan?*Ping: mereka menikah! Apa kau sudah tahu? Anak pembunuh itu menikah dengan kekasihmu!Ping: gila! Gila! Gila! Aku tidak percaya ini!Ping: bagaimana mungkin keluarga Rendra memberi restu pada jalang sialan itu saat mereka menolakmu?*Ping: kau tidak diundang? Dasar tidak tahu malu. Jalang sialan itu pasti pandai sekali sampai membuat Rendra benar-benar melupakan kehadiranmu yang menemaninya bertahun-tahun. Aku ikut bersedih untukmu, Clara.*Ping: apa kau tahu, mereka membeli rumah baru! Tch! tch! Tch! bukan mereka tentu. Itu pasti uang kekasihmu, Clara. Kurasa, hidup anak pembunuh itu pasti sempurna sekali, bukan? Dasar sialan! Ia bahkan membawa adik penyakitannya tinggal di rumah itu. Betapa tidak tahu malunya jalang sialan itu.*Ping: rasanya aku tak lagi bisa menahan diri untuk merampas segalanya dari anak pembunuh itu!*Ping : ia pasti sedang menari-nari k
"Aku sayang padamu, Mbak."Kalimat sama tidak pernah lupa adikku bisikkan padaku."Dan aku tahu kamu sangat sayang padaku."Sementara aku yang tubuhnya Santo peluk, mengangguk lalu keluar bersama mas Rendra dari kamar tempat adikku tinggal sampai keadaanya membaik.Rumah perawatan tempat ia dan anak-anak yang senasib dengannya berkumpul.*Hari sudah menggelap saat aku dan Mas Rendra pulang, meninggalkan Lais yang masih ingin ngobrol dengan bocah besar yang panas tubuhnya ku bawa pulang.Tak butuh waktu lama untuk Mas Rendra yang duduk di belakang kemudi menghentikan kendaraan, tepat di depan rumah kami yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari tempat yang ditinggali adikku saat kondisinya menurun dan ia akan terus di sana sampai dokter mengizinkan Santo pulang."Terimaksih, Pak," ucap Mas Rendra pada pak Mizan yang membukakan pagar untuk kami."Sama-sama, Mas," balas pria dengan seragam yang selalu