Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 154. ADIKKU SEDANG TIDUR

Share

154. ADIKKU SEDANG TIDUR

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-14 22:19:09

'Memilih tinggal dengan adikmu tidak akan mudah, Runi.'

Di dalam kepalaku yang menatap ke bawah, suara eyang menggema keras di dalam kepala.

'Jadi hubungi aku kapan saja karena orang tua ini akan senang mendengar apapun darimu.'

Aku yang meninggalkan keran air menyala, bahkan membeku di atas kakiku sendiri saat melihat adikku kejang tak terkontrol.

"Mbak... San-to...."

Sampai suara Lais yang matanya memancarkan ketakutan tanpa daya, membuat tubuhku seakan disengat listrik.

"Apa Santo makan sesuatu?"

Aku tidak yakin bagiamana suara ku terdengar. Yang kutahu, aku yang kembali bisa menggerakkan badan mendekati tubuh adikku yang terus bergetar di atas lantai dapur.

Namun, Lais yang terlihat panik hanya menatapi adikku. Ia tidak lagi bersuara untuk hal yang mungkin baru kali ini dilihatnya sampai membuat Lais begitu syok tidak tahu harus berbuat atau bereaksi seperti apa.

'Dan bagaimana denganku?'

Pengalamanku bersama ibu mengajarkan diriku banyak hal.

Tanpa berpikir aku langsung mengambi
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   155. SIAPA EYANG DAN SUAMINYA?

    Di dalam bangsal yang hanya berisi satu brankar, makanan yang mas Rendra beli berserakan setelah ditampik jatuh. Dan tubuhku yang oleng setelah didorong, terus mas peluk dalam dekap melindungi. Bip! Bip! Bip! Mesin yang membaca detak jantung adikku konstan berbunyi, begitu menyakiti pendengaran. Tapi, suara yang bunyinya sama itu tidak mampu menyamarkan tangis gadis remaja yang lurus menatapku. Lais yang tidak bisa disebut sepenuhnya dewasa, mata sembabnya kembali berurai airmata. Suaranya bergetar dalam sendu yang tidak bisa ku ukur! "Aku benci padamu, Mbak Runi." Lontaran kalimat yang ia tunjukkan padaku tak mampu ku jawab karena seluruh kesadaranku memperhatikan bocah besar yang terlelap bak mimpi pulasnya tak mengizinkan Santo bangun. "Kenapa kau harus mengambil satu-satunya orang yang perduli padaku?" Suara Lais yang terdengar putus asa tidak mampu menggedori pertahanan diriku yang sudah biasa mendapat perlakuan kasar saat mata bapak dan ibu tak melihat. Tapi, bukan bera

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • MENJADI ORANG KEDUA   156. BUKAN BOCAH LEMAH

    Apa aku merasa lega setelah puas menangis? Rasanya tidak, meski ada sesuatu yang terasa lebih ringan dalam diriku yang masih mengingat pelukan eyang.Wanita yang harus pulang, menemani kedua cucu kembarnya yang mungkin mengirimiku pesan tentang apa yang mereka berdua lakukan hari ini.Hal yang tidak mungkin ku ketahui karena ponselku tertinggal di apartemen. Tempat di mana adikku menghabiskan waktunya setelah keluar dari rumah kami. Menjadikan hobinya menggambar sebagai pundi untuk menghidupi diri. Zraak!Suara pintu yang digeser pelan membuatku menoleh pada mas Rendra, ia yang mengantar eyang, datang dengan membawa plastik."Kita makan, ya."Dan lelaki yang terus menemaniku ini mendekat setelah menutup pintu sepelan saat ia masuk."Aku bisa makan sendiri, Mas.""Aku tahu," jawab mas Rendra yang tangannya terus berada di udara sampai aku memakan apa yang ia suapkan."Sedikit lagi, Runi."Pun, terus mengulangi kalimat sama setiap kali melihatku menelan apa yang ku kunyah sampai olahan

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-15
  • MENJADI ORANG KEDUA   157. CEPATLAH BANGUN NANG

    Untuk beberapa lama lelaki gagah yang memandangi ponselnya diam.Pesan dari sang nenek terasa begitu tiba-tiba, tapi bukan tak terpikir."Apa eyang akan baik-baik saja datang sendirian?" Rendra menarik nafasnya dalam. Menyadarkan punggung pada tembok rumah sakit yang kesibukannya sudah ia hafal."Aku mau beli es krim.""Aku... aku juga mau.""Kamu mau rasa apa?""Ng~ stlobeli."Ia yang tersenyum bahkan tak lagi kaget di depannya berlarian bocah yang tertawa lepas, seolah tidak paham tempat macam apa yang kaki-kaki kecil mereka pijaki."Kakek kapan pulang ya?'"Ng~ nda tahu, nanti sole?""Beneran?""Aku... aku tanya kan?""Oh, ha ha ha."Dan obrolan dua bocah lelaki yang membuat Rendra mengalihkan pandangan dari ponsel, kembali menciptakan senyum. Meski setelahnya ia menarik nafas dalam."Eyang akan baik-baik saja. Ia selalu seperti itu."Tapi, bagiamana dengan orang-orang yang akan eyangnya temui?Sepasang pasutri yang tak lagi menyebutkan nama anak lelaki mereka itu?Tarikan nafas Re

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-16
  • MENJADI ORANG KEDUA   158. TELEPON DINI HARI

    Mataku terbuka saat merasakan sentuhan di pipi dan mendapati Mas Rendra tersenyum dengan segelas susu coklat di tangannya."Bangunlah dulu, nanti tidur lagi." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu lembut untukku yang menarik nafas dalam, aroma rumah sakit langsung memenuhi paru-paru.Rasanya, aku yang duduk tegak tidur lama sekali. Seolah banyak yang sudah ku lewatkan dalam lelap."Pegal ya?" Mas Rendra mengusapi punggungku yang menerima segelas susu.Sentuhan tangannya memberi rasa nyaman yang tak ingin kusampaikan. Meski tatapan mataku membuat mas Rendra kembali memperlihatkan senyum, "minumlah selagi masih hangat, Runi."Dan kalimatnya membuatku kembali mengatakan terimakasih, hal yang nampaknya tidak mas Rendra sukai meski tidak ia katakan terang-terangan."Jam berapa, Mas?""Masih jam setengah sembilan, Runi."Aku mengangguk, menatap jendela yang gordennya mengintipkan gelap dari celahnya.Rasanya, waktuku berjalan lebih lambat sejak Santo dirawat, terlebih hari ini.'Apa ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-17
  • MENJADI ORANG KEDUA   159. ANCAMAN

    Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan."Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang."Kali ini saja, Ren. Kumohon."Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'Bertahun-tahun memadu kasih.Memperjuangkan hubungan meski ditentang.Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?"Baiklah."Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.Namun, tidak kulakukan.Aku tetap duduk di samping lela

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-18
  • MENJADI ORANG KEDUA   160. BAGAIMANA INI?

    Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   161. SEBELUM BADAI

    Ping: apa kau bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu, Clara?*Ping: rasanya akan bodoh sekali jika tidak, bukan?*Ping: mereka menikah! Apa kau sudah tahu? Anak pembunuh itu menikah dengan kekasihmu!Ping: gila! Gila! Gila! Aku tidak percaya ini!Ping: bagaimana mungkin keluarga Rendra memberi restu pada jalang sialan itu saat mereka menolakmu?*Ping: kau tidak diundang? Dasar tidak tahu malu. Jalang sialan itu pasti pandai sekali sampai membuat Rendra benar-benar melupakan kehadiranmu yang menemaninya bertahun-tahun. Aku ikut bersedih untukmu, Clara.*Ping: apa kau tahu, mereka membeli rumah baru! Tch! tch! Tch! bukan mereka tentu. Itu pasti uang kekasihmu, Clara. Kurasa, hidup anak pembunuh itu pasti sempurna sekali, bukan? Dasar sialan! Ia bahkan membawa adik penyakitannya tinggal di rumah itu. Betapa tidak tahu malunya jalang sialan itu.*Ping: rasanya aku tak lagi bisa menahan diri untuk merampas segalanya dari anak pembunuh itu!*Ping : ia pasti sedang menari-nari k

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   162. HAK SUAMI

    "Aku sayang padamu, Mbak."Kalimat sama tidak pernah lupa adikku bisikkan padaku."Dan aku tahu kamu sangat sayang padaku."Sementara aku yang tubuhnya Santo peluk, mengangguk lalu keluar bersama mas Rendra dari kamar tempat adikku tinggal sampai keadaanya membaik.Rumah perawatan tempat ia dan anak-anak yang senasib dengannya berkumpul.*Hari sudah menggelap saat aku dan Mas Rendra pulang, meninggalkan Lais yang masih ingin ngobrol dengan bocah besar yang panas tubuhnya ku bawa pulang.Tak butuh waktu lama untuk Mas Rendra yang duduk di belakang kemudi menghentikan kendaraan, tepat di depan rumah kami yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari tempat yang ditinggali adikku saat kondisinya menurun dan ia akan terus di sana sampai dokter mengizinkan Santo pulang."Terimaksih, Pak," ucap Mas Rendra pada pak Mizan yang membukakan pagar untuk kami."Sama-sama, Mas," balas pria dengan seragam yang selalu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-21

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status