Mataku terbuka saat merasakan sentuhan di pipi dan mendapati Mas Rendra tersenyum dengan segelas susu coklat di tangannya."Bangunlah dulu, nanti tidur lagi." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu lembut untukku yang menarik nafas dalam, aroma rumah sakit langsung memenuhi paru-paru.Rasanya, aku yang duduk tegak tidur lama sekali. Seolah banyak yang sudah ku lewatkan dalam lelap."Pegal ya?" Mas Rendra mengusapi punggungku yang menerima segelas susu.Sentuhan tangannya memberi rasa nyaman yang tak ingin kusampaikan. Meski tatapan mataku membuat mas Rendra kembali memperlihatkan senyum, "minumlah selagi masih hangat, Runi."Dan kalimatnya membuatku kembali mengatakan terimakasih, hal yang nampaknya tidak mas Rendra sukai meski tidak ia katakan terang-terangan."Jam berapa, Mas?""Masih jam setengah sembilan, Runi."Aku mengangguk, menatap jendela yang gordennya mengintipkan gelap dari celahnya.Rasanya, waktuku berjalan lebih lambat sejak Santo dirawat, terlebih hari ini.'Apa ya
Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan."Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang."Kali ini saja, Ren. Kumohon."Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'Bertahun-tahun memadu kasih.Memperjuangkan hubungan meski ditentang.Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?"Baiklah."Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.Namun, tidak kulakukan.Aku tetap duduk di samping lela
Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s
Ping: apa kau bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu, Clara?*Ping: rasanya akan bodoh sekali jika tidak, bukan?*Ping: mereka menikah! Apa kau sudah tahu? Anak pembunuh itu menikah dengan kekasihmu!Ping: gila! Gila! Gila! Aku tidak percaya ini!Ping: bagaimana mungkin keluarga Rendra memberi restu pada jalang sialan itu saat mereka menolakmu?*Ping: kau tidak diundang? Dasar tidak tahu malu. Jalang sialan itu pasti pandai sekali sampai membuat Rendra benar-benar melupakan kehadiranmu yang menemaninya bertahun-tahun. Aku ikut bersedih untukmu, Clara.*Ping: apa kau tahu, mereka membeli rumah baru! Tch! tch! Tch! bukan mereka tentu. Itu pasti uang kekasihmu, Clara. Kurasa, hidup anak pembunuh itu pasti sempurna sekali, bukan? Dasar sialan! Ia bahkan membawa adik penyakitannya tinggal di rumah itu. Betapa tidak tahu malunya jalang sialan itu.*Ping: rasanya aku tak lagi bisa menahan diri untuk merampas segalanya dari anak pembunuh itu!*Ping : ia pasti sedang menari-nari k
"Aku sayang padamu, Mbak."Kalimat sama tidak pernah lupa adikku bisikkan padaku."Dan aku tahu kamu sangat sayang padaku."Sementara aku yang tubuhnya Santo peluk, mengangguk lalu keluar bersama mas Rendra dari kamar tempat adikku tinggal sampai keadaanya membaik.Rumah perawatan tempat ia dan anak-anak yang senasib dengannya berkumpul.*Hari sudah menggelap saat aku dan Mas Rendra pulang, meninggalkan Lais yang masih ingin ngobrol dengan bocah besar yang panas tubuhnya ku bawa pulang.Tak butuh waktu lama untuk Mas Rendra yang duduk di belakang kemudi menghentikan kendaraan, tepat di depan rumah kami yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari tempat yang ditinggali adikku saat kondisinya menurun dan ia akan terus di sana sampai dokter mengizinkan Santo pulang."Terimaksih, Pak," ucap Mas Rendra pada pak Mizan yang membukakan pagar untuk kami."Sama-sama, Mas," balas pria dengan seragam yang selalu
Terbangun dalam dekapan mas Rendra, sudah jadi rutinitas bagiku yang rasanya selalu butuh waktu untuk sekedar menatapi wajah lelapnya.Mendapati hembusan nafasnya yang teratur, merasakan degup jantungnya yang tenang, tubuhnya yang menyalurkan kehangatan di bawah selimut yang menutupi tubuh kami.Semua hal itu seolah jadi penghiburan setiap waktu meski saat ini pipiku serasa panas saat mengingat apa yang kami lakukan semalam.Hanya saja, saat aku menyadari seterang apa cahaya menyusup dari celah gorden, aku langsung terduduk sampai membangunkan mas Rendra."Tidakkah ini terlalu pagi untuk bangun, Runi?""Ini sudah sangat siang, Mas. Dan kamu akan telat ke kantor."Tapi, aku yang membuka lemari dengan memakai kaosnya karena pakaian itu paling dekat dari jangkauan tangan, menoleh untuk ucapan mas Rendra."Apa?" Tanyaku yang sudah mengeluarkan kemeja dari lemari yang pintunya lebar kubuka."Ini hari Minggu, Runi. Da
Jalanan padat merayap berubah lebih lengang saat kendaraan yang mas Rendra kemudikan masuk ke dalam gang kecil yang ramai dengan anak-anak.Wajah-wajah polos yang tawanya merasuk dalam mobil, menyamarkan suara klakson ramai yang tidak sabar dari jalan utama."Habis ngaji bukannya pulang malah main." Ucap Santo yang menurunkan jendela.Membuat gadis kecil yang memperhatikan dengan wajah tanya dan dahi berkerut dalam, tersenyum lebar saat tahu siapa yang mengajaknya bicara."MAS SANTO!" Mala yang masih memakai kerudung berseru. Semangat ia memanggil adikku yang senyumnya juga lebar."Mau ikut pulang gak?""Ng! Aku panggil mas Rama dulu.""Siip!" Balas Santo yang jempolnya terangkat tinggi untuk bocah perempuan yang masuk ke dalam mushola. Mencari kakak lelakinya yang terus menuntun Mala. Mendekat pada mobil kami."Sudah selesai ngajinya?""Sudah, Mas." Sopan Rama menjawab, pun, membiarkan sang adik masuk
"Kirra-kirra... rambutannya masih ada gak ya?""Minggu kemaren masih ada yang ijo kan?" "Daripada ke kebun, gue pingin mandi di kali.""Ya dan baru naik ke atas setelah benar-benar kedinginan.""Setuju!"Aku dan mas Rendra yang duduk di bagian depan mendengarkan obrolan empat bocah besar yang terlihat tak sabar. Apalagi saat kendaraan yang mas Rendra kendarai masuk ke jalan tempat sepasang pasutri menunggu kedatangan kami.Ibu dan bapak tersenyum lebar saat melihat kami yang turun dari mobil, satu per satu. Menyalami keduanya sampai tiba giliran adikku, bocah yang ibu peluk begitu erat seolah tidak ingin melepaskan Santo."Aku juga kangen padamu, Bu."Ibu yang matanya berkaca-kaca hanya mengangguk. Membenamkan wajahnya pada dada adikku yang kepalanya bapak usap."Ayo masuk, ibu dan mbok Darmi sudah masak macam-macam."Mas Rendra yang berdiri di sampingku mengangguk. Meski kami masuk terakhir.