Home / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 165. LUKA CLARA DAN TANGISNYA

Share

165. LUKA CLARA DAN TANGISNYA

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-09-24 15:35:11

"Kirra-kirra... rambutannya masih ada gak ya?"

"Minggu kemaren masih ada yang ijo kan?"

"Daripada ke kebun, gue pingin mandi di kali."

"Ya dan baru naik ke atas setelah benar-benar kedinginan."

"Setuju!"

Aku dan mas Rendra yang duduk di bagian depan mendengarkan obrolan empat bocah besar yang terlihat tak sabar. Apalagi saat kendaraan yang mas Rendra kendarai masuk ke jalan tempat sepasang pasutri menunggu kedatangan kami.

Ibu dan bapak tersenyum lebar saat melihat kami yang turun dari mobil, satu per satu. Menyalami keduanya sampai tiba giliran adikku, bocah yang ibu peluk begitu erat seolah tidak ingin melepaskan Santo.

"Aku juga kangen padamu, Bu."

Ibu yang matanya berkaca-kaca hanya mengangguk. Membenamkan wajahnya pada dada adikku yang kepalanya bapak usap.

"Ayo masuk, ibu dan mbok Darmi sudah masak macam-macam."

Mas Rendra yang berdiri di sampingku mengangguk. Meski kami masuk terakhir.<
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJADI ORANG KEDUA   166. TEMPAT CLARA TERGANTIKAN

    "Kamu tidak ingin membagi apa yang mbak Clara katakan padamu?" Wajah mas Rendra tampak bermasalah saat tanya itu kukatakan. Dan lelaki yang tidak menjawab, mengangkat tangannya untuk meraih tanganku yang lalu ia kecup. Rasanya, balasan mas Rendra ini cukup membuatku tahu, ia tidak ingin mengatakan apa yang sudah Clara ucapkan padanya. Tapi, mas Rendra mirip orang tuanya? Rasanya, itu sungguh jauh dari kenyataan. Aku yang saat kecil hanya bertemu sekali dengan mas Rendra tahu, bahwa ia bocah yang pengertian. Bocah lelaki yang menyerahkan selimutnya padaku yang memangku Santo yang lelap dibawah obat tidur, tidak mungkin bocah egois. Dan saat kami bertemu lagi setelah dewasa, mas Rendra tumbuh jadi orang yang begitu pengertian, menuruti keegoisanku yang orang asing baginya, pun menghormati permintaanku meski hubungannya dengan Clara jadi taruhan. Dan setelah aku mengenal mas Rendra lebih dalam, lelaki yang masih menggenggam tanganku ini tidak mungkin mirip dengan sang ayah. Om L

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   167. YANG TERKUBUR

    "Mbak aku ingin nengok Yuli."Sentuhan jari mas Rendra yang posisinya berlawanan dengan Santo, membuatku menatap lelaki yang genggaman jemarinya menguat saat ia melihatku mengangguk. Bangun dari segala bayangan yang menyita fokus."Ya," jawabku pada bocah besar yang membuka matanya, "ayo kunjungi Yuli dan neneknya."Ini kali pertama adikku meminta hal ini sejak kami rutin pulang. Mungkin, ia butuh lebih banyak waktu sampai keberaniannya terkumpul."Terimakasih, Mbak."Aku hanya mengusap kepala Santo yang kembali memejamkan mata. Bocah yang benar-benar lelap sampai tidak bangun saat mas Rendra mengganti pahaku dengan tumpukan handuk."Mau aku temani?"Aku yang pahanya kebas, mengangguk. Dan jawaban itu membuat mas Rendra tersenyum."Kemarilah," mas Rendra yang wajahnya tidak lagi menyimpan muram duduk makin dekat. Menarik kepalaku yang ia sandarkan pada dadanya dan terus merangkul pundakku."Eh, beneran tidur ya nih bocah." Ares yang datang bersama Riris dan Lais memperhatikan Santo.D

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   168. GANGGUAN

    Aji, bocah lelaki yang erat memeluk pinggangku tidak datang sendiri tentu.Ia ditemani pria tua yang yang tatapannya begitu lekat pada adikku.Pak Alif, pria tua pikun yang langkah kakinya cepat itu menghampiri adikku yang berdiri, mata tuanya memperhatikan Santo begitu lekat.Sangat lekat!"Den... Den Santo?" ucap Pak Alif membuatku menatap Mas Rendra yang menahan tanganku yang hendak mendekat.Gelengan kepalanya yang pelan, membuatku mengurungkan niat maju dan hanya memperhatikan bagaimana interaksi adikku dengan kakek dari Yuli."Den Santo kemana saja, Den?" kata Pak Alif lalu duduk di atas kakinya dan menyentuh kaki adikku yang langsung duduk dan memegang tangan pria tua itu."Maafkan Yuli, Den... maafkan kami," suara pak Alif bahkan bergetar saat tangannya Santo pegangi."Seandainya saya tau kedatangan kami akan membawa banyak kepedihan, saya tidak akan memaksa Yuli meminta pertanggung jawaban dari Aden."Punggung tuanya bahkan gemetaran dengan kalimat yang tidak mungkin tidak be

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   169. BETAPA EGOISNYA MEREKA

    Setelah menyerahkan potret sang cucu yang memilih mati pada adikku, pandangan Pak Alif terlihat menerawang jauh dan tersenyum sendiri.Ia seolah mengingat masa lalu yang tak mungkin kuketahui. Meski dalam wajahnya yang tersenyum itu ada kerinduan, juga kesedihan yang tergurat dalam wajah penuh keriputnya yang kini terlihat lebih damai.Seolah sesuatu yang mengganjal hidup, terangkat. Sementara adikku yang meminta potret Yuli ..., 'mbak harap kamu pun merasa lebih baik, Nang.'***"Kami pamit pulang ya, Pak," pamitku menyalami tangan tua yang mengangguk. Pun, memperhatikanku yang mencium tangannya."Hati-hati di jalan, Neng.""Iya, Mbak Iyah, kami titip Aji dan mbahnya ya, Pak Naim, Mbak Iyah.""Pasti, Mas Rendra.""Terimakasih rambutannya ya, Mas Santo.""Iya, Mbak Iyah, sama-sama. Kami pulang dulu," balas Santo yang kembali duduk di belakang seperti saat kami berangkat tadi.Bedanya, kini ada selembar foto yang disimpannya dalam saku.Potret dari gadis yang kehidupannya menjeritkan

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   170. PERTENGKARAN MEREKA

    "Berhentilah melakukan hal bodoh yang akan kau sesali."Mirna yang tangannya kuat terkepal menoleh pada sang suami. Lelaki yang nyatanya begitu pengecut dan tidak memiliki nyali!Tapi, wanita yang kuku jarinya menggores kulit tangannya sendiri itu tidak mengatakan apapun lagi. Bibirnya hanya rapat terkatup dengan rahang mengeras agar tidak mengatakan sepatah kalimat yang bisa membuat sang suami melempar lebih dari fas bunga yang sudah jadi kepingan tak berarti.Mirna paham, pun tahu. Saat ini ia harus menahan diri. Menerima disalahkan untuk apa yang sudah putra mereka lakukan.Tapi, menyerah?Rasanya, bahkan ubin dingin yang memantulkan bayangan Mirna tahu, wanita yang bisa tidur dan hidup seperti biasa setelah tahu apa yang putranya lakukan, tidak akan memadamkan amarah yang sudah membakar jiwa."Kau lihat saja mas Agung, aku pasti akan membuat anak pembunuh itu menyesal sudah mengambil apa yang seharusnya milik anak-anakku."Kalimat penuh ancaman itu tidak mungkin didengar sang sua

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   171. SEGAN PADA CLARA

    "Om sekolah dulu, ya." Santo yang menunduk mengusap perutku.Hal rutin yang selalu ia lakukan akan kemanapun ia pergi lalu memelukku, "aku berangkat ya Mbak."Aku yang mengangguk, melepas pelukan Santo dan langsung menyentuh dahinya. Tapi, tak mengatakan apapun saat senyum lebar bocah yang tubuhnya panas ini seolah berkata, 'aku baik-baik saja, Mbak.'"Aku sayang kamu, Mbak."Bocah besar yang tidak mungkin baik-baik saja ini mengecup pipiku dan kembali memeluk, menyebarkan rasa hangat yang terasa lebih dari seharusnya."Nang....""Aku tau, Mbak." Pelan ia berucap, "aku akan langsung pulang kalo sudah tidak enak."Sekali lagi adikku menunduk, "nanti kita main lagi ya." Ia menepelkan telinga pada perutku lalu mengangguk seolah mendengar sesuatu dan tersenyum saat aku mengusap rambutnya tanpa kata."Kita berangkat ya, Mbak," pamit Arka menunjukkan lesung pipi lalu menatap belakangku, "duluan ya, Mas.""Iya, Ka," jawab mas Rendra yang wajahnya terlihat segar meski belum mandi. "Hati-hati

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   171. BERUBAH HATI

    Apa aku merasa segan pada Clara?Pada wanita yang beberapa hari lalu meninggalkan tamparan pada mas Rendra. Wanita sama yang mas Rendra perjuangkan sampai hatinya berlabuh padaku?Bohong jika aku tidak merasakan apapun untuk mantan kekasih mas Rendra itu.Tapi, aku adalah manusia yang mampu mengesampingkan apa yang kurasakan dengan begitu mudah.Pun, apa yang kini sedang kurasakan setelah mendengar tanya lelaki yang masih menunggu bagaimana aku akan bereaksi untuk tanyanya, 'segan kah aku pada Clara?'"Tidak, Kak." Jawabku jujur. "Hanya saja, jika aku bertemu dengan Clara di tempat mereka bekerja, pasti membuatnya merasa canggung."Kak Tomas yang masih menatapku mengangguk. Nampaknya ia paham apa yang kukatakan.Tidak mungkin suasana akan baik-baik saja jika suatu saat aku dan Clara berada dalam satu ruangan.Ia yang masih mengharapkan mas Rendra pasti dapat tatapan kasihan, sementara aku dimata orang lain pasti terlihat begitu tega dan tidak tahu malu.Sementara mas Rendra ..., 'aku

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   173. MEMIKIRKAN CLARA

    Cermin yang memantulkan bayangan kami, seolah memperhatikan bagaimana adikku meminta hal yang membuatku diam."Aku mau ngomong bertiga sama ayah dan ibu."Santo kembali mengulang kalimatnya yang ingin bicara dengan orang tua kami yang sudah lama terkubur.Orang tua yang hanya Santo kenal lewat potret dan cerita.Karena hanya itu yang tertinggal dari orang tua kandung kami.Sementara kalimat sentimen Santo nyatanya mampu kupahami."Apa Mbak beneran gak boleh ikut?"Bocah besar yang sejak kemarin ijin sekolah ini menggeleng. Ia meletakkan sisir yang sudah selesai merapikan rambutku ke meja sebelum duduk jongkok di hadapanku yang pandangannya turun. Menatapi Santo yang mendongak."Mbak jemput aku aja ya? setelah makan siang sama Mas tentunya."Santo mengedipkan mata dengan goda untuk hal yang mulai kulakukan setelah bertemu tak sengaja dengan mas Rendra kapan hari. "Aku gak mau ganggu acara kalian dan sekarang aku mau mandi dulu ya, Mbak. Biar seger."Usapan tak lupa Santo berikan pada b

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status