Bukan tidak merasakan sesuatu. Hanya saja, aku memilih untuk mengabaikan apa yang punggungku rasakan. Pandangan yang rasanya menatap tajam.****Udara sejuk yang memenuhi paru-paru terasa begitu segar.Dan bocah lucu yang tampak senang memakan salad buah yang kubawa, duduk begitu tenang mengunyah di pangkuan.Putri, bocah yang nampak senang dengan apa yang ia makan sesekali mendongak, memperlihatkan wajah polos yang senyumnya menghadirkan tanya, 'apa anak yang ada dalam kandunganku akan memiliki sorot penuh kehidupan sepertinya?'"Habiskan pudingnya."Dan bocah gembil yang pipinya ku sentuh ini tertawa. Menunjukkan gigi-gigi susu yang begitu kecil.Di hadapan kami, padi-padi yang menguning di tiap petak sawah hampir terbabat semua.Mungkin tidak semeriah panen raya. Tapi, obrolan yang terlihat menyenangkan terdengar dari arah manapun. Menyatu dengan suara serangga yang nyaring.Ming... Ming... Ming...!Di kerumunan manusia yang seluruh dirinya sibuk dan berkeringat itu, nampak tawa
Rumah yang sudah ku tempati selama beberapa bulan setelah menjadi istri mas Rendra, tidak memperdengarkan tawa yang biasanya begitu murah."Selain pusing dan lemas, ada lagi yang kamu rasakan, San?"Suara dokter Anggodo menggema dalam kamar adikku yang menggeleng lemah.Dari tempatku berdiri, lelaki paruh baya yang rambutnya sudah sepenuhnya putih itu mengangguk.Sementara mas Rendra terus merangkul pundakku yang memperhatikan bagaimana dokter Anggodo memeriksa Santo.Dan Lais terus duduk di samping adikku yang terbaring dengan wajah pucat namun saat pandangan kami bertemu, senyum Santo seolah berkata, 'aku hanya pusing, Mbak.'Hal yang tidak mungkin terjadi saat aku bisa melihat setidak berona apa wajahnya saat ini.***"Terimakasih, Dok.""Sama-sama, Nak Rendra," dokter Anggodo menoleh pada lelaki yang menyamakan langkah dengannya, "kita sudah pernah melewati ini."Aku hanya mengangguk untuk ucapan lelaki paruh baya yang menepuk pundakku lalu berjalan keluar dan berhenti tepat di te
Hanya dalam hitungan bulan, kondisi adikku memburuk.Rasa pusing teramat sangat yang menyebabkan ia hilang sadar, berubah jadi penyakit mematikan.Dan aku hanya bisa menatapi tubuhnya semakin kurus setiap hari meski tawa Santo masih lebar. Bersikap seolah rasa sakit yang ia rasakan tidak memiliki arti.Tapi, siapa yang hendak ia bohongi?Saat keringat dingin bahkan tercipta dalam tidur Santo yang terlelap berkat obat yang sudah dokter Anggodo suntikkan."Ui?"Tanganku yang sedang mengusap keringat di dahi Santo, berhenti bergerak. Menatap mata berat yang berusaha terjaga, "tidurlah, ini masih terlalu malam untuk bangun."Pengaruh obat yang menguasai sistem saraf adikku pasti sangat kuat, karena jemarinya yang berusaha menyentuh lenganku terasa sangat lemah."Sing me a lullaby, Mbak."Dengan suara yang timbul tenggelam, Santo yang matanya sudah tertutup meminta. Dan genggaman jemarinya makin lemah saat ia kembali tidur."...dan kamu pun begitu anak nakal~mengantuk dan memacari ibunya.
"Apa ku undurkan saja rapatku?"Mas Rendra mengusap sisa airmataku yang tak lagi jatuh."Jangan, Mas," tolakku, "kamu bisa membuat semua telat dari jadwal-jadwal yang sudah pasti."Aku berdiri, menghampiri lemari dibawah pengawasan lelaki yang tersenyum saat melihat aku mengambil kemeja baru. "Dan gantilah bajumu."Mas Rendra menatap kemejanya yang terlihat tidak rapi, pun mencetak tetes airmataku yang ia dekati lalu peluk dan kecup."Aku mau cuci muka, Mas."Dan mas Rendra tertawa pelan. Melepaskan dekapannya setelah meninggalkan kecupan di bibirku yang masuk ke dalam kamar mandi.Saat keluar dengan rasa yang lebih segar, mas Rendra sedang mengancingkan kemaja, "biar aku, Mas." Dan ia tidak protes saat tanganku terjulur, menyelesaikan apa yang sedang ia kerjakan."Kuharap wajahku tidak begitu buruk.""Tidak sama sekali, Nyonya." Balas lelaki yang tak mau mengalihkan pandanganya ke arah manapun, kecuali wajahku. "Kamu terlihat sangat cantik.""Aku sungguh tidak tahu batasan cantik di
Apa wanita yang sedang bertukar balas itu tersenyum?Entahlah, karena meski bibirnya menciptakan garis tipis, mata Clara tidak mencuatkan bahagia.Apalagi saat matanya menunduk, menatap perutnya yang tak nampak besar berkat pakaian yang ia kenakan.Sampai pandangannya beralih pada wajah-wajah tak asing yang keluar dari lift dengan tawa.Namun, matanya yang mencari tidak mendapati lelaki yang seharusnya ada di antara mereka."Dimana?" Gumam Clara yang masih berharap."Kok cuman bertiga, Bos kita mana?"Pun menajamkan pendengarannya yang mencuri dengar."Pulang.""Pulang ke rumah?""Iyalah, emang pulang kemana lagi kalo gak ke rumah? Dasar, nanya aneh-aneh aja."Dan sorot kecewa tercipta begitu jelas dalam mata Clara yang harapnya pupus meski ia tidak terlibat dalam obrolan yang sengaja ia curi dengar. Karena lelaki yang ia tunggu, pulang pada anak pembunuh yang sering ia bicarakan dalam chat."Dia cinta banget kayaknya sama Runi."Clara mengalihkan pandangan dari anak baru berwajah gal
'Apa aku sedang menggoda mas Rendra?'Sejujurnya iya, aku memang ingin menggodanya tanpa mempertimbangkan telepon dari dokter Anggodo."Runi?"Bahkan saat penggilan mas Rendra yang sapuan nafasnya menyentuh kulit wajahku yang rambut-rambut halusnya berdiri, seluruh diriku mengakui aku memang ingin menggoda lelaki yang panas tubuhnya mampu kurasakan, mengingat sedekat apa tubuh kami yang berhadapan.Hal itu semakin membuatku malu dan rasanya jadi salah tingkah sendiri.Meski aku sangat yakin, wajah datarku tidak menunjukkan banyak ekspresi kecuali pipiku jadi terasa sangat panas saat manik kecoklatan mas Rendra mengunci pandanganku.Sorot matanya seolah tidak akan mengizinkan aku berpaling!"Do-dokter bilang apa, Mas?"Dan kalimat yang mampu terpikir dengan cepat, kutanyakan pada lelaki yang wajahnya begitu dekat. Pun, mengurungku di belakang pintu kamar kami yang ku kunci.Kedua tangan mas Rendra yang ada di sisi tubuhku seolah berkata, 'aku tidak akan membiarkanmu menghindar apalagi
"Jadi kita tinggal nunggu kesempatan aja kan?""Yakin bener Lo.""Iyalah, liat gue. Meski gak seputih Clara, badan gue lebih bohai."Kalimat yang diucapkan dengan percaya diri itu disambut tawa menundukung."Iya iya, percaya gue, tapi yakin Lo bisa ngambil hati bos kita?""Huh, gue kan udah bilang, Dewi Fortuna aja yang belum nyamperin gue. Buktinya, cewek kampung itu bisa ngejebak bos kita.""Yah, asal Lo ati-ati aja sama sekretarisnya pak Rendra. Kayaknya bocah bau kencur itu sebelas dua belas sama si pelakor itu.""Ayolah, emang dia pikir yang bisa ngambil laki orang cuman dia doangan? Kasihlah kesempatan sama yang lain biar pelakor itu tahu gimana rasanya jadi Clara."Aku tahu apa yang orang pikirkan tentangku. Apa aku terganggu dengan itu?Tidak. Rasanya jawaban itu bisa kuucapkan dengan cepat.Tapi, Lais yang tak lagi bisa menahan emosinya, berdiri. Siap mengamuk pada siapapun yang ada di belakang kami.Namun, ia hanya berdiri di tempat dengan menatap lurus ke depan. Sampai mem
Tidak bertenaga.Itu adalah gambaran yang nampak saat mas Rendra menggendong Santo turun dari mobil yang sudah terparkir di depan rumah kami.Sementara dokter Anggodo yang sudah menunggu, masuk kembali ke dalam rumah dan menahan pintu kamar bocah besar yang wajahnya begitu pucat tanpa rona."Terimakasih, Mas."Mas Rendra yang hati-hati membaringkan Santo, menggeleng. "Biar dokter memeriksa kondisimu.""Ya," dengan suara yang terdengar lemah adikku menjawab. Tersenyum padaku yang duduk di sisi ranjang."Om akan berikan obat yang biasa."Kali ini Santo mengangguk, "untung aku pake kaos lengan pendek ya, Om, jadi gak usah digulung-gulung."Dokter Anggodo tersenyum dalam anggukan untuk canda yang Santo perdengarkan pada kami, dan dahi adikku berkerut dalam menahan sakit ketika jarum ditusukkan menembus kulit.Lais yang duduk di samping Santo, memalingkan wajah. Nampak sekali ia tidak menyukai kulit adikku dimasuki jarum."Udah."Dan gadis jutek yang ekspresinya masih menunjukkan khawatir,
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re