Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s
Ping: apa kau bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu, Clara?*Ping: rasanya akan bodoh sekali jika tidak, bukan?*Ping: mereka menikah! Apa kau sudah tahu? Anak pembunuh itu menikah dengan kekasihmu!Ping: gila! Gila! Gila! Aku tidak percaya ini!Ping: bagaimana mungkin keluarga Rendra memberi restu pada jalang sialan itu saat mereka menolakmu?*Ping: kau tidak diundang? Dasar tidak tahu malu. Jalang sialan itu pasti pandai sekali sampai membuat Rendra benar-benar melupakan kehadiranmu yang menemaninya bertahun-tahun. Aku ikut bersedih untukmu, Clara.*Ping: apa kau tahu, mereka membeli rumah baru! Tch! tch! Tch! bukan mereka tentu. Itu pasti uang kekasihmu, Clara. Kurasa, hidup anak pembunuh itu pasti sempurna sekali, bukan? Dasar sialan! Ia bahkan membawa adik penyakitannya tinggal di rumah itu. Betapa tidak tahu malunya jalang sialan itu.*Ping: rasanya aku tak lagi bisa menahan diri untuk merampas segalanya dari anak pembunuh itu!*Ping : ia pasti sedang menari-nari k
"Aku sayang padamu, Mbak."Kalimat sama tidak pernah lupa adikku bisikkan padaku."Dan aku tahu kamu sangat sayang padaku."Sementara aku yang tubuhnya Santo peluk, mengangguk lalu keluar bersama mas Rendra dari kamar tempat adikku tinggal sampai keadaanya membaik.Rumah perawatan tempat ia dan anak-anak yang senasib dengannya berkumpul.*Hari sudah menggelap saat aku dan Mas Rendra pulang, meninggalkan Lais yang masih ingin ngobrol dengan bocah besar yang panas tubuhnya ku bawa pulang.Tak butuh waktu lama untuk Mas Rendra yang duduk di belakang kemudi menghentikan kendaraan, tepat di depan rumah kami yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari tempat yang ditinggali adikku saat kondisinya menurun dan ia akan terus di sana sampai dokter mengizinkan Santo pulang."Terimaksih, Pak," ucap Mas Rendra pada pak Mizan yang membukakan pagar untuk kami."Sama-sama, Mas," balas pria dengan seragam yang selalu
Terbangun dalam dekapan mas Rendra, sudah jadi rutinitas bagiku yang rasanya selalu butuh waktu untuk sekedar menatapi wajah lelapnya.Mendapati hembusan nafasnya yang teratur, merasakan degup jantungnya yang tenang, tubuhnya yang menyalurkan kehangatan di bawah selimut yang menutupi tubuh kami.Semua hal itu seolah jadi penghiburan setiap waktu meski saat ini pipiku serasa panas saat mengingat apa yang kami lakukan semalam.Hanya saja, saat aku menyadari seterang apa cahaya menyusup dari celah gorden, aku langsung terduduk sampai membangunkan mas Rendra."Tidakkah ini terlalu pagi untuk bangun, Runi?""Ini sudah sangat siang, Mas. Dan kamu akan telat ke kantor."Tapi, aku yang membuka lemari dengan memakai kaosnya karena pakaian itu paling dekat dari jangkauan tangan, menoleh untuk ucapan mas Rendra."Apa?" Tanyaku yang sudah mengeluarkan kemeja dari lemari yang pintunya lebar kubuka."Ini hari Minggu, Runi. Da
Jalanan padat merayap berubah lebih lengang saat kendaraan yang mas Rendra kemudikan masuk ke dalam gang kecil yang ramai dengan anak-anak.Wajah-wajah polos yang tawanya merasuk dalam mobil, menyamarkan suara klakson ramai yang tidak sabar dari jalan utama."Habis ngaji bukannya pulang malah main." Ucap Santo yang menurunkan jendela.Membuat gadis kecil yang memperhatikan dengan wajah tanya dan dahi berkerut dalam, tersenyum lebar saat tahu siapa yang mengajaknya bicara."MAS SANTO!" Mala yang masih memakai kerudung berseru. Semangat ia memanggil adikku yang senyumnya juga lebar."Mau ikut pulang gak?""Ng! Aku panggil mas Rama dulu.""Siip!" Balas Santo yang jempolnya terangkat tinggi untuk bocah perempuan yang masuk ke dalam mushola. Mencari kakak lelakinya yang terus menuntun Mala. Mendekat pada mobil kami."Sudah selesai ngajinya?""Sudah, Mas." Sopan Rama menjawab, pun, membiarkan sang adik masuk
"Kirra-kirra... rambutannya masih ada gak ya?""Minggu kemaren masih ada yang ijo kan?" "Daripada ke kebun, gue pingin mandi di kali.""Ya dan baru naik ke atas setelah benar-benar kedinginan.""Setuju!"Aku dan mas Rendra yang duduk di bagian depan mendengarkan obrolan empat bocah besar yang terlihat tak sabar. Apalagi saat kendaraan yang mas Rendra kendarai masuk ke jalan tempat sepasang pasutri menunggu kedatangan kami.Ibu dan bapak tersenyum lebar saat melihat kami yang turun dari mobil, satu per satu. Menyalami keduanya sampai tiba giliran adikku, bocah yang ibu peluk begitu erat seolah tidak ingin melepaskan Santo."Aku juga kangen padamu, Bu."Ibu yang matanya berkaca-kaca hanya mengangguk. Membenamkan wajahnya pada dada adikku yang kepalanya bapak usap."Ayo masuk, ibu dan mbok Darmi sudah masak macam-macam."Mas Rendra yang berdiri di sampingku mengangguk. Meski kami masuk terakhir.
****Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Menyerah bukan pilihan.Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku.Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu?*****Zras....Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak..Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam.Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda.Tidak lagi empuk, apalagi hangat.Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring.Satu...Dua...Tiga...Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur.Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan.Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Ta
JDAR!Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut.Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah.Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian."Eyang?""Kamu tunggu di dalam, Le."Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar."Kamu tidak apa-apa, Ndok?"Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap.Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan."Rumahmu di mana, Ndok?"Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari man