Share

159. ANCAMAN

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-09-18 22:39:45

Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan.

"Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"

Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.

Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang.

"Kali ini saja, Ren. Kumohon."

Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'

Bertahun-tahun memadu kasih.

Memperjuangkan hubungan meski ditentang.

Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.

Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?

"Baiklah."

Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.

Namun, tidak kulakukan.

Aku tetap duduk di samping lela
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJADI ORANG KEDUA   160. BAGAIMANA INI?

    Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s

    Last Updated : 2024-09-19
  • MENJADI ORANG KEDUA   161. SEBELUM BADAI

    Ping: apa kau bisa melihat apa yang ada di balik pintu itu, Clara?*Ping: rasanya akan bodoh sekali jika tidak, bukan?*Ping: mereka menikah! Apa kau sudah tahu? Anak pembunuh itu menikah dengan kekasihmu!Ping: gila! Gila! Gila! Aku tidak percaya ini!Ping: bagaimana mungkin keluarga Rendra memberi restu pada jalang sialan itu saat mereka menolakmu?*Ping: kau tidak diundang? Dasar tidak tahu malu. Jalang sialan itu pasti pandai sekali sampai membuat Rendra benar-benar melupakan kehadiranmu yang menemaninya bertahun-tahun. Aku ikut bersedih untukmu, Clara.*Ping: apa kau tahu, mereka membeli rumah baru! Tch! tch! Tch! bukan mereka tentu. Itu pasti uang kekasihmu, Clara. Kurasa, hidup anak pembunuh itu pasti sempurna sekali, bukan? Dasar sialan! Ia bahkan membawa adik penyakitannya tinggal di rumah itu. Betapa tidak tahu malunya jalang sialan itu.*Ping: rasanya aku tak lagi bisa menahan diri untuk merampas segalanya dari anak pembunuh itu!*Ping : ia pasti sedang menari-nari k

    Last Updated : 2024-09-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   162. HAK SUAMI

    "Aku sayang padamu, Mbak."Kalimat sama tidak pernah lupa adikku bisikkan padaku."Dan aku tahu kamu sangat sayang padaku."Sementara aku yang tubuhnya Santo peluk, mengangguk lalu keluar bersama mas Rendra dari kamar tempat adikku tinggal sampai keadaanya membaik.Rumah perawatan tempat ia dan anak-anak yang senasib dengannya berkumpul.*Hari sudah menggelap saat aku dan Mas Rendra pulang, meninggalkan Lais yang masih ingin ngobrol dengan bocah besar yang panas tubuhnya ku bawa pulang.Tak butuh waktu lama untuk Mas Rendra yang duduk di belakang kemudi menghentikan kendaraan, tepat di depan rumah kami yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari tempat yang ditinggali adikku saat kondisinya menurun dan ia akan terus di sana sampai dokter mengizinkan Santo pulang."Terimaksih, Pak," ucap Mas Rendra pada pak Mizan yang membukakan pagar untuk kami."Sama-sama, Mas," balas pria dengan seragam yang selalu

    Last Updated : 2024-09-21
  • MENJADI ORANG KEDUA   163. PINTA DALAM DAMAI

    Terbangun dalam dekapan mas Rendra, sudah jadi rutinitas bagiku yang rasanya selalu butuh waktu untuk sekedar menatapi wajah lelapnya.Mendapati hembusan nafasnya yang teratur, merasakan degup jantungnya yang tenang, tubuhnya yang menyalurkan kehangatan di bawah selimut yang menutupi tubuh kami.Semua hal itu seolah jadi penghiburan setiap waktu meski saat ini pipiku serasa panas saat mengingat apa yang kami lakukan semalam.Hanya saja, saat aku menyadari seterang apa cahaya menyusup dari celah gorden, aku langsung terduduk sampai membangunkan mas Rendra."Tidakkah ini terlalu pagi untuk bangun, Runi?""Ini sudah sangat siang, Mas. Dan kamu akan telat ke kantor."Tapi, aku yang membuka lemari dengan memakai kaosnya karena pakaian itu paling dekat dari jangkauan tangan, menoleh untuk ucapan mas Rendra."Apa?" Tanyaku yang sudah mengeluarkan kemeja dari lemari yang pintunya lebar kubuka."Ini hari Minggu, Runi. Da

    Last Updated : 2024-09-22
  • MENJADI ORANG KEDUA   164. TIDAK INGIN BERGANTUNG

    Jalanan padat merayap berubah lebih lengang saat kendaraan yang mas Rendra kemudikan masuk ke dalam gang kecil yang ramai dengan anak-anak.Wajah-wajah polos yang tawanya merasuk dalam mobil, menyamarkan suara klakson ramai yang tidak sabar dari jalan utama."Habis ngaji bukannya pulang malah main." Ucap Santo yang menurunkan jendela.Membuat gadis kecil yang memperhatikan dengan wajah tanya dan dahi berkerut dalam, tersenyum lebar saat tahu siapa yang mengajaknya bicara."MAS SANTO!" Mala yang masih memakai kerudung berseru. Semangat ia memanggil adikku yang senyumnya juga lebar."Mau ikut pulang gak?""Ng! Aku panggil mas Rama dulu.""Siip!" Balas Santo yang jempolnya terangkat tinggi untuk bocah perempuan yang masuk ke dalam mushola. Mencari kakak lelakinya yang terus menuntun Mala. Mendekat pada mobil kami."Sudah selesai ngajinya?""Sudah, Mas." Sopan Rama menjawab, pun, membiarkan sang adik masuk

    Last Updated : 2024-09-23
  • MENJADI ORANG KEDUA   165. LUKA CLARA DAN TANGISNYA

    "Kirra-kirra... rambutannya masih ada gak ya?""Minggu kemaren masih ada yang ijo kan?" "Daripada ke kebun, gue pingin mandi di kali.""Ya dan baru naik ke atas setelah benar-benar kedinginan.""Setuju!"Aku dan mas Rendra yang duduk di bagian depan mendengarkan obrolan empat bocah besar yang terlihat tak sabar. Apalagi saat kendaraan yang mas Rendra kendarai masuk ke jalan tempat sepasang pasutri menunggu kedatangan kami.Ibu dan bapak tersenyum lebar saat melihat kami yang turun dari mobil, satu per satu. Menyalami keduanya sampai tiba giliran adikku, bocah yang ibu peluk begitu erat seolah tidak ingin melepaskan Santo."Aku juga kangen padamu, Bu."Ibu yang matanya berkaca-kaca hanya mengangguk. Membenamkan wajahnya pada dada adikku yang kepalanya bapak usap."Ayo masuk, ibu dan mbok Darmi sudah masak macam-macam."Mas Rendra yang berdiri di sampingku mengangguk. Meski kami masuk terakhir.

    Last Updated : 2024-09-24
  • MENJADI ORANG KEDUA   166. TEMPAT CLARA TERGANTIKAN

    "Kamu tidak ingin membagi apa yang mbak Clara katakan padamu?" Wajah mas Rendra tampak bermasalah saat tanya itu kukatakan. Dan lelaki yang tidak menjawab, mengangkat tangannya untuk meraih tanganku yang lalu ia kecup. Rasanya, balasan mas Rendra ini cukup membuatku tahu, ia tidak ingin mengatakan apa yang sudah Clara ucapkan padanya. Tapi, mas Rendra mirip orang tuanya? Rasanya, itu sungguh jauh dari kenyataan. Aku yang saat kecil hanya bertemu sekali dengan mas Rendra tahu, bahwa ia bocah yang pengertian. Bocah lelaki yang menyerahkan selimutnya padaku yang memangku Santo yang lelap dibawah obat tidur, tidak mungkin bocah egois. Dan saat kami bertemu lagi setelah dewasa, mas Rendra tumbuh jadi orang yang begitu pengertian, menuruti keegoisanku yang orang asing baginya, pun menghormati permintaanku meski hubungannya dengan Clara jadi taruhan. Dan setelah aku mengenal mas Rendra lebih dalam, lelaki yang masih menggenggam tanganku ini tidak mungkin mirip dengan sang ayah. Om L

    Last Updated : 2024-12-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   167. YANG TERKUBUR

    "Mbak aku ingin nengok Yuli."Sentuhan jari mas Rendra yang posisinya berlawanan dengan Santo, membuatku menatap lelaki yang genggaman jemarinya menguat saat ia melihatku mengangguk. Bangun dari segala bayangan yang menyita fokus."Ya," jawabku pada bocah besar yang membuka matanya, "ayo kunjungi Yuli dan neneknya."Ini kali pertama adikku meminta hal ini sejak kami rutin pulang. Mungkin, ia butuh lebih banyak waktu sampai keberaniannya terkumpul."Terimakasih, Mbak."Aku hanya mengusap kepala Santo yang kembali memejamkan mata. Bocah yang benar-benar lelap sampai tidak bangun saat mas Rendra mengganti pahaku dengan tumpukan handuk."Mau aku temani?"Aku yang pahanya kebas, mengangguk. Dan jawaban itu membuat mas Rendra tersenyum."Kemarilah," mas Rendra yang wajahnya tidak lagi menyimpan muram duduk makin dekat. Menarik kepalaku yang ia sandarkan pada dadanya dan terus merangkul pundakku."Eh, beneran tidur ya nih bocah." Ares yang datang bersama Riris dan Lais memperhatikan Santo.D

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status