Untuk beberapa lama lelaki gagah yang memandangi ponselnya diam.Pesan dari sang nenek terasa begitu tiba-tiba, tapi bukan tak terpikir."Apa eyang akan baik-baik saja datang sendirian?" Rendra menarik nafasnya dalam. Menyadarkan punggung pada tembok rumah sakit yang kesibukannya sudah ia hafal."Aku mau beli es krim.""Aku... aku juga mau.""Kamu mau rasa apa?""Ng~ stlobeli."Ia yang tersenyum bahkan tak lagi kaget di depannya berlarian bocah yang tertawa lepas, seolah tidak paham tempat macam apa yang kaki-kaki kecil mereka pijaki."Kakek kapan pulang ya?'"Ng~ nda tahu, nanti sole?""Beneran?""Aku... aku tanya kan?""Oh, ha ha ha."Dan obrolan dua bocah lelaki yang membuat Rendra mengalihkan pandangan dari ponsel, kembali menciptakan senyum. Meski setelahnya ia menarik nafas dalam."Eyang akan baik-baik saja. Ia selalu seperti itu."Tapi, bagiamana dengan orang-orang yang akan eyangnya temui?Sepasang pasutri yang tak lagi menyebutkan nama anak lelaki mereka itu?Tarikan nafas Re
Mataku terbuka saat merasakan sentuhan di pipi dan mendapati Mas Rendra tersenyum dengan segelas susu coklat di tangannya."Bangunlah dulu, nanti tidur lagi." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu lembut untukku yang menarik nafas dalam, aroma rumah sakit langsung memenuhi paru-paru.Rasanya, aku yang duduk tegak tidur lama sekali. Seolah banyak yang sudah ku lewatkan dalam lelap."Pegal ya?" Mas Rendra mengusapi punggungku yang menerima segelas susu.Sentuhan tangannya memberi rasa nyaman yang tak ingin kusampaikan. Meski tatapan mataku membuat mas Rendra kembali memperlihatkan senyum, "minumlah selagi masih hangat, Runi."Dan kalimatnya membuatku kembali mengatakan terimakasih, hal yang nampaknya tidak mas Rendra sukai meski tidak ia katakan terang-terangan."Jam berapa, Mas?""Masih jam setengah sembilan, Runi."Aku mengangguk, menatap jendela yang gordennya mengintipkan gelap dari celahnya.Rasanya, waktuku berjalan lebih lambat sejak Santo dirawat, terlebih hari ini.'Apa ya
Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan."Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang."Kali ini saja, Ren. Kumohon."Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'Bertahun-tahun memadu kasih.Memperjuangkan hubungan meski ditentang.Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?"Baiklah."Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.Namun, tidak kulakukan.Aku tetap duduk di samping lela
Pupil ibu membesar saat mas Rendra menarikku makin rapat dalam dekapannya.Jemari mas Rendra yang memegang lenganku bahkan meremas sesaat seolah berkata, 'semua akan baik-baik saja.' tanpa suara.Tapi, benarkah?Saat aku yang mulutnya terbuka tidak bisa mengatakan apapun pada wanita yang bibirnya rapat mengatup di hadapan kami.Ibu ... aku tahu meski ia tidak pernah menuntut aku harus menjadi putri yang sempurna, ibu mengajariku untuk menjaga diri dimanapun dan kapanpun.Bahkan, setiap kali aku pamit keluar untuk kuliah atau bekerja, pesan ibu selalu sama, "hati-hati dan jaga diri."Pun, saat aku memilih pergi dari rumah setelah cuti kuliah, pesan ibu tidak berubah, diikuti aku harus mengirim kabar setiap hari. Meski sekedar kata, "aku sudah makan, Bu."Tapi lihat kini, ibu jadi diam untuk kenyataan yang kubawakan padanya, 'putri yang ia besarkan dengan syukur dan cinta, berbadan dua.'Dan itu hanya satu dari banyaknya kebohongan yang ku sembunyikan dari ibu! Wanita yang ingatannya s
****Saat duniaku dijungkir-balikkan dengan cara yang begitu menyakitkan. Menyerah bukan pilihan.Karena tangan kecil yang menyadarkan diri bahwa apa yang terjadi padaku bukan sekedar mimpi, hanya memiliki diriku.Tuhan... apa aku harus menyalahkanmu?*****Zras....Suara hujan bak buaian pengantar tidur membuat bocah perempuan yang matanya rapat terpejam, bergerak..Tapi, rasa kantuk luar biasa yang belum pernah ia rasakan, kembali membuat matanya terpejam.Meski hanya beberapa saat, karena ia merasa tidak nyaman dengan kasur yang terasa berbeda.Tidak lagi empuk, apalagi hangat.Justru keras dan terasa dingin. Seolah es menyentuh punggungnya yang terbaring.Satu...Dua...Tiga...Belum juga hitungan lima, matanya yang terbuka langsung melihat bocah lain yang lebih kecil terlelap di atas sofa. Begitu lelap namun nampak mengunyah dalam tidur.Mungkin sedang bermimpi makan ikan goreng kesukaan.Gambaran mimpi sang adik mampu ia bayangkan membuat bibir bocah perempuan itu tersenyum. Ta
JDAR!Gema petir menggelegar. Membuat dua orang paruh baya yang masih dikuasai kaget makin terkejut.Untung laju kendaraan mereka pelan jika tidak, "...." Rasanya wanita yang wajahnya jadi kehilangan rona itu bisa melihat tubuh menggigil di depan kendaraanya tergeletak di jalan dengan bersimbah darah.Sampai sang suami turun, tak perduli pada hujan yang membasahi pakaian."Eyang?""Kamu tunggu di dalam, Le."Meski ingin menolak, Rendra menurut. Ekor matanya mengikuti langkah sang eyang yang tubuhnya langsung basah di sapa hujan begitu keluar."Kamu tidak apa-apa, Ndok?"Yang ditanya tidak menjawab. Membuat wanita paruh baya yang tubuhnya langsung kuyup itu melirik sang suami yang juga menggeleng. Nampaknya mendapat respon sama dari bocah perempuan yang arah munculnya ia tatap.Hanya ada gelap, ia bahkan tak melihat adanya kelip lampu yang bisa membuatnya yakin ada perkampungan."Rumahmu di mana, Ndok?"Rasa penasaran yang memenuhi diri membuat tangannya terjulur, "kamu datang dari man
Kehebohan.Itu adalah kalimat yang paling mudah untuk menggambarkan suasana rumah sakit yang dipenuhi petugas polisi."Bisa jadi mereka berdua korban penculikan."Celetukan itu makin membuat keriuhan. Apalagi, bocah perempuan yang lukanya harus dijahit, tidak mengatakan apapun saat ditanyai.Mulutnya begitu rapat tertutup dengan pandangan yang seharusnya mampu dimaklumi.Tapi, beberapa petugas dengan memaksa bertanya. Mengatakan apa saja yang ingin mereka ketahui. Sampai sepasang pasutri yang bisa melihat jadi setaknyaman apa bocah perempuan itu, meminta petugas-petugas yang datang berhenti."Jangankan menjawab, mengatakan siapa namanya saja tidak." Petugas polisi yang menarik nafas dalam, melirik sepasang pasutri yang duduk dengan pandangan tidak tenang. Apalagi setelah mendengar apa saja kemungkinan-kemungkinan yang tercetus dalam otak untuk apa yang sudah terjadi pada bocah perempuan yang makin bisu, tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun!"Apa Ibu dan Bapak benar-benar tidak tahu
"Meracuni istrinya lalu bunuh diri, betapa terkutuknya perbuatan Efendy.""Anak-anak mereka bahkan belum ditemukan setelah satu Minggu berlalu.""Menurut sumber yang enggan namanya di sebutkan, mengatakan memang sikap Efendy berubah setelah istrinya jatuh sakit.""Rumah tempat kejadian perkara masih ramai didatangi. Bahkan garis polisi yang terpasang tidak dihiraukan.""Sungguh terkutuk. Semoga ia terbakar di neraka."MATI SETELAH MENGHABISI SELURUH ANGGOTA KELUARGA! Judul artikel yang sama bahkan memenuhi surat-surat kabar. Foto lelaki yang tubuhnya sudah dikuburkan bersama sang istri dipampang begitu jelas.Alamat rumah yang seharunya dirahasiakan jadi sasaran orang-orang penasaran yang nampaknya tidak bisa memberi sedikit empati.Spekulasi berkembang bak bola liar berkat tulisan dan ucapan para pencari warta yang menimbulkan opini menyudutkan Efendy, lelaki yang mati itu.Publik dibuat gempar atas apa yang terjadi. Orang-orang yang tinggal di pelosok bahkan begitu tertarik untuk t