"Bagaimanapun alasannya, aku adalah orang yang paling harus Clara persalahkan karena hatiku yang berubah, Runi."Sorot mata mas Rendra tidak menyisakan celah untuk bantahan apapun, apalagi saat ibu jarinya kembali mengusap pipiku yang ia tangkup."Jika ia tidak terima pada berakhirnya hubungan kami, bukan padamu ia harus menyalurkan amarah. Tapi, padaku."Aku yang ingin membantah tak bisa berucap karena mas Rendra mengecup bibirku. Sementara pandangan matanya tidak ingin aku mendebatnya untuk satu hal ini.Dan kecupan yang membuat bibirku serasa digelitik lembut, kembali berulang.Sekali...Dua kali...Empat kali...Dan tanganku menyentuh bibir mas Rendra yang memperlihatkan senyum saat tahu aku tidak akan mendebatnya lagi.Clara hamil. Anak yang dikandungnya bukan milik mas Rendra.Tapi siapa? Dedo suami Calista 'kah? Atau Alan, sahabat mas Rendra yang terlihat begitu membela Clara?Namun, kurasa tanya yang hanya tercipta dalam benak, tidak ingin kukatakan saat sorot mata mas Rendra
Aku tahu kenapa mas Rendra menggenggam tanganku saat matanya memperhatikan dua remaja yang sikapnya lebih dewasa dari usia.Lais dan adikku, keduanya didewasakan kehidupan yang membuat mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.Lais yang mengenal ketidak-ramahan dunia dan manusia sejak kecil sampai akhirnya bisa lepas dari sang ayah.Adikku yang mampu tumbuh dan tertawa pada dunia meski tawa itu direnggut karena keluarga bapak merasa terancam dengan keberadaan kami.Dan gadis remaja yang wajahnya berubah sendu untuk kalimat Santo, diam beberapa lama. Menatapi adikku yang senyumnya begitu lebar."Kamu mau kuliah sama aku, Kan? Jadi lakukan yang terbaik seperti yang selalu kamu lakukan. Aku tahu kamu pasti bisa."Mata Lais digenangi air yang langsung ia tepis dengan senyum juga tarikan nafas dalam. "Ok," jawab gadis yang wajah sendunya bercampur dengan tekad yang membuat Santo kembali mengusap kepalanya dengan senyum bangga."Gitu dong, masa anak gadis keluyuran tiap malam.""Gue
'Memilih tinggal dengan adikmu tidak akan mudah, Runi.'Di dalam kepalaku yang menatap ke bawah, suara eyang menggema keras di dalam kepala.'Jadi hubungi aku kapan saja karena orang tua ini akan senang mendengar apapun darimu.'Aku yang meninggalkan keran air menyala, bahkan membeku di atas kakiku sendiri saat melihat adikku kejang tak terkontrol."Mbak... San-to...."Sampai suara Lais yang matanya memancarkan ketakutan tanpa daya, membuat tubuhku seakan disengat listrik."Apa Santo makan sesuatu?"Aku tidak yakin bagiamana suara ku terdengar. Yang kutahu, aku yang kembali bisa menggerakkan badan mendekati tubuh adikku yang terus bergetar di atas lantai dapur.Namun, Lais yang terlihat panik hanya menatapi adikku. Ia tidak lagi bersuara untuk hal yang mungkin baru kali ini dilihatnya sampai membuat Lais begitu syok tidak tahu harus berbuat atau bereaksi seperti apa.'Dan bagaimana denganku?' Pengalamanku bersama ibu mengajarkan diriku banyak hal.Tanpa berpikir aku langsung mengambi
Di dalam bangsal yang hanya berisi satu brankar, makanan yang mas Rendra beli berserakan setelah ditampik jatuh. Dan tubuhku yang oleng setelah didorong, terus mas peluk dalam dekap melindungi. Bip! Bip! Bip! Mesin yang membaca detak jantung adikku konstan berbunyi, begitu menyakiti pendengaran. Tapi, suara yang bunyinya sama itu tidak mampu menyamarkan tangis gadis remaja yang lurus menatapku. Lais yang tidak bisa disebut sepenuhnya dewasa, mata sembabnya kembali berurai airmata. Suaranya bergetar dalam sendu yang tidak bisa ku ukur! "Aku benci padamu, Mbak Runi." Lontaran kalimat yang ia tunjukkan padaku tak mampu ku jawab karena seluruh kesadaranku memperhatikan bocah besar yang terlelap bak mimpi pulasnya tak mengizinkan Santo bangun. "Kenapa kau harus mengambil satu-satunya orang yang perduli padaku?" Suara Lais yang terdengar putus asa tidak mampu menggedori pertahanan diriku yang sudah biasa mendapat perlakuan kasar saat mata bapak dan ibu tak melihat. Tapi, bukan bera
Apa aku merasa lega setelah puas menangis? Rasanya tidak, meski ada sesuatu yang terasa lebih ringan dalam diriku yang masih mengingat pelukan eyang.Wanita yang harus pulang, menemani kedua cucu kembarnya yang mungkin mengirimiku pesan tentang apa yang mereka berdua lakukan hari ini.Hal yang tidak mungkin ku ketahui karena ponselku tertinggal di apartemen. Tempat di mana adikku menghabiskan waktunya setelah keluar dari rumah kami. Menjadikan hobinya menggambar sebagai pundi untuk menghidupi diri. Zraak!Suara pintu yang digeser pelan membuatku menoleh pada mas Rendra, ia yang mengantar eyang, datang dengan membawa plastik."Kita makan, ya."Dan lelaki yang terus menemaniku ini mendekat setelah menutup pintu sepelan saat ia masuk."Aku bisa makan sendiri, Mas.""Aku tahu," jawab mas Rendra yang tangannya terus berada di udara sampai aku memakan apa yang ia suapkan."Sedikit lagi, Runi."Pun, terus mengulangi kalimat sama setiap kali melihatku menelan apa yang ku kunyah sampai olahan
Untuk beberapa lama lelaki gagah yang memandangi ponselnya diam.Pesan dari sang nenek terasa begitu tiba-tiba, tapi bukan tak terpikir."Apa eyang akan baik-baik saja datang sendirian?" Rendra menarik nafasnya dalam. Menyadarkan punggung pada tembok rumah sakit yang kesibukannya sudah ia hafal."Aku mau beli es krim.""Aku... aku juga mau.""Kamu mau rasa apa?""Ng~ stlobeli."Ia yang tersenyum bahkan tak lagi kaget di depannya berlarian bocah yang tertawa lepas, seolah tidak paham tempat macam apa yang kaki-kaki kecil mereka pijaki."Kakek kapan pulang ya?'"Ng~ nda tahu, nanti sole?""Beneran?""Aku... aku tanya kan?""Oh, ha ha ha."Dan obrolan dua bocah lelaki yang membuat Rendra mengalihkan pandangan dari ponsel, kembali menciptakan senyum. Meski setelahnya ia menarik nafas dalam."Eyang akan baik-baik saja. Ia selalu seperti itu."Tapi, bagiamana dengan orang-orang yang akan eyangnya temui?Sepasang pasutri yang tak lagi menyebutkan nama anak lelaki mereka itu?Tarikan nafas Re
Mataku terbuka saat merasakan sentuhan di pipi dan mendapati Mas Rendra tersenyum dengan segelas susu coklat di tangannya."Bangunlah dulu, nanti tidur lagi." Ucapnya dengan suara yang terdengar begitu lembut untukku yang menarik nafas dalam, aroma rumah sakit langsung memenuhi paru-paru.Rasanya, aku yang duduk tegak tidur lama sekali. Seolah banyak yang sudah ku lewatkan dalam lelap."Pegal ya?" Mas Rendra mengusapi punggungku yang menerima segelas susu.Sentuhan tangannya memberi rasa nyaman yang tak ingin kusampaikan. Meski tatapan mataku membuat mas Rendra kembali memperlihatkan senyum, "minumlah selagi masih hangat, Runi."Dan kalimatnya membuatku kembali mengatakan terimakasih, hal yang nampaknya tidak mas Rendra sukai meski tidak ia katakan terang-terangan."Jam berapa, Mas?""Masih jam setengah sembilan, Runi."Aku mengangguk, menatap jendela yang gordennya mengintipkan gelap dari celahnya.Rasanya, waktuku berjalan lebih lambat sejak Santo dirawat, terlebih hari ini.'Apa ya
Clara, suaranya terdengar putus asa bahkan untuk telingaku yang tangannya terus mas Rendra pegangi, benar-benar ingin aku mendengar apa yang mereka berdua bicarakan."Sekali ini saja, Ren. Kamu tahu aku tidak bisa meminta tolong padanya, bukan?"Mas Rendra yang matanya menatapku, diam untuk beberapa lama.Rasanya, aku bisa melihat dilema dalam sorot mata lelaki yang kantuknya benar-benar hilang."Kali ini saja, Ren. Kumohon."Dan aku yang sudah melihat berkali-kali bagaimana pandangan mas Rendra pada Clara tahu, 'mas Rendra tidak mungkin bisa mengabaikan tangis Clara.'Bertahun-tahun memadu kasih.Memperjuangkan hubungan meski ditentang.Riak-riak yang mampu mereka lewati bersama meski akhirnya kandas.Rasanya tidak mungkin mas Rendra merasa baik-baik saja mendengar Clara terisak, bukan?"Baiklah."Walau tidak terkejut, ada sesuatu dalam diriku yang memaksa diri untuk berpaling dari tatapan mas Rendra yang mengiyakan pinta Clara.Namun, tidak kulakukan.Aku tetap duduk di samping lela